Belajar Dari Meraka Yang di Anggap Tidak Penting
Entah apa yang ada dalam pikirannya, masa lalu sudah ia anggap
sebagai taburan debu yang dibiarkannya terbang. Sedang masa depan tak
pernah ia pikirkan, “karena yang hanya ia pikirkan adalah hari ini, untuk besok kita lihat saja nanti..”.
Ia tidaklah sebijak para tokoh di zaman dahulu, ia bukanlah pembuat rangkaian kata-kata
yang indah yang bisa menjadi motivasi bagi pembacanya, tapi ia hanyalah
manusia biasa tapi sudah berhasil mengendalikan sebagian besar hawa
nafsunya.
Juga, ia bukanlah seorang cendekiawan cerdas yang ucapannya banyak
didengar orang, melainkan ia hanyalah manusia yang teramat sederhana,
hingga dari kesederhanaannya itu bagi orang yang terbuka mata hatinya
akan banyak belajar hikmah hidup darinya.
Bahkan, ia tidak pernah tahu “devinisi bahagia itu seperti apa?”, karena yang ia tahu sifat syukur diatas semua sendi kehidupan adalah perasaan yang selalu ia pegang.
Wajahnya polos, hingga tak jarang orang menaruh iba dan menganggap ia
adalah salah satu element yang tidak penting hadir di tengah-tengah
masyarakat. Karena banyak yang menganggap “adanya sama halnya dengan ketiadaannya”.
Sahabat, kita sering terjebak dalam bungkus formalitas. Kita sering lena mencari nasihat hingga ahirnya jenuh dan bosan,
karena ternyata ratusan kata bijak yang sudah kita hafal tidak membawa
dampak apa-apa. Kita terkung-kung oleh idealis dengan sesuatu yang akan
kita pilih “karena kata orang: kita harus begini dan harus begitu..”.
Hingga kita melupakan mengambil nilai pelajaran dari setiap cangkul
yang diayun oleh petani, tentang anak kecil yang berlari tergesa sambil
membawa rantang nasi dan sebotol air putih.
Bukankah kita bisa melihat, bahwa tiap ayunan cangkul yang ia lakukan
padanya menyimpan harapan yang besar yang akan selalu diikuti
kekecewaan di tiap hasil akhir. Meski dengan nafas terengah dan jengkal
kaki yang sempit, kita bisa melihat anak itu nampak khawatir jika orang
tuanya kehausan dan kelaparan karena terus asyik dengan pekerjaannya
menggarap sawah. Inilah wujud dari kasih sayang dalam balut
kekhawatiran, karena ia yakin meski hanya satu jengkal saja ia
memberlambat lajunya maka semakin lama pula orang tuanya merasakan haus
dan lapar ditengah pekerjaan beratnya.
Adakalanya, kita mengambil pelajaran hidup yang sangatlah berharga
dari mereka-mereka yang kita anggap sebelumnya tidak penting dan mungkin
sudah biasa kita remehkan.
0 komentar:
Posting Komentar