Membumikan Spritualitas Haji Dan Qurban
Muqaddimah
Setiap kali musim haji tiba, pembicaraan
kita pun selalu berulang dalam tema yang itu-itu juga, kuota jemaah
haji yang perlu ditambah, pembatasan perjalanan haji bagi yang pernah
naik haji lebih dari sekali, sistem pembagian konsumsi bagi jemaah haji
Indonesia di Arab Saudi, atau ketidakseriusan pemerintahan Bani Sa’ud
dalam menjamin keamanan dan kenyamanan beribadah haji dan lain-lain.
Lalu menjelang hari raya qurban atau Idul Adha kita pun (lagi-lagi)
beramai-ramai membicarakan harga kambing dan sapi yang kian melangit,
atau bahwa menyembelih sapi lebih bernilai ekonomis (dan sosial)
ketimbang menyembelih kambing, karena kambing bisa dibeli secara
patungan dan para pemakan daging sapi lebih banyak jumlahnya daripada
pemakan daging kambing.
Tentu tidak ada yang salah dengan
tema-tema pembicaraan itu. Bahkan semakin menunjukkan bahwa gairah
keagamaan masyarakat kita tidak pernah meredup, pun semangat kita untuk
selalu berbagi dengan orang-orang yang tidak mampu (melalui qurban)
tidak pernah berkurang. Namun, terkadang kita lupa bahwa di balik
perintah untuk beribadah haji atau berqurban itu, sesungguhnya tersirat
pesan yang lebih bersifat personal-spiritual, ketimbang sekedar ritual,
yakni perintah untuk selalu membangkitkan kesadaran diri bahwa segala
sesuatu yang kita miliki di atas jagat raya ini (kekayaan ataupun
jabatan) hakikatnya hanyalah titipan Tuhan, yang pada saatnya nanti akan
dikembalikan kepada-Nya, atau diminta lagi oleh-Nya.
Hari Raya Idul Adha dirayakan kaum
muslimin setiap bulan Dzulhijjah (kalender hijriah). Pada perayaan itu,
di Mekkah sedang berlangsung ibadah haji yang diikuti oleh jutaan kaum
muslimin dari segala penjuru dunia, dan dilaksanakan pemotongan hewan
qurban yang dagingnya dibagi-bagikan kepada yang paling membutuhkan.
Ta’rif Ma’na Idul Qurban
Secara etimologis, ‘id berarti suka cita yang terus berulang. Di samping itu, ‘id juga berasal dari kata ‘ada yang artinya kembali. Sedangkan adha, berasal dari kata udhiyah yang berarti korban. Sehingga Idul Adha juga biasa disebut dengan Idul Qurban. Qurban berasal dari bahasa Arab qaraba yang artinya dekat. Antara kata qurban, yang berarti mendekat, dan adha yang berarti qurban, sesungguhnya merupakan dua makna yang dapat dipertemukan, yaitu untuk dapat mendekat kepada Allah diperlukan sebuah pengorbanan.[1]
Maksud qurban dalam Islam
adalah melaksanakan penyembelihan binatang ternak demi memenuhi perintah
Allah dan menuju takwa. Sehubungan dengan ini Al-Ghazali mengatakan:
“Ketahuilah, bahwa qurban itu adalah suatu pendekatan diri
kepada Allah swt. Maka sempurnakanlah pemberian itu, dan berharaplah
agar Allah membebaskan kamu dari setiap bagian api neraka dengan setiap
bagian dari qurban itu. Oleh karena itu, setiap kali pemberian
itu lebih besar, dan bagian-bagian itu banyak, maka penebusan dirimu
dari api nerakapun akan lebih banyak pula.
Maka di dalam melaksanakan penyembelihan
binatang ternak mengandung nilai pendidikan dari Allah swt dan langsung
dapat dikaji oleh manusia itu sendiri. Sebagian manfaat yang dapat
dilihat adalah: memberi contoh sifat dermawan; memberi kesempatan kepada
fakir miskin untuk sepuas-puasnya memakan daging sembelihan; mendorong
orang untuk berbuat sosial; memberikan bantuan gizi dan protein kepada
orang yang lemah yang berhak menerima; melatih kehidupan memupuk rasa
hidup bersama antara si kaya dan para fakir miskin; menanamkan rasa
kasih sayang dan belas kasihan terhadap sesama hidup di bumi Allah;
menanamkan sambung rasa dan tenggang rasa, menanamkan tali persaudaraan
terhadap sesama muslim, menciptakan kedamaian yang langgeng.
Ibadah haji yang serangkai dengan idul
adha dan pemotongan hewan qurban adalah termasuk rukun Islam yang
kelima. Sebagian ulama mengatakan bahwa melaksanakan ibadah qurban
adalah wajib bagi tiap-tiap muslim yang mampu. Hal itu berdasarkan surat
al-Kautsar ayat: 2 berikut:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (٢)
Artinya: “Maka dirikanlah karena Tuhanmu dan berqurbanlah”
(Q.S. al-Kautsar [108]: 2).
Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa
ibadah qurban adalah sunnah mu’akkad, yaitu amalan sunah yang sangat
dianjurkan.[2] Artinya derajat sunahnya lebih tinggi dari sunnah biasa. Hal itu berdasarkan peringatan halus dari Rasulullah berikut:
من وجد سعة فلم يضحِّ فلا يقربن مصلانا. رواه إبن ماجه عن إبى هريرة
Artinya: “Barang siapa yang
mempunyai kelapangan (mampu) untuk berqurban, tetapi tidak
melaksanakannya, maka jangan dia dekat-dekat dengan tempat shalat kami
(mushalla) (H.R. Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Di samping landasan tersebut, ibadah
qurban juga merupakan napak tilas pengalaman ruhani Nabi Ibrahim bersama
putranya Ismail a.s. Haji merupakan ciri khas ajaran Islam, merupakan
identitas Islam. Tapi tahukah kita bahwa perayaan dan ibadah tersebut
sesungguhnya adalah napak tilas pengalaman spiritual Ibrahim a.s. dan
keluarganya? Sebegitu tinggi kedudukan Ibrahim (ejaan barat: Abraham)
dalam ajaran Islam. Dengan demikian, perayaan Idul Adha, ibadah Qurban,
bahkan ibadah haji sekalipun, rasanya tidak lengkap jika tidak mengulas
kembali tokoh Ibrahim, beliau adalah nenek moyang Muhammad s.a.w.,
sekaligus pula nenek moyang Musa (Moses) dan Isa Al Masih (ejaan latin:
Yesus). Semasa hidup, Ibrahim memiliki dua istri. Dari istri bernama
Hajar (berdarah afrika), berputra Ismail (Ishma El artinya ‘Tuhan telah
mendengar’). Dari istri bernama Sarah (berdarah Babylon; Babylon
kemudian bernama Persia kemudian sekarang menjadi negara Irak dan Iran)
berputra Ishak. Memahami siapa sebenarnya tokoh Ibrahim secara lebih
dekat adalah penting, mengingat Ibrahim dipandang sebagai nenek moyang
agama-agama monotheistic, Islam, Yahudi dan Nasrani,[3]
Ismail dan Ibunda Hajar tinggal di Mekkah, sedangkan Ishak dan Ibunda
Sarah tinggal di Kanaan (Palestina). Dari Ismail, lahirlah anak-cucunya
yang bernama Muhammad (menjadi Rasul pada usia 40 tahun). Dari Ishak
lahirlah Ya’qub as. Ya’qub kemudian menjadi Rasul. Nabi Ya’qub mendapat
julukan Israel (Ishra El artinya ‘Hamba Allah’, sama artinya dengan
Abdullah). Nabi Ya’qub memiliki 12 anak yang kemudian menjadi 12 suku
Bani Israel. Dari Bani Israel ini lahirlah Nabi Yusuf, Ayyub, Zulkifli,
Musa, Harun, Daud, Sulaiman, Zakaria, Yahya, dan Isa putra Maryam. Nabi
Muhammad Saw mengajarkan Islam, Bani Israil mengajarkan agama Yahudi,
dan dari Isa putra Maryam lahirlah ajaran Kristen.[4]
Jadi jelaslah, Ibrahim tidak beragama
Islam, tidak beragama Yahudi, tidak pula beragama Kristen, karena semua
agama-agama itu lahir dari anak cucunya. Dalam al-Qur’an disebutkan
bahwa agama Ibrahim adalah ‘agama Jalan Lurus’ atau agama ‘penyerahan
diri kepada Tuhan’ atau ‘agama keesaan’. al-Qur’an menerangkan bahwa
Islam adalah agama penyempurna dari agama-agama para nabi sebelumnya,
terutama agama Ibrahim a.s.[5]
Historisitas Haji dan Qurban
Dari literatur diketahui bahwa bangunan
ibadat yang pertama kali dibangun oleh manusia tepat berada di posisi
Ka’bah (Ka’bah berarti juga Kubik).[6]
Ibrahim dan Ismail membangun kembali (memugar) bangunan ibadat yang
ada, dan karena bentuknya berupa kubus, kemudian dinamai Ka’bah. Ritual
Ibrahim dan Ismail di Ka’bah adalah prototipe dari ritual haji sekarang.
Adapun rangkaian ritual haji yang lain, yaitu pelemparan batu (Jumrah),
qurban, dan sa’i (berlari dari bukit Safa ke Marwah bolak-balik)
bermula dari kisah berikut ini:
Ketika Ismail masih bayi, Ibrahim
mendapat perintah dari Allah S.W.T. (Tuhan Semesta Alam) untuk membawa
dan meninggalkan Ismail beserta Ibunda Hajar berduaan saja disebuah
padang pasir yang tandus bernama lembah Bakkah (kemudian bernama
Mekkah). Sepeninggal Ibrahim, Ismail yang masih bayi menangis kehausan.
Bunda Hajar panik, berlari-lari hingga ke bukit Safa dan Marwah
bolak-balik mencari mata air. Namun, tak jua menemukan mata air. Sambil
terus berdoa kepada Allah, Bunda Hajar tak henti berikhtiar mencari air.
Ketika kembali ke lembah Bakkah, didapatinya mata air baru yang semakin
lama semakin deras sehingga menjadi sebuah kolam (kini bermana sumur
Zamzam). Perjuangan Hajar mencari mata air adalah simbol perjuangan
sosok Ibu menghidupi anaknya. Sekaligus pula mengandung pelajaran bahwa
tidak semestinya kaum yang beriman berputus asa dari Rahmat Allah S.W.T.
Pemahaman dan praktek qurban di kalangan
manusia sesungguhnya telah ada sejak zaman Nabi Adam a.s. yaitu sejak
Qabil dan Habil masing-masing mengorbankan hewan piaraannya.[7]
Di zaman Nabi Ibrahim a.s. dan masa-masa sebelumnya, manusia sering
dijadikan qurban/sesajen untuk dipersembahkan kepada para
dewa/tuhan-tuhan mereka, di Kana’an (daerah Palestina Selatan) bayi-bayi
diqurbankan untuk dipersembahkan kepada dewa Baal. Orang-orang Aztec di
Meksiko mengorbankan manusia untuk diambil jantung dan darahnya,
kemudian dipersembahkan kepada Dewa Matahari, di Mesir, pada waktu-waktu
tertentu, gadis tercantik diqurbankan untuk dipersembahkan kepada dewi
Sungai Nil. Orang-orang Viking yang dulunya bermukim di Eropa Utara,
mengorbankan pemuka-pemuka agama mereka kepada dewa perang bernama
“Odin”.[8]
Ketika Ismail memasuki usia remaja,
Ibrahim mendapat perintah dari Allah untuk menjadikan Ismail qurban
(tumbal persembahan kepada Allah S.W.T). Perintah Allah ini untuk
menguji Ibrahim, apakah lebih mencintai Allah atau anaknya. Sebelum
sampai pada waktu yang ditentukan, Ibrahim memberitahukan perihal
perintah Allah tersebut kepada Ismail. Ismail menjawab kurang lebih,
‘Insya Allah, Ayahanda akan mensdapati saya termasuk orang-orang yang
sabar’. Dialog antara dua insan yang sangat shalih ini diabadikan Allah
dalam al-Qur’an:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ
السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّى أَرَى فِى اْلمَنَامِ أَنِّى أَذْبَحُكَ
فَانْذُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِى افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ
سَتَجِدُنِى إِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصَّابِرِيْنَ (١٠٢)
Artinya: “Maka tatkala anak itu
sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim
berkata, “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab, “Hai
bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu
akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar“. (Q.S.[]:).
Namun, ketika hari yang ditetapkan tiba,
Syetan menggoda Ismail dan Hajar agar bergeming hatinya dan membatalkan
rencana qurban tersebut. Ismail dan Hajar tak mampu digoda, malah
melakukan perlawanan dengan melempari Syetan dengan batu. Singkat kata,
ketika Ibrahim dan Ismail betul-betul akan melakukan perintah Allah,
tiba-tiba Allah mengganti qurban Ismail dengan seekor domba. Penggantian
qurban manusia dengan domba oleh Allah S.W.T. amat disyukuri Ibrahim
sekeluarga. Kemudian selanjutnya, sebagai rasa syukur, setiap tahun
menjadi tradisi qurban domba di kalangan keluarga Ibrahim, yang
dilanjutkan oleh anak keturunannya hingga jaman Rasulullah Muhammad
s.a.w. Ketika Muhammad s.a.w. menjadi rasul, ditetapkan tradisi qurban
menjadi Hari Raya kaum muslimin.
Siapapun yang sedang dan pernah
menjalankan Ibadah Hajji tentu mengucapkan kalimat talbiyyah, karenaa
memang hal itu diajarkan oleh Rasulullah s.a.w. Dalam kalimat-kalimat
talbiyah, yang selalu dikumandangkan para jemaah haji di Tanah Suci,
proses penyadaran diri itu begitu terasa:
لبيك اللهم لبيك, لبيك لا شريك لك لبيك, إنّ الحمد و نعمة لك و الملك لا شريك لك
“Ya Tuhan kami, kami datang
menghampiri-Mu, memenuhi panggilan-Mu, untuk mengembalikan segala puji,
kenikmatan dan kekuasaan, yang sesungguhnya hanyalah milk-Mu. Tak ada
sekutu bagi-Mu.”
Kalau saja kalimat-kalimat talbiyah
itu dihayati secara mendalam oleh setiap musim di negeri ini (yang
sudah beribadah haji maupun belum) maka idealnya, penyalahgunaan jabatan
dan wewenang akan berkurang, dan praktik korupsi berangsur sirna di
republik ini, karena munculnya kesadaran massal bahwa jabatan dan
kekayaan tersebut hanya milik-Nya. Bukan milik kita. Nilai ibadah haji
yang sesungguhnya bukan terletak pada perjalanannya, bukan hanya pada
thawafnya, sya’inya, wukufnya, atau pelemparan batu di jumratul aqaba
dan menginap di Mina. Namun pada kepasrahan total memberikan seluruh
diri dan hidup kita kepada Tuhan, walaupun hanya sesaat, karena semua
yang kita miliki, termasuk diri ini, hakikatnya adalah milik-Nya.
Proses penyadaran diri itu, juga
terkandung dalam perintah melaksanakan ibadah qurban. Ketika Tuhan
memerintahkan Ibrahim menyembelih Ismail (Ishaq, dalam Kitab Perjanjian
Lama), sebenarnya Tuhan hanya sekadar ingin mengingatkan manusia (yang
diwakili oleh Ibrahim) bahwa harta yang paling berharga sekalipun (yang
disimbolisasikan oleh Ismail) jika sudah waktunya diminta kembali oleh
pemiliknya, harus dikembalikan dengan keikhlasan total.
Ismail, adalah milik Tuhan yang
dititipkan pada Ibrahim. Dan, Ibrahim ikhlas mengembalikan Ismail,
ketika Sang Khalik memintanya. Sehingga Sang Pencipta Yang Maha
Bijaksana itu pun, mengganti Ismail yang akan disembelih itu dengan
seekor kambing, dan Ismail pun tetap hidup bersama sang ayah. Bagi
Tuhan, bukan penyembelihan Ismail yang jadi tujuan, tapi kesadaran
Ibrahim bahwa Ismail, tak lebih hanya titipan-Nya.
Begitu pula dengan milik orang lain yang
secara sadar ataupun tak sadar kita ambil. Bila kita ingin kembali
kepada fitrah (kesucian), kita harus mengembalikannya kepada yang
berhak. Harta hasil korupsi misalnya. Tak sedikit koruptor yang dengan
maksud membersihkan diri dan namanya, ia berqurban dengan menyembelih
beberapa ekor sapi, padahal nilai harta yang telah dikorupnya senilai
dengan puluhan ribu ekor sapi. Tujuan membersihkan diri tidak akan
tercapai sebelum seluruh harta milik rakyat yang telah dirampoknya itu
dikembalikan kepada yang berhak. Di situlah nilai ibadah qurban yang
sesungguhnya, bukan pada peristiwa penyembelihan hewan.
Setiap tahun, ratusan ribu jemaah haji
dari Indonesia diberangkatkan menuju Haramain (Mekah dan Medinah). Jika
dihitung sejak Indonesia merdeka, maka sudah jutaan (atau mungkin
puluhan juta) muslim Indonesia bergelar haji. Pun, sudah jutaan ekor
sapi dan kambing diqurbankan. Jika makna yang terkandung dalam perintah
ibadah haji dan qurban itu dihayati secara holistik, bukan mustahil
negeri ini betul-betul menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negeri yang sentausa dan selalu berada dalam ampunan Tuhan).
Tetapi semua itu masih berada dalam
lingkup andaikan dan jikalau. Tahun depan dan tahun depannya lagi, kita
akan kembali berbondong-bondong berangkat ke Tanah Suci, dan
beramai-ramai lagi menyembelih sapi, kambing dan kerbau. Lagi-lagi kita
akan lupa pada pesan tersirat di balik perintah ibadah haji dan qurban
yang lebih personal-spiritual, karena kita lebih suka dengan ritual.
Satu hal yang jauh lebih penting dari ritual haji dan qurban ini, adalah
harta yang halal. Daging qurban itu halal dzatnya, namun belum tentu thoyyib
(baik) memperolehnya. Kita tahu, kita hidup di negara yang kita amini
sendiri, korupsi masih menjadi budaya struktural dan sosial. Maka,
mungkin sekali (dan hampir pasti) terdapat birokrat yang bersedekah
hewan qurban dengan harta korupsi. Di kota-kota besar, qurban semarak,
namun di situlah akar korupsi terus tumbuh. Bila demikian, haji dan
qurban semata parade yang semu bagi pelakunya. Manusia yang masih
terjebak sebagai pemuja harta jauh dari pemahaman nurani Ismail a.s.
Wa Allâh A’lam bi al-Shawwâb.
MARÂJI’
Maulana Muhammad Ali. Islamologi (Dinul Islam). 1977. Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah.
Aunur Rahim Faqih. Hukum Ibadah Qurban dan Hikmahnya. April 1998. Al Islamiyah, Media LPPAI Universitas Islam Indonesia. Nomor 3 Tahun VI
Nurcholish Madjid. Masyarakat Religius. 1997. Jakarta: Paramadina.
Nurcholish Madjid. Pintu-Pintu Menuju Tuhan. 1994. Jakarta: Paramadina.
Salim Bahreisy. Sejarah Hidup Nabi-Nabi. 1999. Surabaya: PT Bina Ilmu. cetakan V.
Quraish Shihab. Haji. dalam, Budhy Munawar Rahman (Ed.). Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. 1995. Jakarta: Paramadina.
* Penulis adalah Ka.Div PPK-DPPAI
[1] Maulana Muhammad Ali, Islamologi (Dinul Islam), Darul Kutubil Islamiyah, Jakarta, 1977, hlm. 510
[2] Aunur Rahim Faqih, “Hukum Ibadah Qurban dan Hikmahnya” Al Islamiyah, Media LPPAI Universitas Islam Indonesia, Nomor 3 Tahun VI April 1998, hlm. 13
[3] Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, Paramadina, Jakarta, 1997, hlm. 55
[4] Ibid.
[5] Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Paramadina, Jakarta, 1994, hlm. 50
[7] Salim Bahreisy, “Sejarah Hidup Nabi-Nabi”, pt Bina Ilmu Surabaya, 1999, cetakan V, hal. 18-19
[8] Quraish Shihab, “Haji”, dalam, Budhy Munawar Rahman (Ed.) Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Paramadina, Jakarta, 1995, hlm. 443
0 komentar:
Posting Komentar