Senin, 07 Januari 2013

Selamatan Kematian Ada Ga Sih

Niyahah dan Selamatan Kematian

Selamatan kematian adalah tradisi yang tersebar di tengah-tengah masyarakat kita. Selamatan ini diadakan pada hari ke-7, 40, 100 dan 1000. Acara ini dilakukan dalam rangka mengirim do’a kepada mayit, dilakukan dengan keluarga mayit mengumpulkan jama’ah, di dalamnya juga tuan rumah menyajikan makanan untuk para tamu. Bahkan bukan dengan itu saja, kadang disisipi amplop.
Mengenai hal ini sebenarnya telah disinggung oleh ulama masa silam, terutama dari madzhab Syafi’i. Mereka membahasnya pada masalah niyahah (meratapi mayit), sebagiannya menyinggung dalam Kitabul Janaiz.

Larangan Niyahah
Niyahah adalah jika seseorang bersedih dan menangisi mayit serta menghitung-hitung berbagai kebaikannya. Ada yang mengartikan pula bahwa niyahah adalah menangis dengan suara keras dalam rangka meratapi kepergian mayit atau meratap karena di antara kemewahan dunia yang ia miliki lenyap. Niyahah adalah perbuatan terlarang. Demikian penjelasan penulis ‘Aunul Ma’bud ketika menjelaskan maksud niyahah. Lihat ‘Aunul Ma’bud, 8: 277.

Niyahah termasuk larangan bahkan dosa besar karena diancam dengan hukuman (siksaan) di akhirat kelak. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Malik Al Asy’ari radhiyallahu ’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

« أَرْبَعٌ فِى أُمَّتِى مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِى الأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِى الأَنْسَابِ وَالاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ ». وَقَالَ النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ

Empat hal yang terdapat pada umatku yang termasuk perbuatan jahiliyah yang susah untuk ditinggalkan: (1) membangga-banggakan kebesaran leluhur, (2) mencela keturunan, (3) mengaitkan turunnya hujan kepada bintang tertentu, dan (4) meratapi mayit (niyahah)”. Lalu beliau bersabda, “Orang yang melakukan niyahah bila mati sebelum ia bertaubat, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dan ia dikenakan pakaian yang berlumuran dengan cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal” (HR. Muslim no. 934).

Ulama besar Syafi’i, Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Mengenai orang yang melakukan niyahah lantas tidak bertaubat sampai mati dan disebutkan sampai akhir hadits, menunjukkan bahwa haramnya perbuatan niyahah dan hal ini telah disepakati. Hadits ini menunjukkan diterimanya taubat jika taubat tersebut dilakukan sebelum mati (nyawa di kerongkongan).” (Syarh Muslim, 6: 235)

Yang Mesti Dilakukan pada Keluarga Mayit
Disunnahkan bagi tetangga orang yang meninggal dunia untuk memberikan makanan kepada keluarga mayit. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan untuk berbuat baik pada keluarga Ja’far,

اصْنَعُوا لآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ أَمْرٌ شَغَلَهُمْ

Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far karena mereka telah dihinggapi perkara yang menyibukkan mereka.” (HR. Abu Daud no. 3132 dan Tirmidzi no. 998. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Coba lihat bagaimana yang dilakukan dalam selamatan kematian dengan ritual yasinan dan tahlilannya. Keluarga mayit malah dibuat susah ketika keluarganya meninggal dunia. Bukan mereka yang diberikan makan, malah yang jadi tradisi, keluarga mayitlah yang jadi kerepotan menyediakan makan untuk para tamu. Seperti ini bertentangan dengan ajaran Islam yang ajarannya mengandung pelajaran untuk berbuat baik terhadap sesama.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Yang disunnahkan ketika ada yang meninggal dunia adalah keluarga mayit yang dibuatkan makanan.” (Majmu’ Al Fatawa, 24: 316).

Di dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah (12: 290) disebutkan bahwa terlarang keluarga mayit membuatkan makanan untuk warga karena hal seperti ini malah menambah kesedihan mereka, malah membebani kesusahan di atas kesusahan. Hal ini pun serupa dengan perbuatan orang Jahiliyah. Ada riwayat dari Jarir bin ‘Abdillah Al Bajaliy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

كُنَّا نَعُدُّ الاِجْتِمَاعَ إِلَى أهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ

Kami menganggap berkumpul di kediaman si mayit dan makanan yang dibuat (oleh keluarga mayit) setelah penguburannya merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (HR. Ahmad 2: 204. Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Imam Syafi’i dan Pengikutnya Melarang Selamatan Kematian
Imam Syafi’i rahimahullah dalam kitabnya Al Umm berkata,

وأكره النياحة على الميت بعد موته وأن تندبه النائحة على الانفراد لكن يعزى بما أمر الله عزوجل من الصبر والاسترجاع وأكره المأتم وهى الجماعة وإن لم يكن لهم بكاء فإن ذلك يجدد الحزن

“Aku tidak suka niyahah (peratapan) pada mayit setelah kematiannya, begitu juga aku tidak suka jika bersedih tersebut dilakukan seorang diri. Seharusnya yang dilakukan adalah seperti yang Allah Ta’ala perintahkan yaitu dengan bersabar dan mengucapkan istirja’ (innalillahi wa inna ilaihi rooji’un). Aku pun tidak suka dengan acara ma’tam yaitu berkumpul di kediaman si mayit walau di sana tidak ada tangisan. Karena berkumpul seperti ini pun hanya membuat keluarga mayit mengungkitu kesedihan yang menimpa mereka. ” (Al Umm, 1: 318).

Imam Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ menukil perkataan penulis Asy Syaamil dan ulama lainnya,

وأما اصلاح اهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شئ وهو بدعة غير مستحبة

“Adapun yang dilakukan keluarga mayit dengan membuatkan makanan dan mengumpulkan orang-orang di kediaman mayit, maka tidak ada tuntunan dalam hal ini. Hal ini termasuk bid’ah yang tidak dianjurkan.” Demikian perkataan penyusun Asy Syaamil lantas Imam Nawawi pun menukilkan hadits Jarir bin ‘Abdillah di atas. (Lihat Al Majmu’, 5: 320).

Sama persis yang dinukilkan oleh Imam Nawawi, dikatakan pula oleh Ibnu Taimiyah,

وَأَمَّا صَنْعَةُ أَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا يَدْعُونَ النَّاسَ إلَيْهِ فَهَذَا غَيْرُ مَشْرُوعٍ وَإِنَّمَا هُوَ بِدْعَةٌ

Adapun jika keluarga mayit yang membuatkan makanan dan mengundang jama’ah untuk datang, seperti ini tidak ada tuntunan dan termasuk bid’ah.” (Majmu’ Al Fatawa, 24: 316).

Madzhab Syafi’i Membatasi Ta’ziyah Hanya Tiga Hari
Sebagaimana disebutkan dalam Matan Abi Syuja’ atau Matan Al Ghoyah wat Taqrib,

ويعزى أهله إلى ثلاثة أيام من دفنه

Keluarga mayit dita’ziyah selama tiga hari setelah pemakaman si mayit.” Ini adalah fikih dalam madzhab Syafi’i. Namun sayangnya fikih ini disalahi oleh penganut madzhab Syafi’i di negeri kita. Karena acara selamatan kematian dilakukan setelah 7, 40, 100 bahkan 1000 hari? Bukankah hal ini menyalahi aturan madzhab sebagaimana disebutkan oleh Abu Syuja’ di atas?

Yang dimaksud ta’ziyah adalah memotivasi agar keluarga mayit tetap sabar dan didoakan pada mereka agar mendapatkan pahala atas kesabaran mereka pada musibah. Kata Syaikh Musthofa Al Bugho, pakar fikih Syafi’i di zaman ini, berkata, “Dimakruhkan ta’ziyah setelah lebih dari tiga hari kecuali bagi seorang musafir. Karena kesedihan setelah tiga hari biasa sudah hilang, ini umumnya. Jadi, tidak perlu kesedihan itu diungkit dan diingat-ingat lagi.” Lihat At Tadzhib fii Adillati Matan Al Ghoyah wat Taqrib, hal. 96.

Sedangkan dalil lama ta’ziyah adalah tiga hari karena berdasarkan masa ihdad (berkabung) adalah tiga hari kecuali berkabungnya istri ketika ditinggal mati suami. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,

لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, yaitu (selama) empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari no. 5334 dan Muslim no. 1491). Hadits ini menjadi dalil jumhur ulama (mayoritas) mengenai lama ta’ziyah adalah tiga hari. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 12: 288.

Yang mengaku sebagai pengikut Imam Syafi’i seakan-akan terdiam jika tahu bahwa Imam Syafi’i, Imam Nawawi dan ulama Syafi’iyah lainnya menentang selamatan kematian 7, 40, 100 bahkan 1000 hari. Karena berkumpul di kediaman si mayit seperti ini termasuk niyahah (meratapi mayit) yang terlarang, bahkan dinilai sebagai bid’ah oleh ulama Syafi’iyah sendiri. Namun ulama di negeri kita seakan-akan memejamkan mata dari kebenaran ini. Padahal nyata bahwa pernyataan ini disebutkan dalam Al Umm, karya Imam Syafi’i dan kitab-kitab ulama Syafi’i lainnya.

Hanya Allah yang beri taufik dan hidayah.

by.  Rumaysho.com

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution