Senin, 14 Januari 2013

Jenis Hati

Tiga Jenis Hati Obyek Dakwah

Di bumi yang luas ini ada tiga jenis tanah. Ada tanah subur yang mampu menjadi tempat hidup tumbuhan apa pun. Ada juga tanah kering, tidak mampu menjadi tempat tumbuh apa pun. Terakhir, tanah yang bercampur. Sebetulnya ia adalah tanah yang subur, namun beberapa bagian darinya tidak subur atau mengandung unsur yang membahayakan tumbuhan.


Itulah analogi keadaan hati manusia dalam menerima seruan Allah. Ada hati yang hidup dan sehat, hati yang mati, dan hati yang sakit. Dan dakwah ditujukan kepada semua jenis hati ini. Firman Allah swt, “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan dengan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…,” (An-Nahl [16]: 125).

Berkenaan dengan ayat ini, Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah berkata, “Allah menyebutkan jenjang-jenjang (mustawa’) dakwah dan menjadikannya tiga bagian menurut keadaan obyek dakwah (mad’u).” Jadi, kondisi hati obyek dakwah sangat menentukan keberhasilan dakwah itu sendiri. Karenanya seorang dai harus memahami keadaan hati para mad’u-nya.

HATI YANG HIDUP

Hati yang hidup adalah hati yang sehat dan bersih, selamat dari berbagai syahwat yang menyalahi perintah dan larangan Allah swt. Bersih dan selamat dari berbagai syubhat yang bertentangan dengan wahyu dari-Nya.

Hati ini selamat dari penghambaan kepada selain Allah, selamat dari berhukum kepada selain hukum Allah swt, bersih dalam mencintai Allah dan mengikuti Rasulullah saw, bersih dalam mengutamakan mencari ridha Allah dan menjauhi kemungkaran.

Pemilik hati ini tahu, hidup dan cahaya adalah modal segala kebaikan, sebagaimana firman Allah, “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan,” (QS. Al-An’am [6]: 122).

Maka orang seperti ini diseru dengan al-hikmah (ilmu), tidak membutuhkan pengarahan ataupun bantahan. Karena hati yang hidup cenderung untuk meraih kesempurnaan dengan mengetahui, menginginkan dan mengutamakan kebenaran daripada hal-hal lain.

HATI YANG SAKIT

Hati ini sebenarnya hidup tapi cacat. Di antara tanda sakitnya adalah pemiliknya tidak merasa risih dengan kebodohannya terhadap kebenaran. Padahal, kebodohan adalah musibah terbesar.

Tanda yang lain, pemiliknya berpaling dari nutrisi hati yang bermanfaat dan justru beralih kepada racun yang mematikan, sebagaimana tindakan mayoritas manusia yang berpaling dari Al-Qur’an yang dinyatakan Allah sebagai obat dan rahmat.

Jadi ada dua pengaruh yang tarik-menarik di dalam hati ini. Kadang ia memenangkan kehidupannya; berada pada sisi kecintaan kepada Allah, penghambaan kepada-Nya, dan keikhlasan pada-Nya. Namun, di dalam hati itu juga terdapat cinta kepada nafsu, hasad, takabur, cinta berkuasa, dan berbuat kerusakan.

Hati yang seperti ini membutuhkan mau’izhah (pengarahan) berupa kabar gembira dan ancaman. “Termasuk al-hikmah adalah berdakwah dengan ilmu, bukan dengan kebodohan. Juga di antaranya memulai dari perkara yang paling penting  (tauhid), dengan masalah yang mudah dicerna dan dipahami, serta dengan cara yang lemah lembut. Apabila cara ini tidak berhasil, gunakanlah metode berikutnya yaitu mau’izhah hasanah (pengarahan yang baik). Cara ini disertai dengan targhib (kabar gembira) dan tarhib (ancaman).

Namun jika mad’u-nya merasa dirinya benar atau dia penyeru kepada kebatilan, maka bantahlah dia dengan cara yang baik, yaitu dengan cara yang tepat yang membuat dia mau memenuhi panggilan dakwah,” (Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan 4/254-255).

HATI YANG MATI

Hati yang tidak mengenal Tuhannya, tidak menyembah-Nya sesuai dengan perintah yang diridhai-Nya adalah hati yang mati. Hati ini juga selalu menuruti keinginan nafsu dan kelezatan dunia. Hati ini menghamba kepada selain Allah dalam cinta, takut, harap, ridha dan benci, pengagungan dan kehinaan. Hati yang menentang dan berpaling dari kebenaran.

Sesungguhnya hati yang mati tidak akan bisa membedakan kebaikan dan keburukan. Sebagaimana ungkapan Abdullah bin Mas’ud ra,“Celakalah bagi mereka yang tidak memiliki hati, yaitu hati yang tidak bisa mengenal manakah kebaikan dan manakah keburukan.”

Yang lebih parah, orang yang hatinya mati tetapi ia tidak merasakan kematian hatinya (lihat penjelasan Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi dalam Syarah Aqidah Ath Thahawiyah, Darul ‘Aqidah).

Sungguh, mati dan kerasnya hati merupakan bahaya yang sangat besar, sebagaimana dikatakan Malik ibnu Dinar ra,Sesungguhnya Allah memiliki berbagai macam hukuman yang menimpa hati dan badan, yaitu sempitnya penghidupan dan lemah dalam beribadah, dan tidaklah ada sesuatu yang lebih bahaya menimpa seorang hamba melainkan kerasnya hati,” (Hilyatul Auliya’,  Abu Nu’aim Al Ashbahany, Maktabah Syamilah).

Mendakwahi orang semacam ini harus dengan dibantah secara baik agar ia mau kembali kepada kebenaran. Jika mereka enggan, maka tugas kita hanyalah menyampaikan kebenaran.

Sesungguhnya Allah swt menciptakan hati dan menjadikan sumber kehidupan dan ketenangannya dengan mengenal Allah, mencintai-Nya dan selalu ingat pada-Nya, berenang mengarungi samudera-Nya berupa Al-Qur’an. Dengan begitu, hati akan hidup sehingga bisa memberi cahaya pada jalan-jalan kehidupan yang kita lalui.

by. ummi-online

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution