Selasa, 11 Juni 2013

Saudaraku Muslim di Pegunungan Tengah Papua

Secercah Cahaya di Pegunungan Tengah Papua
  
Sejenak kita tinggalkan huru-hara politik ini, bosan juga terkadang melihat TV dan media yang berisi pemberitaan seputar dunia politik. “Akhi kita tinggalkan saja tontonan yang menyesakkan dada ini, insya Allah sudah ada qiyadah-qiyadah kita di sana yang akan mengurusnya, semoga mereka diberikan kekuatan”. Kata salah seorang Ustadz semalam ketika berdiskusi. Ya kita harus tetap bekerja, riak-riak ini tidak akan membuat kita berhenti di sini.


Mari kita jalan-jalan ke Pegunungan Tengah Papua , jauh di ujung timur Indonesia, di tempat paling awal matahari terbit di Negeri ini. bersilaturrahim dengan saudara-saudara kita meski hanya lewat tulisan ini. Pengalaman saya ketika pertama kali bertemu dengan Masyarakat asli Papua yang memeluk Islam.

“Assalamu’alaikum” Senyum khasnya terkembang menyapa kami ketika berpapasan di jalan, seorang mama separuh baya dengan Noken di kepalanya berisi ubi dan sayuran. Seorang anak kecil di belakangnya tanpa sandal dan celana, ingusnya meler hampir mencapai bibir atas, usianya mungkin sekitar 2-3 tahun. malu-malu bersembunyi di belakang mamanya yang menyapa kami.

“Walaikumussalam” jawabku langsung , setengah tak percaya, saya julurkan tangan menyalami beliau diikuti dengan kawan2 yang lain.

“Halaok Nausa” lanjutku dalam bahasa setempat, sapaan untuk mama-mama di sini.
“Halaok Nayak” Jawabnya masih dengan senyum mengembang,sapaan dari seorang ibu kepada seseorang yang sudah dianggap anak, menunjukkan sebuah kedekatan kekeluargaan.

Mendengar ia mengucapkan salam tadi saya masih setengah tak percaya, saya merinding mendengarnya ketika keluar dari seorang warga asli Papua. Tidak seperti biasanya ketika kita bertemu dengan rombongan mama-mama  di jalan yang biasanya dengan senyum terkembang menyapa dengan “selamat pagi, siang, atau sore”. Karena daerah Pegunungan Tengah Papua ini mayoritas penduduk asli beragama Nasrani.

Kulitnya hitam, rambutnya keriting khas ciri masyarakat Papua. Seperti kebanyakan mereka sangat ramah, sangat senang ketika kita mau menyapa mereka, menyalami,berbincang sesaat bahkan kalau mereka sudah merasa sangat dekat ketika bertemu mereka akan memeluk kita. Senyumnya itu lho yang sesuatu, seperti yang pernah di kultwitkan pak Fahri Hamzah tentang film di Timur Matahari “ Senyum mereka membuat kita tersenyum…”. Tidak semuanya benar yang selama ini kita persepsikan kalau orang Papua itu Kasar. Tergantung kita sebenarnya untuk memasukkan diri ke dalam komunitas mereka.

“mama mau kemana e..?”
“sa mau ke pasar anak, sa pergi dulu e, Assalamu’alaikum”. ia kembali menyalami kami dan bergegas pergi menuju pasar di Wamena.

Alhamdulillah senangnya rasanya bisa bertemu dan berinteraksi langsung, akhirnya kami lanjutkan perjalanan menuju ke Pesantren tempat anak-anak di sini bersekolah. Makin banyak bertemu dengan masyarakat muslimnya, melihat anak-anak di pesantren dengan jilbab dan baju kokonya, beberapa santri sedang bermain tanpa alas kaki di lapangan pesantren.

Setelah mengisi buku tamu, berbincang sejenak dengan ustadz/ah nya tentang kondisi muslim dan santri di pesantren itu. Ada beberapa keluhan yang masih menjadi problem di pesantren, seperti sarana prasarana yang masih minim, pembiayaan pesantren yang masih bergantung dengan sumbangan masyarakat ala kadarnya, sehingga guru-guru juga nyaris tak di gaji, makanan anak-anak juga terkesan tidak layak. Bagaimana bisa kita yang mayoritas Muslim di Negeri ini membiarkan saudara-saudara kita ini berjuang sendirian. Akhirnya ke depannya kita sepakat dengan kawan-kawan untuk sering mengangkat kan kegiatan dan berupaya membantu masyarakat Muslimnya di sini agar mereka tidak merasa sendiri di Negeri ini. Karena bukan perkara yang mudah untuk mempertahankan aqidah di tengah kondisi minoritas dan problem sejengkal perut yang harus selalu terisi.

Jayawijaya sendiri berdasarkan data 2010 memiliki jumlah penduduk 199.557 jiwa dan ada sekitar ±1000  masyarakat asli yang memeluk agama Islam yang tersebar di beberapa perkampungan seperti Air garam, Megapura, Hitigima, Tulima, Walesi, Assolipelema dan di Wamena sendiri. Hanya saja mereka sepertinya tidak terperhatikan dengan baik, rata-rata masih ekonomi di bawah garis kemiskinan, bermata pencaharian sebagai petani ubi dan sayuran, ya hanya sekedar untuk makan saja kalau berlebih mereka akan bawa ke kota untuk di jual. Masih banyak yang belum bisa baca tulis.

Selama 2012 kita Alhamdulillah berhasil mengangkatkan beberapa kali baksos, di Walesi kita berbuka bersama dengan santri, membagikan baju lebaran, perlengkapan sekolah. Baksos/pembagian sembako di Air garam, Buka puasa bersama dan pembagian THR di Hitigima, baksos di Megapura, Qurban 3 ekor sapi  dan 1 kambing di perkampungan-perkampungan muslim, pengobatan gratis di Assolipelema. Alhamdulillah ada beberapa donatur dan kawan-kawan dari Sumatera dan Jawa yang berbaik hati untuk berbagi dengan saudara-saudara kita ini, semoga Allah membukakan pintu Rejeki buat mereka.

Saudaraku, jangan kita biarkan secercah cahaya ini redup. Harapan itu masih ada di sini, lahirnya generasi Bilal  berkulit legam bersuara merdu dan dimuliakan di sisi Rasulullah. Salam cinta kami untuk seluruh saudara-saudara kami di manapun berada. (dakwatuna.com)


0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution