Rabu, 05 Juni 2013

Historisitas Haji dan Qurban

Membumikan Spritualitas Haji Dan Qurban

Muqaddimah
Setiap kali musim haji tiba, pembicaraan kita pun selalu berulang dalam tema yang itu-itu juga, kuota jemaah haji yang perlu ditambah, pembatasan perjalanan haji bagi yang pernah naik haji lebih dari sekali, sistem pembagian konsumsi bagi jemaah haji Indonesia di Arab Saudi, atau ketidakseriusan pemerintahan Bani Sa’ud dalam menjamin keamanan dan kenyamanan beribadah haji dan lain-lain. Lalu menjelang hari raya qurban atau Idul Adha  kita pun (lagi-lagi) beramai-ramai membicarakan harga kambing dan sapi yang kian melangit, atau bahwa menyembelih sapi lebih bernilai ekonomis (dan sosial) ketimbang menyembelih kambing, karena kambing bisa dibeli secara patungan dan para pemakan daging sapi lebih banyak jumlahnya daripada pemakan daging kambing.


Tentu tidak ada yang salah dengan tema-tema pembicaraan itu. Bahkan semakin menunjukkan bahwa gairah keagamaan masyarakat kita tidak pernah meredup, pun semangat kita untuk selalu berbagi dengan orang-orang yang tidak mampu (melalui qurban) tidak pernah berkurang. Namun, terkadang kita lupa bahwa di balik perintah untuk beribadah haji atau berqurban itu, sesungguhnya tersirat pesan yang lebih bersifat personal-spiritual, ketimbang sekedar ritual, yakni perintah untuk selalu membangkitkan kesadaran diri bahwa segala sesuatu yang kita miliki di atas jagat raya ini (kekayaan ataupun jabatan) hakikatnya hanyalah titipan Tuhan, yang pada saatnya nanti akan dikembalikan kepada-Nya, atau diminta lagi oleh-Nya.

Hari Raya Idul Adha dirayakan kaum muslimin setiap bulan Dzulhijjah (kalender hijriah). Pada perayaan itu, di Mekkah sedang berlangsung ibadah haji yang diikuti oleh jutaan kaum muslimin dari segala penjuru dunia, dan dilaksanakan pemotongan hewan qurban yang dagingnya dibagi-bagikan kepada yang paling membutuhkan.

Ta’rif Ma’na Idul Qurban 

Secara etimologis, ‘id berarti suka cita yang terus berulang. Di samping itu, ‘id juga berasal dari kata ‘ada yang artinya kembali. Sedangkan adha, berasal dari kata udhiyah yang berarti korban. Sehingga Idul Adha juga biasa disebut dengan Idul Qurban. Qurban berasal dari bahasa Arab qaraba yang artinya dekat. Antara kata qurban, yang berarti mendekat, dan adha yang berarti qurban, sesungguhnya merupakan dua makna yang dapat dipertemukan, yaitu untuk dapat mendekat kepada Allah diperlukan sebuah pengorbanan.[1]

Maksud qurban dalam Islam adalah melaksanakan penyembelihan binatang ternak demi memenuhi perintah Allah dan menuju takwa. Sehubungan dengan ini Al-Ghazali mengatakan:  “Ketahuilah, bahwa qurban itu adalah suatu pendekatan diri kepada Allah swt. Maka sempurnakanlah pemberian itu, dan berharaplah agar Allah membebaskan kamu dari setiap bagian api neraka dengan setiap bagian dari qurban itu. Oleh karena itu, setiap kali pemberian itu lebih besar, dan bagian-bagian itu banyak, maka penebusan dirimu dari api nerakapun akan lebih banyak pula.

Maka di dalam melaksanakan penyembelihan binatang ternak mengandung nilai pendidikan dari Allah swt dan langsung dapat dikaji oleh manusia itu sendiri. Sebagian manfaat yang dapat dilihat adalah: memberi contoh sifat dermawan; memberi kesempatan kepada fakir miskin untuk sepuas-puasnya memakan daging sembelihan; mendorong orang untuk berbuat sosial; memberikan bantuan gizi dan protein kepada orang yang lemah yang berhak menerima; melatih kehidupan memupuk rasa hidup bersama antara si kaya  dan para fakir miskin; menanamkan rasa kasih sayang dan belas kasihan terhadap sesama hidup di bumi Allah; menanamkan sambung rasa  dan tenggang rasa, menanamkan tali persaudaraan terhadap sesama muslim, menciptakan kedamaian yang langgeng.

Ibadah haji yang serangkai dengan idul adha dan pemotongan hewan qurban adalah termasuk rukun Islam yang kelima. Sebagian ulama mengatakan bahwa melaksanakan ibadah qurban adalah wajib bagi tiap-tiap muslim yang mampu. Hal itu berdasarkan surat al-Kautsar ayat: 2 berikut:

  فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (٢)

Artinya: “Maka dirikanlah karena Tuhanmu dan berqurbanlah” (Q.S. al-Kautsar [108]: 2). 

Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa ibadah qurban adalah sunnah mu’akkad, yaitu amalan sunah yang sangat dianjurkan.[2] Artinya derajat sunahnya lebih tinggi dari sunnah biasa. Hal itu berdasarkan peringatan halus dari Rasulullah berikut:

من وجد سعة فلم يضحِّ فلا يقربن مصلانا. رواه إبن ماجه عن إبى هريرة

Artinya: “Barang siapa yang mempunyai kelapangan (mampu) untuk berqurban, tetapi tidak melaksanakannya, maka jangan dia dekat-dekat dengan tempat shalat kami (mushalla) (H.R. Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

Di samping landasan tersebut, ibadah qurban juga merupakan napak tilas pengalaman ruhani Nabi Ibrahim bersama putranya Ismail a.s. Haji merupakan ciri khas ajaran Islam, merupakan identitas Islam. Tapi tahukah kita bahwa perayaan dan ibadah tersebut sesungguhnya adalah napak tilas pengalaman spiritual Ibrahim a.s. dan keluarganya? Sebegitu tinggi kedudukan Ibrahim (ejaan barat: Abraham) dalam ajaran Islam. Dengan demikian, perayaan Idul Adha, ibadah Qurban, bahkan ibadah haji sekalipun, rasanya tidak lengkap jika tidak mengulas kembali tokoh Ibrahim, beliau adalah nenek moyang Muhammad s.a.w., sekaligus pula nenek moyang Musa (Moses) dan Isa Al Masih (ejaan latin: Yesus). Semasa hidup, Ibrahim memiliki dua istri. Dari istri bernama Hajar (berdarah afrika), berputra Ismail (Ishma El artinya ‘Tuhan telah mendengar’). Dari istri bernama Sarah (berdarah Babylon; Babylon kemudian bernama Persia kemudian sekarang menjadi negara Irak dan Iran) berputra Ishak. Memahami siapa sebenarnya tokoh Ibrahim secara lebih dekat adalah penting, mengingat Ibrahim dipandang sebagai nenek moyang agama-agama monotheistic, Islam, Yahudi dan Nasrani,[3] Ismail dan Ibunda Hajar tinggal di Mekkah, sedangkan Ishak dan Ibunda Sarah tinggal di Kanaan (Palestina). Dari Ismail, lahirlah anak-cucunya yang bernama Muhammad (menjadi Rasul pada usia 40 tahun). Dari Ishak lahirlah Ya’qub as. Ya’qub kemudian menjadi Rasul. Nabi Ya’qub mendapat julukan Israel (Ishra El artinya ‘Hamba Allah’, sama artinya dengan Abdullah). Nabi Ya’qub memiliki 12 anak yang kemudian menjadi 12 suku Bani Israel. Dari Bani Israel ini lahirlah Nabi Yusuf, Ayyub, Zulkifli, Musa, Harun, Daud, Sulaiman, Zakaria, Yahya, dan Isa putra Maryam. Nabi Muhammad Saw mengajarkan Islam, Bani Israil mengajarkan agama Yahudi, dan dari Isa putra Maryam lahirlah ajaran Kristen.[4]

Jadi jelaslah, Ibrahim tidak beragama Islam, tidak beragama Yahudi, tidak pula beragama Kristen, karena semua agama-agama itu lahir dari anak cucunya. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa agama Ibrahim adalah ‘agama Jalan Lurus’ atau agama ‘penyerahan diri kepada Tuhan’ atau ‘agama keesaan’. al-Qur’an menerangkan bahwa Islam adalah agama penyempurna dari agama-agama para nabi sebelumnya, terutama agama Ibrahim a.s.[5]

Historisitas Haji dan Qurban

Dari literatur diketahui bahwa bangunan ibadat yang pertama kali dibangun oleh manusia tepat berada di posisi Ka’bah (Ka’bah berarti juga Kubik).[6] Ibrahim dan Ismail membangun kembali (memugar) bangunan ibadat yang ada, dan karena bentuknya berupa kubus, kemudian dinamai Ka’bah. Ritual Ibrahim dan Ismail di Ka’bah adalah prototipe dari ritual haji sekarang. Adapun rangkaian ritual haji yang lain, yaitu pelemparan batu (Jumrah), qurban, dan sa’i (berlari dari bukit Safa ke Marwah bolak-balik) bermula dari kisah berikut ini:

Ketika Ismail masih bayi, Ibrahim mendapat perintah dari Allah S.W.T. (Tuhan Semesta Alam) untuk membawa dan meninggalkan Ismail beserta Ibunda Hajar berduaan saja disebuah padang pasir yang tandus bernama lembah Bakkah (kemudian bernama Mekkah). Sepeninggal Ibrahim, Ismail yang masih bayi menangis kehausan. Bunda Hajar panik, berlari-lari hingga ke bukit Safa dan Marwah bolak-balik mencari mata air. Namun, tak jua menemukan mata air. Sambil terus berdoa kepada Allah, Bunda Hajar tak henti berikhtiar mencari air. Ketika kembali ke lembah Bakkah, didapatinya mata air baru yang semakin lama semakin deras sehingga menjadi sebuah kolam (kini bermana sumur Zamzam). Perjuangan Hajar mencari mata air adalah simbol perjuangan sosok Ibu menghidupi anaknya. Sekaligus pula mengandung pelajaran bahwa tidak semestinya kaum yang beriman berputus asa dari Rahmat Allah S.W.T.

Pemahaman dan praktek qurban di kalangan manusia sesungguhnya telah ada sejak zaman Nabi Adam a.s. yaitu sejak Qabil dan Habil masing-masing mengorbankan hewan piaraannya.[7] Di zaman Nabi Ibrahim a.s. dan masa-masa sebelumnya, manusia sering dijadikan qurban/sesajen untuk dipersembahkan kepada para dewa/tuhan-tuhan mereka, di Kana’an (daerah Palestina Selatan) bayi-bayi diqurbankan untuk dipersembahkan kepada dewa Baal. Orang-orang Aztec di Meksiko mengorbankan manusia untuk diambil jantung dan darahnya, kemudian dipersembahkan kepada Dewa Matahari, di Mesir, pada waktu-waktu tertentu, gadis tercantik diqurbankan untuk dipersembahkan kepada dewi Sungai Nil. Orang-orang Viking yang dulunya bermukim di Eropa Utara, mengorbankan pemuka-pemuka agama mereka kepada dewa perang bernama “Odin”.[8]

Ketika Ismail memasuki usia remaja, Ibrahim mendapat perintah dari Allah untuk menjadikan Ismail qurban (tumbal persembahan kepada Allah S.W.T). Perintah Allah ini untuk menguji Ibrahim, apakah lebih mencintai Allah atau anaknya. Sebelum sampai pada waktu yang ditentukan, Ibrahim memberitahukan perihal perintah Allah tersebut kepada Ismail. Ismail menjawab kurang lebih, ‘Insya Allah, Ayahanda akan mensdapati saya termasuk orang-orang yang sabar’. Dialog antara dua insan yang sangat shalih ini diabadikan Allah dalam al-Qur’an:

 فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّى أَرَى فِى اْلمَنَامِ أَنِّى أَذْبَحُكَ فَانْذُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِى افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِى إِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصَّابِرِيْنَ (١٠٢)

Artinya: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar“. (Q.S.[]:).

Namun, ketika hari yang ditetapkan tiba, Syetan menggoda Ismail dan Hajar agar bergeming hatinya dan membatalkan rencana qurban tersebut. Ismail dan Hajar tak mampu digoda, malah melakukan perlawanan dengan melempari Syetan dengan batu. Singkat kata, ketika Ibrahim dan Ismail betul-betul akan melakukan perintah Allah, tiba-tiba Allah mengganti qurban Ismail dengan seekor domba. Penggantian qurban manusia dengan domba oleh Allah S.W.T. amat disyukuri Ibrahim sekeluarga. Kemudian selanjutnya, sebagai rasa syukur, setiap tahun menjadi tradisi qurban domba di kalangan keluarga Ibrahim, yang dilanjutkan oleh anak keturunannya hingga jaman Rasulullah Muhammad s.a.w. Ketika Muhammad s.a.w. menjadi rasul, ditetapkan tradisi qurban menjadi Hari Raya kaum muslimin.

Siapapun yang sedang dan pernah menjalankan Ibadah Hajji tentu mengucapkan kalimat talbiyyah, karenaa memang hal itu diajarkan oleh Rasulullah s.a.w. Dalam kalimat-kalimat talbiyah, yang selalu dikumandangkan para jemaah haji di Tanah Suci, proses penyadaran diri itu begitu terasa:

لبيك اللهم لبيك, لبيك لا شريك لك لبيك, إنّ الحمد و نعمة لك و الملك لا شريك لك

Ya Tuhan kami, kami datang menghampiri-Mu, memenuhi panggilan-Mu, untuk mengembalikan segala puji, kenikmatan dan kekuasaan, yang sesungguhnya hanyalah milk-Mu. Tak ada sekutu bagi-Mu.”

Kalau saja kalimat-kalimat talbiyah itu dihayati secara mendalam oleh setiap musim di negeri ini (yang sudah beribadah haji maupun belum) maka idealnya, penyalahgunaan jabatan dan wewenang akan berkurang, dan praktik korupsi berangsur sirna di republik ini, karena munculnya kesadaran massal bahwa jabatan dan kekayaan tersebut hanya milik-Nya. Bukan milik kita. Nilai ibadah haji yang sesungguhnya bukan terletak pada perjalanannya, bukan hanya pada thawafnya, sya’inya, wukufnya, atau pelemparan batu di jumratul aqaba dan menginap di Mina. Namun pada kepasrahan total memberikan seluruh diri dan hidup kita kepada Tuhan, walaupun hanya sesaat, karena semua yang kita miliki, termasuk diri ini, hakikatnya adalah milik-Nya.
Proses penyadaran diri itu, juga terkandung dalam perintah melaksanakan ibadah qurban. Ketika Tuhan memerintahkan Ibrahim menyembelih Ismail (Ishaq, dalam Kitab Perjanjian Lama), sebenarnya Tuhan hanya sekadar ingin mengingatkan manusia (yang diwakili oleh Ibrahim) bahwa harta yang paling berharga sekalipun (yang disimbolisasikan oleh Ismail) jika sudah waktunya diminta kembali oleh pemiliknya, harus dikembalikan dengan keikhlasan total.

Ismail, adalah milik Tuhan yang dititipkan pada Ibrahim. Dan, Ibrahim ikhlas mengembalikan Ismail, ketika Sang Khalik memintanya. Sehingga Sang Pencipta Yang Maha Bijaksana itu pun, mengganti Ismail yang akan disembelih itu dengan seekor kambing, dan Ismail pun tetap hidup bersama sang ayah. Bagi Tuhan, bukan penyembelihan Ismail yang jadi tujuan, tapi kesadaran Ibrahim bahwa Ismail, tak lebih hanya titipan-Nya.
Begitu pula dengan milik orang lain yang secara sadar ataupun tak sadar kita ambil. Bila kita ingin kembali kepada fitrah (kesucian), kita harus mengembalikannya kepada yang berhak. Harta hasil korupsi misalnya. Tak sedikit koruptor yang dengan maksud membersihkan diri dan namanya, ia berqurban dengan menyembelih beberapa ekor sapi, padahal nilai harta yang telah dikorupnya senilai dengan puluhan ribu ekor sapi. Tujuan membersihkan diri tidak akan tercapai sebelum seluruh harta milik rakyat yang telah dirampoknya itu dikembalikan kepada yang berhak. Di situlah nilai ibadah qurban yang sesungguhnya, bukan pada peristiwa penyembelihan hewan.

Setiap tahun, ratusan ribu jemaah haji dari Indonesia diberangkatkan menuju Haramain (Mekah dan Medinah). Jika dihitung sejak Indonesia merdeka, maka sudah jutaan (atau mungkin puluhan juta) muslim Indonesia bergelar haji. Pun, sudah jutaan ekor sapi dan kambing diqurbankan. Jika makna yang terkandung dalam perintah ibadah haji dan qurban itu dihayati secara holistik, bukan mustahil negeri ini betul-betul menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negeri yang sentausa dan selalu berada dalam ampunan Tuhan).

Tetapi semua itu masih berada dalam lingkup andaikan dan jikalau. Tahun depan dan tahun depannya lagi, kita akan kembali berbondong-bondong berangkat ke Tanah Suci, dan beramai-ramai lagi menyembelih sapi, kambing dan kerbau. Lagi-lagi kita akan lupa pada pesan tersirat di balik perintah ibadah haji dan qurban yang lebih personal-spiritual, karena kita lebih suka dengan ritual. Satu hal yang jauh lebih penting dari ritual haji dan qurban ini, adalah harta yang halal. Daging qurban itu halal dzatnya, namun belum tentu thoyyib (baik) memperolehnya. Kita tahu, kita hidup di negara yang kita amini sendiri, korupsi masih menjadi budaya struktural dan sosial. Maka, mungkin sekali (dan hampir pasti) terdapat birokrat yang bersedekah hewan qurban dengan harta korupsi. Di kota-kota besar, qurban semarak, namun di situlah akar korupsi terus tumbuh. Bila demikian, haji dan qurban semata parade yang semu bagi pelakunya. Manusia yang masih terjebak sebagai pemuja harta jauh dari pemahaman nurani Ismail a.s. 

Wa Allâh A’lam bi al-Shawwâb.


MARÂJI’
Maulana Muhammad Ali. Islamologi (Dinul Islam). 1977. Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah.
Aunur Rahim Faqih. Hukum Ibadah Qurban dan Hikmahnya. April 1998. Al Islamiyah, Media LPPAI Universitas Islam Indonesia. Nomor 3 Tahun VI
Nurcholish Madjid. Masyarakat Religius. 1997. Jakarta: Paramadina.
Nurcholish Madjid. Pintu-Pintu Menuju Tuhan. 1994. Jakarta: Paramadina.
Salim Bahreisy. Sejarah Hidup Nabi-Nabi. 1999. Surabaya: PT Bina Ilmu. cetakan V.
Quraish Shihab. Haji. dalam, Budhy Munawar Rahman (Ed.). Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. 1995. Jakarta: Paramadina.

* Penulis adalah Ka.Div PPK-DPPAI
[1] Maulana Muhammad Ali, Islamologi (Dinul Islam), Darul Kutubil Islamiyah, Jakarta, 1977, hlm. 510
[2] Aunur Rahim Faqih, “Hukum Ibadah Qurban dan Hikmahnya” Al Islamiyah, Media LPPAI Universitas Islam Indonesia, Nomor 3 Tahun VI April 1998, hlm. 13

[3] Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, Paramadina, Jakarta, 1997, hlm. 55
[4] Ibid.
[5]  Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Paramadina, Jakarta, 1994, hlm. 50
[6] Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, Op Cit, hlm. 50 – 51


[7] Salim Bahreisy, “Sejarah Hidup Nabi-Nabi”, pt Bina Ilmu Surabaya, 1999, cetakan V, hal. 18-19
[8] Quraish Shihab, “Haji”, dalam, Budhy Munawar Rahman (Ed.) Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Paramadina, Jakarta, 1995, hlm. 443

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution