Secercah Cahaya di Pegunungan Tengah Papua
Sejenak kita tinggalkan huru-hara politik ini, bosan juga terkadang
melihat TV dan media yang berisi pemberitaan seputar dunia politik.
“Akhi kita tinggalkan saja tontonan yang menyesakkan dada ini, insya
Allah sudah ada qiyadah-qiyadah kita di sana yang akan mengurusnya,
semoga mereka diberikan kekuatan”. Kata salah seorang Ustadz semalam
ketika berdiskusi. Ya kita harus tetap bekerja, riak-riak ini tidak akan
membuat kita berhenti di sini.
Mari kita jalan-jalan ke
Pegunungan Tengah Papua , jauh di ujung timur Indonesia, di tempat
paling awal matahari terbit di Negeri ini. bersilaturrahim dengan
saudara-saudara kita meski hanya lewat tulisan ini. Pengalaman saya
ketika pertama kali bertemu dengan Masyarakat asli Papua yang memeluk
Islam.
“Assalamu’alaikum” Senyum khasnya terkembang menyapa kami
ketika berpapasan di jalan, seorang mama separuh baya dengan Noken di
kepalanya berisi ubi dan sayuran. Seorang anak kecil di belakangnya
tanpa sandal dan celana, ingusnya meler hampir mencapai bibir atas,
usianya mungkin sekitar 2-3 tahun. malu-malu bersembunyi di belakang
mamanya yang menyapa kami.
“Walaikumussalam” jawabku langsung ,
setengah tak percaya, saya julurkan tangan menyalami beliau diikuti
dengan kawan2 yang lain.
“Halaok Nausa” lanjutku dalam bahasa setempat, sapaan untuk mama-mama di sini.
“Halaok
Nayak” Jawabnya masih dengan senyum mengembang,sapaan dari seorang ibu
kepada seseorang yang sudah dianggap anak, menunjukkan sebuah kedekatan
kekeluargaan.
Mendengar ia mengucapkan salam tadi saya masih
setengah tak percaya, saya merinding mendengarnya ketika keluar dari
seorang warga asli Papua. Tidak seperti biasanya ketika kita bertemu
dengan rombongan mama-mama di jalan yang biasanya dengan senyum
terkembang menyapa dengan “selamat pagi, siang, atau sore”. Karena
daerah Pegunungan Tengah Papua ini mayoritas penduduk asli beragama
Nasrani.
Kulitnya hitam, rambutnya keriting khas ciri masyarakat
Papua. Seperti kebanyakan mereka sangat ramah, sangat senang ketika kita
mau menyapa mereka, menyalami,berbincang sesaat bahkan kalau mereka
sudah merasa sangat dekat ketika bertemu mereka akan memeluk kita.
Senyumnya itu lho yang sesuatu, seperti yang pernah di kultwitkan pak
Fahri Hamzah tentang film di Timur Matahari “ Senyum mereka membuat kita
tersenyum…”. Tidak semuanya benar yang selama ini kita persepsikan
kalau orang Papua itu Kasar. Tergantung kita sebenarnya untuk memasukkan
diri ke dalam komunitas mereka.
“mama mau kemana e..?”
“sa mau ke pasar anak, sa pergi dulu e, Assalamu’alaikum”. ia kembali menyalami kami dan bergegas pergi menuju pasar di Wamena.
Alhamdulillah
senangnya rasanya bisa bertemu dan berinteraksi langsung, akhirnya kami
lanjutkan perjalanan menuju ke Pesantren tempat anak-anak di sini
bersekolah. Makin banyak bertemu dengan masyarakat muslimnya, melihat
anak-anak di pesantren dengan jilbab dan baju kokonya, beberapa santri
sedang bermain tanpa alas kaki di lapangan pesantren.
Setelah
mengisi buku tamu, berbincang sejenak dengan ustadz/ah nya tentang
kondisi muslim dan santri di pesantren itu. Ada beberapa keluhan yang
masih menjadi problem di pesantren, seperti sarana prasarana yang masih
minim, pembiayaan pesantren yang masih bergantung dengan sumbangan
masyarakat ala kadarnya, sehingga guru-guru juga nyaris tak di gaji,
makanan anak-anak juga terkesan tidak layak. Bagaimana bisa kita yang
mayoritas Muslim di Negeri ini membiarkan saudara-saudara kita ini
berjuang sendirian. Akhirnya ke depannya kita sepakat dengan kawan-kawan
untuk sering mengangkat kan kegiatan dan berupaya membantu masyarakat
Muslimnya di sini agar mereka tidak merasa sendiri di Negeri ini. Karena
bukan perkara yang mudah untuk mempertahankan aqidah di tengah kondisi
minoritas dan problem sejengkal perut yang harus selalu terisi.
Jayawijaya
sendiri berdasarkan data 2010 memiliki jumlah penduduk 199.557 jiwa dan
ada sekitar ±1000 masyarakat asli yang memeluk agama Islam yang
tersebar di beberapa perkampungan seperti Air garam, Megapura, Hitigima,
Tulima, Walesi, Assolipelema dan di Wamena sendiri. Hanya saja mereka
sepertinya tidak terperhatikan dengan baik, rata-rata masih ekonomi di
bawah garis kemiskinan, bermata pencaharian sebagai petani ubi dan
sayuran, ya hanya sekedar untuk makan saja kalau berlebih mereka akan
bawa ke kota untuk di jual. Masih banyak yang belum bisa baca tulis.
Selama
2012 kita Alhamdulillah berhasil mengangkatkan beberapa kali baksos, di
Walesi kita berbuka bersama dengan santri, membagikan baju lebaran,
perlengkapan sekolah. Baksos/pembagian sembako di Air garam, Buka puasa
bersama dan pembagian THR di Hitigima, baksos di Megapura, Qurban 3 ekor
sapi dan 1 kambing di perkampungan-perkampungan muslim, pengobatan
gratis di Assolipelema. Alhamdulillah ada beberapa donatur dan
kawan-kawan dari Sumatera dan Jawa yang berbaik hati untuk berbagi
dengan saudara-saudara kita ini, semoga Allah membukakan pintu Rejeki
buat mereka.
Saudaraku, jangan kita biarkan secercah cahaya ini
redup. Harapan itu masih ada di sini, lahirnya generasi Bilal berkulit
legam bersuara merdu dan dimuliakan di sisi Rasulullah. Salam cinta kami
untuk seluruh saudara-saudara kami di manapun berada. (dakwatuna.com)
Oleh Mukri Nasution
0 komentar:
Posting Komentar