Cepatlah Sebelum Terlambat!
Hari demi hari berlalu, dosa demi dosa kita perbuat, kemaksiatan demi
kemaksiatan menorehkan luka menganga dan noda-noda hitam di dalam hati
kita, Maha Suci Allah!! Seolah-olah tidak ada hari kebangkitan,
seolah-olah tidak ada hari pembalasan, seolah-olah tidak ada Zat yang
maha melihat segala perbuatan dan segala yang terbesit di dalam benak
pikiran, di gelapnya malam apalagi di waktu terangnya siang, innallaha bikulli syai’in ‘aliim (Sesungguhnya Allah, mengetahui segala sesuatu).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ
تَوْبَةً نَّصُوحاً عَسَى رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ
وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا
يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى
بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا
نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan
taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Robb-mu
akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah
(surga) yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah
tidak menghinakan nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang
cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil
mereka mengatakan: ‘Ya Robb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami
dan ampunilah Kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu.’” (Qs. At Tahriim: 8)
Allahumma, betapa zalimnya diri ini, bergelimang dosa dan
mengaku diri sebagai hamba, hamba macam apakah ini? yang tidak malu
berbuat maksiat terang-terangan di hadapan pandangan Robb ‘azza wa
jalla, wahai jiwa… kenalilah kehinaan dirimu, sadarilah keagungan Robb
yang telah menciptakan dan memberikan nikmat tak berhingga kepadamu,
ingatlah pedihnya siksa yang menantimu jika engkau tidak segera
bertaubat.
Cepatlah kembali tunduk kepada Ar Rahman, sebelum terlambat. Karena
apabila ajal telah datang maka tidak ada seorang pun yang bisa
mengundurkannya barang sekejap ataupun menyegerakannya, ketika maut itu
datang… beribu-ribu penyesalan akan menghantui dan bencana besar ada di
hadapan; siksa kubur yang meremukkan dan gejolak membara api neraka yang
menghanguskan kulit-kulit manusia, subhaanAllah, innallaha syadiidul ‘iqaab
(sesungguhnya Allah, hukuman-Nya sangat keras). Padahal tidak ada satu
jiwa pun yang tahu di bumi mana dia akan mati, kapan waktunya, bisa jadi
seminggu lagi atau bahkan beberapa detik lagi, siapa yang tahu?
Bangkitlah segera dari lumpur dosa dan songsonglah pahala, dengan
sungguh-sungguh bertaubat kepada Robb tabaaraka wa ta’ala.
Hakikat dan Kedudukan Taubat
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama mengatakan: Taubat itu wajib dilakukan untuk setiap dosa yang diperbuat.” (Syarah Riyadhu Shalihin,
I/56). Beliau juga berkata, “(Taubat) itu memiliki tiga rukun:
meninggalkannya, menyesal atas perbuatan maksiatnya itu, dan bertekad
kuat untuk tidak mengulanginya selama-lamanya. Apabila maksiat itu
berkaitan dengan hak manusia, maka ada rukun keempat yaitu membebaskan
diri dari tanggungannya kepada orang yang dilanggar haknya. Pokok dari
taubat adalah penyesalan, dan (penyesalan) itulah rukunnya yang
terbesar.” (Syarah Shahih Muslim, IX/12)
Beliau rahimahullah juga mengatakan, “…Mereka (para ulama)
telah sepakat bahwa taubat dari segala maksiat (hukumnya) wajib, dan
(mereka juga sepakat) taubat itu wajib dilakukan dengan segera dan tidak
boleh ditunda-tunda, sama saja apakah maksiat itu termasuk dosa kecil
atau dosa besar. Taubat merupakan salah satu prinsip agung di dalam
agama Islam dan kaidah yang sangat ditekankan di dalamnya…” (Syarah Shahih Muslim, IX/12) Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah
berkata, “Taubat secara bahasa artinya kembali, adapun menurut syariat,
taubat artinya kembali dari mengerjakan maksiat kepada Allah ta’ala
menuju ketaatan kepada-Nya. Taubat yang terbesar dan paling wajib adalah
bertaubat dari kekufuran menuju keimanan.
Allah ta’ala berfirman,
قُل لِلَّذِينَ كَفَرُواْ إِن يَنتَهُواْ يُغَفَرْ لَهُم مَّا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُواْ فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الأَوَّلِينِ
Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: Jika mereka
berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka
tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu.” (Qs. Al Anfaal: 38).
Kemudian tingkatan berikutnya adalah bertaubat dari dosa-dosa besar,
kemudian diikuti dengan tingkatan ketiga yaitu bertaubat dari dosa-dosa
kecil.” (Syarah Riyadhu Shalihin, I/56)
Al Quran Memerintahkanmu Bertaubat
Allah ta’ala berfirman,
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An Nuur: 31)
Syaikh Abdur-Rahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah mengatakan setelah menyebutkan penggalan ayat “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman.”
: Sebab seorang mukmin itu, (memiliki) keimanan yang menyerunya untuk
bertaubat, kemudian (Allah) mengaitkan taubat itu dengan keberuntungan,
Allah berfirman (yang artinya): “Supaya kamu beruntung”, maka
tidak ada jalan menuju keberuntungan kecuali dengan taubat, yaitu
kembali dari segala sesuatu yang dibenci Allah, lahir maupun batin,
menuju segala yang dicintai-Nya, lahir maupun batin. Dan ini menunjukkan
bahwasanya setiap mukmin itu membutuhkan taubat, sebab Allah menujukan
seruan-Nya kepada seluruh orang yang beriman. Dan di dalam (penggalan
ayat) ini juga terkandung dorongan untuk mengikhlaskan taubat, yaitu
dalam firman-Nya (yang artinya) “Dan bertaubatlah kepada Allah”
artinya: bukan untuk meraih tujuan selain mengharapkan wajah-Nya,
seperti karena ingin terbebas dari bencana duniawi atau karena riya dan
sum’ah, atau tujuan-tujuan rusak yang lainnya.” (Taisir Karim ar-Rahman, hal. 567). Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya
keberuntungan yang sebenarnya berada pada (ketundukan) melaksanakan apa
yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, serta dengan meninggalkan apa
yang dilarang oleh keduanya, wallahu ta’ala huwal musta’aan (dan Allah-lah satu-satunya tempat meminta pertolongan).” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, V/403).
As-Sunnah Memerintahkanmu Bertaubat
Dari Abu Hurairoh radhiallahu ‘anhu dia berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Demi
Allah, sesungguhnya aku meminta ampun/beristighfar kepada Allah dan
bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih banyak dari 70 kali.” (HR. Bukhari, dinukil dari Syarah Riyadhu Shalihin, I/64) Dari Al Agharr bin Yasar Al Muzanni radhiallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Wahai manusia, bertaubatlah kepada Allah dan minta ampunlah kepada-Nya, sesungguhnya aku ini bertaubat 100 kali dalam sehari.” (HR. Muslim, dinukil dari Syarah Riyadhu Shalihin, I/64) Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Di dalam dua hadits ini terdapat dalil kewajiban bertaubat, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya, beliau bersabda (yang artinya), “Wahai manusia, bertaubatlah kepada Allah” sehingga apabila seorang insan bertaubat kepada Robbnya maka dengan sebab taubat itu akan diperoleh dua faedah:
Faidah pertama: Melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan
dengan melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya (itulah) terkandung
segala kebaikan. Di atas (kepatuhan) melaksanakan perintah Allah dan
Rasul-Nya itulah terdapat poros dan sumber kebahagiaan dunia dan
akhirat. Faidah kedua: Meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana beliau itu senantiasa bertaubat kepada Allah dalam sehari sebanyak 100 kali, yakni dengan mengucapkan: Atuubu ilallah, atuubu ilallah (aku bertaubat kepada Allah),…dst.” (Syarah Riyadhu Shalihin, I/65) Beliau rahimahullah juga berkata, “Dan di dalam kedua hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah orang yang paling taat beribadah kepada Allah, dan memang
demikianlah sifat beliau. Beliau itu adalah orang yang paling takut
kepada Allah di antara kita, beliau orang paling bertakwa kepada Allah
di antara kita, dan beliau adalah orang paling berilmu tentang Allah di
antara kita, semoga sholawat dan keselamatan dari-Nya senantiasa
tercurah kepada beliau. Dan di dalamnya juga terdapat dalil yang
menunjukkan bahwa beliau ‘alaihis sholatu wassalam adalah sosok
pengajar kebaikan dengan ucapannya dan dengan perbuatannya. Beliau
senantiasa beristigfar kepada Allah dan menyuruh orang-orang agar
beristigfar, sehingga mereka pun bisa meniru beliau, demi melaksanakan
perintahnya dan mengikuti perbuatannya. Ini merupakan bagian dari
kesempurnaan nasihat yang beliau berikan kepada umatnya, shalawatullahi wa salamuhu ‘alaihi.
Maka sudah semestinya kita juga meniru beliau, apabila kita
memerintahkan sesuatu maka hendaknya kita adalah orang pertama yang
melaksanakan perintah ini. Dan apabila kita melarang sesuatu hendaknya
kita juga menjadi orang pertama yang meninggalkannya, sebab inilah
sebenarnya hakikat da’i ilallah (penyeru kepada agama Allah), bahkan inilah hakikat dakwah ilallah ‘azza wa jalla, anda lakukan apa yang anda perintahkan dan anda tinggalkan apa yang anda larang, sebagaimana Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita bertaubat dan beliau ‘alaihi shalatu wa sallam
juga bertaubat (bahkan) lebih banyak daripada kita. Kita mohon kepada
Allah untuk menerima taubat kami dan Anda sekalian, serta semoga Dia
memberi petunjuk kepada kami dan Anda sekalian menuju jalan yang lurus. Wallahul muwaffiq (Allah lah pemberi taufiq).” (Syarah Riyadhu Shalihin, I/66)
Syarat-Syarat Diterimanya Taubat
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan lima buah syarat yang harus dipenuhi agar taubat diterima, beliau berkata:
Syarat pertama: Ikhlas untuk Allah, yaitu orang (yang bertaubat)
hendaknya mengharapkan wajah Allah ‘azza wa jalla dengan taubatnya itu
dan berharap supaya Allah menerima taubatnya serta mengampuni maksiat
yang telah dilakukannya, dengan taubatnya itu ia tidak bermaksud riya di
hadapan manusia atau demi mendapatkan kedekatan dengan mereka, dan
bukan juga semata-mata demi menyelamatkan diri dari gangguan penguasa
dan pemerintah kepadanya. Tapi dia bertaubat hanya demi mengharapkan
wajah Allah dan pahala di negeri akhirat dan supaya Allah memaafkan
dosa-dosanya.
Syarat kedua: Menyesali perbuatan maksiat yang telah dilakukannya,
sebab perasaan menyesal dalam diri seorang manusia itulah yang
membuktikan dia benar/jujur dalam bertaubat, ini artinya dia menyesali
apa yang telah diperbuatnya dan merasa sangat sedih karenanya, dan dia
memandang tidak ada jalan keluar darinya sampai dia (benar-benar)
bertaubat kepada Allah dari dosanya.
Syarat ketiga: Meninggalkan dosa yang dilakukannya itu, ini termasuk
syarat terpenting untuk diterimanya taubat. Meninggalkan dosa itu
maksudnya: apabila dosa yang dilakukan adalah karena meninggalkan
kewajiban, maka meninggalkannya ialah dengan cara mengerjakan kewajiban
yang ditinggalkannya itu, seperti contohnya: ada seseorang yang tidak
membayar zakat, lalu dia ingin bertaubat kepada Allah maka dia harus
mengeluarkan zakat yang dahulu belum dibayarkannya. Apabila ada
seseorang yang dahulu meremehkan berbakti kepada kedua orang tua
(kemudian ingin bertaubat) maka dia harus berbakti dengan baik kepada
kedua orang tuanya. Apabila dia dahulu meremehkan silaturahim maka kini
dia wajib menyambung silaturahim. Apabila maksiat itu terjadi dalam
bentuk mengerjakan keharaman maka dia wajib bersegera meninggalkannya,
dia tidak boleh meneruskannya walaupun barang sekejap. Apabila misalnya
ternyata dia termasuk orang yang memakan harta riba maka wajib baginya
melepaskan diri dari riba dengan cara meninggalkannya dan menjauhkan
diri darinya dan dia harus menyingkirkan harta yang sudah diperolehnya
dengan cara riba. Apabila maksiat itu berupa penipuan dan dusta kepada
manusia dan mengkhianati amanat maka dia harus meninggalkannya, dan
apabila dia telah meraup harta dengan cara haram ini maka dia wajib
mengembalikan harta itu kepada pemiliknya atau meminta penghalalan
kepadanya. Apabila maksiat itu berupa ghibah/menggunjing maka dia wajib
meninggalkan gunjingan terhadap manusia dan meninggalkan pembicaraan
yang menjatuhkan kehormatan-kehormatan mereka. Adapun apabila dia
mengatakan “Saya sudah bertaubat kepada Allah”, akan tetapi
ternyata dia masih terus meninggalkan kewajiban atau masih meneruskan
perbuatan yang diharamkan, maka taubat ini tidaklah diterima. Bahkan
taubat seperti ini sebenarnya seolah-olah merupakan tindak pelecehan
terhadap Allah ‘azza wa jalla, bagaimana engkau bertaubat kepada Allah
‘azza wa jalla sementara engkau masih terus bermaksiat kepada-Nya?!
Dalam kondisi bagaimanapun setiap insan harus meninggalkan dosa yang
dia sudah bertaubat darinya, apabila dia tidak meninggalkannya maka
taubatnya tertolak dan tidak akan bermanfaat baginya di sisi Allah ‘azza
wa jalla. Meninggalkan dosa itu bisa berkaitan dengan hak Allah ‘azza
wa jalla, maka yang demikian itu cukuplah bagimu bertaubat antara dirimu
dengan Robb-mu saja, kami berpendapat tidak semestinya atau bahkan
tidak boleh anda ceritakan kepada manusia perbuatan haram atau
meninggalkan kewajiban yang pernah anda kerjakan. Hal itu karena dosa
ini hanya terjadi antara dirimu dengan Allah. Apabila Allah sudah
memberimu karunia dengan tertutupnya dosamu (dari pengetahuan manusia)
dan menutupi dosamu sehingga tidak tampak di mata manusia, maka
janganlah anda ceritakan kepada siapa pun apa yang sudah anda lakukan
jika anda telah bertaubat kepada Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Seluruh umatku akan dimaafkan, kecuali orang-orang yang berbuat dosa secara terang-terangan” dan termasuk terang-terangan dalam berbuat dosa ialah seperti yang diceritakan di dalam hadits, “Seseorang
melakukan dosa lalu pada pagi harinya dia menceritakannya kepada
manusia, dia katakan, ‘Aku telah melakukan demikian dan demikian…’.”
Walaupun memang ada sebagian ulama yang mengatakan: Apabila seseorang
telah melakukan suatu dosa yang terdapat hukum had padanya maka tidak
mengapa dia pergi kepada imam/pemerintah yang berhak menegakkan hudud
seperti kepada Amir/khalifah dan dia laporkan bahwa dia telah melakukan
dosa anu dan ingin membersihkan diri dari dosa itu, meskipun ada yang
berpendapat begitu maka sikap yang lebih utama adalah menutupi dosanya
dalam dirinya sendiri. Artinya dia tetap diperbolehkan menemui pemerintah apabila telah
melakukan suatu maksiat yang ada hukum had padanya seperti contohnya
zina, lalu dia laporkan, ‘kalau dia telah berbuat demikian dan demikian’ dalam rangka meminta penegakan hukum had kepadanya sebab had itu merupakan penebus/kaffarah atas dosa tersebut.Adapun kemaksiatan-kemaksiatan yang lain maka tutupilah cukup di
dalam dirimu, sebagaimana Allah telah menutupinya, demikian pula zina
dan yang semacamnya tutuplah di dalam dirimu (kecuali jika ditujukan
untuk melapor kepada pemerintah) janganlah engkau membuka kejelekan
dirimu. Dengan catatan selama engkau benar-benar bertaubat kepada Allah
atas dosamu maka selama itu pula Allah menerima taubat dari
hamba-hamba-Nya dan memaafkan banyak perbuatan dosa…
Adapun syarat keempat adalah: Bertekad kuat tidak mau mengulangi
perbuatan ini di masa berikutnya. Apabila engkau tetap memiliki niat
untuk masih mengulanginya ketika terbuka kesempatan bagimu untuk
melakukannya, maka sesungguhnya taubat itu tidak sah. Contohnya: ada
seseorang yang dahulu menggunakan harta untuk bermaksiat kepada Allah -wal ‘iyaadzu billah-: yaitu dengan membeli minuman-minuman yang memabukkan, dia melancong ke berbagai negeri demi melakukan perzinaan -wal ‘iyaadzu billah- dan untuk bermabuk-mabukan!! Lalu dia pun tertimpa kemiskinan (hartanya habis) dan mengatakan: “Ya Allah sesungguhnya aku bertaubat kepadamu” padahal sebenarnya dia itu dusta, di dalam niatnya masih tersimpan
keinginan apabila urusan (harta) nya sudah pulih seperti kondisi semula
maka dia akan melakukan perbuatan dosanya yang semula.Ini adalah taubat yang bobrok, engkau (mengaku) bertaubat atau tidak
bertaubat (sama saja) karena engkau bukanlah termasuk orang yang mampu
bermaksiat (ini yang tertulis di kitab aslinya, tapi mungkin maksudnya
adalah engkau bukan termasuk orang yang serius meninggalkan maksiat, wallahu a’lam -pent), sebab memang ada sebagian orang yang tertimpa pailit lalu mengatakan “Aku telah meninggalkan dosa-dosaku”
tetapi di dalam hatinya berbisik keinginan kalau hartanya yang lenyap
sudah kembali maka dia akan kembali melakukan maksiat itu untuk kedua
kalinya, maka ini adalah taubat yang tidak diterima.
Syarat kelima: Engkau berada di waktu taubat
masih bisa diterima, apabila ada seseorang yang bertaubat di waktu
taubat sudah tidak bisa diterima lagi maka saat itu taubat tidak lagi
bermanfaat. Hal itu ada dua macam: Macam yang pertama dilihat dari sisi
keadaan setiap manusia. Macam kedua dilihat dari sisi keumuman. Adapun ditinjau dari sudut pandang pertama, maka taubat itu harus
sudah dilakukan sebelum datangnya ajal (yakni kematian) sehingga apabila
ia terjadi setelah ajal menjemput maka ia tidak akan bermanfaat bagi
orang yang bertaubat itu, ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa
ta’ala,
وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الآنَ
“Dan tidaklah Taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang
mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang
di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: ‘Sesungguhnya saya bertaubat
sekarang.’” (Qs. An Nisaa’: 18), mereka itu sudah tidak ada lagi taubat baginya.
Dan Allah ta’ala berfirman:
فَلَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا قَالُوا آمَنَّا بِاللَّهِ
وَحْدَهُ وَكَفَرْنَا بِمَا كُنَّا بِهِ مُشْرِكِينَ فَلَمْ يَكُ
يَنفَعُهُمْ إِيمَانُهُمْ لَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا سُنَّتَ اللَّهِ
الَّتِي قَدْ خَلَتْ فِي عِبَادِهِ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْكَافِرُونَ
“Maka tatkala mereka melihat azab kami, mereka berkata: ‘Kami
beriman Hanya kepada Allah saja, dan kami kafir kepada sembahan-sembahan
yang Telah kami persekutukan dengan Allah.’ Maka iman mereka tiada
berguna bagi mereka tatkala mereka Telah melihat siksa kami. Itulah
sunnah Allah yang Telah berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. dan di waktu
itu binasalah orang-orang kafir.” (Qs. Al Mu’min: 84-85)
Maka seorang insan apabila sudah berhadapan dengan maut dan ajal
sudah mendatanginya ini berarti ia sudah hampir terputus dari
kehidupannya maka taubatnya itu tidak berada pada tempat yang
semestinya! Sesudah dia berputus asa untuk bisa hidup lagi dan
mengetahui dia tidak bisa hidup untuk seterusnya maka dia pun baru mau
bertaubat! Ini adalah taubat di saat terjepit, maka tidaklah itu
bermanfaat baginya, dan tidak akan diterima taubatnya, sebab seharusnya
taubat itu dilakukannya sejak dahulu (ketika masih hidup normal, bukan
di ambang ajal -pent).
Macam yang kedua: yaitu dilihat dari sudut pandang keadaan umum (seluruh manusia -pent), sesungguhnya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa, “Hijrah
(berpindah dari negeri kafir menuju negeri muslim -pent) tidak akan
pernah terputus hingga terputusnya (kesempatan) taubat, dan (kesempatan)
taubat itu tidak akan terputus hingga matahari terbit dari sebelah
barat.” Sehingga apabila matahari sudah terbit dari sebelah barat,
maka di saat itu taubat sudah tidak bermanfaat lagi bagi siapa pun.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لاَ يَنفَعُ نَفْساً
إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِن قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي
إِيمَانِهَا خَيْراً قُلِ انتَظِرُواْ إِنَّا مُنتَظِرُونَ
“Pada hari datangnya sebagian ayat dari Tuhanmu, tidaklah
bermanfaat lagi iman seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman
sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya.
Katakanlah: ‘Tunggulah olehmu Sesungguhnya kamipun menunggu (pula).’”
(Qs. Al An’aam: 158). Sebagian ayat yang dimaksud di sini adalah
terbitnya matahari dari arah barat sebagaimana hal itu telah ditafsirkan
sendiri oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dengan demikian maka taubat itu hanya akan diterima di saat mana
taubat masih bisa diterima, jika tidak berada dalam kondisi seperti itu
maka sudah tidak ada (kesempatan) taubat lagi bagi manusia.” (Syarah Riyadhu Shalihin, I/57-61 dengan diringkas)
Sambutlah Surga Dengan Taubatan Nasuha
Allah ta’ala menjanjikan balasan yang sangat agung bagi mereka yang
bertaubat kepada-Nya dengan taubatan nasuha.
Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ
تَوْبَةً نَّصُوحاً عَسَى رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ
وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا
يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى
بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا
نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan
taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Robb-mu
akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak
menghinakan nabi dan orang-orang mukmin yang bersama Dia; sedang cahaya
mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka
mengatakan: ‘Ya Robb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan
ampunilah Kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.’” (Qs. At Tahriim: 8)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata
tentang makna taubatan nasuha, “Yang dimaksud dengannya adalah taubat
yang umum yang meliputi seluruh dosa, taubat yang dijanjikan hamba
kepada Allah, dia tidak menginginkan apa-apa kecuali wajah Allah dan
kedekatan kepada-Nya, dan dia terus berpegang teguh dengan taubatnya itu
dalam semua kondisinya.” (Taisir Karim ar-Rahman, hal. 874)
Ibnu Jarir berkata dengan membawakan sanadnya sampai Nu’man bin
Basyir, beliau (Nu’man) pernah mendengar ‘Umar bin Khaththab berkata
(membaca ayat):
ا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحا
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).”
Beliau (Umar) berkata: “(yaitu orang) yang berbuat dosa kemudian tidak mengulanginya.”
Ats Tsauri mengatakan: “Dari Samak dari Nu’man dari ‘Umar, beliau
pernah berkata: ‘Taubat yang murni adalah (seseorang) bertaubat dari
dosanya kemudian dia tidak mengulanginya dan tidak menyimpan keinginan
untuk mengulanginya.’” Abul Ahwash dan yang lainnya mengatakan, dari
Samak dari Nu’man: “Bahwa Umar pernah ditanya tentang (makna) taubatan
nasuha, maka beliau menjawab: ‘Seseorang bertaubat dari perbuatan
buruknya kemudian tidak mengulanginya lagi untuk selama-lamanya.’”
(Lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim karya Imam Ibnu Katsir, VI/134). Ibnu Abi Hatim mengatakan dengan membawakan sanadnya sampai ‘Ubay bin
Ka’ab, beliau (Ubay) berkata, “Diceritakan kepada kami (para sahabat)
berbagai perkara yang akan terjadi di akhir umat ini ketika mendekati
waktu terjadinya hari kiamat, di antara kejadian itu adalah: seorang
lelaki yang menikahi istri atau budaknya di duburnya, dan hal itu
termasuk perbuatan yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, yang dimurkai
oleh Allah dan Rasul-Nya, dan di antaranya juga seorang lelaki yang
menikahi lelaki, dan hal itu termasuk perbuatan yang diharamkan Allah
dan Rasul-Nya yang dimurkai oleh Allah dan Rasul-Nya, dan di antaranya
lagi seorang perempuan yang menikahi perempuan, dan hal itu termasuk
perbuatan yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, yang dimurkai oleh Allah
dan Rasul-Nya, dan bagi mereka itu semua tidak ada sholat selama mereka
tetap mengerjakan dosa-dosa ini sampai mereka bertaubat kepada Allah
dengan taubatan nasuha.” (Lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, VI/135)
Sebab-Sebab Meraih Ampunan
Allah ta’ala berfirman,
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِّمَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً ثُمَّ اهْتَدَى
“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.” (Qs. Thahaa: 82)
Syaikh Abdur-Rahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah
menyebutkan ada 4 sebab yang akan memudahkan hamba meraih ampunan dari
Allah, beliau mengatakan setelah menyebutkan ayat di atas, “Dengan ayat
ini Allah telah merinci sebab-sebab yang bisa ditempuh untuk menggapai maghfirah/ampunan dari Allah.
Yang pertama, taubat, yaitu kembali dari segala yang dibenci Allah;
baik lahir maupun batin, menuju segala yang dicintai-Nya; baik lahir
maupun batin, taubat itulah yang akan menutupi dosa-dosa yang pernah
dilakukan sebelumnya; yang kecil maupun yang besar.
Kedua, iman, yaitu pengakuan dan pembenaran yang kokoh dan menyeluruh
terhadap semua berita yang disampaikan Allah dan Rasul-Nya, yang
menuntut berbagai amalan hati, kemudian harus diikuti dengan amalan
anggota badan. Dan tidak perlu diragukan lagi bahwa keimanan kepada
Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rosul-Nya dan hari akhir yang
tidak disertai keraguan di dalam hati merupakan landasan pokok
ketaatan, bagian terbesar darinya bahkan (iman itulah) yang menjadi
asasnya. Dan tak perlu disangsikan lagi bahwa hal itu akan mampu menolak
berbagai keburukan sesuai kadar kekuatan imannya, iman (seseorang) akan
bisa menolak dosa yang belum terjadi dengan menahan dirinya dari
terjatuh ke dalamnya, dan bisa menolak dosa yang sudah terlanjur terjadi
dengan cara melakukan apa yang bisa meniadakannya dan menjaga hatinya
dari ajakan meneruskan perbuatan dosa, karena sesungguhnya orang yang
beriman itu di dalam relung hatinya terdapat keimanan dan cahayanya yang
tidak akan mau menyatu dengan kemaksiatan-kemaksiatan.
Ketiga, amal shalih, ini mencakup amalan hati, amalan anggota badan
dan ucapan lisan, dan kebaikan-kebaikan (hasanaat) itulah yang akan
menghilangkan keburukan-keburukan (sayyi’aat).
Keempat, konsisten (terus menerus) berada di atas keimanan dan
hidayah serta terus berupaya meningkatkannya, barang siapa
menyempurnakan keempat sebab ini maka berilah berita gembira kepadanya
dengan maghfirah dari Allah yang menyeluruh dan sempurna. Oleh sebab inilah Allah menggunakan bentuk sifat mubalaghah (kata yang menunjukkan makna sangat berlebihan -pent),
Allah berfirman,
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ
“Sesungguhnya Aku Maha pengampun (Ghaffaar).” (Qs. Thahaa: 82)….”
(Dinukil dengan sedikit penyesuaian dari Taisir Lathif al-Mannan fi Khulashati Tafsir al-Qur’an, hal. 263-264).
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika
Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya
Pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (Qs. Al A’raaf: 23)
-------------------------------------------
0 komentar:
Posting Komentar