Senin, 05 November 2012

Untuk Apa Kita Shalat

“Shalat adalah mi’ rajnya orang beriman”, demikian sabda Rasul saw. Alangkah agung makna sabda tersebut bagi para pecinta. Dalam setiap shalatnya, seorang pecinta akan bercengkerama dengan Zat yang dicintainya. Sehingga tidaklah heran apabila banyak riwayat yang menyebutkan bahwa baginda Rasul saw dan para syi’ahnya selalu menanti-nantikan tibanya waktu pelaksanaan shalat.


Ibadah shalat merupakan ajang bagi seorang pecintauntuk secara langsung berkeluh kesah dan menyampaikan kerinduannya kepada Zat yang dicintainya. Setiap pecinta yang hendak menunaikan shalat akan mempersiapkan betul keadaan dirinya dengan berhias sebaik mungkin. Sebabnya, pada saat itu dirinya akan berjumpa dengan kekasihnya, Allah swt. Ibadah shalat juga merupakan sarana komunikasi antara manusia dengan Allah swt. Bahkan, boleh dibilang sebgai sarana terbaik. Karena itulah, dalam berbagai riwayat, disebutkan bahwa shalat merupakan tonggak agama.

Tujuan utama dari pelaksanaan ibadah shalat adalah mendekatkan dan selalu mengingatkan manusia kepada Tuhannya. Dengan begitu, mereka tidak akan sampai terjerumus dalam lembah kenistaan. Inilah intisari dari uraian yang akan disampaikan Imam Ali Khamenei dalam bukunya yang amat berharga ini.

Dengan cara yang memukau, beliau memaparkan tentang makna sebenarnya dari ibadah shalat dan apa pengaruh positifnya; selain pula mengemukakan tentang apa saja yang harus dipersiapkan seseorang yang hendak shalat. Uraian beliau yang begitu padat, gamlang, namun kaya makna ini, memudahkan siapapun untuk memahaminya. Semoga Allah swt memberikan inayah kepada kita semua sehingga memiliki kesanggupan untuk mencerna dengan baik apa yang diinginkan penulis dengan uraiannya tentang shalat.

Daftar Isi

Makna Shalat
Ibadah Shalat
I. Allahu Akbar
II. Isi Surat al-Fatihah
III. Isi Surat at-Tauhid
IV. Tasbihat Arba’ah
V.Ruku’
VI. Sujud
VII. Tasyahhud
VIII. Penutup Ibadah Shalat

Makna Shalat
Bismillahir Rahmanir Rahim
Dengan Nama Allah Mahapengasih Mahapenyayang
“Dan orang-orang yang berpegang teguh dengan al-Kitab (Taurat) serta mendirikan shalat, (akan diberi pahala) karena sesungguhnya Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (al-A’raf: 170)
Nabi saw bersabda, “Perbuatan ruku’ dan sujud (dalam shalat) ibarat mengetuk pintu gerbang alam ghaib. Tatkala seseorang terus-menerus mengetuk pintu tersebut, niscaya dirinya akan diliputi kebahagiaan tiada tara.”[1]

Ibadah shalat pada dasarnya merupakan ajang untuk mendekatkan hubungan seseorang dengan Tuhannya, atau antara Pencipta dengan makhluk-Nya. Dalam hal ini, ibadah shalat memiliki pengaruh terapis terhadap manusia. Terlebih terhadap mereka yang hatinya hancur, bersedih lantaran dihimpit kesulitan, atau merasa jiwanya terganggu dan tertekan. Ibadah shalat menjadikan ruh kita tenang dan pikiran kita damai. Ibadah shalat merupakan langkah awal yang tulus dalam upaya menghentikan segenap kejahatan serta kebiasaan buruk seseorang. Dan pada gilirannya, ia akan menggantikannya dengan pelbagai tindakan positif dan bermanfaat.

Ibadah shalat merupakan program kejiwaan untuk menemukan, mengembangkan, dan merekonstruksi jati diri manusia. Pendeknya, ibadah shalat merupakan sarana menghubung manusia kepada sumber utama segenap kebaikan, yakni Allah swt. Mengapa iabadah shalat sangat diperintahkan dan dianggap sebagai pilar utama Islam? Mengapa seluruh amal shalih seseorang tidak dinilai kecuali ia menunaikan kewajiban shalat hariannya?

Adakah manfaat lain di balik pelaksanaan ibadah shalat harian kita? Tentu saja, shalat harian mengandungi manfaat dari perbagai sisi. Kita akan menelaah lebih jauh tentangnya. 

Pertama, mari kita mencari tahu tentang tujuan penciptaan manusia dari sudut pandang Islam. Persoalan ini bahkan menjadi pusat perhatian Islam. Kita percaya bahwa Allah yang Mahakuasa menciptakan kita, manusia, demi suatu tujuan. Maksudnya, manusia diharuskan untuk mengikuti jalan yang lurus dan meraih tujuan tertentu (tanpa penyimpangan apapun). Oleh sebab itu, kita harus benar-benar mengenal arah dari tujuan tersebut dan senantiasa mengendapkannya dalam benak. Ketahuilah, barangsiapa yang teguh hati niscaya tidak akan kehilangan pandangan objektifnya dan akan terus melangkah di atas titian yang lurus. Namun tetaplah waspada! Di samping jalan lurus tersebut, terdapat pula berbagai jalan lain yang terkadang amat mirip dengannya, namun tidak berujung oada tujuan dan maksud. Ya, ia harus segera meninggalkan semua itu. Untuk lebih yakin dan aman, seyogianya mereka mengikuti segenap perintah dan anjuran pemimpin (nabi). Maksud dan tujuan dari semua itu adalah terjadinya pertumbuhan dan perkembangan terus menerus pada diri manusia dalam proses kembali kepada Allah. Kita harus berusaha mengembangkan segenap potensi kita yang tersembunyi setinggi mungkin. Hasilnya, kita akan menemukan kembali jati diri kita serta sanggup memanfaatkan seluruh keahlian kita demi kebaikan diri –alam dan manusia. Demikianlah, kita harus mengenal Allah dan mematuhi ketetapan-Nya demi terciptanya kebahagiaan hidup. Dengan mengikuti suatu ajaran, seseorang akan memperoleh nilai lebih bagi kehidupannya. Menghidupkan berbagai kebiasaan baik dan membuang yang buruk akan menjadikan kehidupan seseorang penuh makna. Hidup tanpa kehati-hatian tiada berguna dan sia-sia belaka. Di sini kita bisa membandingkan kehidupan kita dengan belajar di sekolah atau bekerja di sebuah laboratorium. Kita semua tahu, seseorang tidak akan mendapatkan apapun dari pelajaran atau pekerjaannya itu apabila tidak mematuhi segenap aturan dan prosedur yang diberlakukan. Demikian pula dengan mengikuti pelajaran di sekolah kehidupan.  Dalam hal ini, kita diharuskan untuk menelaah dan memahami segenap hukum dan prinsip hasil rumusan Allah. Dengan mamatuhi dan menerapkan segenap hukum tersebut dalam kehidupan sehari-hari, kita niscaya akan mengecap keberhasilan. Melalaikannya, atau bahkan menentangnya, hanya akan menghasilkan penderitaan. Bukan yang lain. Agama menyediakan arah dan petunjuk bagi umat dalam mencapai tujuan hidupnya. Dan, lebih oenting dari itu, agama mendekatkan manusia kepada Tuhan. Kedekatan kepada Allah merupakan sebaik-baiknya keadaan yang harus ditempuh umat manusia. Dengan mengingat Allah, kita akan mengetahui tempat yang akan dituju (demi meraih kesempurnaan sekaligus menjadi yang terbaik semampu kita). Allah Mahasempurna dan lambang kebaikan absolut. Mengingat Allah akan menjadikan kita menempuh arah yang benar. Selain pula akan menjulangkan semangat dan keyakinan kita, mengurangi ketakutan dalam menghadapi kesulitan, dan mencegah dari kesesatan. Masyarakat Islam, secara keseluruhan maupun individu, tentunya sanggup meniti jalan para Nabi atau mematuhi segenap doktrin Islam kalau saja mau mengingat Allah. Inilah mengapa Islam senantiasa berusaha mengingatkan manusia akan keberadaan Allah. Salah satu cara paling efektif untuk itu adalah menegakkan shalat harian. Banyak inspirasi serta daya tarik yang menghunjam diri seseorang yang menunaikan ibadah shalat. Berbagai pertanda, isyarat, dan rangsangan niscaya muncul demi menjadikannya sanggup memahami makna kehidupan ini. Dalam keseharian hidup, kita jarang menjumpai orang yang benar-benar memikirkan tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Bergumul dengan kehidupan yang bising dan tak karuan semacam itu menjadikan seseorang nyaris tak punya waktu luang untuk berpikir dan merenung. Jam demi jam, hari demi hari, minggu demi minggu, dan bulan demi bulan berlalu dengan cepat tanpa interupsi. Kita tak tahu lagi, mana awal dan akhir dari periode kehidupan ini. Kewajiban shalat harian –yang dilaksanakan pada selang-selang waktu tertentu dalam sehari- berperan sebagai alat pengingat yang memberitahukan kita tentang berjalannya waktu.[2] Ia tak ubahnya sebuah program yang dimaksudkan untu menyadarkan kita pada kenyataan bahwa hari-hari yang kita jalani akan dihisab, kehidupan ini hanyalah sebentar, sementara kita masih harus menempuh perjalanan panjang. Tugas tersebut sungguh sangat berat. Padahal, batas-batas kehidupan kita semakin hari semakin dekat. Karena itu, seyogianya kita berdikap lebih bijak dalam menghadapinya. Di bawah tekanan hidup sehari-hari, seseorang akan mudah kehilangan pandangan dan tujuan hakikinya. Dalam keadaan demikian, mustahil kita selalu mengingat seluruh janji dan tanggung jawab yang harus diemban. Ini diperparah dengan sangat sedikitnya figur-figur dalam masyarakat yang layak diikuti dan diteladani. Dengan keterbatasan dan kurangnya disiplin diri, kita tentu tidak akan sanggup menunaikan seluruh kewajiban yang diajarkan Islam. Di sinilah arti penting ibadah shalat harian. Ibadah ini merupakan ringkasan padat dari segenap rangkaian doktrin Islam. Ya, shalat adalah miniatur Islam yang memantulkan prinsip-prinsip utama Islam melalui gerakan-gerakan dan langkah-langkah yang telah ditetapkan sebelunya. Dalam banyak hal, sekalipun di tingkat permukaan, terdapat kemiripan antara shalat dan lagu kebangsaan. Tentu saja, keduanya memiliki perbedaan dalam hal makna dan ruang lingkup. Lagu kebangsaan suatu negeri, yang mengandung sejumlah prinsip ideologis dan nilai-nilai sosial budaya lainnya, menyimpan ide-ide segar. Dengan terus mengulang-ulangnya, ide-ide tersebut akan merasuki hati dan pikiran para pendengarnya, yang pada gilirannya akan membentuk watak tertentu. Mengumandangkannya secara bersama-sama akan mengentalkan dan mengokohkan kepercayaan serta keterikatan mereka terhadap negeri dan idealisme yang dijunjungnya. Mereka merasa bersatu, berani, dan siap menjalankan kewajibanya. Singkatnya, ibadah shalat merupakan jalan Islam yang memunculkan perhatian seseorang terhadap prinsip-prinsip utama, kewajiban-kewajiban, tanggung jawab, sekaligus cara untuk melaksanakannya. Sepanjang hari seorang muslim diwajibkan untuk menunaikan shalat; mulai dari subuh, tengah hari, sore hari, magrib, dan malam hari. Dalam keadaan itu, seorang hamba akan mengulang-ulang segenap prinsip utama, tujuan-tujuan, dan sasaran-sasaran akhir Islam. Dan pada akhirnya, ia akan mengetahui tugas-tugas serta tanggung jawabnya (sebagai muslim). Ia senantiasa menilai seluruh perbuatannya dan berusaha mengarahkan dirinya ke jalan yang lurus. Inilah fungsi shalat harian. Dengannya, seorang muslim hakiki secara bertahap akan sanggup menggapai status kemanusiaan dan spiritual tertingga. Nabi saw bersabda, “Shalat adalah mi’rajnya orang mukmin.”[3] Umat manusia akan menempuh perjalanan panjang dan membosankan dalam mencapai kesejahteraan dan keselamatan hakiki. Semua itu seyogianya menjadi tujuan serta maksud dari keberadaannya. Namun, pada kenyataannya, jalan menuju tujuan tersebut tidak hanya satu. Dengan kata lain, banyak tersedia jalan lain yang mengarah ke sana; sebagiannya sangat gamblang dan menarik, sebagian lainnya berbahaya, dan sisanya samar-samar. Keadaan ini tentu akan menyulitkan sekaligus membingungkan siapapun yang bermaksud menempuh jalan yang benar. Untuk membebaskan diri dari kebimbangan tersebut, seseorang tentu memerlukan kejelasan tentang tujuan akhir, peta yang baik, serta petunjuk arah yang sesuai. Kini jelas sudah bagi kita tentang teramat pentingnya ibadah shalat lima waktu. Memberi ruh berbagai santapan bergizi, ibarat memberi tubuh makanan bergizi beberapa kali dalam sehari. Setiap kali menunaikan ibadah shalat, seseorang sangat dianjurkan untuk mengumandangkan ayat-ayat suci al-Quran. Maksudnya agar orang-orang yang menunaikan shalat menjadi akrab dengan al-Quran dan memikirkan segenap konsepnya yang mendasar.[4] Ibadah shalat wajib harian dengan semua rukunnya, sekalipun dalam skala kecil, mencerminkan keberadaan Islam yang dinamis. Islam jelas-jelas memiliki perhatian terhadap keadaan tubuh, pikiran, serta jiwa setiap individu masyarakat. Unsur-unsur tersebut ditempatkan sesuai fungsinya masing-masing demi menciptakan kesejahteraan umat manusia. Selama menunaikan shalat, tubuh, pikiran, dan jiwa seorang hamba akan menjalankan fungsinya masing-masing. Tubuh melaksanakan berbagai aktifitas ragawi: menggerakkan tangan, kaki, lidah, ruku’, duduk, berdiri, dan sujud. Sementara pikiran bertugas untuk menelaah makna kata, kalimat, serta pernyataan, sekaligus juga merenungkan landasan serta pook-pokok keislaman. Adapun jiwa si hamba bertugas untuk merenungkan keberadaan Tuhan, mencari inspirasi, serta menghayati kedekatannya dengan Tuhan. Kerendahan hati dan ketakutan kepada-Nya merupakan prestasi yang dicapai seseorang yang senantiasa membersihkan jiwanya. Telah dikatakan bahwa pemujaan merupakan rangkuman serta intisari setiap agama. Demikian pula halnya ibadah shalat dalam Islam. Pemaduan jiwa dan tubuh, substansi dan makna, serta kehidupan dunia dan Hari Akhir merupakan ciri menonjol dari agama Islam. Dengan bantuan kekuatan dari (fisik, mental, dan spiritual) yang terpadu lewat penegakan ibadah shalat secara sempurna, seorang muslim akan mampu menggapai kedudukan yang luhur. Ya, seorang ‘abid (ahli ibadah) hakiki akan mampu mengendalikan hasrat-hasrat rendah dan godaan-godaan setani lainnya. Namun bukan hanya pelaksanaan ibadah shalat yang membuahkan segenap manfaat tersebut. Persiapan untuk melaksanakan shalat juga memiliki perlbagai hikmah dan manfaat tersendiri. Dalam hal ini, al-Quran justru lebih banyak mengungkap perihal persiapan untuk menunaikan ibadah shalat ketimbang poros pelaksanaannya. Misalnya, seorang hamba (yang hendak melaksanakan shalat) yang mengumandangkan azan (waktu shalat). Dengannya, ia tengah mengingatkan sesamanya untuk segera menegakkan shalat. Lebih dari itu, ia bermaksud mempengaruhi orang lain untuk mengingat Allah swt dan untuk merenungkan apa yang sedang dilakukan dan apa yang seharusnya dilakukan. Kalau kita melihat keadaan seorang hamba dari dekat, kita akan menjumpai adanya perubahan sikap pada dirinya, baik yang berkenaan dengan perkataan maupun perbuatannya. Dengan kata lain, dirinya benar-benar memancarkan cahaya Ilahi. Cakrawala di sekelilingnya dan daya tarik perbuatannya mengundang banyak orang untuk hadir bersama-sama menunaikan shalat. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa seorang mukmin hakiki maupun sekumpulan ahli ibadah yang senantiasa berdiri dalam barisan shalat wajib (berjamaah) harian niscaya akan terhindar dari pelbagai problem serta penyakit sosial, seperti kejahatan, korupsi, dan tindakan-tindakan amoral lainnya. Sesungguhnya shalat mencegah manusia dari perbuatan-perbuatan keji.[5] Dalam pergulatan hidup sehari-hari, kita tentu merasakan sendiri betapa sulitnya memerangi perbagai godaan, hasrat, kebutuhan, dan dorongan nafsu. Satu-satunya senjata yang harus dimiliki seseorang demi membungkam semua itu adalah kekuatan kehendak dan pengendalian diri. Pada saat yang sama, kekuatan jahat akan berusaha memalingkan dirinya dari jalan yang lurus. Dengan hilangnya kendali diri, seseorang pada dasarnya tengah membuka peluang lebar bagi kekuatan jahat untuk menyesatkannya. Setan lebih mengincar dan menyukai orang-orang yang ingin berbuat demi kemanusiaan atau membuat sesuatu yang bersejarah. Untuk itu, lebih dari yang lain, mereka harus senantiasa bersikap waspada dan berhati-hati. Itu dimaksudkan agar semangat serta tujuan hidup mereka tidak sampai goyah. Ibadah shalat dalam Islam mengandung kekuatan yang sungguh luar biasa dan menakjubkan. Dengan kata lain, ibadah shalat berperan dalam membentangkan tali yang menghubungkan kaum lemah dan tertindas dengan Allah yang Mahakuasa, sumber segala kebajikan. Ketika hubungan tersebut telah terbina, seseorang akan merasakan dirinya jauh lebih kokoh, tegar, dan stabil. Siapapun tentu bisa memanfaatkan shalat demi mengubah kelemahan menjadi kekuatan serta demi memperbarui keyakinan dan semangatnya. Selama masa kebangkitan Islam, Nabi saw harus menghadapi sekumpulan orang jahil dan pembangkang. Beliau saw kemudian diperintahkan Allah swt untuk menunaikan ibadah shalat malam.

“Wahai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah al-Quran itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat.” (al-Muzzammil: 1 – 5)  

Marilah kita telaah lebih jauh kandungan makna ibadah shalat harian, tanpa harus terjebak pelbagai istilah tentangnya.

Ibadah Shalat

I. Allahu Akbar (Allah Mahabesar)
Dengan mengucapkan kalimat pembukaan nan suci ini, seorang hamba akan memulai ibadah shalatnya. Allahu Akbar, Allah Mahabesar; maksudnya, Allah swt lebih besar dari yang dapat kita bayangkan; lebih besar dari seluruh tuhan lainyang disembah manusia sepanjang sejarah; lebih besar dari seluruh kekuatan dan kekuasaan yang paling menakutkan sekalipun, yang dijadikan sandaran sekaligus tempat bergantung umat manusia; lebih besar dari orang-orang yang paling berani membangkang dan melanggar hukum-hukum-Nya. Setiap orang yang mengetahui dan berupaya menyesuaikan aktifitas kehidupannya dengan prinsip-prinsip tersebut niscaya akan merasakan adanya kekuatan luar biasa dalam dirinya setelah mengucapkan kalimat Allahu Akbar. Ia merasa yakin dirinya berpijak di atas landasan yang kokoh, aman, dan menjanjikan kebahagiaan. Dengan mengucapkan kalimat agung ini, seorang hamba resmi memasuki shalatnya. Setelah itu, masih dalam keadaan berdiri, dirinya diharuskan membaca surat al-Fatihah[6], yang kemudian dilanjutkan dengan membaca surat lain dalam al-Quran.

II. Isi Surat al-Fatihah
A. Bismillahir Rahmanir Rahim (Dengan nama Allah Yang Mahapengasih Mahapenyayang)
Dengan nama Allah yang rahmat-Nya meliputi segala sesuatu dan kemurahan-Nya bersifat kekal nan abadi. Kalimat bismillahirrahmanirrahim merupakan pembuka setiap surat dalam al-Quran dan seyogianya dibaca seorang muslim sebelum memulai setiap aktifitasnya. Sungguh teramat penting untuk memulai segala sesuatu dengan nama Allah yang Mahaagung. Dimulai dan diakhirinya kehidupan seseorang harus disertai dengan mengucapkan nama Allah swt. Seorang muslim akan memulai hari-hari kehidupannya di dunia ini dengan menyebut nama Allah swt. Dan dirinya juga harus mengakhiri aktifitas sehari-harinya dengan menyebut nama-Nya. Ia pergi tidur seraya mengingat dan mengharap pertolongan Allah swt; demikian pula ketika dirinya bangun di pagi hari untuk memulai kembali kegiatan rutinnya. Akhirnya, ia meninggalkan kehidupan di dunia fana ini, untuk kemudian melangkah menuju keabadian, dengan menyebut nama Allah swt.

B. Alhamdu Lillahi Rabbil ‘Alamin (Segala Puji Bagi Allah Tuhan Semesta Alam)
Segala puja-puji hendaknya dipanjatkan ke hadirat Allah swt karena seluruh keagungan hanyalah milik-Nya dan segenap rahmat hanya tercurah dari-Nya. Segenap kebajikan dan kesempurnaan hanya kembali kepada-Nya. Dengan memuji Allah swt, sesungguhnya kita tengah memuji kebaikan dan kesempurnaan mutlak. Dan semua itu niscaya akan menuntun kita dalam menggapai kesempurnaan dan kebaikan insani. Kita harus yakin bahwa sejumlah tulang yang kuat dalam tubuh kita semata-mata berasal dari-Nya. Itulah Dia yang menciptakan kita sedemikian rupa sehingga kita mampu meraih kebajikan dan menggapai kemuliaan diri. Allah swt telah menganugerahkan kita kemampuan untuk merancang keputusan demi mencapai suatu tujuan yang penuh berkah. Dengan anugerah Allah swt berupa kemampuan dan kecerdasan diri tersebut, manusia diharapkan dapat memanfaatkan segenap potensi fitrahnya demi menciptakan kesejahteraan bagi dirinya dan orang lain. Dan Allah swt melarang manusia untuk mementingkan dirinya sendiri dan menyia-nyiakan atai menyalahgunakan potensinya itu. Pernyataan Rabbil ‘Alamin (Tuhan semesta alam) menyiratkan bahwasanya selain bumi ini, terdapat pula bumi-bumi lainnya yang terhubung satu sama lain. Karenanya, orang yang beriman akan berpikir bahwasanya di jagat raya ini terdapat banyak planet, galaksi, dan sesuatu lainnya yang berada di luar jangkauan penglihatannya yang serba terbatas. Allah swt adalah Pemilik alam semesta dan segenap apa yang ada di dalamnya. Dengan itu, wawasan berpikir seorang hamba akan semakin luas dan mendalam. Dan dirinya akan merasa bangga dan beruntung dikarenakan memiliki kemampuan untuk memahami semua itu. Dirinya akan menjumpai kenyataan bahwa seluruh umat manusia, hewan, tumbuhan, dan segenap keberadaan lainnya di jagat raya ini semata-mata diciptakan Allah swt. Allah swt bukan hanya Tuhan dirinya, sukunya, bangsanya, atau sejenisnya semata. Namun, Allah swt adalah juga Tuhan dari segenap planet, galaksi, dan berjuta-juta bintang di langit. Allah swt menantiasa mengawasi kita semua serta menyayangi segenap ciptaan-Nya; mulai dari yang terkecil (seperti semut), sampai yang paling besar sekalipun (galaksi, misalnya). Dengan meyakini konsep tersebut, seorang hamba tidak akan merasa hidup sendirian. Ia yakin bahwa dirinya merupakan bagian dari keluarga besar umat manusia serta pelbagai mekhluk lainnya. Lebih khusus lagi, ia akan memiliki hubungan yang dekat dengan maujud lain yang seolah-olah menyertainya menaiki bahtera yang sama; bahtera mana yang secara umum bergerak berdasarkan sunnatullah (ketetapan Allah). Dengan meyakini bahwa dirinya memiliki keterkaitan dengan makhluk lain, ia kemudian merasa berkewajiban untuk membantu dan membimbing umat manusia (ke jalan yang benar) sesuai dengan kemampuannya. Selain itu, ia juga akan semakin terpacu untuk merenungkan dan mengkaji lebih mendalam, apa-apa yang ada di jagat alam ini. Kelak, ia akan meraih keuntungan yang melimpah-ruah dari semua itu dan akan senantiasa memanfaatkannya secara bijak, sesuai dengan fungsinya masing-masing.

C. Ar-Rahmanir Rahim (Mahapengasih Mahapenyayang)
Secara umum, kemurahan dan kasih sayang Allah swt meliputi segenap makhluk-Nya. Dengan kata lain, berdasarkan hukum alam, seluruh makhluk akan memperoleh keuntungan dari segenap pemberian Allah (Rahman). Namun, di sisi lain, terdapat pula kasih sayang dan rahmat Allah swt yang hanya diperuntukkan bagi umat manusia, khususnya bagi orang-orang yang menyembah-Nya dan mematuhi segenap perintah-Nya. Kemurahan khusus ini bersifat abadi dan akan menantiasa menyertai seseorang untuk selama-lamanya (Rahim). Berdasarkan itu, kita memahami bahwasanya terdapat dua jenis rahmat Allah; yang satu bersifat umum dan sementara, di mana setiap orang bisa mendapatkannya; dan satunya lagi bersifat khusus dan abadi, di mana hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang selalu memperbaiki dirinya. Penyebutan nama Allah swt dan pengakuan atas belas kasih-Nya merupakan pernyataan pembuka dari al-Quran, shalat, dan setiap surat dalam al-Quran. Penempatan kalimat tersebut lebih menekankan sifat pengasih dan penyayang-Nya ketimbang kemurkaan dan kemarahan-Nya. Adapun sifat yang terakhir disebutkan lebih ditujukan bagi orang-orang yang keras kepala, gemar membangkang, tidak jujur, dan berperilaku buruk. Ya, kemurahan-Nya sungguh tak terbatas dan meliputi segenap makhluk-Nya.[7]

D. Maliki Yaumid Diin (Pemilik Hari Kemudian)
Hari kemudian adalah Hari akhir. Setiap orang tentu akan mengalaminya. Baik orang-orang ateis (tidak bertuhan) dan materialis, maupun orang-orang beriman dan bertuhan sama-sama bersepakat tentang adanya Hari Akhir. Namun, setiap kelompok memiliki penafsiran masing-masing tentangnya. Kaum materialis lebih memandangnya sebagai proses mengalir dan berlalunya waktu (jam, hari, dan tahun), yang darinya kemudian terjadilah ketuaan dan kematian. Namun, orang-orang yang beriman kepada Allah swt memiliki pandangan jauh lebih luas. Dirinya tidak menganggap bahwa kehidupan di dunia berakhir begitu saja. Sebaliknya, ia meyakini adanya Hari Pengadilan. Hal ini meniscayakan dirinya hanya akan melakukan perbuatan yang memiliki ganjaran pahala seraya menghindari perbuatan dosa, khususnya terhadap mekhluk lain. Sebabnya, di Hari Pengadilan kelak, ia akan ditanya tentang apa yang telah diperbuat selama hidup di dunia. Seseorang yang berpandangan demikian niscaya akan berusaha menjaga perilakunya dan tetap menyandarkan harapannya semata (kepada Allah swt) sampai kapan pun. Mengingat bahwa dirinya kelak akan dibangkitkan di hadapan Allah swt, penguasa Hari Pengadilan, seorang hamba tentu akan berusaha untuk mengarahkan perhatiannya semata-mata kepada Allah swt dan hanya berbuat demi menggapai keridhaan-Nya. Ia mencari pengetahuan dengan tujuan meningkatkan kualitas dirinya dan juga untuk membantu manusia. Inilah perbuatan yang sesuai dengan keinginan Allah swt. Pada sisi lain, dengan mengetahui bahwa Allah swt akan menjadi hakim absolut di Hari Pengadilan nanti, dirinya sama sekali tidak akan tertarik untuk melakukan tipu daya, penyelewengan dan kemunafikan. Ia juga akan berkeyakinan bahwa sesuatu yang diperoleh dengan cara yang keliru atau kesejahteraan hidup yang dibangun di atas dasar kezaliman tidak akan pernah menguntungkan dirinya. Sebaliknya, ia malah akan diganjar hukuman nan pedih atas perbuatannya itu. Sejauh kini kita telah membahas bagian pertama dari surat al-Fatihah yang berkenaan dengan pujian kepada Allah swt dan sifat-sifat-Nya. Bagian kedua darinya (yang akan kita bahas di bawah ini) berkenaan dengan ketundukan seorang hamba kepada Allah demi memohon keselamatan dari-Nya serta mengharap agar Allah swt membimbingnya di atas jalan yang lurus. Beberapa ajaran ideologi Islam yang bersifat mendasar juga ditetapkan dalam bagian ini.

E. Iyyaaka Na’budu (Kepada-Mu lah Kami Menyembah)
Maksudnya, segenap keberadaan kita dan apapun kemampuan kita (baik secara fisik, mental, maupun spiritual) semata-mata berada di tangan Allah swt. Dan kita wajib melaksanakan segenap perintah-Nya. Pernyataan suci ini pada dasarnya menghendaki seorang hamba tunduk patuh di hadapan Allah swt dan membebaskan dirinya dari segenap belenggu penghambaan kepada tuhan-tuhan lain. Dirinya wajib menolak seluruh tuhan lain, terlebih tuhan-tuhan yang dalam sejarah umat menusia di masa lalu telah menciptakan pembedaan sekaligus penindasan di tengah-tengah masyarakat. Setiap orang yang beriman tentunya selalu berpikiran maju. Ia beserta orang-orang beriman lainnya tidak akan pernah tunduk kepada orang lain atau sistem tertentu, kecuali orang atau sistem tersebut berpijak di atas jalan yang diridhai Allah swt. Prinsip utama dalam Islam serta segenap agama langit lainnya adalah tidak menyembah apapun kecuali Allah swt dan hanya tunduk patuh kepada-Nya. Sejumlah orang tidak memahami makna yang sebenarnya dari prinsip ini dan secara tidak sadar menyembah makhluk lain. Mereka menganggap bahwa hanya dengan berdoa kepada Allah swt dan mengingat nama-Nya, dirinya telah menyembah semata-mata kepada Allah swt. Dalam pandangan al-Quran dan hadis Nabi saw, cara berpikir semacam itu jelas keliru. Makna penyembahan atau pemujaan dalam al-Quran dan juga hadis Nabi saw adalah kepatuhan dan ketundukan mutlak terhadap segenap perintah. Perintah tersebut bisa berasal dari sumber tersendiri ataupun kolektif. Dan dalam menunaikan ibadah shalat, seseorang bleh jadi menyertakan ketundudukannya, atau bahkan tidak sama sekali. Karena itu, siapapun yang tunduk serta melaksanakan perintah seorang penguasa atau sistem yang zalim yang tidak mendasari dirinya di atas hukum-hukum Allah swt, tak lain dari pengikut dan pendukung sang penguasa atau sistem tersebut. Dan bila orang-orang seperti itu mengabaikan beberapa ketentuan (penguasa atau sistem yang zalim) dalam kehidupan pribadi atau sosialnya untuk kemudian menyembah Allah swt, maka sesungguhnya mereka adalah kaum politeis (menyembah lebih dari satu tuhan.
Adapun jika tidak pernah menyembah Allah swt sama sekali, maka mereka tergolong orang-orang yang kafir (orang-orang yang menyangkal keberadaan Tuhan atau bertingkah laku seolah-olah Tuhan tidak ada). Dengan ditopang pengetahuan tentang Islam, kita dengan mudah dapat menemukan alasan tentang mengapa seluruh agama langit sebelum Islam sangat menjunjung semboyan dasar laa ilaaha illallah (tidak ada Tuhan kecuali Allah).[8] Kita juga akan memahami apa yang mereka katakan, apa tujuan utamanya, dan siapa-siapa yang menentang. Konsep yang berkenaan dengan persoalan penyembahan yang acapkali dinyatakan dalam al-Quran dan hadis Nabi saw[9] ini kiranya sangatlah jelas sehingga dipastikan akan menghapus keraguan yang muncul dalam benak intelektual. Sebagai contoh, al-Quran mengatakan: 

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Mahaesa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (at-Taubah: 31)

Abu Bashir meriwayatkan bahwa Imam Ja’far as-Sadiq as berkata kepada para pengikut beliau, “Kalian adalah orang-orang yang menjauhkan diri dari ketundukan terhadap segenap aturan yang zalim. Mematuhi seseorang yang zalim adalah sama dengan menyembahnya.” Kitab tafsir Nur ats-Tsaqalain (vol. 5, hal 481) menyebutkan ayat lain yang berbunyi: “Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah- Nya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku.”  (Az-Zumar (39): 17)

F. Wa Iyyaaka Nasta’iin (Dan kepada-Mu lah Kami Mengharap Pertolongan)
Kita tentu tidak akan pernah mengharapkan pertolongan dari musuh-musuh-Nya atau dari seseorang yang menyebut dirinya tuhan. sebabnya, mereka tidaklah menyembah Tuhan dan tidak akan bersungguh-sungguh menolong orang-orang yang menyembah atau mencari Tuhan. Jalan Allah adalah jalan lurus dan sangat bersahaja yang dilintasi seluruh nabi. Jalan tersebut mengajarkan agar dalam kehidupan sosial, setiap individu menjalin hubungan persaudaraan antar satu sama lain. Lebih dari itu, jalan tersebut juga menghendaki terwujudnya gagasan tentang kerukunan hidup bersama antarbangsa. Sebuah sistem yang tunduk kepada Allah swt sama sekali bersih dari tindakan pelecehan, ketidakadilan dan penindasan terhadap sesama. Lagipula, keberadaan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan justru sangat dijunjung tinggi. Demi melanggengkan eksploitasinya, hampir semua rezim dan orang yang menggenggam kekuasaan berusaha mati-matian untuk menghapus cita-cita kemanusiaan tersebut dari benak masyarakatnya. Jadi, bagaimana mungkin seseorang bisa mengharapkan bantuan atau dukungan dari para perampas kekuasaan atau penjahat politik seperti itu? Mereka (para rezim yang jahat) secara terus-menerus menentang kebenaran dan begitu bernafsu memerangi kaum yang beriman. Oleh sebab itu, kita harus meminta pertolongan semata-mata kepada Allah swt dan berdiri di atas kaki sendiri serta memanfaatkan bakat dan potensi dasar pemberian-Nya demi meraih tujuan kita. Mempelajari prinsip-prinsip yang mendasari ayat ini serta memahami pelbagai hubungan kompleks yang terkandung di dalamnya, akan membuka wawasan pemikiran dan meningkatkan standar kehidupan kita. G. Ihdinash Shiratal Mustaqiim (Tunjukilah Kami Jalan Yng Lurus) Seluruh umat manusia jelas lebih membutuhkan Allah swt ketimbang yang lain sebagai pembimbing hidup. Dan secara pasti, kebutuhan tersebut nampak sebagai bentuk pengharapan dalam surat al-Fatihah, yang sekaligus menjadi prolog dari al-Quran dan juga bagian terpenting dari shalat. Hanya lewat bimbingan Allah swt saja kecerdasan dan kebijaksanaan seseorang akan dimanfaatkan secara konstruktif dan diarahkan semata-mata bagi kebaikan. Memanfaatkan kecerdasan dan kebijaksanaan di atas jalan kezaliman dan kebatilan tak ubahnya memberikan lampu kepada seorang pencuri di tengah kegelapan atau membiarkan orang gila dengan sebilah pisau belati nan tajam di tangannya. Jalan kebenaran adalah jalan yang sangat menyenangkan, yang melazimkan seseorang melangkah maju dan memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai manusia. Para nabi Allah lah yang telah merintis dan melintasi jalan ini. Dengan melintasi jalan ini, niscaya seseorang akan menapaki kemajuan dirinya dan tanpa kesulitan mampu mencapai tujuan akhirnya yang mulia. Hal ini sangatlah masuk akal. Sebabnya, sudah menjadi ketetapan hidup bahwa seseorang harus mengembangkan dan meningkatkan kualitas dirinya semaksimal mungkin. Dan apabila semua itu dijalankan dengan sungguh-sungguh, niscaya akan tercipta kemakmuran, kebebasan, sikap saling menghargai, dan rasa persaudaraan dalam tubuh masyarakat. Dengan demikian, segenap musuh besar kemanusiaan pun akan segera binasa. Bagaimana cara mengenali jalan ini dan membedakannya dari segenap jalan yang menyesatkan? Al-Quran menyajikan gambaran yang paling ringkas sekaligus paling gamblang dalam ayat berikutnya, yang akan kita bahas di bawah ini.

H. Shiraathal Ladhiina An’amta ‘Alaihim (Jalan Orang-orng Yang Engkau Ridhai)
Siapakah orang-orang yang diridhai dan dirahmati-Nya? Dalam hal ini, yang disebut dengan rahmat-Nya bukanlah martabat, kesehatan, dan harta yang dimiliki seseorang. Seabnya, kita acapkali menyaksikan bagaimana musuh-musuh besar Allah swt dan para sekutunya hidup bergelimang kekayaan, kedudukan, serta segenap hal lainnya yang bersifat material. Makna rahmat atau anugerah Allah swt tentunya jauh lebih tingi dan lebih bernilai dari sekadar itu, seperti luasnya wawasan berpikir, kebijaksanaan, dan kedalaman spiritual. Sungguh sangat beruntung orang-orang yang memperoleh segenap nikmat anugerah tersebut; mereka akan benar-benar menghargai serta menyayangi segenap makhluk ciptaan-Nya, termasuk terhadap dirinya sendiri. Dalam sejumlah ayat, al-Quran menyebut mereka sebagai:

“Barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu; nabi-nabi, para shiddiqin[10], orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang yang shalih…” (an-Nisa’: 69)

Sesungguhnya ketika membaca ayat yang tercantum dalam surat al-Fatihah ini, seorang hamba tengah berharap kepada Allah swt untuk menuntunnya di atas jalan para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang yang shalih. Jalan ini telah terbentang sejak dululkala dan telah banyak dilintasi orang-orang terkemuka dalam sejarah. Dan adalah teramat jelas, ke mana muara akhir dari jalan tersebut. Namun bagaimanapun juga, disamping jalan ini terbentang pula jalan lain yang dilintasi sebagian orang. Setiap orang yang beriman kepada Allah niscaya akan berlepas diri dari jalan tersebut serta dari orang-orang yang melintasinya. Dirinya benar-benar takut terhempas atau tergoda untuk berjalan di atas jalan tersebut. Ya, itulah jalan yang dimurkai Allah swt.

I. Ghairil Maghdhubi ‘Alaihim (Bukan Jalan Orang-orang Yang Engkau Murkai)
Siapakah orang-orang yang membangkitkan kegusaran dan kemurkaan Allah swt? Sungguh teramat banyak! Di antaranya adalah orang-orang yang menentang Allah serta orang-orang korup yang senantiasa menjerumuskan orang-orang dungu ke dalam kubangan dosa. Termasuk juga para penindas yang suka memaksa dan menekan orang-orang untuk berbuat keburukan dan kejahatan, ara tiran, para pendusta, dan orang-orang culas. Sepanjang sejarah, para diktator dan penindas selalu hidup bermewah-mewah di atas penderitaan serta kehinaan orang banyak. Ini sekaligus bisa dijadikan bukti bahwa kemurkaan Allah secara khusus hanya ditujukan kepada orang-orang yang secara sadar dan sengaja berbuat dosa; bukan kepada orang-orang yang secara tidak sengaja dan tidak sadar melakukan kekeliruan atau dosa. Sejarah menunjukkan bahwa pada umumnya orang-orang kaya dan orang-orang yang menggenggam kekuasaan di tangannya memiliki keyakinan agama yang begitu dangkal. Bahkan beberapa di antaranya sama sekali tidak memilikinya. Di samping kedua kelompok terkutuk tersebut, terdapat pula kelompok ketiga yang juga menjadi sasaran kutukan. [11] Isi ayat penutup (dalam surat al-Fatihah) sesungguhnya merujuk kepada kelompok terakhir ini.

J. Waladhdhaalliin (Juga Bukan Jalan Orang-orang Sesat)
Siapapun yang menapaki jalan selain jalan Allah lantaran kebodohan atau mengikuti orang-orang sesat yang dsangkanya melangkah di jalan benar- niscaya kelak akan menjumpai situasi yang tidak diinginkan. Banyak orang di masa lalu yang mengikuti, mempercayai, mengagumi, dan menobatkan pemimpinnya secara membabi-buta. Apa akibatnya? Ya, orang-orang tersebut malah terjerumus ke jurang kesengsaraan lantaran perilaku kotor pada pemimpinnya itu di kemudian hari. Namun sayang, orang-orang tersebut sudah betul-betul terikat dengan jalan pilihannya sendiri dan akalnya juga sedemikian terbelenggu sehingga menjadikannya tidak mengindahkan sama sekali risalah kebenaran yang dikumandangkan para nabi Allah. Bahkan hampir setiap waktu mereka menentangnya. Mereka tidak mau merenung barang sejenak pun demi melakukan perbaikan diri atau untuk keluar dari kebodohan tersebut. Disebut kebodohan karena keadaan tersebut secara total hanya menguntungkan kaum penindas dan semata-mata merugikan kaum tertindas. Adapun dengan menumpuh jalan para nabi, keadaannya akan berbalik seratus delapan puluh derajat: kaum penindas menjadi lemah, sementara kaum teritndas dan terpinggirkan semakin kuat. Seraya berlepas diri dari jalan serta cara-cara yang dipraktikkan kedua kelompok (yang tidak diridhai Allah dan yang sesat) di atas, seorang hamba pada akhirnya harus menentukan jalan yang akan dilaluinya. Dengan mempelajari dan menilai keberadaan dirinya, seseorang niscaya akan menemukan jalan pilihannya yang terbaik; jalan para nabi. Saat itu, dirinya akan mengucapkan, “Alhamdulillahi Rabbil ‘Aalamiin (segala puji bagi Allah, Tuhan semsta alam).”[12] Dengan membaca surat al-Fatihah yang merupakan surat pembuka dari al-Quran ini, maka pada dasarnya bagian utama dari ibadah shalat telah dilaksanakan secara sempurna. Sebagaimana yang berlaku dalam sebuah prolog (pembukaan), surat ini (yang berposisi sebagai prolog) merangkum seluruh gagasan utama al-Quran. Bila ibadah shalat merupakan intisari Islam, maka surat ini merupakan intisari dari keseluruhan isi al-Quran. 

Tema-tema penting al-Quran yang terdapat dalam surat ini adalah sebagai berikut:

1- Alam semesta serta seluruh keberadaan di dalamnya semata-mata milik Allah swt (Rabbil ‘Aalamiin). 

2- Setiap orang dan setiap sesuatu senantiasa berada dalam lingkup kasih sayang-Nya (Ar-Rahman), terlebih orang-orang yang menyembah-Nya (Ar-Rahim).

3- Kehidupan seseorang tidak berakhir begitu saja berkat kematian, melainkan terus berlanjut dan Allah secara mutlak bertindak sebagai pengawas (Maliki Yaumiddin).

4- Umat manusia harus dibebaskan dari belenggu perbudakan duniawi dan diserukan untuk tidak menyembah papun kecuali Allah swt. Dan berkat usaha ini, kelak akan tercipta kesejahteraan hidup bagi umat manusia (Iyyaka Na’budu).

5- Seseorang harus senantiasa mengharap bimbingan Allah dalam mencari jalan hidup yang hakiki (Ihdinashshiratal Mustaqim).

6- Seseorang harus mampu membedakan mana kawan dan mana lawan (musuh), dan menyikapi masing-masing kelompok (kawan maupun lawan) sesuai dengan keyakinannya (Shiratalladhina).

III. Isi Surat at-Tauhid
Setelah membaca surat (al-Fatihah) yang maknanya sangat kaya dan begitu mendalam tersebut, seorang hamba melanjutkan ibadah shalatnya (masih dalam keadaan berdiri) dengan membaca secara utuh salah satu surat lainnya dalam al-Quran. Seorang hamba bebas menentukan surat mana dalam al-Quran yang akan dibacanya itu (dengan syarat, isinya dibaca, secara keseluruhan). Inilah salah satu bentuk ajaran Islam yang penuh makna. Untuk mengetahui betapa pentingnya membaca surat lain dalam al-Quran dalam ibadah shalat sehari-hari, ada baiknya bila kita menghayati pernyataan Imam Ridha as, “Membaca al-Quran setiap hari akan menjaga kesegaran gagasan-gagasannya dalam ingatan kita. Selain itu, kita juga akan terhindar dari kelupaan atau kesalahpahaman terhadap isi al-Quran.”[13] Dalam kesempatan ini, saya akan membahas salah satu surat al-Quran, yakni surat at-Tauhid (al-Ikhlash), yang acapkali dibaca dalam ibadah shalat harian. 

A- Bismillahirrahmanirrahim (Dengan Nama Allah Yang Mahapengasih Mahapenyayang)

B- Qul (Katakanlah)
Wahai Nabi! Kenalilah dirimu dan katakanlah kepada yang lain bahwa Aku (Allah) Mahaesa.

C- Huwallahu Ahad (Allah Mahaesa)[14]
Keberadaan Allah tidaklah sebagaimana yang digambarkan oleh pelbagai keyakinan yang sesat. Allah tidak memilki sekutu, tidak tertandingi, tidak ada yang menyerupai, dan tidak membutuhkan tuhan lain dalam mencipta makhluk. Seluruh ciptaan beserta segenap hukum, rumus, dan prinsipnya semata-mata berasal dari satu sumber. Inilah alasan mengapa segala sesuatu yang ada di jagad raya ini bergerak secara harmonis dan begitu tertata rapi sesuai dengan hukum-hukum alam. Satu-satunya pengecualian dari semua itu, sekaligus merupakan skala kecil (mikrokosmos) dari seluruh keberadaan di alam semesta ini (makrokosmos), adalah manusia. Itu disebabkan dirinya dianugerahi kemampuan berpikir dan membuat keputusan. Adakalanya manusia tersesat dan tidak mengambil bagian dalam keseluruhan tatanan yang harmonis ini. Namun, ia akan segera sadar bahwa dirinya tidak dapat berbuat sejauh itu kecuali dengan mengikuti hukum-hukum alam (tentu saja itu berlaku dalam masalah fisik, sementara dirinya tetap memiliki kebebasan dalam berpikir tentang apa yang diinginkannya. Allah telah menganugerahkan manusia kemampuan semacam itu dan Dia ingin melihat apa yang kita perbuat dengannya).

D- Allahush Shamad (Allah Tempat Bergantung Segala Sesuatu)
Maksudnya, Allah (Tuhan yang kini saya sembah dengan bersujud dan tunduk di hadapan-Nya), tidaklah seperti tuhan-tuhan lainnya. Sebabnya, tuhan-tuhan lain datang dan pergi begitu saja, serta terikat oleh ruang dan waktu. Lagipula, keberadaan mereka amatlah bergantung pada seseorang atau sesuatu. Siapa yang membutuhkan tuhan-tuhan seperti itu? Tuhan-tuhan seperti itu sungguh tidaklah pantas untuk disembah. Sebabnya, mereka sama dengan, atau bahkan lebih rendah dari manusia. Tidaklah layak bagi seseorang yang berpengetahuan luas dan memiliki pelbagai potensi serta kemampuan diri, untuk merendahkan diri dan menundukkan kepalanya di hadapan seseorang atau sesuatu yang tidak lebih dari ciptaan (makhluk) belaka.
Seharusnya ia hanya menyembah Tuhan Yang Mahakuasa; yang tidak membutuhkan apapun; yang segenap kekuatan serta keberadaan di jagat raya ini semata-mata bersumber dari-Nya.

E- Lam Yalid (Dia Tidak Beranak)
Keberadaan Allah bukanlah sebagaimana yang seringkali dipropagandakan oleh beberapa agama yang menyimpang. Umpamanya, konsep Tuhan Bapa dan Tuhan Anak dalam ajaran Kristen dan kaum politeis lainnya. Allah tidaklah memiliki atau melahirkan anak. Dia memang Pencipta segala sesuatu dan segenap umat manusia, namun Dia bukanlah ayah dari ciptaan-Nya. Segenap kehidupan di permukaan bumi atau di tempat lain di jagad raya ini semata-mata adalah hamba-Nya, bukan anak-anak-Nya. Hubungan (tuan-hamba) antara Allah dan manusia mencegah orang-orang yang beriman dari penghambaan kepada sesuatu atau orang lain. Sebabnya, seseorang tidak dapat menghamba kepada dua tuan. Orang-orang yang mengatakan bahwa umat manusia terlampau agung hanya untuk menjadi hamba Tuhan, pada kenyataannya telah membuka jalan bagi manusia untuk memperbudak sesamanya. Dengan memperhatikan kehidupan orang-orang tersebut, kita dapat menjumpai bahwasanya mereka secara nyata menghamba kepada para pemimpin dan bos yang zalim. Bahkan sebagian dari mereka mempraktekkan beberapa bentuk kezaliman itu sendiri.

F- Wa Lam Yulad (Dan Tidak Pula Diperanakkan)
Keberadaan Allah bukanlah akibat dari gejala alam; dari “tiada” menjadi “ada”. Allah tidak dilahirkan siapapun, juga bukan lahir dari pikiran seseorang. Allah bukanlah seperti yang dapat kita kenal atau bayangkan. Dia adalah kebenaran yang Mahaagung dan hadir di mana-mana. Keberadaan-Nya tidak berawal dan tidak berakhir (abadi). G- Wa Lam Yakun Lahu Kufuan Ahad (Tak Ada Sesuatupun Setara Dengan-Nya) Kita tentu tidak dapat membandingkan antara Allah dengan apapun yang kita kenal atau dapat kita bayangkan. Pengaruh dan kekuasaan Allah meliputi seluruh jagad raya. Karenanya, siapapun tidak layak untuk menuntut kepemilikan atas sejumlah bagian –terlebih keseluruhan- yang ada di dalamnya. Janganlah kita memasrahkan atau merendahkan keberadaan kita secara keseluruhan atau sebagiannya kepada siapapun atau apapun. Sekaitan itu, kita dihadapkan dengan dua pilihan; hidup dan mereguk kenyataan (dengan memasrahkan diri kepada Allah) atau mati dan tenggelam dalam kehidupan semu (lantaran pasrah kepada selain-Nya). Sebagaimana kita ketahui, isi surat ini menyeru umat manusia untuk benar-benar menjunjung tinggi ketauhidan (monoteisme). Memang, dalam beberapa surat lain, al-Quran menyebutkan pula soal ketauhidan Allah swt. Namun, surat at-Tauhid mengemukakan persolan tersebut dalam bentuk yang jauh lebih ringkas tapi padat serta menggunakan bentuk ungkapan yang berlaku di kalangan orang-orang sesat yang hidup di zaman penyembahan berhala waktu itu. Untuk terakhir kalinya, ayat yang merupakan penutup dari keseluruhan surat ini, secara tegas menolak segenap keberadaan tuhan lain. Surat ini mengemukakan tentang siapa sesungguhnya Tuhan yang patut disembah. Seraya itu, ia juga memaparkan tipe Tuhan yang diyakini kaum Muslimin. Tuhan yang bersekutu (tidak tunggal) dan pada saat yang sama memiliki sejumlah persamaan dengan seseorang atau apapun, tidak layak atau tidak perlu disembah. Jangan sampai kita memuja-muja negara superpower atau seseorang yang zalim yang pada hakikatnya membutuhkan kekuatan di luar dirinya dalam melanggengkan kekuasaannya. Tinggalkanlah dan abaikanlah mereka! Setiap orang harus terus bersikap waspada sehingga dirinya tidak sampai menobatkan mereka sebagai tuhan yang pantas dipuja dan disembah. Seseorang yang menyembah atau tunduk sepada boneka-boneka bernyawa nan buas tersebut pada dasarnya tengah menghinakan dirinya sendiri, bahkan juga manusia lainnya. Adapun secara positif, surat ini menunjukkan kepada kita tentang sifat-sifat keesaan Tuhan, dan pada saat yang sama, menyingkapkan segenap kelemahan tuhan-tuhan palsu. Selain itu terdapat pula peringatan keras terhadap kaum Muslimin dan orang-orang yang beriman kepada Allah untuk tidak menghamburkan waktunya secara sia-sia. Dengan kata lain, peringatan tersebut menghendaki agar mereka berusaha sekuat tenaga mencarai dan mempelajari argumen filosofis yang kokoh seutar keberadaan dan sifat-sifat Tuhan. semua itu niscaya akan melenyapkan keraguan dalam lubuk hati seseorang tentang keberadaan Tuhan. Waktu yang dimiliki serta usaha yang dilakukan seseorang seyogianya digunakan untuk kian mempertajam pemahamannya tentang keesaan Tuhan. Dan semua itu pada gilirannya akan semakin mempertebal keyakinan religiusnya. Imam Ali Zainal Abidin mengatakan, “Allah mengetahui bahwasanya terdapat orang-orang yang merasa heran dan ingin tahu tentang-Nya, sampai Allah menurunkan wahyu-Nya, Qul huwallaahu Ahad,’ dan ayat dari surat al-Hadid yang berbunyi, ‘Alimun bi dzatishshudur,’ untuk menentukan batasan pemikiran tentang keberadaan-Nya. Dan telah berulangkali dinyatakan dalam al-Quran bahwa barangsiapa yang melewati ambang batas tersebut tak akan memperoleh apapun kecuali kehancuran.”[15] Surat at-Tauhid ini mengatakan kepada para hamba bahwasanya Allah Mahakuasa, Mahaesa, Mahaagung, serta mutlak bebas dari kebutuhan dan ketergantungan. Allah tidak dilahirkan ataupun melahirkan siapapun (tidak beranak atau diperanakkan). Tak ada yang sebanding, serupa dan mendekati kemiripan dengan-Nya. Beberapa pandangan dan persepsi seputar keberadaan Allah ini kiranya memadai bagi kaum Muslimin untuk merumuskan keyakinannya. Dalam sejumlah ayat lain, al-Quran menganjurkan kita untuk tidak berlebihan dalam menelaah ihwal yang berkenaan dengan sifat serta esensi Tuhan. seseorang selayaknya menerapkan keyakinannya dalam kehidupan sehari-hari demi menumbuhkan ketundukan kepada-Nya, ketimbang terus-menerus tenggelam dalam pemikiran spekulatif tanpa akhir. Sesuai dengan prinsip bahwa tindakan atau perbuatan lebih utama ketimbang ucapan, kita harus berusaha keras menjadikan diri kita sebagai contoh hidup dari ketauhidan. Inilah jalan yang dipilih para nabi Allah, para shiddiqin, dan orang-orang shalih. Ya, mereka telah berhasil memiliki kesadaran yang agung tentang-Nya.

IV. Tasbihat Arba’ah
Dalam keadaan berdiri pada rakaat ketiga dan keempat dalam shalatnya[16], seorang hamba akan membaca empat rangkaian kalimat yang penuh makna seputar kemahaagungan Allah swt. Kami akan menguraikan maksud dari masing-masing kalimat suci yang dibaca sebelum ruku’ dan sujud tersebut. Kalimat-kalimat suci itu adalah subhanallah (Mahasuci Allah), walhamdulillah (segala puji hanya milik Allah), wala ilaha illallah (tiada tuhan selain Allah), dan Wallahu akbar (Allah Mahabesar). Dengan memahami makna yang sebenarnya dari keempat kalimat suci tersebut, seseorang bisa dikatakan telah memiliki pemahaman yang utuh tentang ketauhidan. Masing-masing kalimat tersebut pada hakikatnya mengungkapkan aspek yang berbeda dari konsep ketauhidan. Mengulang-ulang pernyataan tersebut dalam ibadah shalat sehari-hari tidak hanya akan menumbuhkan kesadaran diri orang-orang yang melakukannya. Lebih dari itu, ia juga akan mengubah pola perilakunya. Dengan kata lain, keyakinan suci Islam secara umum terwujud dalam keseharian hidupnya. Islam adalah jalan hidup. Sungguh, pemahaman tentang segenap hal yang berkenaan dengan Islam sangatlah bernilai. Namun, sesuatu yang kita pahami, kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari tentu jauh lebih bernilai lagi. Islam sangat menganjurkan untuk memeluk jenis keyakinan yang membebani tugas-tugas (mulia) tertentu ke pundak seseorang. Semua itu dimaksudkan agaar seseorang lebih bertanggung jawab terhadap tindak-tanduknya sendiri. Jalan hidup orang-orang beriman yang meyakini betul keberadaan Allah sangatlah berbeda dengan jalan hidup orang-orang yang tidak mempercayai keberadaan Allah. Seseorang yang meyakini dirinya merupakan bagian dari keseluruhan tatanan alam oleh Sang Pencipta yang Mahakuasa dan Mahatahu, akan senantiasa bertanggung jawab terhadap segenap tindak-tanduknya. Dirinya selalu merasa terikat dan mengerahkan segenap tindakannya kepada cita-cita serta tujuan hidupnya. Secara konsekwen, ia akan berusaha mati-matian untuk mewujudkan segenap (kebaikan) yang sebelumnya telah direncanakan. Berkat kehidupan yang mengandungi tujuan tersebut, dirinya pun merasakan kebahagiaan dan kepuasan yang tiada tara. Begitu pula dengan keyakinan dan pemahaman terhadap konsep Hari Pengadilan, kenabian, dan keimamahan. Sebagaimana ketauhidan, masing-masing dari konsep tersebut juga akan menimbulkan pengaruh pada diri seseorang. Secara konsekwen, semua itu akan membedakan mana orang-orang yang memiliki keyakinan dan mana yang tidak. Dalam kehidupan sehari-hari, kita memang tidak dapat membedakan secara lahiriah siapa saja pengikut mazhab pemikiran ini dan siapa saja yang bukan. Sebab, kuat atau rapuhnya keyakinan, lebih disebabkan oleh mendalam atau dangkalnya pemahaman seseorang terhadap prinsip-prinsip dasar (Islam). Bagaimanapun, perbedaan antara orang yang benar-benar beriman dan orang yang berpura-pura akan ditampakkan kelak dalam situasi kehidupan yang sesungguhnya. Bertolak dari diskusi di atas, kita akan membahas makna dari keempat kalimat suci tersebut.

1- Subhanallah
Allah Mahasuci dan mustahil bersekutu, bertindak sewenang-wenang, dan memiliki kekurangan. Allah tidak diciptakan dan tidak pernah melakukan kesalahan. Lagipula , kita tidak dapat menyifati Allah dengan sifat-sifat atau ketidaksempurnaan sesuatu sebagaimana yang kita kenal atau dapat kita bayangkan. Allah lebih (besar) dari apa yang dapat kita bayangkan. Berdasarkan itu, seorang hamba yang selalu mengingat Allah akan menyadari posisinya sebagai sosok makhluk yang membutuhkan Tuhan yang Mahakuasa serta menyerahkan dirinya secara penuh kepada Allah yang Mahasempurna dan sumber segala keindahan absolut. Akankah seseorang merasa keberatan untuk menyembah Tuhan semacam itu? Inilah maksud dari ibadah shalat yang diperintahkan Islam; menjadikan manusia hanya bertekuk-lutut menyembah Allah yang Mahakuasa dan mengakui-Nya sebagai sumber segenap kebaikan, keindahan, dan kesempurnaan mutlak. Tentu hal ini bukanlah dimaksudkan untuk melecehkan manusia; setiap orang pasti menyukai serta menghargai kecantikan dan kesempurnaan. Ini sesuai dengan fitrah manusia yang mampu memahami sesuatu yang dirasakan dan bersifat abstrak, seperti kecantikan, cinta, dan kasih sayang. Dan semua itu jelas menjadikan manusia memiliki nilai lebih ketimbang makhluk lainnya. Selain pula berfungsi untuk membatasi apa-apa yang dapat dirasakannya. Akankah setiap orang menolak untuk menyembah kebaikan, cinta, dan kecantikan sempurna? Tentu saja kemampuan untuk menghargai semua itu semata-mata merupakan sebuah anugerah. Ya, anugerah yang diperoleh seseorang yang menapaki jalan (kebenaran) ini adalah tumbuhnya ketaatan (kepada Allah) dalam dirinya, sehingga menjadikan hidupnya begitu terarah dan bermakna. Siapapun yang menganggap remeh ibadah atau penyembahan kepada Allah pada dasarnya tidak memahami hakikat dari persoalan ini. Mereka menyamakan penghambaan kepada Allah dengan tunduk atau mencium kaki seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Sesungguhnya kehendak untuk menghargai serta menghormati keindahan, kesucian, dan kesempurnaan mutlak merupakan fitrah manusia. Kalimat suci subhanallah (Mahasuci Allah), pada dasarnya menghendaki kita untuk terus-menerus merenungkan kesempurnaan mutlak Tuhan yang Mahakuasa.

2- Walhamdulillah
Segala puji bagi Allah semata. Dalam kehidupan sehari-hari, kita menyaksikan hampir sebagian besar orang senantiasa giat berusaha demi mendapatkan sesuatu; status, kedudukan, harta kekayaan, atau bahkan kebutuhan hidupnya yang paling primer (pangan, sandang dan papan). Apakah dibenarkan jika kita menengadahkan tangan atau bahkan sampai mengemis kepada orang-orang semacam itu demi mendapatkan sekantong uang? Sekalipun orang-orang semacam itu tingkat kecerdasannya di bawah kita, namun dikarenakan memiliki kedudukan tertentu atau sanggup memberi kita sesuatu (yang sebenarnya tidak berharga), maka hampir setiap waktu kita selalu memuji dan begitu menghargai mereka. Dengan selalu mengingat bahwa segenap kemuliaan serta pujian seyogianya hanya tercurah kepada Allah dan segala sesuatu hanyalah milik-Nya, niscaya hidup kita akan jauh lebih mudah. Pada kenyataannya, Allah lah yang memberi anugerah kepada setiap orang. Karenanya, tak seorang yang berhak untuk menumpuk makanan atau pelbagai barang kebutuhan lainnya demi mendapat penghormatan atau penghargaan orang lain. Para fakir miskin seyogianya tidak berharap kepada kaum hartawan (orang kaya), orang-orang yang hidup makmur, atau para penimbun. Sebaliknya, ia harus berusaha hidup mandiri dan pada saat yang sama menganggap mereka sebagai para perampas yang serakah.

3- Wala ilaha illallah
Inilah kaidah kencana Islam yang memperlihatkan universalitas sekaligus kekhasan ideologinya. Pernyataan ini memiliki dua sisi; pengingkaran (nafi) sekaligus penetapan (itsbat). Sisi yang pertama (pengingkaran) dimaksudkan untuk mengenyahkan segenap kontrol, tirani dan dominasi kekuasaan para adikuasa atau penguasa zalim lainnya terhadap masyarakat. Atau dengan kata lain, membebaskan manusia dari segala bentuk perbudakan. Seorang Muslim yang sesungguhnya tidak akan tunsuk di hadapan kekuasaan lain selain kekuasaan Allah dan tidak akan pernah melakukan pelanggaran terhadap segenap perintah-Nya. Berkat sikap pengingkaran yang sungguh luar biasa ini, ia akan terbebas dari kesengsaraan, belenggu penghambaan, perbudakan dan keragu-raguan. Ia meleburkan dirinya semata-mata ke dalam sistem Ilahi, yakni pemerintahan yang benar-benar Islami. Dirinya memilih untuk menaati Allah dan bukan menaati orang-orang yang acapkali memaksanya untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan perintah-Nya. Untuk menjadi hamba Allah, seseorang harus menata pola hidupnya sesuai dengan keinginan Allah dan menjadikan dirinya sebagai teladan orang lain. Selain itu, ia juga harus berusaha untuk mengembangkan gagasan seputar pendirian negara atau wadah kehidupan bersama yang ditopang nilai-nilai ketuhanan. Sistem sosial lain di muka bumi ini yang tidak dibentuk secara demikian adalah sistem sosial yang bersifat sekuler. Sistem sosial semacam itu didesain dan dibangun oleh manusia sehingga tidak memiliki tujuan akhir yang bersifat hakiki dan tidak akan pernah menciptakan kemakmuran hidup. Kemampuan manusia sangatlah terbatas sehingga menjadikannya tidak sanggup mengetahui masing-masing kebutuhan dari sesamanya. Selain itu, dirinya acapkali bersikap subjektif dalam menilai sesuatu. Dengan kekurangan seperti itu, maka sistem yang didesain dan dibangunnya pasti tidak akan pernah sempurna. Hanya ketetapan suci yang berasal dari yang Mahaagung, yang mengetahui segenap kebutuhan manusia saja yang dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan kehidupan umat manusia. Upaya seluruh nabi Allah, dengan cara masing-masing, untuk merumuskan hal semacam itu tidaklah ditentang para penguasa atau bangsa-bangsa lain. Alasannya, para nabi justru melindungi dan menginginkan mereka (penguasa atau suatu bangsa) hidup makmur. Para nabi memainkan peran sebagai seorang ayah yang sangat bijak bagi masyarakatnya. Mereka senantiasa membimbing masyarakat dalam menentukan pilihan bagi jalan hidupnya. Seraya itu, para nabi juga tidak henti-hentinya menjelaskan bahwa siapapun tak akan pernah mengecap kebahagiaan hidup dalam sistem sosial apapun kecuali dirinya bertuhan dan bertindak sesuai dengan titah Allah swt. Sepanjang sejarah umat manusia sampai hari ini, kita tentu menyaksikan dengan hati pilu betapa hina, sengsara dan menderitanya orang-orang yang hidup di bawah kekuasaan para penguasa lalim. Sebaliknya, betapa makmur dan sejahteranya masyarakat yang hidup dalam sistem sosial Ilahiah.

4- Wallahu Akbar
Allah Mahabesar. Rata-rata manusia tidak dapat merubah kehidupannya begitu saja, sekalipun keadaannya sudah sangat mengerikan. Dirinya sudah sedemikian dibayang-bayangi ketakutan dan kengerian sehingga memilih untuk tidak mengatakan ‘tidak’ kepada para penguasa zalim, penindas dan arogan. Ya, mereka lebih cenderung untuk menyandarkan dirinya kepada lembaga-lembaga tersebut. Padahal kalau saja berani mengatakan ‘tidak’, niscaya mereka akan menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana kekuasaan zalim yang selama ini telah menjadi momok yang begitu menyeramkan itu ambruk dalam sekejap. Sayang, ketidakpedulian dan kurangnya keyakinan di satu sisi, serta ketakutan untuk menghadapi resiko balas dendam yang mungkin dilancarkan pihak penguasa zalim di sisi yang lain, sudah sedemikian meliputi diri mereka. Pada saat seperti itu, seharusnya mereka mengucapkan, “Allahu Akbar”. Sungguh, Allah Mahabesar, lebih besar dari segenap apapun, siapapun dan kekuasaan manapun. Allah bahkan lebih besar dari apa yang dapat kita bayangkan. Allah adalah perancang seluruh hukum alam, termasuk hukum alam ghaib. Keberhasilan hidup hanya mungkin dicapai bila seseorang menyesuaikan diri dengan rangkaian hukum-hukum tersebut serta mengikuti tuntunan Ilahi. Rasulullah saw adalah pribadi agung yang sangat menyadari kenyataan ini. Disertai keyakinan yang penuh terhadapnya, beliau saw bangkit sendirian menentang segenap penindasan yang pada waktu itu banyak dipraktekkan orang-orang kafir Mekah. Pada akhirnya, beliau saw berhasil mengubah pemikiran sejumlah orang yang sebelumnya menempuh kesesatan. Seraya itu, belaiu juga menunjukkan kepada mereka jalan kebenaran yang akan menyelamatkan seluruh umat manusia. Tatkala merasa tidak berdaya untuk melawan suatu ketidakadilan, seyogianya seseorang ingat bahwa Allah Mahakuasa. Dengannya, niscaya ia akan mendapat kekuatan yang sungguh luar biasa. Tekad dirinya pun akan menjadi sedemikian kukuh sehingga tak seorang pun yang mampu mencegah dan merintanginya. Inilah pembahasan ringkas tentang pelbagai keuntungan yang dapat diperoleh seseorang ketika mengucapkan secara berulang-ulang (dalam keadaan berdiri), keempat kalimat suci tersebut pada rakaat ketiga dan keempat dari setiap shalatnya.

V. Ruku’
Setelah membaca surat atau ungkapan-ungkapan tasbih dalam keadaan berdiri,[17] seorang hamba wajib membungkukkan tubuh dan kepalanya (melakukan ruku’) di hadapan Allah, Tuhan yang lebih agung dari yang dapat dibayangkan serta dipuja umat manusia. Allah swt begitu Mahaagung sehingga seorang hamba mau tak mau harus membungkukkan badannya dengan penuh penghayatan. Hal ini memperlihatkan ketundukan seorang hamba di hadapan Tuhan yang Mahakuasa; sumber kekuasaan utama yang mengatasi segenap kekuasaan yang dimiliki manusia. Karena itu, seorang hamba tidak dibenarkan membungkukkan tubuhnya di hadapan sesuatu atau manusia lain. Seraya berada dalam posisi tunduk (ruku’) di hadapan Tuhan, seorang hamba seyogianya menyampaikan pujian kepada-Nya dengan membaca, “Subhaana Rabbiyal ‘Adhimi wa bihamdih” (Mahasuci Allah yang Mahaagung dan saya menyembah-Nya).”[18] Dengan menundukkan diri seraya mengucapkan kalimat yang tepat semacam ini, pada dasarnya seseorang telah bertekad untuk menjadi seorang hamba Allah, bukan hamba selain-Nya. Dan tanda-tanda kebahagiaan, kemerdekaan dan harga dirinya pun akan segera membayang di wajahnya.

VI. Sujud
Setelah berdiri dari ruku’, seorang hamba bersiap-siap untuk menundukkan dirinya lebih dalam lagi. Ya, ia akan segera bersimpuh dan menempelkan dahinya ke atas tanah. Menempelkan dahi di atas tanah merupakan bukti tertinggi bagi kerendah-hatian seseorang. Seorang hamba akan mempersembahkan penghormatan yang sedemikian tinggi hanya kepada Allah swt, sumber dari segenap kebaikan dan keindahan absolut. Dengan keyakinan serta pengetahuannya, ia tidak pernah mau menyembah sesuatu atau sesamanya, apalagi sampai semendalam itu. Sebab, ia juga tahu bahwa memperlihatkan kerendah-hatian seerti itu kepada makhluk lain adalah terlarang. Tatkala bersujud di atas tanah dan menghayati keagungan Tuhan, seorang hamba akan segera mengucapkan kalimat penuh makna ini, “Subhana Rabbiyal A’laa Wa Bihamdih” (Aku menyembah Allah yang Mahasuci dan Mahatinggi).”[19] Sungguh, kalimat suci serta perbuatan (sujud) ini sangatlah serasi! Darinya jelas bahwa setiap manusia harus memanjatkan pujian serta penghormatannya hanya kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Bersujud dalam shalat dan bersimpuh di hadapan Allah yang Mahakuasa dan Mahaagung tidaklah sama dengan berlutut di hadapan makhluk lain yang tidak memiliki kesempurnaan. Apalagi dengan berlutut di hadapan benda-benda atau berhala-berhala. Dengan tindakan ini, seorang hamba menyatakan ketundukan serta ketaatannya kepada Allah swt yang Mahatahu dan Mahamelihat. Sungguh, seorang hamba telah menggapai kedudukan sebagai hamba Allah telah menghindarkan dan membebaskan dirinya dari segenap belenggu enghambaan dan perbudakan antar sesama. Hasil terpenting yang terkandung dari kewajiban untuk mengucapkan kalimat suci serta melaksanakan kewajiban sujud dan bersimpuh tersebut adalah menjadikan seorang hamba mengetahui kepada siapa dirinya harus tunduk. Selain pula mengukuhkan pandangan bahwa seluruh pujian dan ketundukan hanya khusus ditujukan kepada Allah. Darinya, ia juga akan mengetahui bahwa tak satupun makhluk yang wajib disembah dan dipuji. Imam Ali ar-Ridha as berkata, “Seseorang akan merasa dekat kepada Allah ketika dirinya sedang bersujud di atas tanah.”[20]

VII. Tasyahhud (Penyaksian Keesaan Allah)
Setelah menyelesaikan rakaat kedua dan juga pada rakaat terakhir dalam shalat sehari-hari, seorang hamba akan duduk bersimpuh seraya membacakan tiga buah pernyataan, yang masing-masing darinya menyingkapkan sejumlah aspek yang berkenaan dengan keimanan. Perbuatan (salam shalat) ini disebut dengan tasyahhud. 

1- Seorang hamba wajib mengakui keesaan Tuhan dengan membaca, “Asyhadu anlaa ilaha illallah (ak bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah).” Setelah itu, dirinya harus memberi penekanan yang lebih terhadapnya dengan mengucapkan, “Wahdahu la syarikalah (hanya Dia Tuhan alam semesta, tak ada sekutu bagin-Nya).” Apapun atau siapapun yang menjadikan manusia terjebak dalam perbudakan akan dianggap sebagai tuhannya. Lewat sudut pandang ini, kita menyaksikan bagaimana sesekali kita tunduk mengikuti keinginan hawa nafsu. Bahkan, kita tak jarang mengikuti keinginan serta perintah seseorang atau sebuah lembaga yang dalam hal ini berperan sebagai tuhan.[21]  Dengan engucapkan laa ilaaha illallah, kehidupan seorang hamba akan bersih dari pengaruh para penguasa semacam itu. Maksud dari tasyahhud adalah penolakan secara tegas terhadap segenap pengaruh kekuasaan selain-Nya dalam kehidupan seseorang. Seorang hamba niscaya mengetahui bahwa hanya Allah yang berkuasa, bukan makhluk-Nya. Setelah memahami dan menerima kenyataan ini, seseorang harus tegas menolak apapun atau siapapun (baik manusia, hewan, malaikat atau bahkan hawa nafsu) yang mencoba menguasai dirinya. Hal ini bukan dimaksudkan bahwa orang yang bertauhid dilarang menerima atai mengikuti tatanan, aturan-aturan, hukum-hukum, serta kesepakatan sosial. Namun, semua itu lebih dimaksudkan agar oeng yang mengaku bertauhid menolak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Ilahi. Seorang Muslim sejati tentu tahu bagaimana seharusnya ia berperilaku serta bagaimana membedakan antara benar dan salah. Langkah kehidupannya dibimbing semata-mata oleh Allah, bukan oleh manusia lain. Sebagaimana individu lainnya dalam masyarakat, ia mengikuti segenap aturan main serta ketetapan yang berlaku. Namun, tatkala diketahui bahwa semua itu diarahkan untuk memenuhi ketamakan atau keinginan buruk seseorang, dirinya niscaya akan langsung berlepas tangan dan menjauh darinya. Tolok ukur yang digunakannya untuk menilai semua itu adalah ketetapan Allah swt, bukan yang lain. Ia juga akan bersikap patuh kepada orang-orang yang memegang teguh hukum-hukum Allah. Teristimewa kepada mereka yang ditugaskan Allah untuk membimbing umat manusia. Sebabnya, misi yang diemban para penasehat serta pemimpin tersebut hanyalah membimbing umat manusia dalam kerangka keinginan Allah swt. Ini sebagaimana difirmankan dalam al-Quran, “…taatilah Allah dan taatilah rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (an-Nisa’: 49)[22]

2- Agaknya dengan pertimbangan yang semacam itu, seorang hamba mengucapkan pernyataan tasyahhud yang kedua, “Asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluh (aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah).” Mengakui Muhammad saw sebagai utusan Allah secara tidak langsung meyakini bahwa segenap perkataan Nabi saw semata-mata wahyu yang datang dari Allah. Adakah cara untuk mendekatkan diri kepada Allah yang lebih baik dari mengikuti utusan Allah? Sebelumnya, banyak orang yang beriman menjadi tersesat lantaran dalam usahanya menapaki jalan Tuhan, ia hanya mengandalkan dirinya sendiri. Kemudian Allah mengutus Nabi Muhammad saw dengan perintah yang jelas untuk membimbing umat manusia. Bahwa Muhammad saw adalah benar-benar utusan Allah dan ucapannya adalah wahyu Allah, merupakan keyakina seluruh hamba Allah yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Persoalan penting lainnya yang terkandung dalam maklumat tasyahhud kedua ini adalah bahwa kata ‘hamba’ (‘abd) mendahului kata ‘utusan’ (rasul). Hal ini menunjukkan bahwa dalam kacamata Islam, keutamaan seseorang diukur berdasarkan ketulusannya dalam menghamba ketimbang misi yang diembannya. Sesungguhnya kebajikan atau keutamaan seseorang diukur berdasarkan kedalaman keyakinannya, khususnya keyakinan kepada Allah swt. Orang-orang yang lebih luas dan lebih mendalam keyakinannya (kepada Allah) tentunya jauh lebih utama dari selainnya. Orang-orang yang mengenal konsep penghambaan tentunya tidak akan kesulitan untuk memahami pernyataan di atas. Kita seyogianya membandingkan dan memutuskan apakah kita lebih memilih bergantung kepada Allah ataukah kepada selain-Nya. Sunguh, Allah Mahalembut, Mahapenyayang dan Mahakuasa. Lawannya adalah pemarah, suka mementingkan diri sendiri dan bersifat sementara. Bisakah dikatakan bahwa penyebab utama timbulnya kesengsaraan masyarakat tak lain dari bentuk ketergantungan yang mereka lestarikan (ketergantungan kepada seseorang, benda-benda dan sebagainya)? Juga, bisakah dikatakan bahwa ketergantungan kepada Allah semata akan menghapus keinginan untuk bergantung kepada sesuatu yang lain?[23] Pernyataan tentang keesaan Allah dan kerasulan Nabi Muhammad saw muncul secara berdampingan dalam tasyahhud. Para hamba harus menyadari bahwa pengucapan kedua maklumat tersebut tidaklah bernilai kecuali bila kemudian diikuti oleh lahirnya komitmen serta perbuatan yang sesuai dengannya.
Dalam hal ini, terdapat keharusan serta aturan bertingkah-laku yang bersifat khusus bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya dan yang meyakini kerasulan Muhammad saw. Proses penghambaan yang sesuai dengan segenap prinsip tersebut merupakan persoalan paling pokok dalam setiap shalatnya, seorang hamba akan senantiasa memperbarui kesaksiannya kepada Allah dan rasul-Nya. 

3- Pernyataan ketiga dalam tasyahhud merupakan sebuah doa dan harapan yang dipanjatkan ke hadiran Ilahi. Seorang hamba mengatakan, “Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa aali Muhammad (Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad).” Rasulullah saw beserta Ahlul Baitnya merupakan para penghulu ajaran (Islam) mulia ini. Dengannya, seorang hamba akan senantiasa sadar bahwa didinya harus berpedoman kepada mereka serta terus memperbarui hubungannya dengan mereka (Ahlul Bait Nabi saw). Adalah wajib untuk berdiri di atas garis pedoman dari segenap doktrin tersebut. Dalam ajaran Islam, kita diharuskan mengikuti mereka yang menjadi contoh hidup kesempurnaan manusia tersebut. Mereka adalah buah dari pembinaan dan perjuangan suci Rasulullah saw sepanjang sejarah. Ya, mereka adalah para pengikut Nabi yang paling taat dan penuh disiplin. Para insan mulia didikan Rasul saw tersebut melanjutkan risalah bukan hanya dengan perkataan, melainkan juga, bahkan hampir sebagian besarnya, dengan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari. Sepanjang sejarah, terdapat banyak filosof dan pemikir yang datang dan pergi begitu saja. Mereka hanya duduk berangan-angan seraya mengotak-atik rumus kehidupan yang dianggap terbaik bagi umat manusia. Lebih dari itu, mereka tidak menerapkan buah pikirannya dalam kehidupannya sendiri. Demikian pula dengan segelintir pengikutnya (yang sekalipun tidak menerapkan rumus pikir tokohnya dalam kehidupannya sendiri, namun giat menyebarkan doktrin-doktrin ismenya ke tengah-tengah masyarakat). Oleh karenanya, kita bisa saksikan bahwa orang-orang yang menjadi pengikut mereka jumlah sangat sedikit sekali. Seorang amba akan dengan penuh santun menyampaikan salam kepada Rasulullah saw beserta Ahlul Baitnya. Seraya itu, dirinya amat berharap agar ikatan spiritual yang selama ini terjalin antara dirinya dengan para insan pilihan Allah tersebut bertambah kuat. Jalinan serta kecenderungan dirinya kepada orang-orang suci tersebut niscaya akan menuntunnya melangkah menuju jalan yang semestinya.

VIII. Penutup Ibadah Shalat
Dalam mengakhiri setiap shalatnya, seorang hamba akan mengucapkan tiga jenis salam.[24] Tentu saja semua salam tersebut menyertakan nama Allah. Ibadah shalat dalam Islam dimulai dengan nama Allah dan diakhiri juga dengan nama Allah –selain tentunya praktek shalat itu sendiri merupakan doa kepada Allah.
Penyebutan nama Rasulullah saw dan Ahlul Baitnya, tentunya selalu disertai dengan nama Allah dan ungkapan rasa syukur atas segenap limpahan karunia-Nya.

1- Salam yang pertama ditujukan secara khusus kepada Rasulullah saw. Dalam salam ini juga terkandung harapan (doa) agar Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada beliau saw, “Assalamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakatuh (salam sejahtera bagimu wahai nabi Allah dan semoga rahmat serta berkah Allah selalu tercurah kepadamu).” Pada saat itu, seorang hamba tengah menyampaikan salamnyakepada sosok mulia Nabi Muhammad saw. Beliau saw merupakan nabi suci yang menyebarkan syiar Islam ke seantero dunia dan menegakkan Islam secara praktis bersama-sama para pengikutnya. Islam adalah sebuah jalan hidup yang menekankan pentingnya harkat dan martabat umat manusia. Ajaran mulia ini membolehkan, bahkan menganjurkan setiap orang untuk menumbuhkan dan mengembangkan dirinya masing-masing semaksimal mungkin. Nabi suci saw telah menggambarkan, menggariskan serta memperlihatkan secara nyata kepada orang-orang di seluruh dunia bagaimana bentuk masyarakat yang hidup di bawah aturan-aturan Islam. Sebuah dunia yang didambakan adalah dunia di mana setiap orang hidup damai dan dekat kepada Allah. Tatkala memiliki pemahaman semacam itu, seorang hamba niscaya akan mengetahui kebesaran dan peran penting Nabi saw dalam membangun kesejahteraan umat manusia. Karenanya, ia akan bersegera menyampaikan salam kepada beliau saw. 

2- Salam kedua ditujukan kepada diri hamba itu sendiri serta kepada segenap hamba lainnya yang berdiri dan melangkah di jalan yang sama (jalan Allah), “Assalamu ‘alaina wa ala ‘ibadillahish shalihin (salam dan sejahtera teruntuk kami serta orang-orang yang shaleh).” Dengan selalu memikirkan tentang kemuliaan dan keutamaan orang-orang yang shaleh, serang hamba akan semakin terpacu untuk mengikuti mereka, atau bahkan menjadi seperti mereka (menjadi orang shaleh, -pent.). Lihatlah di sekeliling kita! Sungguh kehidupan di dunia dewasa ini sudah sedemikian dikotori oleh pelbagai polusi kemanusiaan seperti kejahatan, kelicikan, kelancangan, kesombongan, kezaliman, kriminalitas dan korupsi. Polusi-polusi semacam itu bisa kita jumpai di mana-mana dan nyaris setiap orang tenggelam di dalamnya. Orang-orang yang berpandangan tajam atau senantiasa bersikap waspada tentunya dapat memperkirakan bahwa dalam tempo tidak lama lagi, kebangkrutan nilai-nilai kemanusiaan bakal terjadi di mana-mana. Ya, dalam dunia yang begitu bising dan bergemuruh oleh isak tangis (benar-benar atau hanya sekadar berpura-pura), kita nyaris tidak dapat mendengar ratapan dan rintihan orang-orang lemah dan tertindas. Kegemparan, kegaduhan dan huru-harayang diciptakan oleh para penghasut seperti Muawiyah, Yazid dan al-Mansur telah menenggelamkan kebutuhan akan kehadiran pada pemimpin yang sesungguhnya seperti Imam Ali bin Abi Thalib, Imam Husain dan Imam Ja’far Shadiq. Ringkasnya dapat kita katakan bahwa di tengah-tengah situasi kelam dan carut marut seperti ini, di mana setan-setan durjana dan para penasehatnya tengah berkuasa, masih mungkinkah seseorang mengharap kejujuran dan keadilan? Sungguh nyaris mustahil untuk menemukan jejak kebaikan dalam batang tubuh masyarakat seperti itu! Ucapan selamat seyogianya diucapakan kepada mereka yang, sekalipun terjebak dalam situasi serba sulit, mampu dan mau mengulurkan tangannya demi membantu kaum miskin dan tak berdaya. Dengan hadirnya orang-orang seperti itu di kancah kehidupan masyarakat, orang-orang yang sebelumnya hidup tercekik kini dapat kembali menghirup angin segar. Menyaksikan kenyataan bahwa di sekelilingnya masih terdapat segelintir dermawan nan tulus tersebut, mendorong mereka untuk tidak menyerah kalah. Mereka berpikir bahwa di sejumlah tempat lain masih ada orang-orang yang bernasib sama dengan mereka. dan pada akhirnya, mereka tidak merasa sendirian dalam berjuang untuk menuntut hak-haknya. Sebagaimana dicatat baik dalam sejarah, kita dapat melihat bahwasanya di sana sini terdapat seelintir orang yang tidak ikut tercebur dalam kubangan orang banyak, khususnya kubangan mausia-manusia korup dan gemar menyeleweng. Mereka bangkit seraya menawarkan jalan hidup yang jauh lebih baik bagi masyarakatnya. Hari ini, sesuai dengan janji Allah, kit juga menemukan adanya sejumlah orang alim yang sungguh-sungguh menyembah Allah, memperjuangkan keadilan, dan memesuhi kaum penindas. Siapakah orang-orang shaleh dan berjasa tersebut? Di manakah mereka? bukankah sebuah kebijakan jika kita belajar dan mengikuti langkah mereka? Tentu saja bila seorang hamba taat kepada mereka, menyampaikan salam kepada mereka dalam shalatnya (termasuk menyalami kita dan segenap orang-orang shaleh), niscaya akan benar-benar menyatu dengan mereka. Dalam keadaan demikian, dirinya merasa bangga karena menjadi bagian dari barisan mereka. kalau kurang bersungguh-sungguh dalam berjuang bersama mereka, niscaya dirinya akan merasa malu. Namun, alih-alih menjadikannya mundur, semua itu malah akan memperbarui dan semakin memacu semangat serta tekadnya untuk terus mengikuti kebenaran yang dijunjungnya. Bagaimana ciri-ciri orang shaleh tersebut? Apa yang dimaksud dengan keshalehan? Keshalehan bukanlah semata-mata diukur berdasarkan benyaknya doa yang dipanjatkan. Melainkan dinilai berdasarkan prestasi seseorang dalam menunaikan berbagai kewajiban agamanya serta bagaimana kesungguhannya dalam menghamba kepada Allah. Kalau memang demikian adanya, panaskah seseorang disebut shaleh? Orang semacam itu tak ubahnya seorang murid yang cakap dan berprestasi tinggi di kelasnya. Berbeda dengan (murid-murid) lain, ia tentu layak dianugerahi penghargaan yang tinggi. 

3- Dan akhirnya, salam ketiga ditujukan seorang hamba kepada segenap insan yang hidup dalam kebaikan, para malaikat[25], dan setiap orang yang shalat bersama dirinya, “Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh (salam sejahtera kepada kalian semua dan semoga rahmat Allah senantiasa tercurah kepada kalian).” Selain untuk menyampaikan salam kepada setiap orang serta memanjatkan harapan agar Allah mengasihi dan merahmati mereka, pernyataan terakhir ini dimaksudkan pula untuk mengingatkan seorang hamba terhadap sifat-sifat luhur para malaikat.


[1] Jalaluddin Rumi, Matsnawi, (terj.) Reynold A. Nicholson, jilid V; hal. 2049-2050.
[2] Catatan penerjemah (Parsi ke Inggris):
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (an-Nisa’: 103)
[3] قال رسول الله ( صلى الله عليه وآله ) : الصلاة معراج المؤمن
[4] Dari Fadhl bin Syadhan, Imam Ali ar-Ridha as berkata, “Sesungguhnya diperintahkan kepada manusia untuk membaca surat (dari al-Quran) dalam shalat agar al-Quran tiak sampai ditinggalkan atau dilupakan. Dan (membaca al-Quran) merupakan sebuah pelajaran. Oleh karena itu, janganlah kalian meninggalkan dan melupakannya.”
[5] “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (al-Ankabuut: 45)
[6] Surat al-Fatihah merupakan surat pembuka dari al-Quran.
[7] “…rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (al-A’raf: 156) Dalam doa ma’tsur (diriwayatkan dari imam), dikatakan, “Rahmat Allah melebihi kemurkaan-Nya.”
[8] Berdasarkan al-Quran surat al-A’raf (ayat 59 – 158) dan surat Huud (ayat 50 – 84), kita melihat bagaimana sejumlah nabi di masa lalu selalu menggunakan perkataan ini di awal dakwahnya.
[9] Hadis dari Nabi saw dan para imam as.
[10] Orang-orang yang membuktikan keimanannya dan hidup di jalan Allah dan nabi-Nya.
[11] Dalam al-Quran, terdapat beberapa sebutan khusus bagi kelompok ini pada situasi yang berlainan. Lihat surat at-Taubah (ayat 91 – 102), Shaad (58 – 61), Ibrahim (21 -22) dan al-Mukminun (47 – 48).
[12] Dianjurkan untuk membaca frase terakhir dari surat al-Fatihah secara berulang-ulang.
[13] Lihat catatan kaki no. 3.
[14] Istilah huwa (dia), selain menunjukkan rasa hormat, juga untuk menyatakan bahwa Allah itu Mahatunggal.
[15] Ushul Kafi dan Nur ats-Tsaqalain, vol. 5, hal. 706.
[16] Bagian dari rukun shalat.
[17] Pembacaan dilakukan sembari berdiri pada rakaat pertama, kedua, ketiga dan keempat; pada rakaat pertama dan kedua diharuskan membaca surat al-Fatihah dan surat lainnya. Sementara pada rakaat ketiga dan keempat dibolehkan membaca keempat tasbih atau surat al-Fatihah.
[18] Sebagai gantinya, seseorang dibolehkan membaca subhanallah sebanyak tiga kali.
[19] Juga sebagai gantinya, seseorang dibolehkan membaca subhanallah sebanyak tiga kali.
[20] Dalam Safinah al-Bihar, vol. 1.
[21] Merujuk pada beberapa ayat al-Quran; “Pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya…?” (al-Jaatsiyah: 23); “Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah… padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Mahaesa.” (at-Taubah: 31); “Dan berkata Fir’aun, ‘hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku…” (al-Qashash: 38). Juga dalam hadis seperti, “Perut-perut mereka adalah tuhan-tuhan mereka.”
[22] Berdasarkan ayat-ayat al-Quran seperti, “Barangsiapa yang menaati Rasul itu sesungguhnya telah menaati Allah.” (an-Nisa’: 80); “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (atau ruku’ kepada Allah).” (al-Maidah: 55). Atau dalam hadis seperti, “Lihatlah mereka yang ada di antaramu yang meriwayatkan hadis dari kami…” Dan hadis lain, “Kaum ulama yang paling dipercaya Allah ketimbang makhluk-Nya yang lain.”
Semua tekstersebut kiranya memperlihatkan kenyataan ini.
[23] Catatan penerjemah (Parsi ke Inggris):
I.         Allah adalah sumber satu-satunya yang dapat memenuhi segenap kebutuhan kita. Martabat seseorang akan diperbaiki dan disempurnakan bila dirinya bersikap pasrah dan tunduk kepada-Nya.
II.       Adakah jalan terbaik yang terhubung dengan sumber tersebut demi menumbuhkan inspirasi dan kekuatan dalam hati? Buat apa seseorang memuja dan menyembah orang lain atau berhala bila dirinya memahami bahwa Allah merupakan sumber kearifan dan kasih sayang yang sungguh tak terbatas? Benarkah pembinaan hubungan dengan Allah akan memutuskan kebergantungan seseorang dari selainnya?
III.     Jelas, dengan semua itu, para penghisap akan kehilangan abdinya yang selama ini menguntungkan dirinya. Menggantungkan nasib seseorang kepada orang lain atau sesuatu merupakan sumber bagi terjadinya problema sosial. Ketergantungan mencerminkan kelemahan, ketakberdayaan dan kehinaan. Semakin gigih mereka mengejar pemenuhan kebutuhannya, semakin banyak keputusasaan yang mereka alami.
IV.     Ini disebabkan manusia tidak dapat memenuhi segenap kebutuhan manusia lain. Lebih dari itu, banyak di antaranya yang suka mementingkan dirinya sendiri dan bersikap arogan sehingga acapkali merampas hak-hak selainnya. Saya pikir, contoh-contoh dari peristiwa yang memilukan sekaligus memalukan itu tak perlu dikemukakan di sini. Sebab, setiap orang pasti mengetahuinya –kalau bukan malah mengalaminya secara langsung.
[24] Hanya salam ketiga yang wajib diucapkan, sementara pengucapan dua salam yang pertama hanya bersifat anjuran (dalam arti, keduanya boleh tidak diucapkan).
[25] Hal ini merupakan salam ta’dhim atau sikap menghormat kepada makhluk mulia yang lebih tinggi kedudukannya.


0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution