Masalah Niat Shalat
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarokatuh,
'Innalhamdalillaah, nahmaduhu wanasta’inuhu, wanastaghfiruh. Wana’udzubillaahiminsyururi anfusina waminsyay yiati a’malina, may yahdihillahu fala mudzillalah, wamay yut’lil fala hadziyalah. Asyhadu alailahaillallahu wah dahula syarikalah wa assyhadu anna muhammadan ‘abduhu warosuluh.Salallahu'alaihi wa 'ala alihi wa sahbihi wa man tabi'ahum bi ihsanin illa yaumiddiin'.
Fainna ashdaqal hadits kitabaLLAH wa khairal hadyi hadyu Muhammad Salallahu'alaihiwassalam, wa syarral ‘umuri muhdatsatuha, Wa kullu muhdatsatin bid’ah wa kullu bid’atin dhalalah wa kullu dhalalatin fin nar… Ammaba’du
"Melafadzkan niat tidak ada asalnya dalam As-Sunnah. Tidak ada seorang pun sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam yang membolehkan melafadzkan niat. Tidak ada pula seorang tabi’in pun yang menganggapnya baik. Demikian pula para imam yang empat. Sementara kita maklumi bahwa yang namanya kebaikan adalah mengikuti bimbingan As-Salafush Shalih."
Penegasan I
Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Hanyalah amal itu dengan niat dan setiap orang hanyalah beroleh apa yang ia niatkan.” (HR. Al-Bukhari no. 54 dan Muslim no. 4904)
Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata:
“Niat
adalah maksud. Maka orang yang hendak shalat menghadirkan dalam
benaknya shalat yang hendak dikerjakan dan sifat shalat yang wajib
ditunaikannya, seperti shalat zhuhur sebagai shalat fardhu dan
selainnya, kemudian ia menggandengkan maksud tersebut dengan awal takbir.” (Raudhatuth Thalibin, 1/243-244)
Sudah
berulang kali disebutkan bahwa niat tidak boleh dilafadzkan. Sehingga
seseorang tidak boleh menyatakan sebelum shalatnya, “Nawaitu an ushalliya lillahi ta’ala kadza raka’atin mustaqbilal qiblah...” (Aku berniat mengerjakan shalat karena Allah Subhanahu wa Ta’ala sebanyak sekian rakaat dalam keadaan menghadap kiblat...).
Melafadzkan niat tidak ada asalnya dalam As-Sunnah.
Tidak ada seorang pun sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam
yang membolehkan melafadzkan niat. Tidak ada pula seorang tabi’in pun
yang menganggapnya baik. Demikian pula para imam yang empat. Sementara
kita maklumi bahwa yang namanya kebaikan adalah mengikuti bimbingan
As-Salafush Shalih.
Ada kesalahpahaman dari sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu terhadap ucapan beliau, dalam masalah haji, “Apabila
seseorang berihram dan telah berniat dengan hatinya, maka ia tidak
diharuskan menyebut niat itu dengan lisannya. Haji itu tidak seperti
shalat, di mana tidak shih penunaiannya terkecuali dengan nathq (pelafadzan dengan lisan).”
Maka
hal ini dijelaskan oleh Al-Imam Ar-Rafi’i Asy-Syafi’i rahimahullahu
dalam kitab Al-’Aziz Syarhul Wajiz yang dikenal dengan nama Syarhul
Kabir (1/470): “Jumhur ulama kalangan Syafi’iyyah berkata: ‘Al-Imam
Asy-Syafi’i –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhainya– tidaklah
memaksudkan dengan ucapannya tersebut adanya pelafadzan niat dengan
lisan (tatkala hendak mengerjakan shalat). Yang beliau maksudkan adalah
takbir (yaitu takbiratul ihram, pen.), karena dengan takbir tersebut
sahlah shalat yang dikerjakan. Sementara dalam haji, seseorang menjadi
muhrim walaupun tanpa ada pelafadzan.”
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan,
“Bila
Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam berdiri untuk shalat, beliau langsung
mengucapkan takbiratul ihram dan tidak mengucapkan apa pun sebelumnya,
juga tidak melafadzkan niat sama sekali. Beliau juga tidak mengatakan,
‘Aku tunaikan untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala shalat ini dengan
menghadap kiblat empat rakaat sebagai imam atau makmum’. Demikian pula
ucapan ada’an atau qadha’an ataupun fardhal waqti.
Melafadzkan niat ini termasuk perbuatan yang diada-adakan dalam agama (bid’ah).
Tidak ada seorang pun yang menukilkan hal tersebut dari Nabi
Shallallahu ‘alahi wa sallam, baik dengan sanad yang shahih, dhaif,
musnad (bersambung sanadnya), ataupun mursal (tidak bersambung). Bahkan
tidak ada nukilan dari para sahabat, demikian pula tabi’in maupun imam
yang empat, tak seorang pun dari mereka yang menganggap baik hal ini.
Hanya
saja sebagian mutaakhirin (orang-orang belakangan) keliru memahami
ucapan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu semoga Allah Subhanahu wa
Ta’ala meridhainya tentang shalat. Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Shalat itu tidak seperti zakat. Tidak boleh seorang pun memasuki shalat ini kecuali dengan zikir.”
Mereka
menyangka bahwa zikir yang dimaksud adalah ucapan niat seseorang yang
hendak shalat. Padahal yang dimaksudkan Al-Imam Asy-Syafi’i
rahimahullahu dengan zikir ini tidak lain adalah takbiratul ihram. Bagaimana
mungkin Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu menyukai perkara yang tidak
dilakukan Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam dalam satu shalat pun,
begitu pula para khalifah beliau dan para sahabat yang lain? Inilah
petunjuk dan jalan hidup mereka. Kalau ada seseorang yang bisa
menunjukkan kepada kita satu huruf saja dari mereka tentang perkara ini,
maka kita akan menerimanya dan menyambutnya dengan penuh ketundukan dan
penerimaan. Karena, tidak ada petunjuk yang lebih sempurna daripada
petunjuk mereka dan tidak ada sunnah kecuali yang diambil dari sang
pembawa syariat Shallallahu ‘alahi wa sallam. (Zaadul Ma’ad, 1/201)
Penegasan II
Berdasarkan
kesepakatan ulama, mengeraskan niat tidak wajib dan tidak disunnahkan,
bahkan yang mengeraskannya adalah ahli bid’ah dan menyelisihi syari’at.
Jika seseorang melakukan dengan meyakini bahwa sesungguhnya hal itu
bagian dari syari’at maka dia adalah bodoh dan sesat, berhak mendapatkan
pukulan yang keras. Jika tidak maka dihadapkan kepada hukuman jika dia
terus menerus diatas perbuatannya setelah mendapatkan penjelasan.
Terlebih lagi jika dia mengeraskan suara sampai mengganggu orang
disampingnya atau dia mengulang-ulang membacanya.
Tidak hanya satu orag dari kalangan para ulama yang telah menfatwakan hal ini, diantara mereka :
Al-Qadzi Abu Rabi’ bin Umar Asy Syafi’i berkata :
“Mengeraskan
niat dan membacanya dibelakang imam bukan bagian dari sunnah bahkan
dibenci. Jika perbuatan itu mengacaukan orang-orang yang shalat maka
hukumnya haram. Barangsiapa berkata bahwa mengeraskan niat adalah bagian
dari sunnah maka dia telah keliru. Tidak halal baginya dan yang lain
untuk berbicara tentang Allah tanpa ilmu”
Berkata Abu ‘Abdillah Muhammad bin al-Qasim at-Tunisy al-Maliky :
“Niat
adalah bagian dari amalan-amalan hati, maka mengeraskannya adalah
bid’ah. Disamping itu, mengeraskan niat itu mengganggu orang lain yang
berada disampingnya”
Asy Syaikh Alauddin bin al-‘Athar berkata :
“Mengeraskan
suara ketika niat sehingga mengganggu orang yang shalat adalah haram
berdasarkan kesepakatan para ulama. Dan jika tidak sampai mengganggu
orang lain maka itu sudah merupakan bid’ah yang jelek. Jika melakukannya
karena riya’, maka hal itu diharamkan dari dua sisi, salah satu dari
dosa besar. Orang yang mengingkari orang yang mengatakan bahwa perbuatan
itu bagian dari sunnah adalah benar dan yang membenarkannya adalah
salah. Dan yang menisbatkan perbuatan itu kepada agama Allah adalah
suatu keyakinan kufur. Wajib atas setiap mukmin untuk mencegah dan
melarangnya. Perbuatan tersebut tidaklah ternukil dari Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam, tidak pula dari seorangpun sahabatnya dan
tidak pula ternukil dari seorangpun ulama islam yang dijadikan teladan” (Majmu’ah ar Rasaail al Kubra : 1/254-257)
Demikian
juga tidak wajib melafadzkan niat dengan pelan menurut para imam empat
dan seluruh imam kaum muslimin. Tidak ada seorangpun yang mewajibkan
yang demikian itu, baik ketika mau bersuci atau shalat atau ketika mau
berpuasa. Abu dawud bertanya kepada
Imam Ahmad : “Apakah orang yang melakukan shalat membaca sesuatu sebelum
takbir?” Imam Ahmad menjawab : “Tidak” (Masaail Imam Ahmad : hal 31)
As Suyuti berkata :
“Sungguh pada diri Rasulullah ada suri tauladan yang baik untuk kalian…” (al Ahzab : 21)
Asy Syafi’i rahimahullah berkata :
“Was-was
(ragu) dalam menetapkan niat ketika shalat dan bersuci adalah bagian
dari kebodohan terhadap syari’at atau kelemahan akal” (Al amru bil ittibaa’ wan nahtu anil ibtidaa’ (lauhah 28/baa))
Melafadzkan
niat memiliki pengaruh yang buruk. Banyak engkau lihat orang yang
shalat dengan mengucapkan niat shalat yang sudah jelas dan terang,
kemudian ia takbir, tetapi ia menduga bahwa niatnya belum terjadi.
Ibnul Jauzy rahimahullah berkata :
“Diantara
pengaruh yang buruk dari was-was adalah mengacaukan meraka dalam niat
shalat. Sehingga sebagian mereka ada yang berkata : Saya akan melakukan
shalat seperti ini, kemudian ia mengulanginya lagi. Hal ini terjadi
karena ia menduga bahwa niatnya telah batal. Padahal niat itu tidak
batal, meskipun ia tidak meridhoi lafadz itu. Diantara mereka ada yang
bertakbir kemudian membatalkan, kemudian bertakbir kemudian membatalkan,
maka jiak imam telah ruku’, orang yang was-was itu bertakbir dan ruku’
bersamanya. Sungguh aneh! Siapa yang mendatangkan niat saat itu
(sehingga ia tidak was-was lagi)!? Yang demikian itu terjadi karena
iblis ingin agar dia tidak mendapatkan keutamaan. Diantara orang yang
ragu itu ada orang yang bersumpah dengan nama Allah : “Saya tidak
bertakbir kecuali sekali ini.” Sebagian mereka ada yang bersumpah dengan
nama Allah untuk mengeluarkan hartanya atau melakukan thalaq. Ini semua
adalah pengkaburan dari iblis. Sedangkan syari’at itu sangatlah
toleran, mudah dan selamat dari perkara-perkara yang membahayakan ini.
Dan sedikitpun amalan ini tidak berlaku pada diri Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabatnya.” (Talbis Iblis : 138)
Sebab
munculnya was-was adalah, sesungguhnya niat itu telah muncul dalam hati
orang yang was-was ini. Tetapi dia meyakini bahwa niat itu tidak ada
pada hatinya. Maka dia ingin mendapatkannya dengan lisan, yaitu
keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang mustahil. Abu ‘Abdillah az
Zubairy telah melakukan kesalahan terhadap perkataan imam asy Syafi’i
tatkala dia telah mengeluarkan satu sisi dari perkataan Imam tersebut.
Dengan sangkaan bahwa dia (Imam Syafi’i) itu telah mewajibkan pelafadzan
niat dalam shalat! Penyebab kesalahannya adalah jeleknya pemahaman az
zubairy terhadap perkataan imam asy syafi’i.
Ungkapan Asy Syafi’i teksnya adalah :
“Jika
seseorang telah meniatkan haji dan umroh, maka niatnya itu mencukupi
meskipun dia tidak melafadzkan (mengucapkan) nya. Sehingga tidak seperti
shalat yang tidak dianggap sah kecuali dengan mengucapkannya.”
An Nawawi rahimahullah berkata :
“Sahabat-sahabat
kami telah berkata : Kesalahan orang ini adalah bahwa yang dimaksudkan
oleh asy Syafi’i bukanlah mengucapkan niat itu dalam shalat, sebaliknya
yang dia maukan adalah takbir.” (Syaikh Bakr Abu Zaid – At Ta’lim : 100)
Ibnu Abul ‘Izzi al Hanafi rahimahullah berkata :
“Tidak
ada seorangpun dari Imam empat dan tidak juga asy syafi’i dan lainnya
yang mengatakan bahwa syarat dari niat itu dengan melafadzkan. Mereka
bersepakan bahwa niat itu tempatnya dalam hati. Kecuali sebagian orang
yang hidup dimasa akhir yang mewajibkan pengucapan niat dan dia telah
mengeluarkan satu sisi dalam madzhab Asy Syafi’i!” An Nawawi berkata :
“Dia telah salah. Dan itu telah didahului oleh kesepakatan (ijma’)
sebelumnya” (Al –Ittiba’ : 62)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :
“Beliau
Shallallahu’alaihi wa sallam jika berdiri hendak melakukan shalat,
beliau berkata Allahu Akbar dan sebelumnya tidak berkata sesuatu apapun
dan tidak melafadzkan niat. Beliau tidak
berkata : “Saya shalat seperti ini empat raka’at karena Allah dengan
menghadap kiblat sebagai imam atau makmum untuk…” dan beliau tidak
berkata : “Untuk memenuhi kewajiaban pada waktunya atau sebagai qadha.”
Ini adalah kumpulan bid’ah-bid’ah, dimana tidak ada seorangpun yang
menukil tentangnya meskipun hanya satu lafadz dengan sanad yang shahih
atau dha’if atau bersanad mursal. Bahkan tidak ada yang ternukil dari
seorang sahabatpun, tidak ada satupun dari kalangan tabi’in yang
menganggap baik perbuatan itu, tidak juga imam empat.
Hanya sebahagian orang muta’akhir tertipu oleh ucapan Asy Syafi’i di dalam shalat :
“Sesungguhnya hal itu tidaklah seperti puasa dan tidak ada satupun amalan yang masuk didalamnya kecuali dzikir.
Mereka menduga bahwa dzikir bagi orang yang shalat itu dengan
melafadzkan niat. Sesungguhnya maksud Asy Syafi’i dengan dzikir adalah
takbiratul ihram dan tidak ada yang lain kecuali itu. Bagaimana mungkin
asy Syafi’i mensunnahkan suatu perkara yang tidak dilakukan oleh Nabi
dalam satupun shalatnya. Dan tidak ada satupun dari kalangan khalifahnya
dan sahabat-sahabatnya yang melakukannya. Inilah petunjuk mereka dan
perjalanan hidup mereka. Jika ada orang yang memunculkan satu huruf dari
mereka (Rasulullah dan para sahabatnya) dalam perkara itu kepada kita,
maka kita terima. Karena tidak ada petunjuk yang lebih sempurna dari
petunjuk mereka (Rasulullah dan para sahabatnya) dan tidak ada sunnah
kecuali sesuatu yang telah mereka terima dari pemilik syari’at yaitu
Allah Subhanahu wa Ta’ala” (Zaadul Ma’ad (1/201))
Dari uraian yang lalu, dapat kami ringkas sebagai berikut :
Sesungguhnya
ketetapan para Ulama yang hidup dizaman dan tempat yang berbeda-beda
menunjukkan bahwa mengeraskan niat adalah bid’ah. Barangsiapa yang
berpendapat bahwa perkara itu adalah sunnah sungguh dia telah salah
dalam memahami perkataan Imam Asy Syafi’i dan terhadap dalil-dalil dari
sunnah nabawiyah tentang ini.
Dari Aisyah, dia berkata :
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam membuka shalatnya dengan takbir” (Muslim, nomer 498)
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’alhu dia berkata :
“Sesungguhnya
Rasulullah berkata kepada orang yang jelek shalatnya, tatkala orang itu
berkata : Ajarilah aku wahai Rasulullah. Maka beliau berkata kepadanya : “Jika
engkau berdiri melakukan shalat maka sempurnakanlah wudhu, kemudian
menghadaplah ke kiblat, lalu bertakbirlah, kemudian bacalah ayat al
Qur’an yang mudah bagi engkau”
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhu dia berkata :
“Saya meliahat Nabi memulai takbir dalam shalat, maka beliau mengangkat kedua tangannya” (Bukhari, nomer 738)
Nash-nash
seperti ini dan yang sepertinya banyak dari Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam dan yang menunjukkan bahwa pembukaan shalat
dengan takbir. Beliau shallallahu’alaihi wa sallam tidak mengucapkan
sesuatupun sebelumnya. Hal tersebut dikuatkan oleh ijma’ ulama bahwa
jika lisan menyelisihi hati, maka yang dianggap adalah yang didalam
hati. Dengan demikian apa faedahnya mengucapkan niat jika telah ada
ijma’ tentang tidak dianggapnya ucapan lisan yang menyelisihi sesuatu
yang telah kokoh dalam hati?!.
Hal
ini mengisyaratkan adanya kontradiksi pada orang yang berkata bahwa
wajibnya mengiringkan niat dengan takbir, dalam keadaa dia mensunnahkan
atau mewajibkan untuk melafadzkan niat. Oleh karena itu bagaimana
seseorang bisa mengucapkan niat ketika lisannya mengucapkan takbir? Ini
adalah perkara yang mustahil.
Ibnu Abil Izzi Al Hanafy berkata : Asy Syafi’i berkata :
“Dzikir lisan tidak bisa bersamaan dengan dzikir hati. Kebanyakan
manusia tidak mampu melakukannya berdasarkan pengakuan mereka. Jika ada
orang yang mendakwakan harusnya bersamaan antara dzikir hati dengan
lisan, maka dia telah mendakwakan sesuatu yang ditolak oleh akal sehat.
Yang demikian itu terjadi karena lisan merupakan penterjemah terhadap
sesuatu yang telah hadir di dalam hati. Sedangkan yang diterjemahkan
telah mendahului sampai selesai dari huruf-huruf tentang niat yang
dilafadzkan, bahwa tidak mungkin ada kebersamaan antara keduanya. Maka
bagaiman huruf-huruf yang diucapkan oleh lisan itu bisa bersamaan dengan
sesuatu yang telah terjadi sebelumnya?” (al Ittibaa’ halaman 61-62)
(Dikutip
dari buku : Koreksi atas kekeliruan ibadah shalat, alih bahasa :
Muhaimin bin Subaidi dan Hannan Husain Bahannan, Penerbit : Maktabah
Salafy Press
Penegasan III
Umar ibnul Khaththab radliallahu anhu berkata: Aku mendengar Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda :
"Amalan-amalan
itu hanyalah tergantung dengan niatnya. Dan setiap orang hanyalah
mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan. Maka siapa yang amalan
hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya itu karena Allah dan
Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin ia peroleh
atau karena wanita yang ingin ia nikahi maka hijrahnya itu kepada apa
yang dia tujukan/niatkan".Hadits
yang agung di atas diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullah dalam
beberapa tempat dari kitab shahihnya (hadits no. 1, 54, 2529, 3898,
5070, 6689, 6953) dan Imam Muslim rahimahullah dalam shahihnya (no.
1908).
Berkata
Al Imam Ibnu Rajab Al Hambali tentang hadits ini : "Yahya bin Said Al
Anshari bersendirian dalam meriwayatkan hadits ini dari Muhammad bin
Ibrahim At Taimi, dari `Alqamah bin Waqqash Al Laitsi, dari Umar ibnul
Khaththab radliallahu anhu. Dan tidak ada jalan lain yang shahih dari
hadits ini kecuali jalan ini. Demikian yang dikatakan oleh Ali ibnul
Madini dan selainnya”. Berkata Al Khaththabi : "Aku tidak mengetahui
adanya perselisihan di kalangan ahli hadits dalam hal ini sementara
hadits ini juga diriwayatkan dari shahabat Abu Said Al Khudri dan
selainnya”. Dan dikatakan: Hadits ini diriwayatkan dari jalan yang
banyak akan tetapi tidak ada satupun yang shahih dari jalan-jalan
tersebut di sisi para huffadz (para penghafal hadits).
Kemudian
setelah Yahya bin Said Al Anshari banyak sekali perawi yang
meriwayatkan darinya, sampai dikatakan : Telah meriwayatkan dari Yahya
Al Anshari lebih dari 200 perawi. Bahkan ada yang mengatakan jumlahnya
mencapai 700 rawi, yang terkenal dari mereka di antaranya Malik, Ats
Tsauri, Al Auza`i , Ibnul Mubarak, Al Laits bin Sa`ad, Hammad bin Zaid,
Syu`bah, Ibnu `Uyainah dan selainnya. .
Ulama
bersepakat menshahihkan hadits ini dan menerimanya dengan penerimaan
yang baik dan mantap. Imam Bukhari membuka kitab Shahihnya dengan hadits
ini dan menempatkannya seperti khutbah/mukaddimah bagi kitab beliau,
sebagai isyarat bahwasanya setiap amalan yang tidak ditujukan untuk
mendapatkan wajah Allah maka amalan itu batil, tidak akan diperoleh
buah/hasilnya di dunia terlebih lagi di akhirat. Karena itulah berkata
Abdurrahman bin Mahdi: "Seandainya aku membuat bab-bab dalam sebuah
kitab niscaya aku tempatkan pada setiap bab hadits Umar tentang amalan
itu dengan niatnya”. Beliau juga mengatakan: "Siapa yang ingin menulis
sebuah kitab maka hendaknya ia memulai dengan hadits innamal a'malu
binniyah. (Jam`iul `Ulum wal Hikam, karya Ibnu Rajab Al Hambali, hal.
59-60. Muassasah Ar Risalah, cet. Ke-4, th. 1413 H/1993 M)
Hadits
ini selain diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim juga diriwayatkan
oleh para imam yang lain. Dan komentar tentang hadits ini kami cukupkan
dari menukil ucapan Ibnu Rajab Al Hambali di atas karena padanya ada
kifayah (kecukupan).
Penjelasan Hadits
Dari hadits di atas kita pahami bahwasanya setiap orang akan memperoleh balasan amalan yang dia lakukan sesuai dengan niatnya.
Dalam hal ini telah berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah:
"Setiap
amalan yang dilakukan seseorang apakah berupa kebaikan ataupun
kejelekan tergantung dengan niatnya. Apabila ia tujukan dengan perbuatan
tersebut niatan/maksud yang baik maka ia mendapatkan kebaikan,
sebaliknya bila maksudnya jelek maka ia mendapatkan sesuai dengan apa
yang ia niatkan".
Beliau juga mengatakan:
"Hadits
ini mencakup di dalamnya seluruh amalan, yakni setiap amalan harus
disertai niat. Dan niat ini yang membedakan antara orang yang beramal
karena ingin mendapatkan ridla Allah dan pahala di negeri akhirat dengan
orang yang beramal karena ingin dunia apakah berupa harta, kemuliaan,
pujian, sanjungan, pengagungan dan selainnya". (Makarimul Akhlaq, hal 26 dan 27)
Di
sini kita bisa melihat arti pentingnya niat sebagai ruh amal, inti dan
sendinya. Amal menjadi benar karena niat yang benar dan sebaliknya amal
jadi rusak karena niat yang rusak. Dinukilkan dari sebagian salaf ucapan mereka yang bermakna:
"Siapa
yang senang untuk disempurnakan amalan yang dilakukannya maka hendaklah
ia membaikkan niatnya. Karena Allah ta`ala memberi pahala bagi seorang
hamba apabila baik niatnya sampaipun satu suapan yang dia berikan (akan
diberi pahala)".
Berkata Ibnul Mubarak rahimahullah:
"Berapa
banyak amalan yang sedikit bisa menjadi besar karena niat dan berapa
banyak amalan yang besar bisa bernilai kecil karena niatnya". (Jamiul Ulum wal Hikam, hal. 71)
Perlu
diketahui bahwasanya suatu perkara yang sifatnya mubah bisa diberi
pahala bagi pelakunya karena niat yang baik. Seperti orang yang makan
dan minum dan ia niatkan perbuatan tersebut dalam rangka membantunya
untuk taat kepada Allah dan bisa menegakkan ibadah kepada-Nya. Maka dia
akan diberi pahala karena niatnya yang baik tersebut.
Ibnul Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengatakan :
"Perkara
mubah pada diri orang-orang yang khusus dari kalangan muqarrabin
(mereka yang selalu berupaya mendekatkan diri kepada Allah) bisa berubah
menjadi ketaatan dan qurubat (perbuatan untuk mendekatkan diri kepada
Allah) karena niat". (Madarijus Salikin 1/107)
Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim (7/92) ketika menjelaskan hadits: Dan pada kemaluan salah seorang dari kalian (menggauli istri) ada sedekah. Beliau menyatakan:
"Dalam
hadits ini ada dalil yang menunjukkan bahwasanya perkara-perkara mubah
bisa menjadi amalan ketaatan dengan niat yang baik. Jima’ (bersetubuh)
dengan istri bisa bernilai ibadah apabila seseorang meniatkan untuk
menunaikan hak istri dan bergaul dengan cara yang baik terhadapnya
sesuai dengan apa yang Allah perintahkan, atau ia bertujuan untuk
mendapatkan anak yang shalih, atau untuk menjaga kehormatan dirinya atau
kehormatan istrinya dan untuk mencegah keduanya dari melihat perkara
yang haram, atau berfikir kepada perkara haram atau berkeinginan
melakukannya dan selainnya dari tujuan-tujuan yang tidak baik".(Syarh Muslim 3/44)
Seorang
hamba harus terus berupaya memperbaiki niatnya dan meluruskannya agar
apa yang dia lakukan dapat berbuah kebaikan. Dan perbaikan niat ini
perlu mujahadah (kesungguh-sungguhan dengan mencurahkan segala daya
upaya). Karena sulitnya meluruskan niat ini sampai-sampai Sufyan Ats
Tsauri rahimahullah berkata :
"Tidak
ada suatu perkara yang paling berat bagiku untuk aku obati daripada
meluruskan niatku, karena niat itu bisa berubah-ubah terhadapku". (Hilyatul Auliya 7/5 dan 62)
Dan
niat itu harus ditujukan semata untuk Allah, ikhlas karena mengharapkan
wajah-Nya yang Mulia. Ibadah tanpa keikhlasan niat maka tertolak
sebagaimana bila ibadah itu tidak mencocoki tuntunan Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam. Allah ta`ala berfirman tentang ikhlas dalam
ibadah ini :
Dan tidaklah mereka diperintah kecuali untuk beribadah kepada Allah dalam keadaan mengikhlaskan agama bagi-Nya. (Al Bayyinah : 5)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Majmu` Fatawa (10/49) :
"Mengikhlaskan
agama untuk Allah adalah pokok ajaran agama ini yang Allah tidak
menerima selainnya. Dengan ajaran agama inilah Allah mengutus rasul yang
pertama sampai rasul yang akhir, yang karenanya Allah menurunkan
seluruh kitab. Ikhlas dalam agama merupakan perkara yang disepakati oleh
para imam ahlul iman. Dan ia merupakan inti dari dakwah para nabi dan
poros Al Qur'an".
Yang
perlu diingat bahwasanya niat itu tempatnya di hati sehingga tidak
boleh dilafazkan dengan lisan. Bahkan termasuk perbuatan bid``ah bila
niat itu dilafazkan.
Pelajaran Yang Dipetik dari Hadits Ini
1. Niat itu termasuk bagian dari iman karena niat termasuk amalan hati.
2.
Wajib bagi seorang muslim mengetahui hukum suatu amalan sebelum ia
melakukan amalan tersebut, apakah amalan itu disyariatkan atau tidak,
apakah hukumnya wajib atau sunnah. Karena di dalam hadits ditunjukkan
bahwasanya amalan itu bisa tertolak apabila luput darinya niatan yang
disyariatkan.
3.
Disyaratkannya niat dalam amalan-amalan ketaatan dan harus dita`yin
(ditentukan) yakni bila seseorang ingin shalat maka ia harus menentukan
dalam niatnya shalat apa yang akan ia kerjakan apakah shalat sunnah atau
shalat wajib, dhuhur, atau ashar, dst. Bila ingin puasa maka ia harus
menentukan apakah puasanya itu puasa sunnah, puasa qadha atau yang
lainnya.
4. Amal tergantung dari niat, tentang sah tidaknya, sempurna atau kurangnya, taat atau maksiat.
5.
Seseorang mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan namun perlu
diingat niat yang baik tidaklah merubah perkara mungkar (kejelekan) itu
menjadi ma'ruf (kebaikan), dan tidak menjadikan yang bid`ah menjadi
sunnah.
6.
Wajibnya berhati-hati dari riya, sum`ah (beramal karena ingin didengar
orang lain) dan tujuan dunia yang lainnya karena perkara tersebut
merusakkan ibadah kepada Allah ta`ala.
7.
Hijrah (berpindah) dari negeri kafir ke negeri Islam memiliki keutamaan
yang besar dan merupakan ibadah bila diniatkan karena Allah dan
Rasul-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar