Energi yang Tak Pernah Habis
Hidup sebagai sesuatu kadang seperti tulisan spanduk yang terikat di
antara dua tiang. Hujan, panas, dan tangan-tangan usil bisa melunturkan
keberadaan tulisan. Warna menjadi kabur, dan tulisan pun mulai luntur.
Seperti itu pula mungkin ketika seseorang hidup sebagai muslim.
Tak
ada iman tanpa ujian. Kalimat itulah yang mesti dipegang seorang mukmin
dalam mengarungi hidup. Susah senang adalah di antara ruang-ruang
kehidupan di mana seorang mukmin diuji keimanannya. Ada yang lulus. Ada
juga yang mesti mengulang.
Mereka yang berguguran dalam perjuangan
Islam adalah di antara yang mesti mengulang. Waktu memberikan mereka
peluang untuk bangkit di lain kesempatan.
Rasulullah saw.
bersabda, “Allah menguji hamba-Nya dengan menimpakan musibah sebagaimana
seorang menguji kemurnian emas dengan api (pembakaran). Ada yang keluar
emas murni. Itulah yang dilindungi Allah dari keragu-raguan. Ada juga
yang kurang dari itu (mutunya) dan itulah yang selalu ragu. Ada yang
keluar seperti emas hitam dan itu yang memang ditimpa fitnah (musibah).”
(HR. Athabrani)
Ujian perjalanan keimanan seseorang tidak selalu
pada hal besar. Bisa jadi terselip dalam kehidupan sehari-hari. Ada
ujian tubuh yang rentan sakit. Ada rezeki yang muncul dalam tetesan
kecil. Kadang ada, tapi kebanyakan tidak ada. Hidup menjadi sangat
susah.
Inilah ujian sehari-hari yang bisa menentukan seperti apa
mutu seorang mukmin. Kalau hasil ujian menunjuk titik sabar, rezeki yang
sedikit menjadi berkah. Sedikit, tapi punya mutu istimewa.
Seperti itulah yang pernah diungkapkan Rasulullah saw. pada beberapa sahabat. “Sesungguhnya Allah Azza Wajalla
menguji hambanya dengan rezeki yang diberikan Allah kepadanya. Kalau
dia ridha dengan bagian yang diterimanya, maka Allah akan memberkahinya
dan meluaskan pemberian-Nya. Kalau dia tidak ridha dengan pemberian-Nya,
maka Allah tidak akan memberinya berkah.” (HR. Ahmad)
Ujian
seperti itu memang terkesan sederhana. Mudah. Tapi, akan beda pada dunia
nyata. Rezeki yang terasa kurang akan berdampak pada sisi lain: gizi
keluarga, pendidikan anak, mobilitas gerak, dana dakwah, dan sebagainya.
Belum lagi soal status sosial di tengah masyarakat. Sulit mengajak
orang kembali pada Islam kalau status sosial si pengajak kurang
dianggap.
Ujian rezeki yang terkesan sederhana, ternyata memang
berat. Kalau saja bukan karena kasih sayang Allah swt., seorang mukmin
hanya akan berputar-putar pada masalah diri dan keluarganya. Kapan ia
akan berjuang. Bagaimana ia berdaya mengangkat beban umat yang begitu
berat: masalah kebodohan, perpecahan, bahkan kemiskinan umat.
Jika
merujuk pada pengalaman Rasul dan para sahabat, kenyataan hidup memang
tidak begitu beda. Sedikit di antara hamba-hamba Allah di masa itu yang
kaya. Termasuk Rasul sendiri. Beliau dikenal yatim yang berbisnis pada
usaha pamannya, Abu Thalib. Begitu pun para sahabat yang sebagian besar
berstatus budak dan buruh. Apa yang bisa dilakukan pada kelompok seperti
itu.
Itulah yang pernah dialami Nabi Nuh dan para aktivis di
sekitarnya. Mereka dianggap hina karena status sosial yang rendah. Allah
swt. menggambarkan keadaan itu dalam surah Hud ayat 27.
“Maka
berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya, ‘Kami tidak
melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami,
dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikutimu, melainkan
orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja. Dan
kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami.
Bahkan, kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.”
Namun,
sejarah memberikan pelajaran berharga. Para pejuang teladan yang
dianggap punya status sosial rendah itu mampu memberikan bukti. Bahwa,
kekayaan bukan penentu sukses-tidaknya sebuah perjuangan. Ada hal lain
yang jauh lebih penting sebagai energi utama. Energi utama itu tersimpan
dalam kekuatan ruhiyah yang tinggi.
Rasulullah saw. mengungkapkan
itu dalam sebuah sabdanya. “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan
lebih disukai Allah daripada seorang mukmin yang lemah dalam segala
kebaikan. Peliharalah apa-apa yang menguntungkan kamu dan mohonlan
pertolongan Allah. Jangan lemah semangat (putus asa). Jika ditimpa suatu
musibah janganlah berkata, ‘Oh andaikata aku tadinya melakukan itu
tentu berakibat begini dan begitu.’ Tetapi, katakanlah, ‘Ini takdir
Allah dan apa yang dikehendaki Allah pasti dikerjakan-Nya.” Ketahuilah,
sesungguhnya ucapan ‘andaikan’ dan ‘jikalau’ hanya membuka peluang bagi
karya setan.” (HR. Muslim)
Kenyataannya, energi yang dimiliki para
pejuang Islam dari masa ke masa ada dalam ruhani mereka. Mereka begitu
dekat dengan Yang Maha Kuat, Allah swt. Siang mereka seperti pendekar
yang menggempur musuh dengan gagah berani. Tapi malam, mereka kerap
menangis dalam hamparan sajadah karena hanyut dalam zikrullah. Hati
mereka begitu terpaut dalam kasih sayang Allah swt.
Suatu kali
Rasulullah saw. meminta Ibnu Mas’ud membaca Alquran. Ibnu Mas’ud agak
kaget. “Bagaimana mungkin saya membacakan pada Anda Alquran, padahal ia
datang melalui Anda?” Rasulullah saw. pun meminta Ibnu Mas’ud untuk
membaca. Dan sahabat Rasul itu pun membaca surah An-Nisa.
Satu
demi satu ayat dalam surah An-Nisa itu dibaca Ibnu Mas’ud. Hingga pada
ayat ke-41. Rasul pun menangis. Tangisnya begitu jelas, hingga Ibnu
Mas’ud menghentikan bacaannya. Ayat ke-41 itu berbunyi, “Maka
bagaimanakah apabila Kami mendatangkan seorang saksi (Rasul) dari
tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas
mereka itu (sebagai umatmu).”
Itulah energi yang begitu kuat.
Sebuah kekuatan yang bisa memupus keraguan, kemalasan, dan rasa takut.
Sebuah kekuatan yang bisa mengecilkan bentuk ujian hidup apa pun.
Termasuk, ujian kemiskinan.
0 komentar:
Posting Komentar