Transformasi Nilai-Nilai Filosofis Isra’ Dan Mi’raj Dalam Kehidupan
Dalam tulisan ini penulis tidak
memaparkan secara spesifik sebagaimana para mufassir dalam menjelaskan
ayat tentang isra’ dan mi’raj sebagaimana pada Q.S. al-Isra’[17]: 1.
Melainkan pada tulisan ini lebih menitik berat pada nilai-nilai
filosofis dan makna simbolik yang terkandung dalam peristiwa isra’ dan
mi’raj. Sebagaimana tertulis dalam sejarah,
memang banyak peristiwa yang secara psikologis membuat Nabi Muhammad
s.a.w. bersedih, sampai saking sedihnya sejarawan mencatat tahun
tersebut sebagai ‘amm al-huzn (tahun kesedihan).
Mula-mula Nabi
Muhammad s.a.w. kehilangan pamannya, Abu Thalib yang selama ini membela
Nabi Muhammad s.a.w. melalui pengaruh ketokohannya. Berikutnya
Khadijah, istri tercintanya yang selama ini selalu mendukungnya dan
menanamkan ketenangan kepada beliau, juga wafat. Hal ini menjadi
gangguan kaum musyrik semakin menjadi-jadi, sehingga beliau pindah dalam
berdakwah, yaitu ke Thaif. Namun di sanapun beliau ditolak. Selama
berdakwah 13 tahun di Makkah, pengikutnya masih sangat terbatas. Lengkap
sudah kesedihan beliau. Pada situasi itulah, Ia berdo’a dan do’anya
dikabulkan, sebagai bentuk bahwa Allah selalu bersama orang-orang baik,
seakan-akan Allah berfirman: “Kalau penduduk bumi menolak kehadiranmu
dan menentang ajaranmu, maka tidak demikian dengan penduduk langit. Dari
sini kemudian Nabi Muhammad s.a.w. di isra’kan dan dimi’rajkan. Dengan
demikian, dalam isra’ dan mi’raj ini terkandung makna rekreasi untuk
menyenangkan Nabi Muhammad s.a.w.[1]
Setelah wafatnya orang-orang yang dicintainya Allah, Muhammad Sa’id Ramadhan al-Bûthy, dalam kitabnya fiqhu al-Sirah,
menyatakan, “Adalah suratan taqdir Rasulullah bila orang-orang terkasih
beliau, seperti Abu Thalib dan Khadijah binti Khuwailid, telah pergi
dari kehidupan beliau. Orang-orang yang selama itu begitu tulus, jernih
dan setia membela dan memberi perlindungan kepadanya.” Adapun hikmah
dari kepergian orang-orang terkasih belaiu itu adalah:
Pertama, bahwa pertolongan, perlindungan, dan kemenangan semuanya hanya datang dari Allah ‘Azza wa Jalla.
Allah telah berjanji untuk menolong dan melindungi Rasul-Nya dari
aniaya kaum musyrik dan para musuh, baik dari kalangan manusia ada yang
menlindungi Rasulullah maupun tidak Allah pasti menjaga Rasulullah dari
aniaya manusia kafir maupun musyrik sehingga datang pertolongan dan
kemenangan bagi Islam.
Kedua, bukanlah maksud
dari perlindungan dan pertolongan manusia itu berarti tidak adanya
hinaan, penistaan, atau bahkan azab yang dialami dan menimpa Rasulullah,
seperti yang ditegaskan Allah dalam firman-Nya
,
يَا أَيُّهَا الَّرسُوْلُ
بَلِّغْ مَا أَنْزَلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا
بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللهَ لاَ
يَهْدِى الْقَوْمَ الْكَافِرِيْنَ
“Hai rasul, sampaikanlah apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang
diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah
memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS al-Mâidah [5]:
67). Perlindungan yang dimaksud adalah perlindungan dari tindak
pembunuhan, pun usaha-usaha bengis musuh Islam dalam menghalangi dakwah
islamiyah.[2] Di ayat yang lain Allah berfirman,
وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيْقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُوْلُوْنَ # فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِّنَ السَّاجِدِيْنَ
“Dan Kami sungguh-sungguh
mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka
ucapkan. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di
antara orang-orang yang bersujud (shalat).” (QS al-Hijr [15]: 97-98).[3]
Wafatnya orang-orang terkasih Rasulullah
membuat hati beliau sedih dan berduka. Namun jika hal itu dikaitkan
dengan sebab terjadinya isra’ dan mi’raj sesungguhnya sangatlah tidak
sepadan dengan keagungan nilai-nilai mi’raj itu sendiri. Peristiwa isra’
dan mi’raj yang dialami Rasulullah adalah sebauh momen kehidupan
terbesar yang dialami Rasulullah sepanjang hidupnya, dan hikmah isra’
dan mi’raj lebih agung dan mulia ketimbang hanya sekedar untuk menghibur
dan memperjalankan Rasulullah dari kepedihan yang menimpa beliau. Dalam
kondisi psikologis seperti itu, sah-sah saja jika ada para pemikir,
juga para ulama yang mengtakan bahwa perjalanan agung tersebut adalah
sebagai usaha pelipur lara bagi Rasulullah. Numun hal itu bukanlah
maksud utama (tujuan pokok) dari perjalanan isra’ dan mi’raj. Kesedihan
yang ada hanyalah sebuah unsur dan bumbu-bumbu perjalanan yang ada dan
direnungkan adalah mencari hikmah yang tersirat dua ayat al-Qur’an:
لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَالسَّمِيْعُ اْلبَصِيْرُ
“…Agar Kami perlihatkan kepadanya
sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha
mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS al-Isrâ’ [17]: 1)
لَقَدْ رَأَى مِنْ آيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى
“Sesungguhnya Dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS al-Najm [53]: 18)
Melalui ayat ini, Abu Majdi Haraki
menjelaskan sebagaimana yang ia kutip dari Imam Qusyairi mengatakan,
“Allah memperlihatkan kepada Muhammad ayat-ayat-Nya, lalu
sifat-sifat-Nya. Kemudian dia Dia menyingkap akan hakikat Dzat-Nya.”
Lebih lanjut Imam Qusyairi, “Di antara ayat-ayat Allah yang
diperlihatkan kepada Muhammad s.a.w. pada malam tersebut adalah bahwa
hakikat Dzat-Nya tidak menyerupai segala sesuatu pun, baik yang terkait
dengan dimensi kekuasaan dan kesempurnaan, atau kemulian dan
kebesaran-Nya, berikut puja dan puji-Nya, serta keagungan Dzat-Nya. Pada
malam itu, Allah ‘Azza wa Jalla juga menunjukkan kepada
Muhammad akan hakikat diri-Nya, bahwa diri-Nya tidak sama dengan para
hamba dan makhluk-Nya yang lain, baik dari segi kenabian, risalah,
kemulian, ketinggian maqam, kebesaran diri, maupun kedudukannya di mata
Allah. Adalah tanda kekuasaan Allah yang paling besar, dalam ayat di
atas (QS al-Najm [53]: 18) keabadiannya (baca: Rasulullah) dalam bertemu
dengan Dzatnya, yang menumbuhkan ruh ke-terutus-an dalam diri Rasullah,
serta menjaga ruh ke-terutus-an itu hingga datang hari kiamat kelak.[4]
Peristiwa isra’ dan mi’raj Nabi Muhammad
s.a.w. merupakan peristiwa besar yang setiap tahunnya sebagian dari
umat Islam memeringatinya –terlepas dari perkara bid’ah atau tradisi-.
Peristiwanya sendiri terjadi pada saat Nabi Muhammad s.a.w. berusia 53
tahun, kira-kira satu tahun lima bulan menjelang hijrahnya ke Madinah.
Oleh karena itu, pada sisi lain, isra’ dan mi’raj terjadi dalam rangka
mempersiapkan Nabi Muhammad s.a.w untuk mengemban tugas risalah yang
tidak kalah beratnya, yaitu menghadapi masyarakat Madinah yang
heterogen, bukan dari segi agama tapi juga etnis. Tugas-tugas tersebut
tentu saja membutuhkan sikap mental (EQ dan SQ) dan pikiran (IQ) yang
lebih dalam. Hal ini tercermin dari simbolik kata-kata yang digunakan
dalam isra’ dan mi’raj tersebut, seperti sidrat al-Muntahâ, masjid dan
lain-lain.[5]
Makna Simbolik Isra’ dan Mi’raj
Makna simbolik ini bisa di lihat dalam penjelasan Abu Majdi Haraki, mengutip pendapat Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam Fath al-Bârî bi Syarah Shahih Imâm Abî ‘Abdillâh Muhmmad bin ‘Ismâ’îl al-Bukhârî, yang ditahkik oleh Muhbuddin al-Khathib,[6] dia mengatakan “Bahwa suatu ketika Rasulullah tidur di kediaman Ummu Hani[7]
yang tempat tinggalnya berada di bukit Abu Thalib, dan atap rumahnya
terbuka. Di sini sengaja disebut rumah, karena Rasul berdiam di
dalamnya, lalu malaikat turun ke rumah tersebut, dan mengeluarkan Rasul,
serta membawanya ke masjid. Ketika dibawa, Rasul dalam keadaan
terlentang dan masih terlihat bekas kantuk. Kemudian Rasul dikeluarkan
dari masjid, dan dibawa ke depan pintu masjid. Dari sana, Rasulullah
lantas dinaikkan Buraq.” Dalam hadits mursal hasan yang
diriwayatkan Ibnu Ishaq dinyatakan: “Sesunggunya Jibril telah
mendatanginya, lalu membawa Rasul dari rumah tersebut menuju masjid.
Setelah sampai masjid Rasul lantas di naikkan Buraq.” Riwayat
Ibnu Ishaq ini banyak didukung oleh para ulama’. Dinyatakan bahwa hikmah
dari turunnya malaikat keatap rumah adalah isyarat yang menunjukkan surprise (baca:
kejutan). Di samping itu juga menunjukkan peringatan bahwa Rasulullah
akan diperjalankan kearah ketinggian. Hal ini seperti yang ditegaskan
Ibnu Hajar: “Bisa jadi hikmah dari terbukanya atap rumah mengisyaratkan
akan terjadi himpitan dan rasa takut dalam dada Rasulullah s.a.w. dengan
isyarat itu pula, akhirnya Rasul bisa menjadi percaya diri dan
menemukan kedamaian, sehingga beliau merasa aman dari bahaya yang
mengancam.[8]
Dalam riwayat lain Imam Bukhari dan
Muslim menguraikan, pada suatu malam ketika Nabi Muhammad s.a.w. sedang
berada di Hatim (dekat Ka’bah), tiba-tiba Malaikat Jibril datang
membelah dada Nabi s.a.w. hati Nabi di keluarkan dan di sucikan dengan
air zam-zam, kemudian kedalam hatinya di masukannya iman dan hikmah yang
telah disediakannya di bejana emas. Dengan di bimbing oleh Jibril, Nabi
Muhammad s.a.w. berangkat menuju Bayt al-Maqdis dan Masjid al-Aqsha,
kemudian melakukan shalat dua raka’at yang di ikuti oleh Nabi-Nabi
terdahulu. Setelah selesai shalat Jibril datang menemui Nabi dengan
membawa dua gelas. minuman, gelas yang satu berisi susu dan gelas yang
satu lagi berisi arak, Malaikat Jibril mempersilakan Nabi Muhammad
s.a.w. meminumnya, dan Nabi Muhammad memilih susu, kemudian Malaikat
Jibril mengatakan: “Seandainya kamu memilih arak niscaya umatmu akan
tersesat”. Berakhirlah proses Isra disini.[9]
Waryono Abdul Ghafur juga menjelaskan,
terdapat tiga instrumen, yaitu Nabi (sebagai subyek), ruang (tempat) dan
waktu sebagai obyek. Dalam ayat disebutkan bahwa tempatnya adalah dua
masjid ditambah sidrat al-Muntahâ, sedangkan waktunya adalah malam.
Sebagaimana disebutkan dalam ayat, bahwa titik tolak perjalanan isra’
dan mi’raj Nabi adalah bagian dari masjid al-Haram, tepatnya Ka’bah
(yang ketika itu masih dikelilingi oleh banyak berhala) atau menurut
satu pendapat dari ummu Hani’ bin Abi Thalib. Masjid al-Haram dijadikan
sebagai titik berangkat, karena dua alasan: pertama, karena Nabi adalah orang Makkah dan tinggal di sana, dan kedua,
karena masjid tersebut merupakan masjid pertama (di muka bumi) yang
didirikan oleh Adam yang ditemukan dan dibangun kembali oleh Ibrahim.
Hal ini sebagai isyarat bahwa Makkah, tempat di mana masjid al-Haram
ada, merupakan titik tolak semua ajaran para Nabi yang universal.[10]
Dari masjid al-Haram, Nabi dibawa ke
Masjid al-Aqsa, yang artinya masjid terjauh dalam pandangan mitra bicara
ketika, karena memang jauh, yaitu palestina. Menurut satu riwayat yang
dikutip Abdul Ghafur, masjid al-Aqsa yang menjadi persinggahan Nabi
dalam perjalanan isra’ dan mi’raj-nya adalah masjid spiritual, karena
bangunan fisiknya belum ada, kecuali beberapa sisa bangunan yang kurang
berarti, tinggal puing-puingnya saja. Sebelum menghadap Ka’bah di masjid
al-Haram, masjid al-Aqsha (Bayt al-Maqdis) merupakan kiblat pertama
bagi orang Islam.[11]
Masjid al-Aqsha menjadi tempat
persinggahan Nabi s.a.w. sebagai petunjuk bahwa perjalanan manusia
menuju Allah, hendaknya bermula dari masjid, yakni kepatuhan kepada
Allah dan berakhir pula di masjid. Dengan persinggahan itu juga, Nabi
melakukan napak tilas sekaligus berziarah ke makam kakeknya, Ibrahim
bapak tiga agama, Yahudi, Kristen dan Islam. Dari sini diketahui bahwa
ketiga agama tersebut adalah serumpun dan Islam adalah kontinuitas dari
agama para nabi sebelumnya dan sebagai penyempurna. Oleh karena itu,
dalam ayat masjid al-Aqsha tersebut disifati dengan diberkahi
sekitarnya, yaitu tanah yang banyak melahirkan para nabi dan semula
tanahnya subur, sehingga menjadi bahan rebutan dan kekerasan, hingga
sekarang. Demikianlah Waryono Abdul Ghafur menguraikan dalam bukunya.[12]
Sebanarnya isra dan mi’raj merupakan
sebuah perjalanan spiritual yang tak bisa diungkapkan, sehingga harus
diungkapkan lewat bahasa-bahasa perumpamaan, bahasa metafor. Tidak ada
kata yang tepat untuk menjelaskan sebuah pengalaman ruhani. Oleh sebab
itu, di dalam peristiwa ini, terdapat nilai-nilai yang harus kita
teladani. Selama ini, kata isrâ secara harfiah selalu diterjemahkan dengan “perjalanan di malam hari”. Padahal, kata isrâ’ itu sendiri, kalau dirujuk ke kata dasar Arabnya bisa bermakna “sebuah pencarian.” Kata sâriyah yang satu dasar kata dengan isrâ’ berarti pencarian. Jadi isrâ’
di sini bisa berarti “proses pencarian yang akan melepaskan diri
seseorang dari kegelapan hidup.” Pertanyaannya, bukankah peristiwa itu
dimulai dari masjid al-Haram menuju masjid al-Aqsha? Tunggu dulu, kita
harus menelusurinya secara historis. Sebenarnya tidak ada petunjuk
harfiah di dalam al-Qur’an yang menerangkan bahwa masjid al-Haram yang
dimaksud adalah yang ada di dalam Makkah dan Masjid al-Aqsha di situ
yang berada di Yerusalem.[13]
Kata masjid berkenaan ketika ayat itu
turun, belum lagi terwujud secara fisik. Masjid al-Haram yang sekarang
ini ada mula-mula dibangun secara permanen oleh Khalifah Umar bin
Khaththab pada tahun 638 M. Jadi, pada masa Rasulullah s.a.w. kawasan
masjid al-Haram masih berupa hamparan tanah lapang terbuka di sekitar
Ka’bah yang dikelilingi perkampungan penduduk. Demikian pula masjid
al-Aqsha yang ada saat ini adalah masjid yang dibangun secara permanen
oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari Kekhalifahan Dinasti Bani
Umayyah pada tahun 66 H dan selesai dibangun tahun 73 H. Pada masa
Rasulullah s.a.w masih hidup, kawasan al-Aqsha masih berupa reruntuhan
candi sulaiman atau Solomon Temple, belum ada bangunan masjidnya.[14]
Maka dari itu, untuk meneladani isra’
kita tak perlu pergi jauh-jauh ke Masjid al-Haram Mekkah sampai Masjid
al-Aqsha di Yerusalem. Melainkan kita harus memulai sebuah perjalanan
untuk keluar dari kegelapan hidup lewat penyucian diri dari segala
perilaku yang haram. Inilah makna dibelahnya dada nabi untuk disucikan
hatinya sebelum peristiwa isra’. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum
melakukan perjalanan untuk menemui Allah hati harus disucikan terlebih
dahulu dari hal-hal yang negatif. Oleh sebab itu, dalam redaksi ayat itu
disebut masjid al-Haram. Lalu, kenapa dibawa ke al-Aqsha? Jawabannya,
supaya beliau dapat memahami berkat Tuhan yang ada di sekelilingnya ‘barakna haulahu’.[15]
Benarkah berkat Tuhan itu ada
disekeliling masjid al-Aqsha yang ada di Yerusalem? Yang selama
berabad-abad hingga kini selalu diliputi terror, peperangan dan
pertumpahan darah itu? Di sekelilingnya di sebelah mananya? Tentu saja,
pemahaman demikian akan sangat rancu. Berkat Tuhan hanya akan dapat
dipahami dengan hati dan pikiran yang jernih. Inilah makna dari tafakur.
Sementara makna masjid al-Aqsha disitu secara umum adalah masjid yang
terjauh. Kita tahu, secara bahasa, kata masjid itu bisa berarti “setiap
lahan dan setiap jengkal tanah yang bisa digunakan untuk bersujud”.
Maka, ada istilah kullu ardhin masjidun, atau setiap jengkal
tanah dapat dijadikan tempat bersujud. Untuk bersujud seorang manusia
harus dapat menundukkan hatinya dan ego yang ada di dalam alam
pikirannya serendah-rendahnya dihadapan Allah. Sebagaimana yang telah
disimbolkan lewat gerakan sujud di dalam shalat. Kepala dan hati harus
benar-benar ditundukkan dihadapan-Nya.[16]
Nah, kemudian bagaimanakah kita memaknai
buraq, sebuah kendaraan yang konon dinaiki Nabi s.a.w bersama Jibril
dalam perjalanan malam itu? Informasi mengenai Buraq tidak kita jumpai
di dalam al-Quran melainkan di dalam hadist. Sebenarnya Buraq berasal dari kata barqun yang berarti kilat cahaya. Dalam sejumlah hadits, buraq
digambarkan dengan wujud kuda bersayap atau menyerupai pegassus. Hal
inilah yang mengilhami khazanah mistisme di dalam Islam di kemudian
hari. Kalau kita menelusuri kekayaan spiritualisme Islam, kita akan
menemukan semacam idiom “burung” dan “terbang” sebagai simbol yang
menunjukkan mi’raj, kenaikan jiwa manusia menuju realitas yang
lebih tinggi. Terutama kaum sufi, menggambarkan sayap sebagai sebuah
simbol kekuatan untuk menerbangkan jiwa manusia. Simbolik burung yang
terbang ini pun kita temukan misalnya dalam uraian Ibnu Sina, al
Gazhali, Suhrawardi, Khaqqani, Ruzbihan, Balqi, Rumi hingga yang cukup
fenomenal mengenai dunia tasawuf mistis adalah karya Fariduddin Attar
yaitu Mantihiqat al-Thair.[17]
Hikmah Isrâ’ dan Mi’raj
Urgensi perjalanan agung isrâ’ dan
mi’raj adalah untuk menumbuhkembangkan kekuatan iman dalam diri
Rasulullah, atau jelasnya penampakan tanda-tanda kekuasaan Allah itu
adalah dimaksudkan untuk menguatkan keyakinan iman, berikut menetapkan
iman dalam diri Rasulullah, sehingga keimanan dalam diri Rasulullah
benar-benar berdasarkan bukti-bukti otentik, yang lahir dari penyaksian
dan penampakan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya yang terbesar,
meskipun dalam membaca dan melihat keimanan tersebut masing-masing
umatnya berbeda satu dengan yang lain.[18]
Sebagaimana Abu Majdi Haraki mengutip
pendapat Muhammad al-Ghazali menulis bahwa hikmah isrâ’ dan mi’raj ini
adalah sebagai berikut, Allah ‘Azza wa Jalla memberi kesempatan
kepada Rasulullah untuk melihat tanda-tanda dan kejadian sangat luar
biasa, yang terjadi atas kekuasaan Allah, agar tumbuh keyakinan kepada
Allah dalam qalbu mereka, serta lahir penyadaran dan penyerahan diri
mereka pada Allah ‘Azza wa Jalla, dalam menghadapi tekanan
orang-orang kafir Quraisy, berikut untuk menghancurkan tembok keangkuhan
mereka. Realitas sejarah merekam, bahwa sebelum Musa a.s. diutus
menjadi Nabi, Allah telah menampakkan kepadanya keajaiban-keajaiban
kekuasaan-Nya, dengan memerintahkan Musa a.s. melempar tongkat yang ada
ditangannya, seperti yang terekam dalam firman Allah,
قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوْسَى # فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ
حَيَّةٌ تَسْعَى # قَالَ خُذْهَا وَلاَ تَخَفْ سَنُعِيْدُهَا سِيْرَتَهَا
الْأُوْلَى # وَاضْمُمْ يَدَكَ إِلَى جَنَاحَكَ تَخْرُجْ بَيْضَآءَ مِنْ
غَيْرِ سُوْءٍ ءَايَةً أُخْرَى # لِنُرِيَكَ مِنْ ءَايَاتِنَا الْكُبْرَى
“Allah berfirman: “Lemparkanlah ia,
hai Musa!. Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi
seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman, “Peganglah ia
dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula
dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia ke luar menjadi putih
cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami
perlihatkan kepadamu sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang
sangat besar.” (QS Thâhâ [20]: 19-23)
Ketika relung qalbu Musa a.s. terpenuhi
rasa takjub dengan kesaksian dirinya akan kejadian yang spektakuler
tersebut, tumbuhlah dalam dirinya rasa iman dan keyakinan yang kokoh
kepada Allah. Saat itulah Allah berfirman kepada Musa a.s.,[19]
اْذَهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى
“Pergilah kepada Fir’aun, sesungguhnya ia telah melampaui batas.” (QS Thâhâ [20]: 19-23)
Lebih lanjut Muhammad al-Ghazali
mengatakan, “Kita semua telah memahami bahwa buah dari isra’ dan mi’raj
adalah penampakan sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah yang teragung,
meskipun hal itu terjadi dua belas tahun setelah pengangkatan
(penobatan) Muhammad ibn Abdullah sebagai Nabi dan Rasulullah. Apa yang
terjadi pada Musa a.s. jelas berbeda dengan Muhammad s.a.w. penampakan
pada Musa terjadi sebelum pengangkatan dirinya sebagai Nabi, sedangkan
penampakan pada Muhammad terjadi dua belas tahun setelah pengangkatannya
sebagai Nabi dan Rassulullah. Nilai yang tersirat dari perbedaan
tersebut adalah penampakan yang terjadi pada Nabi dan Rasul adalah
dimaksudkan untuk menaklukkan, terlebih meyakinkan umat (kaum) mereka
akan kebenaran risalah dan kenabian yang di tugaskan, sebuah pembuktian
untuk para musuh dan para pembangkang yang tidak mempercayai adanya
risalah dan tugas kenabian dari Allah ‘Azza wa Jalla. Sedangkan
tugas kenabian yang disandang Rasulullah lebih dari apa yang ditugaskan
kepada para nabi terdahulu. Demikianlah urgensi dari pandangan Muhammad
al-Ghazali mengenai hikmah peristiwa isra’ dan mi’raj Rasulullah
tersebut, yaitu memberi kesempatan kepada Rasulullah untuk menyaksikan
sebagian dari kejadian-kejadian agung, berikut tanda-tanda kekuasaan
Allah yang terbesar, atas kehendak dan kuasa-Nya, sehingga tumbuhlah
keyakinan dan keimanan yang kokoh dalam diri Rasulullah untuk menghadapi
segala penistaan dan hinaan yang dilakukan para musuh dan orang-orang
kafir terhadap dirinya.[20]
Musthafa Zaid dalam makalahnya yang dimuat majalah Mimbar al-Islâm,
terbitan 1967 M. Memaparkan argumentasi ayat-ayat al-Qur’an yang
terkait dengan hikmah peristiwa isra’ dan mi’raj sebagai berikut, “Allah
‘Azza wa Jalla tidak berfirman dalam ayat tersebut, “Agar dia melihat tanda-tanda kebesaran Kami,” akan tetapi Allah berfirman, “Agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami.”
Hal ini menunjukkan bahwa ketika Muhammad melihat tanda-tanda
kebesaran-Nya, bukanlah lahir dari kekuatan pribadinya, akan tetapi dia
melihat berkat kuasa dan qudrah Allah‘Azza wa Jalla sebuah kekuatan yang dibentangkan Allah kepada dirinya pada perjalanan Agung tersebut. Dengan kekuatan dan qudrah-Nya
itu, Muhammad s.a.w. mampu melihat sesuatu yang diperlihatkan Allah
kepada dirinya dari sebagian tanda-tanda kekuasaan-Nya yang paling
agung. Hal ini pararel dengan firman Allah dalam surah al-Najm yang
membahas masalah mi’raj,
لَقَدْ رَأَى مِنْ ءَايَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى
“Sesungguhnya Dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS al-Najm [53]: 18).
Tanda-tanda yang dilihat Rasulullah
disebut sebagai tanda-tanda paling besar yang tidak ada seorang pun
selain Rasulullah mampu melihatnya, dan Rasulullah tidak akan mampu
melihat ayat-ayat tersebut jika Allah tidak menghendaki dia bisa
melihatnya.[21]
Maha besar Allah dengan segala ciptaan-Nya hingga Dia memperjalankan
Muhammad dalam isra’ dan mi’raj yang tidak mungkin dilakukan oleh setiap
makhluk-Nya tanpa kehendaknya.
Terkait dengan hikmah isra’ dan mi’raj,
Mutawalli al-Sya’rawi menyatakan, “Sesungguhnya nilai yang esensial dari
hikmah isra’ dan mi’raj secara global mengandung tiga dimensi yaitu pertama, Allah hendak menunjukkan kepada Rasulullah sebagai tanda-tanda kekuasaan-Nya yang paling besar. Kedua, Untuk membuktikan akan kebesaran-Nya kepada Muhammad, agar beliau tetap kokoh melaksanakan tugas kenabiannya. Ketiga,
Untuk menerima tugas yang paling mulia dalam ritus ibadah dan ubudiyah
seseorang muslim yang berupa perintah shalat lima waktu, di mana
merupakan media yang paling utama untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla.[22]
Isra’ dan mi’raj merupakan perjalanan
spiritual yang paling istimewa bagi Nabi Muhammad s.a.w Puncaknya
terjadi di Sidrat al-Muntaha. Seorang ulama tafsir terkemuka, Muhammad
As’ad menafsirkan Sidrat al-Muntaha dengan lote-tree farthest limit atau pohon lotus yang batasnya paling jauh. Pohon Lotus dalam tradisi Mesir kuno merupakan simbol kearifan, kebijaksanaan (wisdom)
dan kebahagiaan. Dalam Hindu, lotus atau bunga teratai merupakan simbol
pemurnian. Ajaran Budha menegaskan bahwa proses mekarnya bunga teratai
merupakan lambang pencapaian kesempurnaan menuju nirwana. Kuncupnya
melambangkan awal usaha dan puncak mekar bunga menjadi tanda tercapainya
kesempurnaan. Dengan demikian secara simbolik Sidrat al-Muntaha dapat
diartikan sebagai puncak kebahagiaan dan kebijaksanaan. Dengan isra
mi’raj, Nabi telah melakukan terobosan spiritual, sehingga surga dan
pencerahan hidup dicapainya hanya dalam satu malam. Dimana Siddharta
Gautama pernah mencapainya dalam waktu enam tahun. Dengan hati dan
pikiran yang jernih, Nabi s.a.w. menyaksikan kebenaran dan kebesaran
ayat-ayat Tuhan dalam satu malam. Dan, itulah yang hendak diteladankan
beliau kepada umatnya.[23]
Nilai-Nilai Filosofis Isra’ dan Mi’raj dalam Kehidupan
Nilai-nilai filosofis dari peristiwa
isra dan mi’raj yang dapat kita ambil adalah sebagaimana yang ditulis
oleh Abu Majdi Haraki, dia mengutip tulisannya Naser Muhammad ‘Athiyah,
dia menyatakan, “Tidak bisa dipungkiri bahwa nilai yang terpenting dari
perjalanan agung ini adalah mencakup nilai-nilai edukatif dan
pembelajaran jiwa bagi diri Rasulullah Muhammad s.a.w. sehingga beliau
benar-benar memiliki kesiapan mental dalam menghadapi segala bentuk
penghinaan yang diterimanya dari orang-orang kafir dan musuh Islam dalam
menjalankan tugas kenabiannya. Dengan pembelajran jiwa yang terkandung
dalam isra’ dan mi’raj tersebut, Rasulullah bisa berdiri kokoh setegak
gunung, yang tidak mampu digoyahkan oleh usaha provokasi, ancaman,
cercaan, tipu daya, maupun makar dari orang-orang kafir, sehingga
Rasulullah bisa menjalankan tugas kenabiannya yang istiqomah. Adapun
prihal ayat al-Qur’an surah al-Isra’[17]: 1, makna yang tersirat menurut
Naser Muhammad ‘Athiyah dari ayat tersebut adalah bahwa Muhammad
s.a.w. telah melihat kekuasaan Allah, Muhammad telah melihat para
malaikat-Nya, surga-Nya, neraka-Nya, para nabi-Nya para rasul-Nya,
kerajaan agung-Nya, serta kebesaran dan kasih rahmat-Nya.”[24] Hal ini sesuai dengan al-Qur’an,
مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى # لَقَدْ رَأَى مِنْ ءَايَا تِ رَبِّهِ الْكُبْرَى
“Penglihatannya (Muhammad) tidak
berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.
Sesungguhnya Dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya
yang paling besar.”(QS al-Najm [53]: 17-18)
Dalam kitab Mauû’ah al-Târîkh al-Islâm wa al-Hadhrah al-Islâmiyah,
Ahmad sya’laby mengatakan, “Nilai edukatif yang terkandung dalam isra’
dan mi’raj adalah telah dibentangkan kepada Rasulullah kesempatan yang
cukup lebar untuk melihat berbagai alam yang sangat besar. Dengan
begitu, Rasulullah akan memahami bahwa sebenarnya Makkah adalah sangat
kecil, berikut penduduknya serta para penentangnya. Rasulullah pun
menjadi lebih paham, apalah arti sebuah Makkah dibandingkan dengan
meluasnya jagad raya ini? Demikian apalah arti kekuatan, kekuasaan Sang
Pencipta alam, yang telah memperjalankan dirinya dalam isra’ dan mi’raj.
Lebih lanjut Ahmad Sya’laby
mengatakan bahwa nilai edukatif dari perjalanan agung ini adalah sebagai
media penyaringan untuk mengetahui siapa sebenarnya pengikut Nabi
s.a.w. yang setia dan kokoh imannya, demikian pula siapa yang pura-pura
beriman, sedang dalam hati terpendam kemunafikan. Nabi merasa perlu
mengetahui masalah ini, karena tugas kenabian setelah hijrah adalah
sangat berat, penuh dengan jihad dan peperangan, serta pengorbanan yang
tidak saja harta benda, tenaga, namun juga nyawa, demi menegakkan agama
Islam.[25]
Nilai-nilai filosofis
berikutnya yang dapat kita ambil adalah oleh-oleh yang di bawa Nabi
s.a.w. ketika mi’raj, sebagimana yang dijalaskan oleh hadits yaitu
shalat. Shalat adalah satu-satunya perintah Allah yang diterima –tanpa
perantara- langsung oleh Nabi. Oleh karena itu shalat menempati posisi
yang paling signifikan dalam ajaran Islam. Untuk itulah, Nabi s.a.w
mengajarkan kepada umatnya agar meneladaninya dalam bentuk ibadah
shalat. Nabi s.a.w bersabda, as-shalâtu mi`râjul mu’minîn, bahwa “shalat itu mi’rajnya kaum beriman.” Sebelum shalat seseorang harus bersuci, tidak sekedar thaharah dengan air atau debu, tetapi lebih kepada upaya untuk takhalli,
menyingkirkan hal-hal negatif yang ada di dalam diri kita. Dimulainya
shalat diawali dengan takbir mengagungkan DzatNya. Di dalamnya sudah tak
ada lagi waktu yang terbuang percuma karena seluruhnya berisi
puji-pujian dan doa yang mengalir di sepanjang tarikan dan hembusan
nafas kita. Ketika itulah seseorang melakukan kontemplasi, hijrah batin
atau tahalli. Menghiasi diri dengan keterpujian asma-Nya, sehingga kebenaran Tuhan termanifestasi di dalam jiwa atau tajalli.
Kemudian diakhiri dengan menebarkan salam kepada seluruh makhluk Tuhan
semesta alam. Ketika mi’raj itu seorang anak manusia dituntun oleh
Tuhannya secara langsung untuk menghadap kehadirat-Nya menuju sidratul
muntaha, suatu tempat dimana malaikat Jibril tak sanggup menempuhnya.
Maka, dalam al-Qur’an surat al-Najm [53] ayat 5, kata ‘allamahu syadîd al-Quwâ, sebenarnya memiliki arti secara umum bahwa Ia dituntun secara langsung oleh yang Maha Kuat, bukan oleh Jibril.[26]
Namun, Sidrat al-Muntaha bukanlah tempat dimana manusia bisa menjalankan misi hidupnya. Oleh sebab itu, ada proses nuzul
atau turun dalam rangka membumikan nilai-nilai Islam ke dalam berbagai
tindak sosial (transformasi sosial). Artinya, selain dikerjakan, shalat
juga harus ditegakkan secara kontinyu dalam bentuk aksi dan realisasi
nyata dalam kehidupan. Dalam bentuk amar ma’ruf nahy munkar. Menyantuni
anak yatim dan fakir miskin. Dan, dengan segenap amal perbuatan nyata
sebagai wujud rahmat Tuhan bagi semesta alam. Ketika itulah, puncak dari
Sidrat al-Muntaha diraih oleh seorang hamba.[27]
Waryono Abdul Ghafur memberikan jabaran
terkait hal ini, dia mengatakan bahwa, “Dalam al-Qur’an terdapat trilogi
yang integral, yang pengalaman salah satunya secara terpisah
menjadikannya tidak sempurna, yaitu iman, shalat dan zakat. Tiga
rangkaian itu harus menjadikan kesatuan. Iman memang bersifat pribadi,
namun ia harus terbukti secara sosial. Ini artinya, tauhid sebagai inti
keimanan harus mewujud nyata dalam kehidupan dengan prilaku tidak
diskriminatif dan subordinatif (tauhid), solidaritas sosial yang tinggi
(zakat) dan anti terhadap kekerasaan (salam sebagai penutup shalat).[28] Itulah setidaknya yang dapat kita ambil ‘ibrah atau pelajaran dari peristiwa agung ini.
Sebagai akhir dari tulisan ini, tidaklah mungkin kami menyelesaikannya tanpa adanya kehendak dari Allah ‘Azza wa Jalla
sebagaimana telah memperjalankan Muhammad dalam isra’ dan mi’rajnya.
Akhirnya kami memohon kepada Allah dengan segala puji kepada-Nya Dzat
yang Maha Suci- atas pertolongan-Nya kepada kami dalam menyusun tulisan
ini yang kami kutip dari berbagai literature. Jika ada nilai-nilai kebenaran yang bisa diambil dari tulisan ini, maka hal itu semata-mata dari Allah ‘Azza wa Jalla.
Sebaliknya jika terdapat kesalahan dalam tulisan ini, maka hal itu
semat-mata lahir keterbatasan dan kekurangan diri kami. Kepada-Mu ya
Allah, kami memohon ampunan dari kekurangan dan kelemahan diri kami.
Tasbihan wa tahmidan laka ya Allah. Ashlih Nafsaka wa al-‘Ad’u Ghairaka. Wallâhu’alam bi al-Shawwâb.
MARÂJI
Al-Atsqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar. 1407 M/1978 M. Fath al-Bârî bi Syarah Shahih Imâm Abî ‘Abdillâh Muhmmad bin ‘Ismâ’îl al-Bukhârî. ditahkik Muhbuddin al-Khathib. Dar- al-Rayyan li al-Turats. Kairo: Maktabah Salafiyah. cet. III, Jilid VII.
Al-Bûthy, Muhammad Sa’id Ramadhan. 1990 M/ 1410 H. Fiqhu al-Sîrah. Damsyiq: Dâr al-Fikr
Al-Ghazali, Muhammad. Fiqh al-Sîrah. 1987 M. Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats. cet. I
Al-Sya’rawi, Mutawalli. 1980 M. Mu’jizah al-Qur’an. Kairo: Mu’assasah Akhbar al-Yaum. jilid II.
Al-Qusyairi, Abu al-Qasyim Abdul Karim. 1980 M. Lathâ’if al-Isyârâh:Tafsîr Shûfî al-Kâmil al-Qur’ân al-Karîm, ditahkik Ibrahim Basuni. Kairo: Hai’ah al-‘Ammah li al-Kitab. cet.II.
Ghafur, Waryono Abdul. 2005. Tafsir Sosial, Mendialogkan Teks dan Konteks. Yogyakarta: eLSAQ.
Hamzah, Amir. Buletin al-Rasikh. Jum’at, 26 Rajab 1431 H/ 9 Juli 2010. No. 510, Tahun XV/2
Haraki, Abu Majdi. 2007. Misteri Isra’ dan Mi’raj. Yogyakarta: Diva Press. cet. Ke-7
Nugroho, Hari. Buletin al-Rasikh. Jum’at, 19 Rajab 1431 H/ 2 Juli 2010. No. 509, Tahun XV/2
Sya’laby, Ahmad. 1984 M. Mauû’ah al-Târîkh al-Islâm wa al-Hadhrah al-Islâmiyah. Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah. cet. XI. Jilid I.
Zaid, Musthafa. Mimbar al-Islam. edisi VII, 25 Rajab 1387 H,/ Oktober 1967 M. Suplemen
*
Alumni Pondok Pesantren Modern Darussalam Lawang-Malang, Santri Pondok
Pesantren UII dan saat ini sedang berjuang dan mengabdikan diri di
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
[1] Waryono Abdul Ghafur. Tafsir Sosial, Mendialogkan Teks dan Konteks. (Yogyakarta: eLSAQ, 2005). hal. 276-277
[2] Muhammad Sa’id Ramadhan al-Bûthy, Fiqhu al-Sîrah, (Damsyiq: Dâr al-Fikr, 1990 M/ 1410 H). hal. 134
[3] Muhammad Sa’id Ramadhan al-Bûthy, Fiqhu al-Sîrah, hal. 134
[4] Abu al-Qasyim Abdul Karim al-Qusyairi, Lathâ’if al-Isyârâh:Tafsîr Shûfî al-Kâmil al-Qur’ân al-Karîm, ditahkik Ibrahim Basuni. (Kairo: Hai’ah al-‘Ammah li al-Kitab, 1980 M), cet.II. hal. 334, dikutip Abu Majdi Haraki, Misteri Isra’ dan Mi’raj, (Yogyakarta: Diva Press, 2007), cet. Ke-7. hal. 293-294
[5] Waryono Abdul Ghafur. Tafsir Sosial, Mendialogkan Teks dan Konteks. (Yogyakarta: eLSAQ, 2005). hal. 277
[6] Ahmad bin Ali bin Hajar al-Atsqalani, Fath al-Bârî bi Syarah Shahih Imâm Abî ‘Abdillâh Muhmmad bin ‘Ismâ’îl al-Bukhârî,
ditahkik Muhbuddin al-Khathib, Dar- al-Rayyan li al-Turats, (Kairo:
Maktabah Salafiyah, 1407 M/1978 M), cet. III, Jilid VII, hal. 243-244.
Dikutip oleh Abu Majdi Haraki, Misteri Isra’ dan…. hal. 82
[7]
Namanya Fakhitah atau Hindun, tetapi kemudian hanya dikenal dengan nama
Ummu Hani’, putri Abu Thalib yang diperjodohkan dengan Hubairah, orang
berada yang juga penyair berbakat, masih sepupu Abu Thalib dari pihak
ibu, dari Banu Makhzum.
[8] Abu Majdi Haraki, Misteri Isra’ dan Mi’raj, (Yogyakarta: Diva Press, 2007), cet. Ke-7. hal. 82
[9] Amir Hamzah, Buletin al-Rasikh, Jum’at, 26 Rajab 1431 H/ 9 Juli 2010. No. 510, Tahun XV/2
[10] Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial,… hal.278
[11] Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial,… hal.278
[12] Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial, … hal. 279
[13] Hari Nugroho, Buletin al-Rasikh, Jum’at, 19 Rajab 1431 H/ 2 Juli 2010. No. 509, Tahun XV/2
[14] Hari Nugroho, Buletin al-Rasikh
[15] Hari Nugroho, Buletin al-Rasikh
[16] Hari Nugroho, Buletin al-Rasikh
[17] Hari Nugroho, Buletin al-Rasikh.
[18] Abu Majdi Haraki, Misteri Isra’ dan …
[19] Muhammad al-Ghazali, Fiqh al-Sîrah, (Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1987 M), cet. I, hal. 141-142, dalam buku Abu Majdi Haraki, Misteri Isra’ dan hal. 296
[20] Muhammad al-Ghazali, Fiqh al-Sîrah, hal. 141-142, dalam buku Abu Majdi Haraki, Misteri Isra’ dan.. hal. 296-298
[21] Muathafa Zaid, Mimbar al-Islam, edisi VII, 25 Rajab 1387 H,/ Oktober 1967 M. Suplemen, hal. 139, dikutip dalam buku Abu Majdi Haraki, Misteri Isra’ dan … hal. 298-299
[22]
Mutawalli al-Sya’rawi, Mu’jizah al-Qur’an, (Kairo:Mu’assasah Akhbar
al-Yaum, 1980 M), jilid II, hal.139. lihat dalam Abu Majdi Haraki, Misteri Isra’ dan Mi’raj, (Yogyakarta: Diva Press, 2007), cet. ke-7. hal. 308
[23] Lihat dalam Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial, Mendialogkan Teks dan Konteks,
(Yogyakarta: elSAQ, 2005), hal. 279 dan lihat pula dalam bulletin
jum’at tulisan Hari Nugroho, Buletin al-Rasikh, Jum’at, 19 Rajab 1431 H/
2 Juli 2010. No. 509, Tahun XV/2
[24] Mimbar al-Islam, edisi VII, 25 Rajab 1384 H/ Oktober 1967 M. Suplemen, hal. 139, lihat dalam Abu Majdi Haraki, Misteri Isra’ dan Mi’raj, (Yogyakarta: Diva Press, 2007), cet. ke-7. hal. 299
[25] Ahmad Sya’laby, Mauû’ah al-Târîkh al-Islâm wa al-Hadhrah al-Islâmiyah, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, 1984 M), cet. XI, Jilid I, hal. 242, lihat dalam Abu Majdi Haraki, Misteri Isra’ dan Mi’raj, (Yogyakarta: Diva Press, 2007), cet. ke-7. hal. 300
[26] Hari Nugroho, Buletin al-Rasikh
[27] Hari Nugroho, Buletin al-Rasikh
[28] Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial, … , hal. 280
0 komentar:
Posting Komentar