Rezeki Mata Uji Madrasah Kehidupan
Rezeki dalam kehidupan manusia persis seperti air hujan terhadap
tanaman. Ketika curah hujan cukup, tanaman pun kian menghijau, berbunga,
dan akhirnya menghasilkan buah. Bedanya dengan tanaman, manusia
mestinya tak perlu layu ketika rezeki tak kunjung turun.
Namun,
sifat manusia memang selalu tergesa-gesa. Kala rezeki tak menetes dari
langit, tak sedikit orang berpikiran pendek. Frustasi. Dan memilih layu
dan gugur tanpa arti. Media massa pernah mengabarkan seorang ibu dengan
menggendong balita menceburkan diri ke air danau berkedalaman puluhan
meter.
Media juga mencatat seorang ibu membakar diri karena
bingung tak lagi punya uang untuk makan. Ia hangus terbakar bersama dua
balitanya yang sedang sakit. Na’udzubillah.
Rasa lapar
kadang membuat manusia kehilangan akal sehat. Hilang akal hilang
martabat. Media pernah memberitakan seorang suami tega “menyewakan”
isterinya ke lelaki lain lantaran tak punya uang untuk mengontrak toko. Na’udzubillah.
Masih
banyak lagi kisah getir sejenis diungkap media massa. Mempertontonkan
keputusasaan manusia. Keputusasaan itu berpangkal pada himpitan ekonomi.
Sedihnya,
sebagian besar mereka muslim. Entah apakah mereka pernah sempat
mendengar di tempat pengajian bahwa urusan rezeki sangat berkait dengan
keimanan seseorang. Rezeki, selain sebagai anugerah, juga sarana ujian:
seberapa tinggi mutu keimanan seorang hamba Allah ketika ia mendapati
takaran rezekinya.
Memang, tidak semua sisi yang berhubungan
dengan rezeki menjadi urusan pribadi. Makmur tidaknya seorang anak
manusia, boleh jadi, sangat berkait dengan kebijakan pemerintahnya.
Penyediaan lapangan kerja, pemberian subsidi buat bahan pokok, kemudahan
pinjaman modal; adalah di antara bentuk kebijakan yang sangat
berpengaruh buat kemakmuran warga sebuah bangsa.
Namun, ketika
kenyataan tidak seperti yang diinginkan, semua kembali pada kekuatan
pribadi masing-masing. Dan salah satu kunci kekuatan adalah benteng
keimanan. Inilah yang akhirnya sangat menentukan apakah seorang hamba
Allah bisa tahan dengan problem rezeki.
Ada beberapa lubang
kesalahpahaman soal rezeki yang kerap menjebloskan seseorang ke dalam
kubangan kehinaan. Dan lubang-lubang itu terus berubah bergantung pada
siapa yang akan jadi target. Pertama, anggapan bahwa rezeki sebagai
kunci segala masalah. Inilah yang akhirnya menjadikan seseorang
mengalami pergeseran tujuan hidup. Karena rezeki jadi sumber solusi,
rezeki pun menjadi tujuan. Bukan lagi sekadar sarana yang boleh ada,
boleh tidak.
Orang yang terjeblos pada anggapan ini, akan
menghalalkan segala cara. Apa pun ia tempuh asal bisa dapat banyak
rezeki. Dan jika akhirnya rezeki luput, ia akan putus asa. Baginya,
kehidupan tak lagi punya arti tanpa rezeki. Maha Benar Allah dalam
firman-Nya,
“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan
berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan
terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah
tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Al-Hadiid: 23)
Dalam
cakupan yang lebih besar, pengalaman membuktikan bahwa kejatuhan
seorang muslim -termasuk pada dai dan ulama– karena mereka terjeblos
pada lubang jenis ini. Mereka pun dipermainkan kepentingan materi. Ada
yang saling bermusuhan, ada yang rela menjadi kacung-kacung kekuasaan
(misalnya Bal’am, seorang ulama Bani Israil yang menyangga kekuasan
Fir’aun). Mereka rela melakukan apa pun asal tetap dapat rezeki. Na’udzubillah.
Kedua,
anggapan rezeki berbanding lurus dengan tingkat ketakwaan seseorang
kepada Allah swt. Anggapan ini yang di antaranya menjadi sebab
tergelincirnya hamba-hamba Allah dari keikhlasan. Bahkan mungkin, bisa
berubah menjadi kufur.
Tidak semua bentuk kasih sayang Allah swt.
terlimpah langsung di kehidupan dunia. Bahkan boleh jadi, pengecilan
takaran rezeki buat seseorang adalah di antara bentuk kasih sayang Allah
terhadap orang itu. Karena tidak tertutup kemungkinan, orang justru
jadi tidak lagi taat ketika rezekinya berlimpah.
Hal itulah yang
pernah dialami salah seorang pengikut sekaligus keluarga dekat Nabi Musa
a.s., Qarun. Ketika pintu rezeki terbuka lebar, ia justru berubah
kufur.
“Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa (anak paman
Nabi Musa), maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah
menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya
sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah)
ketika kaumnya berkata kepadanya: ‘Janganlah kamu terlalu bangga;
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan
diri.” (Al-Qashash: 76)
Kalau rezeki berbanding lurus dengan
tingkat taat dan takwa, tentu orang yang paling kaya di seluruh penjuru
dunia adalah para Rasul, sahabat, dan orang-orang saleh. Tapi, fakta
sejarah tidak mengatakan itu. Sebaliknya, merekalah yang selalu berlimut
sederhana. Bahkan, Rasulullah saw. pernah berpuasa setelah mendapatkan
kabar dari isterinya kalau isi dapur memang benar-benar kosong.
Rezeki
adalah salah satu di antara sekian mata pelajaran yang Allah ujikan
dalam madrasah dunia ini. Banyak rezeki ujian, begitu pun ketika
sedikit. Jangan sampai kita tidak pernah lulus di dunia keadaan itu.
Banyaknya menjadi boros dan sombong, sedikitnya menjadi putus asa dan
kufur.
Oleh: Muhammad Nuh
0 komentar:
Posting Komentar