SELAMATAN/ KENDURI ORANG MENINGGAL, BAGAIMANA HUKUMNYA?
Islam diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW manusia agung, manusia pilihan, yang seharusnya dijadikan contoh, panutan, teladan hidup agar kehidupan manusia sesuai dengan fitrah manusia itu sediri. Kalau
kita sebagai manusia mau hidup sesuai fitrah maka tujuan hidup yang
diingiinkan yaitu bahagia dunia dan akherat pasti akan diperoleh .
Untuk hidup sesuai fitrah, manusia hanya perlu dan cukup berpedoman pada wahyu ilahi (Al Qur’an) dan sunah-sunah nabi Muhammada SAW ( Hadits-hadits shahih ). Ingatlah bahwa Islam adalah agama yang syumul, sempurna dan mengatur kehidupan dalam segala aspek kehidupan.
Banyak
kalangan di antara umat Islam sendiri mendistorsi ajaran Islam. Mereka
mengatakan bahwa Islam hanya untuk urusan hubungan pribadi antara
manusia dengan Tuhan, untuk aturan di dalam masjid. Maka
jangan heran jika ketentraman dan kesejahteraan dan keberkahan dalam
masyarakat tidak pernah akan diperoleh selama manusia tidak mau menerima
dan melaksanakan hukum-hukum yang ada di dalam Al Qur’an dan
Hadist-hadts nabi Muhammad SAW.
“Jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi
mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya”. (QS Al-A’rof: 96)
Sebagai
salah satu contoh adalah pelaksanaan adat istiadat. Banyak orang
melaksanakan adat istiadat dengan keyakinan bahwa yang dilakukan sesuai
ajaran Islam, dengan anggapan tidak bertentangan dengan ajaran Islam,
atau yang lebih ekstrim lagi berpendapat bahwa adat istiadat tidak ada
kaitannya dengan ajaran agama. Di dalam agama Islam, melaksanakan adat
istiadat adalah dibolehkan selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam ( Qur’an, dan Hadits ).
Sebagai
contoh dalam tulisan ini adalah adat istiadat selamatan/ kenduri orang
meninggal. Memang dalam urusan ini terjadi pro kontra dalam
pelaksanaannya, ada yang menghukumi boleh, ada yang menghukumi sunnah,
tetapi ada pula yang mengharamkannya. Sebaiknya masalah ini kita sikapi dengan kepala dingin, hati yang lapang, dan keinginan untuk memperoleh ridha Allah SWT. Bukan dengan hawa nafsu, gengsi, takut dicemooh orang lain ( tetapi tidak takut kalau disiksa Allah)
Berikut ini, beberapa tulisan dari ayat dan hadits tentang hal tersebut :
1. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para sahabatnya ketika Ja’far ibnu Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia :
اِصْنَعُوْا ِلآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ
Artinya :“Buatkanlah makanan bagi keluarga Ja’far karena telah datang kepada mereka hal yang menyibukkannya.” (Hadits shahih riwayat Imam Syafi’i, Ahmad, Abu Dawud, Tirmnidzi dan Ibnu Majah).
Kumpul-kumpul di rumah keluarga si mayit serta menyediakan makanan buat yang kumpul-kumpul itu merupakan macam niyahah
(meratap yang hukumnya dilarang), karena menyusahkan keluarga si mayit
dan mengingatkan mereka kepada si mayit, juga bertentangan dengan sunnah
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Jarir ibnu Abdillah berkata:
كُنَّا نَعُدُّ الاِجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامَ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ
Artinya :“Kami
menganggap kumpul-kumpul ke (rumah) keluarga si mayit dan penyediaan
makanan setelah penguburan si mayit merupakan bagian dari niyahah
(meratap).” (Hadits Shahih riwayat Ahmad dan Ibnu Majah).
3. Niyahah itu merupakan dosa besar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
اَلنَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ القِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْباَلٌ مِنْ قَطِرَانٍ
artinya :“Wanita
yang meratapi (mayit) jika dia tidak taubat sebelum dia meninggal maka
dia dibangkitkan di hari kiamat (dalam keadaan di azab) dengan
mengenakan pakaian dari cairan tembaga yang meleleh.” (HR. Muslim).
Teks fiqh atau pendapat Imam-imam tentang ta’ziyah, makan-makan, dan selamatan orang mati.
Ta’ziyah yang sesuai dengan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
hanya dilakukan di jalanan atau ketika ada di pekuburan (ketika mau
atau sudah mengubur) atau tidak apa-apa datang ke rumah keluarga si
mayit tapi tak lama dan tidak duduk.
Mari kita simak dan perhatikan perkataan Ulama’ ahlul Ilmi mengenai masalah ini:
- Perkataan
Al Imam Asy Syafi’I, yakni seorang imamnya para ulama’, mujtahid
mutlak, lautan ilmu, pembela sunnah dan yang khususnya di Indonesia
ini banyak yang mengaku bermadzhab beliau, telah berkata dalam
kitabnya Al Um (I/318) :
” Aku benci al ma’tam yaitu berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan .” ini yang biasa terjadi dan Imam Syafi’I menerangkan menurut kebiasaan yaitu akan memperbaharui kesedihan. Ini tidak berarti kalau tidak sedih boleh dilakukan. Sama sekali tidak ! Perkataan Imam Syafi’I diatas tidak menerima pemahaman terbalik atau mafhum mukhalafah. Perkataan imam kita diatas jelas sekali yang tidak bisa dita’wil atau di Tafsirkan kepada arti dan makna lain kecuali bahwa : ” beliau dengan tegas Mengharamkan berkumpul-kumpul dirumah keluarga/ahli mayit. Ini baru berkumpul saja, bagaimana kalau disertai dengan apa yang kita namakan disini sebagai Tahlilan ?”
2. 2. Imam An Nawawi berkata :
Al Imam Asy Syafii dan para pengikut madzhabnya rahimahumullah berkata : “Dan sangat
dibenci melakukan duduk untuk ta’ziyah,” mereka berkata :”Maksud dengan duduk ini adalah
keluarga si mayit duduk berkumpul agar ada orang yang datang untuk berta’ziyah, seharusnya
mereka pergi menunaikan tugasnya sehari-hari.”
(Imam An-Nawawi, Majmu’ Syarah Al-Muhaddzab, juz 15.)
- Perkataan Al Imam Ibnu Qudamah, dikitabnya Al Mughni ( Juz 3 halaman 496-497 cetakan baru ditahqiq oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki ) :
” Adapun ahli mayit membuatkan makanan untuk orang banyak maka itu satu hal yang dibenci ( haram ). Karena akan menambah ( kesusahan ) diatas musibah mereka dan menyibukkan mereka diatas kesibukan mereka dan menyerupai perbuatan orang-orang jahiliyyah. Dan telah diriwayatkan bahwasannya Jarir pernah bertamu kepada Umar. Lalu Umar bertanya, ” Apakah mayit kamu diratapi ?” Jawab Jarir, ” Tidak !” Umar bertanya lagi, ” Apakah mereka berkumpul di rumah ahli mayit dan mereka membuat makanan ? Jawab Jarir, ” Ya !” Berkata Umar, ” Itulah ratapan !”
- Perkataan Syaikh Ahmad Abdurrahman Al Banna, dikitabnya : Fathurrabbani Tartib Musnad Imam Ahmad bin Hambal ( 8/95-96) : ” Telah sepakat imam yang empat ( Abu Hanifah, Malik, Syafi’I dan Ahmad) atas tidak disukainya ahli mayit membuat makanan untuk orang banyak yang mana mereka berkumpul disitu berdalil dengan hadits Jarir bin Abdullah. Dan zhahirnya adalah HARAM karena meratapi mayit hukumnya haram, sedangkan para Shahabat telah memasukkannya ( yakni berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit ) bagian dari meratap dan dia itu (jelas) haram. Dan diantara faedah hadits Jarir ialah tidak diperbolehkannya berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit dengan alas an ta’ziyah /melayat sebagaimana dikerjakan orang sekarang ini. Telah berkata An Nawawi rahimahullah, ‘Adapun duduk-duduk (dirumah ahli mayit ) dengan alas an untuk Ta’ziyah telah dijelaskan oleh Imam Syafi’I dan pengarang kitab Al Muhadzdzab dan kawan-kawan semadzhab atas dibencinya ( perbuatan tersebut ).’ Kemudian Nawawi menjelaskan lagi, ” Telah berkata pengarang kitab Al Muhadzdzab : Dibenci duduk-duduk ( ditempat ahli mayit ) dengan alas an untuk Ta’ziyah. Karena sesungguhnya yang demikian itu adalah muhdats ( hal yang baru yang tidak ada keterangan dari Agama), sedang muhdats adalah ” Bid’ah.”
- Perkataan Al Imam An Nawawi, dikitabnya Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab (5/319-320) telah menjelaskan tentang Bid’ahnya berkumpul-kumpul dan makan-makan dirumah ahli mayit dengan membawakan perkataan penulis kitab Asy Syaamil dan ulama lainnya dan beliau menyetujuinya berdalil dengan hadits Jarir yang beliau tegaskan sanadnya shahih.
- Perkataan Al Imam Asy Syairazi, dikitabnya Muhadzdzab yang kemudian disyarahkan oleh Imam Nawawi dengan nama Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab : ” Tidak disukai /dibenci duduk-duduk ( ditempat ahli mayit ) dengan alasan untuk Ta’ziyah karena sesungguhnya yang demikian itu muhdats sedangkan muhdats adalah ” Bid’ah “.
- Perkataan Al Imam Ibnul Humam Al Hanafi, dikitabnya Fathul Qadir (2/142) dengan tegas dan terang menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah ” Bid’ah yang jelek “. Beliau berdalil dengan hadits Jarir yang beliau katakana shahih.
- Perkataan Al Imam Ibnul Qayyim, dikitabnya Zaadul Ma’aad (I/527-528) menegaskan bahwa berkumpul-kumpul ( dirumah ahli mayit ) dengan alasan untuk ta’ziyah dan membacakan Qur’an untuk mayit adalah ” Bid’ah ” yang tidak ada petunjuknya dari Nabi SAW.
- Perkataan Al Imam Asy Syaukani, dikitabnya Nailul Authar (4/148) menegaskan bahwa hal tersebut menyalahi sunnah.
- Perkataan Al Imam Ahmad bin Hambal, ketika ditanya tentang masalah ini beliau menjawab :
” Dibuatkan makanan untuk mereka (ahli mayit ) dan tidaklah mereka (ahli mayit ) membuatkan makanan untuk para penta’ziyah.” (Masaa-il Imam Ahmad bin Hambal oleh Imam Abu Dawud hal. 139) - Perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, ” Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit dan mengirimnya kepada mereka. Akan tetapi tidak disukai mereka membuat makanan untuk para penta’ziyah. Demikian menurut madzhab Ahmad dan lain-lain.” (Al Ikhtiyaaraat Fiqhiyyah hal. 93 ).
- Perkataan Al Imam Al Ghazali, dikitabnya Al Wajiz Fighi Al Imam Asy Syafi’I ( I/79), ” Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit.”
Kesimpulan:
- Bahwa berkumpul-kumpul ditempat ahli mayit hukumnya adalah BID’AH dengan kesepakatan para Shahabat dan seluruh imam dan ulama’ termasuk didalamnya imam empat.
- Akan bertambah bid’ahnya apabila ahli mayit membuatkan makanan untuk para penta’ziyah.
- Akan lebih bertambah lagi bid’ahnya apabila disitu diadakan tahlilan pada hari pertama dan seterusnya.
- Perbuatan yang mulia dan terpuji menurut SUNNAH NABI Saw kaum kerabat /sanak famili dan para tetangga memberikan makanan untuk ahli mayit yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka untuk mereka makan sehari semalam. Ini berdasarkan sabda Nabi Saw ketika Ja’far bin Abi Thalib wafat : ” Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far ! Karena sesungguhnya telah datang kepada mereka apa yang menyibukakan mereka ( yakni musibah kematian ).” (Hadits Shahih, riwayat Imam Asy Syafi’I ( I/317), Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad (I/205)
Kaum
muslimin yang dirahmati Allah SWT, Apakah perkataan orang-orang yang
ahli dalam ilmu agama tersebut masih belum meyakinkan dan kita masih
akan mencari ( mencari-cari) alasan lain?. Mudah-mudahan
Allah senantiasa melembutkan hati kita untuk siap menerima kebenaran
dan menajuhkan kita dari hawa nafsu yang dikuasahi oleh setan.
0 komentar:
Posting Komentar