Mukmin Kuat
Lebih Baik dan Lebih Dicintai Allah
Al-Hamdulillah, segala puji bagi
Allah yang dari-Nya semua nikmat berasal. Shalawat dan salam semoga
terlimpah dan tercurah kepada baginda Rasulillah Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Nikmat agama merupakan karunia
terbesar dari Allah kepada hamba-Nya. Tidak diberikan kecuali kepada
siapa yang dicintai oleh-Nya. Berbeda dengan dunia, diberikan kepada
siapa yang mendapat cinta Allah dan murka-Nya. Karena dunia bukan ukuran
baik atau buruknya seseorang di sisi Allah Ta'ala.
Bentuk nikmat agama adalah iman
kepada Allah Ta'ala. Diberikan kepada hamba-Nya laksana rizki. Satu dan
yang lainnya berbeda. Ada yang banyak dan ada yang sedikit. Yang lebih
banyak mendapat karunia ini lebih baik daripada yang lebih sedikit.
Siapa yang kuat imannya ia lebih baik dan lebih dicintai oleh Rabb-nya
daripada yang lemah. Namun, yang lemah tidak boleh diremehkan karena ia
masih memiliki iman. Karena selama manusia masih memiliki iman ia berada
dalam lingkup kebaikan.
Bertambahnya iman harus diusahan,
yakni dengan menjalankan ketaatan. Sebaliknya lemahnya iman harus
dihindarkan, yakni dengan meninggalkan kemaksiatan. Karena iman bisa
bertambah dan berkurang. Bertambah dengan ketaatan sehingga ia akan
kuat. Berkurang dengan sebab kemaksiatan sehingga ia melemah. Sedangkan
iman menjadi ukuran seseorang mulia atau tercela.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, RasulullahShallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ
وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ
أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا.
وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ
عَمَلَ الشَّيْطَانِ
"Mukmin yang kuat lebih baik dan
lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun
masing-masing ada kebaikan. Semangatlah meraih apa yang manfaat untukmu
dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap lemah. Jika
engkau tertimpa suatu musibah janganlah mengatakan, "Seandainya aku
berbuat begini dan begitu, niscaya hasilnya akan lain." Akan tetapi
katakanlah, "Allah telah mentakdirkannya, dan apa yang Dia kehendaki Dia Perbuat." Sebab, mengandai-andai itu membuka pintu setan." (HR. Muslim)
Maksud mukmin kuat dalam hadits di
atas adalah kuat imannya, bukan semata kuat fisik atau materi. Karena
kuatnya fisik dan materi akan membahayakan diri jika digunakan untuk
kemaksiatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Pada dasarnya, kuatnya fisik dan
materi bukan sebagai pijakan mulia atau tercela. Hanya saja, jika
keduanya digunakan untuk kemanfaatan di dunia dan akhirat, ia menjadi
terpuji. Sebaliknya, jika digunakan untuk kemaksiatan terhadap Allah, ia
menjadi tercela.
Kuat dalam hadits di atas mencakup
kuat fisik, jiwa, dan materi. Kemudian semua itu diikat dengan iman
kepada Allah Ta'ala, ridha dan menerima qadha' dan qadar. Sehingga
mukmin yang kuat dalam hadits di atas, adalah mukmin yang kuat tekad dan
semangatnya khususnya dalam urusan akhirat sehingga ia lebih banyak
maju melawan musuh dalam jihad, lebih semangat keluar dan pergi
menyambut jihad, lebih semangat dalam melakukan amar ma'ruf dan nahi
munkar, dan bersabar atas ujian di dalamnya. Kuatnya di sini mencakup
kuatnya kerinduan terhadap Allah Ta'ala dan menjalankan tuntutannya
berupa shalat, puasa, zikir, infak, shadaqah, dan ibadah-ibadah lainnya;
lebih aktif mencari dan menjaganya.
. . . Kuat dalam hadits di atas mencakup kuat fisik, jiwa, dan materi. Kemudian semua itu diikat dengan iman kepada Allah Ta'ala, ridha dan menerima qadha' dan qadar. . .
Sedangkan makna mukmin lemah adalah
kebalikan dari semua ini. Namun tidak boleh diremehkan, sebab ia masih
dalam lingkup baik karena masih ada iman dalam dirinya.
Kemudian Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam memerintahkan
setiap mukmin, baik yang kuat maupun yang lemah, untuk bersemangat
dalam mencari apa yang manfaat untuk dirinya dari urusan dunia dan
akhiratnya. Namun tidak boleh lupa terhadap kuasa Allah dengan
senantiasa meminta pertolongan kepada-Nya dalam menjalankan usaha
tersebut. "Semangatlah meraih apa yang manfaat untukmu dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap lemah."
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu
Syaikh menjelaskan maksud hadits di atas, "Dan maksudnya: bersemangat
dalam menjalankan sebab yang bermanfaat bagi hamba dalam urusan dunia
dan akhiratnya dari sebab-sebab yang wajib, sunnah, dan mubah yang telah
Allah syariatkan. Lalu dalam mengerjakan sebab tersebut, hamba tadi
meminta tolong kepada Allah semata, tidak kepada selain-Nya, agar sebab
itu menghasilkan dan memberi manfaat. Bersandarnya hanya kepada Allah
Ta'ala dalam mengerjakannya. Karena Allah lah yang menciptakan sebab dan
akibatnya. Suatu sebab tidak akan berguna kecuali jika Allah
mengizinkannya. Sehingga hanya kepada Allah Ta'ala semata ia bertawakkal
dalam mengerjakan sebab. Karena mengerjakan sebab adalah sunnah,
sementara tawakkal adalah tauhid. Jika ia menggabungkan keduanya, maka
akan terwujud tujuannya dengan izin Allah." (Fath al-Majid: 560)
Usaha dan isti'anah harus terus
dilakukan, tidak boleh melemah karena malas, putus harapan, perkataan
orang, perasaan tidak enak, mitos atau sebab yang tak jelas lainnya.
Karena ada sebagian orang yang sudah bersemangat menggapai apa yang
dibutuhkannya dan disyariatkan kepadanya, lalu ia melemah dan malas
sehingga meninggalkan amal tersebut. Manfaat dan mashlahat yang
dibutuhkannya hilang begitu saja sehingga ia menjadi manusia merugi.
Bagi seorang muslim jika melihat
suatu pekerjaan yang mendatangkan manfaat dan guna untuk dirinya,
hendaknya ia semangat mengerjakannya dan beristi'anah kepada Allah agar
dikuatkan dan dimudahkan, lalu komitmen dan konsisten menyelesaikan
pekerjaannya. Jika demikian berarti ia mengikuti wasiat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dalam
hadits ini sehingga ia terkategori sebagai mukmin yang kuat. Di samping
manfaat dan mashlahat yang dibutuhkannya diperoleh, ia juga mendapatkan
pahala dalam kesungguhannya tersebut.
Dikisahkan dari perjalanan hidup
Imam al-Kasai, seorang ulama ahli Nahwu, saat mulai bejalar ilmu Nahwu
beliau mendapati kesulitan sehingga hampir putus asa. Kemudian beliau
menemukan seekor semut membawa makanan ke atas tembok. Setiap semut itu
naik sedikit, ia terjatuh. Begitu berulang-ulang sehingga ia berhasil
naik ke atas. Imam al-Kasai mengambil pelajaran dari semut tersebut,
beliau bersungguh-sungguh dalam belajar sampai menjadi imam besar dalam
ilmu Nahwu.
Penutup
Tulisan ini mengajak kepada pembaca
untuk terus meninggkatkan kualitas dan kuantitas iman. Mengajak untuk
menjadi hamba Allah yang kuat imannya. Yakni dengan menguatkan semangat
dalam menggapai kemanfaatan duniawi dan ukhrawi, disertai isti'anah
kepada Allah semata. Terus semangat, konsisten dan komitmen dalam
usahanya, dan tidak melemah. Jika terjadi sesuatu yang tak sesuai
harapan, ia tidak lantas ambruk dan kapok. Tidak pula mengandai-andai,
jika tadi melakukan ini pasti terjadi sesuatu yang lain. Karena
mengandai-andai semacam ini akan membuka pintu syetan, yakni akan
menyebabkan cacian terhadap takdir, marah kepada keputusan Allah, lemah
semangat, was-was, merana dan sedih. Tetapi hendaknya ia terus menjaga
semangat dan keyakinanya kepada Allah dengan mengatakan, Qaddarallahu Wamaa Syaa-a Fa'ala (Allah telah mentakdirkannya, dan apa yang Dia kehendaki Dia Perbuat).
Wallahu Ta'ala A'lam.
0 komentar:
Posting Komentar