Bulan istimewa sebentar lagi hadir di tengah-tengah kita; bulan agung
tak lama lagi datang menghampiri; bulan besar sebentar lagi tiba
menyapa kita. Sudahkah kita siap menyambut tamu agung yang setiap tahun
menghampiri kita? Tidakkah kita rindu dengan bulan yang penuh dengan
rahmat, ampunan, dan berkah? Tidakkah kita kangen dengan bulan yang di
dalamnya Alquran diturunkan?
Apakah pintu jiwa kita tak terketuk untuk menyambut bulan yang di dalamnya ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan? Apakah hati kita tidak tertarik untuk mempersiapkan diri menyongsong kedatangan bulan yang amalan ibadah akan dilipatgandakan melebihi bulan-bulan biasa? Apakah diri kita siap menghadapi bulan perjuangan? Ya, bulan itu adalah bulan Ramadhan yang senantiasa kita tunggu-tunggu kedatangannya.
Apakah pintu jiwa kita tak terketuk untuk menyambut bulan yang di dalamnya ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan? Apakah hati kita tidak tertarik untuk mempersiapkan diri menyongsong kedatangan bulan yang amalan ibadah akan dilipatgandakan melebihi bulan-bulan biasa? Apakah diri kita siap menghadapi bulan perjuangan? Ya, bulan itu adalah bulan Ramadhan yang senantiasa kita tunggu-tunggu kedatangannya.
Bulan yang merupakan waktu yang tepat untuk
bekerja, beramal, berkontribusi sebagai ujian untuk amalan-amalan
setelahnya; bulan yang merupan momen yang tepat bagi orang muslim untuk
kembali merapatkan barisan dalam bingkai keislaman yang indah dan penuh
rahmat; bulan yang mengilhami setiap muslim agar selalu semangat dan
antusias dalam beribadah dimana pun dan kapan pun berada.
Karena
begitu agung dan besarnya bulan Ramadhan, maka sebelum kedatangannya
kita harus mempersiapkan diri agar ketika sudah masuk waktu Ramadhan,
kita sudah siap menyambutnya. Berikut ini ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan sebelum kita memasuki bulan Ramadhan. Dalam judul tulisan
di atas saya sebut sebagai: ‘7 M’ Sebelum Ramadhan. Maksudnya ialah
tujuh hal yang perlu diperhatikan benar-benar sebelum kita memasuki
bulan Ramadhan. Ketujuh hal tersebut ialah sebagai berikut:
Pertama: Memaknai Kembali Ramadhan
Yang
dimaksud dengan memaknai kembali Ramadhan ialah kita berusaha
menyegarkan kembali makna yang berkaitan dengan Ramadhan(tentunya dengan
merujuk kembali kepada Alquran dan As-Sunnah). Selama ini kita
menjumpai pada kebanyakan masyarakat muslim –pada sikap dan perilaku
yang ditunjukkan- dalam memaknai Ramadhan ialah sebagai momen untuk
melampiaskan segala amal yang dimampu. Di bulan Ramadhan banyak kita
jumpai masjid-masjid menjadi penuh, orang berinfak kian menjamur, banyak
sekali orang-orang yang tiba-tiba menjadi dermawan, banyak sekali orang
yang jarang mengaji tiba-tiba mengaji.
Kesan yang paling cepat
ditangkap melihat fenomena tersebut memberikan gambaran seolah-olah
Ramadhan adalah ‘pabrik pahala’ yang memacu seseorang untuk lembur
sebulan penuh untuk meraup ‘keuntungan pahala’ sebesar-besarnya;
seakan-akan Ramadhan menjadi semacam ‘perusahaan ampunan’ yang
dikapitalisasikan sedemikian rupa untuk mendapatkan ampunan
sebesar-besarnya, sehingga ketika keluar dari Ramadhan akan menjadi
seperti bayi yang baru dilahirkan. Meskipun keinginan untuk mendapat
pahala dan ampunan sama sekali tidak salah, tapi kalau hal itu dijadikan
fokus, maka akan berdampak negatif pada amalan-amalan sesudah Ramadhan.
Akibatnya banyak sekali orang yang kembali seperti sedia kala, karena
merasa sekeluarnya dari Ramadhan sudah terbebas dari dosa.
Ramadhan
bukanlah ‘pasar kaget’ yang kelihatan ramai dan semarak tetapi hanya
bersifat sementara. Ramadhan adalah bulan istimewa yang dipilih oleh
Allah sebagai semacam madrasah (sekolah) untuk menguji amal orang-orang
beriman di bulan-bulan selanjutnya. Kalau kita merujuk pada ayat 183
dari surat Al-Baqarah, tujuan puasa ialah: la`allakum tattaqûn
(agar kalian bertakwa). Artinya supaya amal-amal yang ada di dalamnya
menjadikan kita orang bertakwa secara kontinu baik di dalam maupun di
luar bulan Ramadhan.
Kalau kita jeli membaca ayat-ayat yang senada
dengan kata: la`allakum tattaqûn yang ada dalam Alquran, maka
puasa Ramadhan hanya menjadi salah satu media untuk menjadikan manusia
muslim bertakwa, media yang lebih luas untuk meraih takwa ialah dengan
beribadah kepada Allah (Qs. Al-Baqarah: 21). Jadi merupakan pemahaman
yang keliru jika kebanyakan orang menyangka hanya pada bulan Ramadhanlah
waktu yang tepat mengaktualisasikan segenap amalan kebaikan, karena
yang namanya ibadah –sebagai media untuk meraih ketakwaan- dilaksanakan
bukan hanya di bulan Ramadhan, tetapi juga bulan-bulan sesudahnya. Jadi
yang dimaksud dengan memaknai kembali ialah meluruskan kesalahpahaman
kebanyakan orang yang menjadikan Ramadhan sebagai ajang ‘aji mumpung’ yang terbatas pada satu bulan.
Kedua: Membiasakan Diri dengan Amal
Persepsi
yang salah dengan Ramadhan berakibat negatif pada cara menyambut bulan
Ramadhan. Banyak orang yang menyambut bulan Ramadhan dengan
persiapan-persiapan –yang sejatinya- lebih banyak bersifat materil
daripada spirituil. Tak sedikit yang menyambutnya dengan mempersiapkan
makanan sebanyak-banyaknya; membeli barang-barang yang sebenarnya tidak
terlalu dibutuhkan; bahkan ada yang sengaja membeli petasan atau yang
semacamnya supaya Ramadhan terlihat meriah. Tentu saja ini sangat
bertentangan dengan kandungan nilai Ramadhan, yang prinsip utamanya
ialah menahan diri dan mengontrol jiwa. Artinya puasa bukan disambut
dengan melampiaskan sesuatu secara materil. Puasa justru disambut dengan
kesunyian, bukan keramaian.
Puasa disambut dengan amalan-amalan yang
sudah disiapkan jauh-jauh hari sebelumnya. Karena itulah jika kita
melihat bagaimana para sahabat menyambutnya, ternyata bukan
sambutan-sambutan yang menonjolkan perkara materil. Mereka menyambutnya
dengan mepersiapkan diri pada enam bulan sebelum Ramadhan untuk
membiasakan beramal. Sehingga ketika bulan Ramadhan datang –di samping
sudah terbiasa beramal-, mereka semakin mudah untuk meningkatkan
intensitas amal, sehingga ada peningkatan dari Ramadhan ke Ramadhan.
Dengan membiasakan diri untuk beramal sebelum datangnya Ramadhan maka
kita akan memasuki Ramadhon dengan penuh kesadaran, harapan dan siap
menyambut ampunan Allah ta`âla sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallôhu `alaihi wasallam:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan (dengan penuh) iman dan harapan (meraih ridha Allah), (maka) dosa-dosanya yang telah berlalu (pasti) diampuni”(Hr.
Bukhori Muslim).
Masalahnya kemudian ialah: ungkinkah kita memiliki
keimanan dan harapan maksimal, jika kita tidak membiasakan diri sebelum
Ramadhan untuk beramal dan beramal?
Ketiga: Menanamkan Tekad yang Kuat
Yang tidak kalah pentingnya untuk dipersiapkan sebelum Ramadhan ialah: tekad yang kuat. Alquranmembahasakannya dengan kata ‘`azam’. Para Nabi dan Rasul punya yang memiliki tekad yang kuat dibanding dengan yang lainnya diistilahkan Alquran dengan istilah ‘ulul `azmi’
(yang mempunya tekad yang kuat). Tekad yang kuat akan lahir jika
sebelum Ramadhan kita bisa mengetahui ilmu tentang puasa berikut
keutamaan-keutamaan yang terkandung di dalamnya. Tekad yang kuat inilah
yang nantinya akan menjadi energi dahsyat dalam berkarya dan
berkontribusi dalam Ramadhan. Dengan tekad yang kuat, kita akan
menghadapi Ramadhan dengan penuh kesadaran dan optimisme yang tinggi.
Allah berfirman dalam Alquran:
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Lalu
apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”(Qs.
Ali Imron: 159).
Kalau tekad sudah kuat dan bulat, maka upaya
selanjutnya ialah segera merealisasikannya dengan amal-amalan nyata,
sembari tetap menyerahkan atau mewakilkan hasilnya pada Allah ta`âla . Dengan tekad yang kuat dan disertai usaha dan menyerahkan hasil pada Allah ta`âla, bukan saja kita akan dimudahkan oleh Allah ta`âla, kita juga akan dicintai oleh Nya. Betapa bahagianya jika muslim mendapatkan cinta dari Allah subhanahu wata`ala.
Kalau kita jumpai melalui litelatur sejarah bahwa para sahabat begitu
semangatnya dalam menghidupkan amal dalam bulan Ramadhan, maka salah
satu jawabannya ialah karena mereka mempunyai tekad yang kuat.
Keempat: Tazkiyatun Nafs (Mensucikan Jiwa)
Mensucikan jiwa (tazkiyatu al-nafsi)
adalah hal yang mutlak untuk dipersiapkan sebelum Ramadhan, mengingat
hanya dengan jiwa yang bersih seorang muslim bisa optimal dan maksimal
dalam beribadah. Bahkan dalam Alqurandinyatakan salah satu perkara yang
membuat beruntung ialah ketika manusia bisa mensucikan jiwanya. Allah ta`ala berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا
“Sungguh beruntung orang yang mensucikannya”(Qs.
As-Syams: 9).
Kenapa beruntung? Pada dasarnya, jika manusia mempunyai
jiwa yang bersih, maka dia akan dengan ringan dan mudah untuk melakukan
amalan kebaikan. Ibarat komputer, kalau bersih dari virus-virus dan
didukung dengan ram yang bagus, maka kerja komputer akan lancar tanpa
hambatan. Jiwa yang bersi inilah pada hakikatnya yang membantu orang
mukmin bekerja dengan giat dan semangat.
Bagaimana agar jiwa kita
berinteraksi dengan jiwa, agar senantiasa dalam kondisi yang prima? Imam
Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam magnum opusnya ‘Minhâju al-Muslim’ mengatakan ada beberapa hal yang perlu dilakukan dalam berinteraksi dengan jiwa, diantaranya sebagai berikut:
- Taubat. Untuk mengembalikan jiwa pada kondisi primanya tentu saja kita harus mensucikannya dari noda kemaksiatan dan dosa. Dalam suatu riwayat dijelaskan bahwa Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wasallam meminta ampun dalam sehari sebanyak seratus kali. Orang yang sudah dijamin masuk surga saja seperti itu, lalu bagaimana dengan kita?
Allah berfirman dalam Alquran:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا
عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ
جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ
النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ
أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا
نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Hai
orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan
nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan
menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak
menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya
mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka
mengatakan: “Ya Rabb Kami, sempurnakanlah bagi Kami cahaya Kami dan
ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”(Qs. At-Tahrim: 8).
- Muhâsabah (evaluasi diri). Muhâsabah berarti berusaha menghitung-hitung kesalahan dan kelebihan diri untuk masa depan yang lebih baik. Allah berfirman dalam Alquran:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا
قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا
تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(
Qs. Al-Hasyr: 18). Imam Abu Hamid Al-Ghozali dalam kitabnya yang berjudul: Ihyâ Ulumi al-Dîn menyitir perkataan Umar bin Khottob rodiyallohu `anhu:
حاسبوا أنفسكم قبل أن تحاسبوا وزنوها قبل أن توزنوا وتهيئوا للعرض الأكبر
“Hisablah
(evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab (di akhirat),
timbanglah sebelum kalian ditimbang, serta persiapkanlah diri kalian
untuk ‘pameran besar’(kehidupan akhirat). Bahkan Umar menulis surat pada
Abu Musa Al-Asy`ari: “Evaluasilah dirimu keti dalam kondisi lapang,
sebelum datangnya masa perhitungan di waktu susah (akhirat)”. Jadi
evaluasi diri merupakan hal yang sangat penting untuk jiwa agar berada
pada kondisi terbaiknya.
- Mujâhadah(bersungguh-sungguh). Untuk mendapatkan hasil terbaik, mau tidak mau seorang muslim harus bersungguh-sungguh. Apalagi dengan urusan yang berkaitan dengan pensucian jiwa untuk diorientasikan pada kehidupan akhirat. Allah berfirman dalam Alquran:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Dan
orang-orang yang bersungguh-sungguh pada(jalan) kami, maka sungguh akan
kami tunjukkan pada jalan kami, dan sesungguhnya Allah benar-benar
bersama orang yang muhsinin(berbuat baik)” (Qs. Al-`Ankabut: 69).
- Murôqobah(Merasa diawasi oleh Allah ta`ala)
Yang terakhir yang tidak kalah pentingnya ialah murôqobah yaitu sebuah kesadaran internal dari seorang mukmin bahwa Allah mengawasi segenap gerakgeriknya. Hatinya selalu on dengan Allah subhanahu wata`ala. Ia sadar betul dengan firman Allah ta`ala:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tidaklah perkataan diucapkan melainkan padanya ada (malaikat) Roqib dan `Atid”(Qs.
Qof: 18).
Sehingga ia berusaha menjaga diri untuk tidak melakukan
maksiyat dan dosa. Keimanan membuatnya sadar bahwa segala yang
dilakukannya akan dipantau oleh malaikat yang bertugas mencatat amal. Ia
juga ingat betul firman Allah ta`ala: “Sesungguhnya adalah Allah Maha Mengawasi kalian”(Qs. An-Nisa: 1). Itulah empat hal yang bisa membantu jiwa agar senantiasa bersih dan bisa berada dalam kondisi terbaiknya. Wallohu a`lam.
Kelima: Memanjatkan Doa
Manusia hanya bisa berusaha dan berikhtiar. Apapun hasilnya pasti Allah ta`ala
yang menentukan. Hanya saja yang perlu diperhatikan dan cicamkan
baik-baik ialah jangan sampai kita terlena dengan usaha yang akan kita
kerahkan, khususnya jika kita mempersiapkan amal amal untuk menghadapi
Ramadhan. Amal saja tidak cukup untuk mendapatkan hasil yang bagus, kita
perlu ‘melibatkan Allah’ dengan cara berdo`a kepadanya. Berdoa
merupakan hal sangat penting bagi mu`min. Imam tirmidzi meriwayatkan: “Berdoa adalah otak ibadah”.
Artinya doa itu merupakan hal sangat penting dan inti dalam ibadah
mukmin. Tetapi yang perlu ditekankan di sini ialah dalam berdoa kita
harus optimis untuk dikabulkan. Nabi Muhammad shollallahu `alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah
seorang muslim berdoa kecuali dikabulkannya. Bisa dengan dipercepat
pemberiannya di dunia, bisa dijadikan tabungan baginya di akherat dan
bisa juga dihapuskan dosa-dosanya setara dengan doanya selama ia tidak
berdoa sambil berbuat dosa atau memutuskan silaturahmi atau meminta
cepat-cepat dikabulkan.” (HR. At Tirmidzi dari Abu Hurairah).
Hadits ini mengajarkan kita tetap optimis. Para sahabat dan ulama salaf
tak henti-hentinya memanjatkan doa agar dipertemukan dengan Ramadhan.
Sekali lagi, doa adalah hal sangat penting untuk dilakukan sebelum
datangnya Ramadhan.
Keenam: Merencanakan Kegiatan
Ada ungkapan menarik berupa: Kebenaran yang tak terorganisir dengan baik, (pasti) akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir dengan baik.
Sangat benar ungkapan itu. Sebaik apapun i`tikad dan usaha kita dalam
menyambut Ramadhan, tetapi tidak pernah kita rencanakan sebelumnya, maka
akan kacau. Dengan manajemen waktu dan perencanaan yang baik, kegiatan
di bulan Ramadhan akan berjalan dengan baik, terarah dan teratur. Dari
sejarah para Nabi kita bisa mengambil pelajaran berharga betapa segenap
urusannya sangat terencana dan teraratur dengan baik. Kegiatan rutin dan
intens beliau setiap Ramadhan sudah terencana dengan baik.
Di antara
kegiatan beliau ialah: Membaca dan mendaras Alquran (langsung disimak
Jibril), bersedekah dan berinfak melebihi hari-hari biasanya, beri`tikaf
di sepuluh hari terakhir serta amalan-amalan lain yang terencana dengan
baik oelh beliau. Bahkan dalam bulan Ramadhan beliau pernah mendapatkan
kemenangan luar biasa dalam pertempuran Badar dan Fathu Makkah(Pembebasan
Mekah). Ini tidak akan diraih –setelah izin Allah- tanpa ada
perencanaan can strategi yang matang. Para sahabat pun demikian, mereka
sudah punya rencana menyambut Ramadhan dengan amal jauh-jauh hari
sebelum Ramadhan.
Ketujuh: Memilih Amal Unggulan
Yang
terakhir dan perlu diperhatikan ialah kita harus memilih amalan
unggulan apa yang kiranya nanti bisa kita laksanakan dengan baik sesuai
dengan kemampuan kita. Tidak semua orang bisa melakukan segala amal; dan
tidak semua orang bisa mendawami atau istiqomah dengan amalnya, maka
memilih amalan yang paling bisa untuk dikerjakan dan didawami adalah
perkara yang sangat penting. Dalam Alquran sendiri yang dijadikan acuan
ialah bukan banyaknya amal tapi sebaik-baik amalan. Kita tidak akan
mungkin mendapatkan amalan terbaik jika kita tidak mampu istiqomah dalam
menjalankannya. Amalan sedikit tapi dawam lebih dicintai oleh Allah
daripada banyak tapi tak dawam. Nabi bersabda:
أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
“Amal yang paling dicintai oleh Allah ialah yang paling dawam(langgeng, istiqomah) meskipun sedikit”(Hr.
Bukhari dan Muslim).
Dengan memilih amalan unggulan, akan membantuh
mengarahkan kita pada amal yang terbaik dan dicintai Allah ta`ala.
Para sahabat pun tidak semua yang mampu mengerjakan segala amal. Ada
yang spesialis beramal dalam sedekah, ada yang dalam belajar, ada juga
yang beramal dalam bidang jihad perang dan lain sebagainya.
Jadi
menentukan sejak awal amal unggulan yang pas dengan kita akan membantu
kita dalam meraih amalan terbaik dan berkesinambungan dalam bulan
Ramadhan.
Wallahu a`lam bi al-Showab.
2 komentar:
yeyeeee, ramadhan sebentar lagi :) yu kita sambut dengan ceria datang nya bulan suci ini :)
Yuk yuk..yuk...ok siapkan diri kita u/menyambutnya Bulan yg penuh kebaikan2 dan keberkahan Aamiin...Alya Dewina Maryam makasih komen baiknya ya...Sip semangat!
Posting Komentar