Al-Fattah, Yang Membuka Segala Kemenangan
"Sungguh Kami telah memberi kemenangan kepadamu dengan kemenangan yang nyata." (QS. Al-Fath: 1
Kata Al-Fattah yang menjadi sifat sekaligus Asma-Nya dapat dijumpai
dalam al-Qur’an surat Saba (34) ayat 26. Sementara sifat Allah sebagai
"Khairul-Faatihiin“ (sebaik-baik pemberi putusan) bisa didapati dalam
al-Qur’an surat Al-A’raaf (7) ayat 89.
Al-Fattah diambil dari akar kata fa-ta-ha, yang berarti membuka.
Makna dasar itu kemudian berkembang menjadi kemenangan, karena dalam
kemenangan itu tersirat adanya sesuatu yang harus diperjuangkan
menghadapi halangan, rintangan, dan segala sesuatu yang tertutup. Di
balik setiap kemenangan adalah perjuangan menghadapi penjajahan,
penindasan, dan pengungkungan. Kemenangan itu sendiri adalah pembebasan.
Al-Fatttah, juga digunakan untuk memberi arti "irfan“ (pengetahuan)
karena di dalamnya terdapat usaha membuka tabir kegelapan. Orang yang
belum berpengetahuan berarti orang yang diliputi oleh kegelapan,
sedangkan orang yang berilmu adalah mereka yang melepaskan belenggu
kegelapan (minadz-dzulumaat) menuju cahaya terang benderang (ilan-nuur).
Adalah Allah swt yang memiliki sifat dan nama Al-Fattaah yang
sebenar-benarnya, sebab Dialah yang membuka segala hal yang tertutup
menyangkut perolehan yang diharapkan oleh setiap hamba-Nya. Hati
manusia yang tertutup dibuka oleh-Nya melalui pintu hidayah sehingga
terisi kebenaran dan jalinan cinta. Pikiran manusia yang tertutup
dibuka oleh-Nya melalui ilmu pengetahuan sehingga semua kesulitan dapat
ditemukan jawabannya, dan semua problem dapat ditemukan solusinya. Pintu
rezeki hamba yang tertutup dibuka oleh-Nya melalui kegiatan ekonomi
sehingga mereka menjadi kaya dan berkecukupan. Allah, Al-Fattah yang
membuka segala kekurangan menjadi cukup, bahkan berlebih.
Al-Fattah telah memberi kemenangan yang nyata kepada Rasulullah dan
kaum muslimin ketika berhasil merebut kembali kota Makkah, sebagaimana
dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Fath (48) ayat 1. Kemenangan itu
kemudian disempurnakan dengan berbondong-bondongnya manusia memasuki
ajaran Islam, sebagaimana firman-Nya: “Apabila telah datang
pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat menusia memasuki agama
Allah secara berbondong-bondong.” (QS. An-Nashr: 1-2)
Allah tidak hanya memberi kemenangan kepada Rasululah dan para
sahabatnya, juga kepada setiap hamba-Nya, termasuk kita. Bukankah kita
sering diperhadapkan masalah yang awalnya musykil, kemudian tiba-tiba
kita memperoleh secercah cahaya petunjuk-Nya sehingga benang kusut
yang kita hadapi terurai dengan sangat mudahnya?
Bukankah kita juga sering menghadapi kesulitan ekonomi, kemudian
tiba-tiba langkah kita terbimbing untuk melakukan langkah-langkah
bisnis yang kemudian memberikan keuntungan yang sebelumnya terasa
musykil? Dialah Al-Fattah, yang telah membuka pintu rezeki kita. Dia,
Al-Fattah terus bekerja memberi pertolongan kepada kita, membuka jalan
agar kita sukses dan memperoleh kemenangan dalam menempuh kehidupan di
dunia dan selamat hingga di akherat dengan memperoleh surga-Nya. Dialah,
Al-Fattaah yang membuka pintu surga-Nya lebar-lebar untuk kita yang
menaati-Nya.
Sekarang, bagaimana memvisualisasikan Al-Fattaah dalam kehidupan
sehari-hari? Bagaimana meneladani akhlaq Allah, Al-Fattah dalam
kehidupan pribadi, keluarga, dan dalam kehidupan sosial?
Sebagai individu kita harus senantiasa membuka hati dan pikiran kita
untuk menerima kebenaran. Kita tidak boleh sombong, sebab Ilmu Allah
hanya tercurah kepada mereka yang tidak menyombongkan diri. Allah
berfirman:
“Aku akan memalingkan dari ayat-ayat-Ku orang-orang yang takabbur di muka bumi tanpa alasan yang benar.” (QS. Al-A’raaf: 146)
Orang yang meneladani sifat Al-Fattah akan senantiasa terbuka untuk
menerima pendapat orang lain. Mereka tidak merasa benar sendiri dan
tidak mau menang sendiri. Mereka yakin bahwa kebenaran yang hakiki hanya
dari Allah, sedangkan kebenaran yang lain bersifat relatif. Karenanya
mereka tidak memutlakkan pendapatnya sendiri.
Orang yang menginternalisasikan Al-Fattaah dalam dirinya akan
senantiasa termotivasi menghadapi hidup. Mereka tidak mudah patah arang
atau frustrasi hanya karena suatu kegagalan. Yang mereka takutkan dalam
kehidupan ini hanya satu, yaitu bila Allah menutup pintu-Nya, Dia tak
lagi peduli kepadanya, dan membiarkannya terombang-ambing dalam
kesesatan.
Sebagai pemimpin, sifat Al-Fattaah itu termanifestasikan dalam
kemampuannya untuk menyadarkan kegelapan pikiran orang-orang yang
dipimpinnya. Dalam Al-Fattaah tersirat bahwa seorang pemimpin harus
memiliki kemampuan lebih, baik ilmu maupun kharisma. Pemimpin yang
efektif adalah pemimpin yang tidak hanya memiliki kecerdasan intektual,
tapi juga kecerdasan emosional dan spiritual. Dengan ketiga kecerdasan
itu, bawahan yang paling bandel sekalipun dapat “ditaklukkan”. (Hamim Thohari)
0 komentar:
Posting Komentar