Antara Kirim Pahala dan Acara Selamatan Kematian
Masalah sampainya pahala pada si mayit masih dalam ranah perselisihan
oleh para ulama, bukan hal yang mereka sepakati bersama karena
barangkali pemahaman akan dalil-dalil yang berbeda. Sebagian mereka
menyatakan bahwa mengirimkan pahala itu sampai pada si mayit, yang
lainnya tidak menyetujui hal ini. Namun demikianlah kadang pengikut hawa
nafsu seenaknya sendiri mencomot fatwa.
Ketika ia mendapati ulama yang
menyatakan bolehnya kirim pahala pada si mayit dan itu sampai, ia pun
seolah-olah menyatakan legalnya acara yang ia maksud yaitu tahlilan dan
yasinan yang sudah sangat ma’ruf di masyarakat kita ketika ada orang
terdekatnya meninggal dunia lalu diselamati dengan 3, 7, 40 atau 100
hari-. Padahal ulama madzhab yang selama ini ia ikuti tidak menyatakan
sampainya dan juga mereka tidak menyetujui kumpul-kumpul setelah
kematian.
Di antara ulama yang diambil fatwanya dan disebarluaskan adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Imam yang sudah sangat masyhur, namun dibenci di sebagian kalangan.
Seolah-olah Ibnu Taimiyah menjadi salah seorang yang pro dengan acara
selamatan kematian, tahlilan dan yasinan. Padahal tidak demikian. Di
antara fatwa beliau adalah sebagai berikut.
وَسُئِلَ
: عَمَّنْ " هَلَّلَ سَبْعِينَ أَلْفَ مَرَّةٍ وَأَهْدَاهُ لِلْمَيِّتِ
يَكُونُ بَرَاءَةً لِلْمَيِّتِ مِنْ النَّارِ " حَدِيثٌ صَحِيحٌ ؟ أَمْ لَا
؟ وَإِذَا هَلَّلَ الْإِنْسَانُ وَأَهْدَاهُ إلَى الْمَيِّتِ يَصِلُ
إلَيْهِ ثَوَابُهُ أَمْ لَا ؟ .
Ibnu Taimiyah ditanya mengenai hadits “ada yang bertahlil (membaca
‘laa ilaha illallah’) sebanyak 70.000 kali lalu ia menyedekahkannya
kepada si mayit, maka itu bisa menyelamatkan si mayit dari siksa
neraka”, apakah ini termasuk hadits shahih ataukah tidak? Jika seseorang
bertahlil (mengucapkan ‘laa ilaha illallah’) lalu menghadiahkannya
kepada mayit, apakah itu sampai kepada mayit?
فَأَجَابَ
: إذَا هَلَّلَ الْإِنْسَانُ هَكَذَا : سَبْعُونَ أَلْفًا أَوْ أَقَلَّ
أَوْ أَكْثَرَ . وَأُهْدِيَتْ إلَيْهِ نَفَعَهُ اللَّهُ بِذَلِكَ وَلَيْسَ
هَذَا حَدِيثًا صَحِيحًا وَلَا ضَعِيفًا . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ .
Ibnu Taimiyah menjawab, “Jika seseorang bertahlil seperti itu
sebanyak 70.000 kali atau kurang atau bahkan lebih dari itu, lalu ia
hadiahkan kepada mayit, maka Allah akan menjadikan amalan tersebut
bermanfaat (bagi si mayit). Yang membicarakan hal ini bukan hadits
shahih, bukan pula dho’if. Wallahu a’lam.” (Majmu’ Al Fatawa, 24: 323).
Kita akan semakin jelas jika membandingkan fatwa beliau dengan perkataan beliau yang lainnya.
Di tempat yang lain, Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan
bahwa dalam masalah sampainya kirim pahala pada mayit itu ada khilaf
(beda pendapat) di kalangan para ulama dan yang shahih (tepat), pahala
tersebut sampai. Beliau rahimahullah berkata,
وَالْعُلَمَاءُ
لَهُمْ فِي وُصُولِ الْعِبَادَاتِ الْبَدَنِيَّةِ : كَالْقِرَاءَةِ ؛
وَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ إلَى الْمَيِّتِ قَوْلَانِ : أَصَحُّهُمَا
أَنَّهُ يَصِلُ
“Mengenai sampainya pahala ibadah badaniyah kepada si mayit seperti
amalan bacaan Al Qur’an, shalat, puasa, ada dua pendapat di kalangan
para ulama. Yang tepat dalam masalah ini, pahala tersebut sampai”
(Majmu’ Al Fatawa, 31: 41).
Dalam bahasan yang lain, Ibnu Taimiyah menjelaskan,
وَأَمَّا
اشْتِرَاطُ إهْدَاءِ ثَوَابِ التِّلَاوَةِ فَهَذَا يَنْبَنِي عَلَى
إهْدَاءِ ثَوَابِ الْعِبَادَاتِ الْبَدَنِيَّةِ : كَالصَّلَاةِ
وَالصِّيَامِ ؛ وَالْقِرَاءَةِ فَإِنَّ الْعِبَادَاتِ الْمَالِيَّةَ
يَجُوزُ إهْدَاءُ ثَوَابِهَا بِلَا نِزَاعٍ وَأَمَّا الْبَدَنِيَّةُ
فَفِيهَا قَوْلَانِ مَشْهُورَانِ . فَمَنْ كَانَ مِنْ مَذْهَبِهِ أَنَّهُ
لَا يَجُوزُ إهْدَاءُ ثَوَابِهَا : كَأَكْثَرِ أَصْحَابِ مَالِكٍ
وَالشَّافِعِيِّ كَانَ هَذَا الشَّرْطُ عِنْدَهُمْ بَاطِلًا …. وَمَنْ
كَانَ مَنْ مَذْهَبُهُ أَنَّهُ يَجُوزُ إهْدَاءُ ثَوَابِ الْعِبَادَاتِ
الْبَدَنِيَّةِ : كَأَحْمَدَ وَأَصْحَابِ أَبِي حَنِيفَةَ وَطَائِفَةٍ مِنْ
أَصْحَابِ مَالِكٍ .
“Adapun disyaratkan (dalam masalah nadzar, pen) menghadiahkan pahala
bacaan Qur’an, maka hal ini kembali pada permasalahan menghadiahkan
pahala ibadah badaniyah seperti shalat, puasa, bacaan Al Qur’an. Untuk
ibadah maliyah (berkaitan dengan harta), maka boleh menghadiahkan pahala
kepada si mayit dan hal ini tidak diperselisihkan oleh para ulama.
Untuk ibadah badaniyah, hal ini diperselihkan oleh mereka dan ada dua
pendapat yang masyhur dalam masalah ini. Bagi mereka dalam madzhabnya
menyatakan tidak boleh menghadiahkan pahala kepada si mayit seperti
menjadi madzhab kebanyakan pengikut Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i,
maka jika disyaratkan demikian, maka itu syarat yang batil. … Dan siapa
yang madzhabnya membolehkan mengirimkan pahala ibadah badaniyah kepada
si mayit seperti dalam madzhab Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah dan
sebagian pengikut Imam Malik- ….” (Majmu’ Al Fatawa, 31: 50).
Ibnu Taimiyah pernah ditanya,
وَسُئِلَ : هَلْ الْقِرَاءَةُ تَصِلُ إلَى الْمَيِّتِ مِنْ الْوَلَدِ أَوْ لَا ؟ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ .
“Apakah pahala membaca Al Qur’an dari anak sampai pada si mayit menurut madzhab Syafi’i?”
Beliau rahimahullah menjawab,
أَمَّا
وُصُولُ ثَوَابِ الْعِبَادَاتِ الْبَدَنِيَّةِ : كَالْقِرَاءَةِ
وَالصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ فَمَذْهَبُ أَحْمَد وَأَبِي حَنِيفَةَ
وَطَائِفَةٍ مِنْ أَصْحَابِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ إلَى أَنَّهَا تَصِلُ
وَذَهَبَ أَكْثَرُ أَصْحَابِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ إلَى أَنَّهَا لَا
تَصِلُ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ .
“Adapun mengirim pahala ibadah badaniyah seperti membaca Al Qur’an,
shalat dan puasa menurut madzhab Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah dan
sebagian pengikut Imam Malik, pahala tersebut sampai. Namun kebanyakan
pengikut Imam Malik dan Imam Asy Syaf’i menyatakan tidak sampai. Wallahu
a’lam.” (Majmu’ Al Fatawa, 24: 324)
Meskipun beliau menyetujui sampainya pahala bacaan Al Qur’an atau
amalan badaniyah lainnya pada si mayit namun beliau nyatakan bahwa
pahala yang ditujukan untuk diri sendiri itu lebih afdhol.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanyakan, “Bagaimana dengan
orang yang membaca Al Qur’an Al ‘Azhim atau sebagian Al Qur’an, apakah
lebih utama dia menghadiahkan pahala bacaan kepada kedua orang tuanya
dan kaum muslimin yang sudah mati, ataukah lebih baik pahala tersebut
untuk dirinya sendiri?”
Beliau rahimahullah menjawab:
Sebaik-baik ibadah adalah ibadah yang mencocoki petunjuk Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Sebagaimana Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan dalam khutbahnya,
خَيْرُ
الْكَلَامِ كَلَامُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ
الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Sebaik-baik perkataan adalah kalamullah dan sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Sejelek-jelek
perkara adalah perkara yang diada-adakan. Setiap bid’ah adalah sesat.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
خَيْرُ الْقُرُونِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka.”
Ibnu Mas’ud mengatakan,
مَنْ
كَانَ مِنْكُمْ مُسْتَنًّا فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ ؛ فَإِنَّ
الْحَيَّ لَا تُؤْمَنُ عَلَيْهِ الْفِتْنَةُ أُولَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ
“Siapa saja di antara kalian yang ingin mengikuti petunjuk, maka
ambillah petunjuk dari orang-orang yang sudah mati. Karena orang yang
masih hidup tidaklah aman dari fitnah. Mereka yang harus diikuti adalah
para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam-.”
Jika kita sudah mengenal beberapa landasan di atas, maka perkara yang
telah ma’ruf di tengah-tengah kaum muslimin generasi utama umat ini
(yaitu di masa para sahabat dan tabi’in, pen) bahwasanya mereka
beribadah kepada Allah hanya dengan ibadah yang disyari’atkan, baik
dalam ibadah yang wajib maupun sunnah; baik amalan shalat, puasa, atau
membaca Al Qur’an, berdzikir dan amalan lainnya. Mereka pun selalu
mendoakan mukminin dan mukminat yang masih hidup atau yang telah mati
dalam shalat jenazah, ziarah kubur dan yang lainnya sebagaimana hal ini
diperintahkan oleh Allah. Telah diriwayatkan pula dari sekelompok ulama
salaf mengenai setiap penutup sesuatu ada do’a yang mustajab. Apabila
seseorang di setiap ujung penutup mendoakan dirinya, kedua orang tuanya,
guru-gurunya, dan kaum mukminin-mukminat yang lainnya, ini adalah
ajaran yang disyari’atkan. Begitu pula doa mereka ketika shalat malam
dan tempat-tempat mustajab lainnya.
Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sedekah pada mayit
dan memerintahkan pula untuk menunaikan utang puasa si mayit. Jadi,
sedekah untuk mayit merupakan amal sholeh. Begitu pula terdapat ajaran
dalam agama ini untuk menunaikan utang puasa si mayit. Oleh karena itu,
sebagian ulama membolehkan mengirimkan pahala ibadah maliyah (yang
terdapat pengorbanan harta, semacam sedekah) dan ibadah badaniyah kepada
kaum muslimin yang sudah mati. Sebagaimana hal ini adalah pendapat Imam
Ahmad, Imam Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah dan Syafi’iyah. Jika
mereka menghadiahkan pahala puasa, shalat atau pahala bacaan Qur’an maka
ini diperbolehkan menurut mereka. Namun, mayoritas ulama Malikiyah dan
Syafi’iyah mengatakan bahwa yang disyari’atkan dalam masalah ini
hanyalah untuk ibadah maliyah saja.
Tidak kita temui pada kebiasaan
para ulama salaf, jika mereka melakukan shalat, puasa, haji, atau
membaca Al Qur’an; mereka menghadiahkan pahala amalan mereka kepada kaum
muslimin yang sudah mati atau kepada orang-orang yang istimewa dari
kaum muslimin. Bahkan kebiasaan dari salaf adalah melakukan amalan yang
disyari’atkan yang telah disebutkan di atas. Oleh karena
itu, setiap orang tidak boleh melampaui jalan hidup para salaf karena
mereka tentu lebih utama dan lebih sempurna dalam beramal. Wallahu a’lam.” –Demikian penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah- (Majmu’ Al Fatawa, 24: 321-323).
Terakhir, kami dapat simpulkan beberapa point bahasan sebagai berikut:
Pertama: Mengirimkan pahala ibadah maliyah seperti sedekah disepakati oleh para ulama akan sampainya.
Kedua: Mengirimkan pahala ibadah badaniyah seperti
shalat, puasa dan bacaan Al Qur’an mengenai sampainya diperselisihkan
oleh para ulama. Imam Asy Syafi’i dan kebanyakan ulama Malikiyah
berpendapat tidak sampainya menghadiahkan pahala kepada si mayit. Adapun
Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah dan sebagian ulama Malikiyah berpendapat
sampainya pahala pada si mayit.
Namun anehnya orang-orang yang
menukil pendapat sampainya pahala pada si mayit, kebanyakan menukil
pendapat di luar madzhab Syafi’i, mereka mengambil pendapat Imam Ahmad
dan Ibnu Taimiyah karena hal itu yang dapat mendukung ritual amalan
mereka dalam merayakan kematian si mayit dengan tahlilan dan yasinan.
Ketiga: Tidak kita temui pada kebiasaan para ulama
salaf, jika mereka melakukan shalat, puasa, haji, atau membaca Al
Qur’an; mereka menghadiahkan pahala amalan mereka kepada kaum muslimin
yang sudah mati atau kepada orang-orang yang istimewa dari kaum
muslimin. Bahkan kebiasaan dari salaf adalah melakukan amalan untuk diri
mereka sendiri.
Keempat: Jika ada pendapat yang menyetujui sampainya
pahala yang dihadiahkan untuk si mayit seperti lewat bacaan Qur’an dan
tahlil, itu bukan berarti mereka menyetujui acara tahlilan atau
selamatan kematian. Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah tidak pernah menyetujui
acara tersebut. Yang menukil pendapat mereka tidak pernah membuktikan
perkataan tegas bahwa Ibnu Taimiyah melegalkan dan melakukan yasinan,
tahlilan atau selamatan kematian pada hari ke-3, 7, 40 atau 100. Yang
menukil cuma bisa berhenti sampai pernyataan Ibnu Taimiyah yang
menyatakan sampainya pahala pada si mayit. Padahal Ibnu Taimiyah sudah
menyatakan bahwa amalan untuk diri sendiri itu lebih utama daripada
menghadiahkan pahala untuk yang lain. Juga sebagai renungan, bagaimana mungkin pahala bisa sampai kepada si
mayit, sedangkan yang biasa diundang yasinan atau tahlilan ada yang
menyatakan ingin cari duit atau cari makanan saja. Ini jelas tidak
ikhlas. Kalau sudah tidak ikhlas ketika membaca Al Qur’an, bagaimana
mungkin bisa dihadiahkan pada si mayit?! Amalan yang tidak ikhlas
jelas-jelas tertolak.
Ya Allah, berilah kami petunjuk untuk
berada di atas kebenaran dan terhindar dari jalan keliru yang jauh dari
tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wa billahit taufiq, hanya Allah yang memberi taufik.
0 komentar:
Posting Komentar