Jujur dalam Islam
Dari buku sejarah kita membaca bahwa Nabi Muhammad di masa muda dan
belum diutus menjadi Rasul dikenal sebagai sosok pemuda yang memiliki
kredibilitas tinggi dan kejujuran yang tak tertandingi.
Kejujuran beliau begitu terkenal di seantero Makkah waktu itu sehingga tak kala para kepala suku berselisih pendapat tentang siapa yang paling berhak meletakkan Hajar Aswad di tempat asalnya di salah satu sudut Ka’bah, mereka sepakat untuk menyerahkan permasalahan itu pada beliau. Mereka pasrah apapun keputusan Nabi akan mereka terima dengan sepenuh hati.
Kejujuran beliau begitu terkenal di seantero Makkah waktu itu sehingga tak kala para kepala suku berselisih pendapat tentang siapa yang paling berhak meletakkan Hajar Aswad di tempat asalnya di salah satu sudut Ka’bah, mereka sepakat untuk menyerahkan permasalahan itu pada beliau. Mereka pasrah apapun keputusan Nabi akan mereka terima dengan sepenuh hati.
Nabi pun meletakkan Hajar Aswad pada sebuah selendang. Para kepala
suku diminta untuk memegang ujung selendang dan membawa Hajar Aswad ke
tempat asalnya secara bersama-sama. Setelah dekat, Nabi mengambil Hajar
Aswad tersebut dan meletakkannya di tempat semula. Keputusan Nabi yang
begitu tepat, cerdas dan bijaksana tersebut semakin melambungkan citra
beliau dan dari peristiwa itu Nabi mendapat julukan baru “Al Amin”,
yaitu pribadi yang dapat dipercaya.
Sedikitnya ada dua pelajaran yang dapat kita petik dari kisah tersebut:
Pertama, bahwa kejujuran sikap akan menuai kepercayaan dan
penghargaan yang tinggi dari berbagai kalangan, tua dan muda, kaya dan
miskin, muslim atau nonmuslim. Dengan kata lain, apapun tujuan hidup
yang ingin dicapai, mulailah dengan kejujuran dan konsisten dengan
kejujuran itu apapun resikonya.
Kedua, bahwa yang dimaksud dengan “jujur” hendaknya tidak hanya
dimaknai secara sempit sebagai “keselarasan antara kata dan perbuatan,
kesesuaian antara kata dan fakta.” Ia juga bermakna “adil dalam
bertindak” dan bijaksana dalam mengambil sikap (QS Al Maidah 5:8).
Adil dan bijaksana dalam bersikap identik dengan perilaku profesional
dalam mengambil tindakan. Sikap profesional menuntut kita untuk
bersikap jujur dan adil kepada siapapun, termasuk kepada diri sendiri,
tanpa dipengaruhi oleh rasa suka atau benci, kawan atau lawan, kebenaran
harus ditegakkan (QS An Nisa’ 4:135).
Seorang santri hendaknya memiliki kemauan tinggi (determinasi) untuk
menumbuhkan, memelihara dan menjunjung tinggi sikap jujur dengan
pengertian di atas.
Beberapa langkah menuju ke arah ini adalah sebagai berikut:
(a)
Ketahui penyebab ketidakjujuran Anda dan berusahalah merubahnya;
(b)
Berusaha meminta maaf pada orang yang pernah Anda tidak-jujuri;
(c)
Berfikirlah secara jujur. Karena perbuatan pertama kali timbul dari
fikiran;
(d) Berlatihlah berbuat jujur dari hal-hal yang kecil dan
sederhana. Contoh, apabila Anda pernah mengambil uang teman sebesar Rp.
1.000 kembalikan padanya dan minta maaf. Begitu juga, kembalikan pada
waktunya apabila Anda berhutang walau sekecil Rp 500;
(e) Perlu diingat
selalu, bahwa menjadi jujur tidaklah mudah dan karena itu ia membutuhkan
perjuangan dan usaha terus menerus.
Cara terbaik memulai bersikap jujur adalah dengan cara tidak berbuat sesuatu yang memalukan atau tidak etis sehingga memaksa kita untuk berbohong di kemudian hari.
Jujur. apapun tujuan hidup yang ingin dicapai, mulailah dengan kejujuran dan konsisten dengan kejujuran itu apapun resikonya. Oleh A. Fatih Syuhud
0 komentar:
Posting Komentar