Memuliakan Anak Perempuan
Kelahiran anak laki-laki, hingga kini, dianggap sebagai
pelanggeng garis keturunan keluarga. Tak sedikit pula yang menjadikannya
penanda kehormatan. Sebaliknya, berbagai belitan kesedihan dan rasa
malu menghantui pasangan yang ‘hanya’ dikaruniai anak perempuan.
Padahal, dalam Islam, jika anak-anak perempuan itu dimuliakan yang
terurai dalam sikap kasih sayang, memberikan pendidikan dan pengajaran
agama yang baik, janji surga telah menantikannya.
Perasaan kecil hati kadang menyelimuti pasangan yang belum juga
dikaruniai anak laki-laki. Bahkan tak sedikit orang tua yang lebih
mendambakan bayi yang hendak lahir ini laki-laki dibanding keinginan
untuk mendapatkan anak perempuan. Demikianlah keadaan mayoritas manusia
sebagaimana dikatakan Rasulullah dalam hadits ‘Aisyah :
“Barangsiapa yang diberi cobaan dengan anak perempuan kemudian ia
berbuat baik pada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya
dari api neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 1418 dan Muslim no. 2629)
Al-Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa Rasulullah menyebutnya sebagai ibtila’ (cobaan), karena biasanya orang tidak menyukai keberadaan anak perempuan. (Syarh Shahih Muslim, 16/178) Bahkan dulu pada masa jahiliyah, orang bisa merasa sangat terhina dengan lahirnya anak perempuan. Sehingga tergambarkan dalam firman Allah :
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar gembira dengan kelahiran anak perempuan, merah padamlah wajahnya dan dia sangat marah.
Dia menyembunyikan diri dari orang banyak karena buruknya berita yang
disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memelihara anak itu dengan
menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya hidup-hidup di dalam
tanah? Ketahuilah, betapa buruknya apa yang mereka tetapkan itu.”
(An-Nahl: 58-59)
Sementara di dalam Kitab-Nya yang mulia, Allah mengancam perbuatan mengubur anak-anak perempuan. Allah berfirman:
“Dan ketika anak perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, atas dosa apakah dia dibunuh.” (At-Takwir: 8-9)
Al-Mau`udah adalah anak perempuan yang dikubur hidup-hidup oleh orang-orang jahiliyah karena kebencian terhadap anak perempuan. Pada hari kiamat, dia akan ditanya atas dosa apa dia dibunuh, untuk mengancam orang yang membunuhnya. Apabila orang yang dizalimi ditanya (pada hari kiamat kelak, pen.), maka bagaimana kiranya persangkaan orang yang berbuat zalim (tentang apa yang akan menimpanya, pen.)? (Tafsir Ibnu Katsir, 8/260)
Demikianlah Islam memuliakan anak perempuan. Selain dalam Al Qur’an, dalam Sunnah Rasulullah didapati pula larangan yang jelas dari mengubur anak perempuan. Hadits ini disampaikan oleh Al-Mughirah bin Syu’bah , bahwa Nabi bersabda:
“Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian durhaka pada ibu,
menolak untuk memberikan hak orang lain dan menuntut apa yang bukan
haknya, serta mengubur anak perempuan hidup-hidup. Dan Allah membenci
bagi kalian banyak menukilkan perkataan, banyak bertanya, dan
menyia-nyiakan harta.” (HR. Al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 593)
Wa`dul banat adalah menguburkan anak perempuan hidup-hidup sehingga mereka mati di dalam tanah. Ini merupakan dosa besar yang membinasakan pelakunya, karena merupakan pembunuhan tanpa hak dan mengandung pemutusan hubungan kekerabatan. (Syarh Shahih Muslim, 12/11)
Di sisi lain, dalam agama yang mulia ini ada anjuran agar orang tua yang dikaruniai anak perempuan memuliakan anaknya. Allah yang menganugerahkan anak perempuan telah menjanjikan surga bagi hamba-Nya yang berbuat kebaikan kepada anak perempuannya.
Aisyah pernah mengatakan:
Seorang wanita miskin datang kepadaku membawa dua anak perempuannya,
maka aku memberinya tiga butir kurma. Kemudian dia memberi setiap
anaknya masing-masing sebuah kurma dan satu buah lagi diangkat ke
mulutnya untuk dimakan. Namun kedua anak itu meminta kurma tersebut,
maka si ibu pun membagi dua kurma yang semula hendak dimakannya untuk
kedua anaknya. Hal itu sangat menakjubkanku sehingga aku ceritakan apa
yang diperbuat wanita itu kepada Rasulullah . Beliau berkata:
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan baginya surga dan membebaskannya
dari neraka.” (HR. Muslim no. 2630)
Dalam riwayat dari Anas bin Malik , Rasulullah n juga menyebutkan kedekatannya dengan orang tua yang memelihara anak-anak perempuan mereka dengan baik kelak pada hari kiamat:
“Barangsiapa yang mencukupi kebutuhan dan mendidik dua anak perempuan
hingga mereka dewasa, maka dia akan datang pada hari kiamat nanti dalam
keadaan aku dan dia (seperti ini),” dan beliau mengumpulkan jari
jemarinya. (HR. Muslim no. 2631)
Al-Imam An-Nawawi t menjelaskan, hadits-hadits ini menunjukkan keutamaan seseorang yang berbuat baik kepada anak-anak perempuannya, memberikan nafkah, dan bersabar terhadap mereka dan dalam segala urusannya. (Syarh Shahih Muslim, 16/178)
Masih berkenaan dengan keutamaan membesarkan dan mendidik anak perempuan, seorang shahabat, ‘Uqbah bin ‘Amir pernah mendengar Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang memiliki tiga orang anak perempuan, lalu dia
bersabar atas mereka, memberi mereka makan, minum, dan pakaian dari
hartanya, maka mereka menjadi penghalang baginya dari api neraka kelak
pada hari kiamat.” (Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih
Al-Adabil Mufrad no. 56: “Shahih”)
Tidak hanya itu saja, dalam berbagai riwayat Rasulullah juga menggarisbawahi hal ini. Jabir bin Abdillah mengatakan, Rasulullah pernah bersabda:
“Barangsiapa yang memiliki tiga orang anak perempuan yang dia jaga,
dia cukupi dan dia beri mereka kasih sayang, maka pasti baginya surga.”
Seseorang pun bertanya, “Dua juga, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,
“Dan dua juga.” (Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih
Al-Adabil Mufrad no. 58: “Hasan”)
Abdullah bin ‘Abbas juga meriwayatkan dari beliau :
“Tidaklah seorang muslim yang memiliki dua anak perempuan yang telah
dewasa, lalu dia berbuat baik pada keduanya, kecuali mereka berdua akan
memasukkannya ke dalam surga.” (Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 57: “Hasan lighairihi”)
Agama yang sempurna ini juga memberikan gambaran tentang pengungkapan sikap kasih sayang orang tua kepada anak perempuannya. Rasulullah memberikan contoh bagi umat beliau melalui pergaulannya dengan putri beliau, Fathimah . Tentang ini, ‘Aisyah berkisah:
“Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih mirip dengan Nabi
dalam cara bicara maupun duduk daripada Fathimah.” ‘Aisyah berkata lagi,
“Biasanya apabila Nabi melihat Fathimah datang, beliau mengucapkan
selamat datang padanya, lalu berdiri menyambutnya dan menciumnya,
kemudian beliau menggamit tangannya hingga beliau dudukkan Fathimah di
tempat duduk beliau. Begitu pula apabila Nabi datang padanya, maka
Fathimah mengucapkan selamat datang pada beliau, kemudian berdiri
menyambutnya, menggandeng tangannya, lalu menciumnya.” (Dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 725)
Demikian pula yang dilakukan oleh sahabat beliau yang terbaik, Abu Bakr Ash-Shiddiq . Diceritakan oleh Al-Bara` bin ‘Azib :
“Aku pernah masuk bersama Abu Bakr menemui keluarganya. Ternyata
‘Aisyah putrinya sedang terbaring sakit panas. Aku pun melihat Abu Bakr
mencium pipi putrinya sambil bertanya, ‘Bagaimana keadaanmu, wahai
putriku?” (HR. Al-Bukhari no. 3918)
Dalam hal pemberian, Islam juga mengajarkan untuk memberikan bagian yang sama antara anak laki-laki dan perempuan. Hal ini berdasarkan hadits An-Nu’man bin Basyir :
“Ayahku pernah memberiku sebagian hartanya, lalu ibuku, ‘Amrah bintu
Rawahah, mengatakan padanya, “Aku tidak ridha hingga engkau minta
persaksian Rasulullah .” Maka ayahku pun menemui Rasulullah untuk
meminta persaksian beliau. Kemudian Rasulullah bertanya padanya,
“Apakah ini kau lakukan pada semua anakmu?” “Tidak,” jawab ayahku.
Beliau pun bersabda, “Bertakwalah kepada Allah tentang urusan
anak-anakmu.” Ayahkupun kembali dan mengambil kembali pemberian itu.”
(HR. Al-Bukhari no. 2650 dan Muslim no. 1623)
Al-Imam An-Nawawi t menjelaskan tentang hadits ini bahwa semestinya orang tua menyamakan di antara anak-anaknya dalam hal pemberian. Dia berikan pada seorang anak sesuatu yang semisal dengan yang lain dan tidak melebihkannya, serta menyamakan pemberian antara anak laki-laki dan perempuan. (Syarh Shahih Muslim, 11/29)
Begitu pula dari sisi pendidikan, orang tua harus memberikan pengajaran dan pengarahan kepada anak-anaknya, termasuk anak perempuannya. Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:
“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orang tuanyalah
yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana binatang
ternak akan melahirkan binatang ternak yang sempurna. Apakah engkau
lihat ada binatang yang lahir dalam keadaan telah terpotong telinganya?”
(HR. Al-Bukhari no. 1385)
Seorang anak yang terlahir di atas fitrah ini siap menerima segala kebaikan dan keburukan. Sehingga dia membutuhkan pengajaran, pendidikan adab, serta pengarahan yang benar dan lurus di atas jalan Islam. Maka hendaknya kita berhati-hati agar tidak melalaikan anak perempuan yang tak berdaya ini, hingga nantinya dia hidup tak ubahnya binatang ternak. Tidak mengerti urusan agama maupun dunianya. Sesungguhnya pada diri Rasulullah ada teladan yang baik bagi kita. (Al-Intishar li Huquqil Mukminat, hal. 25)
Bahkan ketika anak perempuan ini telah dewasa, orang tua selayaknya tetap memberikan pengarahan dan nasehat yang baik. Ini dapat kita lihat dari kehidupan seseorang yang terbaik setelah Rasulullah , Abu Bakr Ash-Shiddiq, dalam peristiwa turunnya ayat tayammum. Diceritakan peristiwa ini oleh ‘Aisyah :
“Kami pernah keluar bersama Rasulullah dalam salah satu safarnya.
Ketika kami tiba di Al-Baida’ atau di Dzatu Jaisy tiba-tiba kalungku
hilang. Rasulullah pun singgah di sana untuk mencarinya, dan
orang-orang pun turut singgah bersama beliau dalam keadaan tidak ada air
di situ. Lalu orang-orang menemui Abu Bakr sembari mengeluhkan,
“Tidakkah engkau lihat perbuatan ‘Aisyah? Dia membuat Rasulullah dan
orang-orang singgah di tempat yang tak ada air, sementara mereka pun
tidak membawa air.” Abu Bakr segera mendatangi ‘Aisyah. Sementara itu
Rasulullah sedang tidur sambil meletakkan kepalanya di pangkuanku. Abu
Bakr berkata, “Engkau telah membuat Rasulullah dan orang-orang
singgah di tempat yang tidak berair, padahal mereka juga tidak membawa
air!” Aisyah melanjutkan, “Abu Bakr pun mencelaku dan mengatakan apa
yang ia katakan, dan dia pun menusuk pinggangku dengan tangannya. Tidak
ada yang mencegahku untuk bergerak karena rasa sakit, kecuali karena
Rasulullah sedang tidur di pangkuanku. Keesokan harinya, Rasulullah
bangun dalam keadaan tidak ada air. Maka Allah turunkan ayat tayammum
sehingga orang-orang pun melakukan tayammum. Usaid ibnul Hudhair pun
berkata, “Ini bukanlah barakah pertama yang ada pada kalian, wahai
keluarga Abu Bakr.” ‘Aisyah berkata lagi, “Kemudian kami hela unta yang
kunaiki, ternyata kami temukan kalung itu ada di bawahnya.” (HR.
Al-Bukhari no. 224 dan Muslim no. 267)
Al-Imam An-Nawawi mengatakan bahwa di dalam hadits ini terkandung ta`dib (pendidikan adab) seseorang terhadap anaknya, baik dengan ucapan, perbuatan, pukulan, dan sebagainya. Di dalamnya juga terkandung ta`dib terhadap anak perempuan walaupun dia telah dewasa, bahkan telah menikah dan tidak lagi tinggal di rumahnya. (Syarh Shahih Muslim, 4/58)
Inilah di antara pemuliaan Islam terhadap keberadaan anak perempuan. Tidak ada penyia-nyiaan, tidak ada peremehan dan penghinaan. Bahkan diberi kecukupan, dilimpahi kasih sayang diiringi pendidikan yang baik, agar kelak memberikan manfaat bagi kedua orang tuanya di negeri yang kekal abadi.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
0 komentar:
Posting Komentar