Jangan Hinakan Nikmat Allah
Hidup kadang tak
ubahnya seperti untaian benang panjang yang punya dua warna. Silih
berganti warna itu menghias untaian benang. Ada warna suka, ada duka.
Benang akan tampak menarik ketika terhias suka. Dan, akan dibenci ketika
warna duka terlalui.
Namun demikian, sebagian
orang kadang lupa bahwa seperti itulah warna kehidupan. Mungkin,
keterbatasan rasa manusia yang bahagia ketika suka. Dan sedih ketika
duka. Tak jarang, keterbatasan itu pun menggiring pandangannya kepada
Pembuat Hidup. Bahwa, suka adalah kemuliaanNya. Dan, duka adalah
penghinaanNya.
Dalam
surah Al-Fajr ayat 15 dan 16, Allah swt berfirman, “Ada pun manusia
apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakanNya dan diberiNya kesenangan,
maka dia berkata, ‘Tuhanku telah memuliakanKu. Ada pun bila Tuhannya
mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata, ‘Tuhanku
menghinakanku.”
Fakta
takaran kemuliaan dan kehinaan dalam pandangan sebagian manusia berkait
dengan seberapa besar anugerah Allah berupa kenikmatan. Semakin kaya
seseorang, semakin besar kemuliaan yang ia terima. Dan semakin miskin
seseorang, seperti itulah kehinaan yang Allah berikan.
Sebagian
manusia mungkin merasa sulit untuk menterjemahkan bahwa hidup bukan dua
takaran tadi. Teramat sulit buat mereka untuk menggunakan kacamata iman
bahwa hidup adalah ujian. Dan ujian tidak melulu melekat pada satu
warna. Dalam duka memang ada ujian. Pun, dalam suka ada ujian.
Penjelasannya
begitu gamblang ketika Allah swt berfirman dalam surah Al-Anbiyaa ayat
35. “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu
dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya).
Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.”
Seperti
itulah Thalut ketika sang komandan ini ingin mendapatkan bukti kualitas
pasukannya. Ia tidak ingin para pejuangnya berorientasi hanya pada
kesenangan hidup. Dan tidak lagi punya semangat ketika hidup tak lagi
mampu memberikan kesenangan. Karena itu, mereka harus diuji.
Ujian
pun dimulai. Orang yang berkualitas biasanya akan menangkap sebuah
isyarat tes. Terlebih ketika kisi-kisi tes itu sudah digambarkan begitu
jelas: ketika kita melalui sungai, dilarang meminum airnya kecuali
dengan cidukan tangan. Penjelasan yang begitu jelas. Tapi, begitulah
orang yang tak berkualitas. Penjelasan tinggallah penjelasan. Kelakuan
tak juga berubah. Kenyataannya, sedikit sekali dari pasukan itu yang
menikmati air sungai dengan cidukan tangan. Selebihnya, larut dalam
kenikmatan. (Al-Baqarah: 249)
Jadi,
ketika nikmat Allah diterjemahkan hanya dari satu sisi yaitu
kesenangan, di situlah orang terjebak dalam kedangkalan nalarnya
sendiri. Mereka akan bersyukur dan berterima kasih kepada Allah, kepada
Yang Maha Pencipta, atas segala nikmatNya. Namun, ketika anugerah
menempati sisi lain yang tak sesuai harapan, syukur dan terima kasihnya
lenyap. Syukurnya menguap bersama kecewanya: Allah menghinakan saya.
Padahal,
cocok atau tidaknya sebuah harapan dengan kenyataan yang Allah berikan,
kalkulasinya begitu luas. Mungkin, kita pernah kecewa ketika kereta
yang kita kejar-kejar sehingga harus ditebus dengan lewatnya sarapan
pagi, ternyata harus berlalu mendahului kita. Kita kecewa. Padahal,
itulah nikmat Allah. Karena, kereta itu ternyata mengalami kecelakaan.
Allah menyelamatkan kita dengan sesuatu yang sebelumnya kita anggap
mengecewakan.
Kita
mungkin pernah kecewa ketika calon suami atau isteri yang selangkah lagi
akan syah menjadi pendamping, menyatakan pembatalan sepihak. Kita
kecewa. Padahal, di saat itulah Allah sedang memberikan kebaikan. Karena ternyata, beberapa bulan kemudian sang calon meninggal dunia karena penyakit dalam yang kronis.
Kekecewaan-kekecewaan
itu mungkin bisa dianggap wajar. Karena ada sesuatu yang belum kita
peroleh. Dan sesuatu itu memang mahal. Bahkan, seorang Nabi Musa a.s.
pun harus bersusah payah mendapatkan sesuatu itu. Dan sayangnya, ia
sempat gagal di tengah jalan.
Pelajaran
itu bisa kita lihat ketika Allah swt mengisahkan dua hambaNya yang
mulia: Musa a.s. dan Khidr a.s. Dalam surah Al-Kahfi ayat 65 hingga 82,
Allah swt. menggambarkan bagaimana Musa a.s. gagal menangkap maksud tiga
tindakan yang tidak menyenangkan Khidr a.s. Yaitu, melubangi
perahu-perahu nelayan, membunuh anak kecil, dan menegakkan dinding yang
hampir roboh. Padahal, ketiga tindakan Khidr a.s. itu punya maksud yang
amat baik. Di situlah Musa a.s. belajar tentang anugerah kebaikan dan
keburukan.
Jadi,
ridha atas segala sesuatu yang Allah berikan adalah pijakan awal dari
lahirnya rasa syukur seorang hamba. Terhadap anugerah apa pun: besar
atau kecil. Ridha dengan anugerah yang besar adalah kesiapan diri agar
senantiasa menjaga amanah, agar nikmat tidak terselewengkan dalam
maksiat. Dan ridha dengan yang kecil adalah kebersihan hati dari buruk
sangka atas pemberian Allah.
Seorang
sahabat Rasul pernah terperanjat ketika malam pertamanya tiba. Ia
seperti hampir tak menerima kenyataan wajah isterinya. Ada keraguan
terselip di situ. Bahkan, ketidaksukaan pun nyaris mendominasi hatinya.
Seolah, hatinya bicara, “Ah, seperti inikah nikmat yang Allah berikan
kepada saya?”
Namun,
semua itu sirna seketika saat sang isteri mampu menangkap gelisah itu.
Ia langsung membacakan sebuah ayat di surah An-Nisa. “Dan bergaullah
dengan mereka (isteri-isteri) secara patut. Kemudian bila kamu tidak
menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai
sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
(An-Nisa: 19)
Ketika
ridha menutup segala prasangka, syukur terungkap dengan seketika. Ia
muncul dari hati yang dalam. Bersih tanpa pamrih. Lahir dari kesadaran
bahwa tak seorang pun yang pernah dan akan memiliki sesuatu. Tak semua
kesenangan melahirkan bahagia. Dan tak semua kesusahan membawa celaka.
Semuanya pinjaman dari Allah. Dan akan kembali kepada-Nya pula.
Jangan
hinakan nikmat Allah. Syukurilah anugerah Allah apa adanya. Justru,
dalam keridhaan dan syukur itulah kenikmatan terasa ganda. Kita tidak
sedang menikmati anugerah fisik saja. Melainkan, belaian kasih sayang
Allah yang tak hingga. Nikmatilah warna-warni hidup. Karena hidup memang penuh warna.
Oleh: Muhammad Nuh
0 komentar:
Posting Komentar