Adakah Balasan Kebaikan Selain Kebaikan
Balaslah keburukan dengan kebaikan sebisa kita, atau paling tidak satu derajat di bawahnya, sabar dan memaafkan
هَلْ جَزَاء الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ
“Adakah balasan kebaikan selain kebaikan?” (QS. Ar Rahaman: 60)
Ayat ini, meskipun kalimatnya berbentuk sebuah
kalimat tanya, namun bermakna memastikan tentang satu hal, balasan yang
setimpal. Sama dengan ketika kita menggunakan kalimat, “Bukankah saya
sudah mengatakannya kepadamu?” yang berarti, “Saya pastikan saya sudah
mengatakannya kepadamu.”
Makna ini pun diperkuat dengan ayat padanan lain yang berbunyi;
وَجَزَاء سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
“Dan balasan keburukan adalah keburukan yang sama, barang siapa
yang memaafkan dan berislah (memperbaiki) maka pahalanya kepada Allah.” (QS: Asy Syura: 40)
Maksudnya, keburukan yang menimpa seseorang pasti akan dibalaskan dan
dia pun, jika mau memaafkan, akan mendapat pahala memaafkan tersebut
dari Allah Subhanahu Wata’ala.
Dari kedua ayat di atas, kita menemukan sebuah kesimpulan bahwa
keyakinan kita akan “al jaza’” (balasan) adalah sebuah anugerah dari
sang Pencipta sebagai rahmat yang sangat menenangkan dan menentramkan.
Kenapa? karena “balas-membalas” dalam hal apapun bagi manusia adalah sebuah fitrah.
Secara syari’at, dalam islam ada tiga cara membalas keburukan orang lain kepada kita;
Pertama, membalas dengan tingkatan yang paling rendah, yaitu dengan keburukan yang setimpal, seperti dalam praktek Qishash.
Kedua, diam, sabar dan memaafkan, inilah yang disebutkan dalam ayat di atas dan terjanjikan syurga bagi yang mampu melakukannya.
Ketiga, membalas dengan kebaikan-kebaikan yang kita mampu
dan inilah derajat paling tinggi dan paling dicintai Allah Subhanahu
Wata’ala.
Sesuai dengan firman Allah Subhanahu Wata’ala. dalam surat Fushilat ayat 34;
“Dan tidaklah sama antara kebaikan dan keburukan. Balaslah dengan yang lebih baik…” (QS. Fushilat: 34)
Macam ketiga ini pulalah yang seringkali kita dapatkan dari Allah
Subhanahu Wata’ala atas dosa-dosa yang kita lakukan. Kebaikan-kebaikan
dan nikmat yang tidak pernah terputus dariNya seiring dengan
kemaksiatan-kemaksiatan kita yang tak putus pula. Derajat seperti ini
juga lah yang dimiliki para nabi dan rasul ketika mereka mendapat
perbuatan buruk dari kaum mereka sendiri yang membangkang. Derajat yang
berat, susah, melarat serta penuh dengan ujian hati dan perasaan namun
terjanjikan dengan syurga dan kemuliaan.
Memang, Islam adalah agama yang sangat jeli dalam hitung-menghitung.
Matematika yang sangat akurat hingga tak sebiiji zarrah pun kebaikan
akan disia-siakan, tak setitik nila pun keburukan terabaikan. Namun, itu
semua hanya terjamin jika kita berhitungnya dengan cara dan ke
maha-bijaksana-an Allah Subhanahu Wata’ala yang Maha segalanya.
Penulis ingat dengan sebuah tebak-tebakan ‘konyol’ saat bersenda
gurau dengan kawan-kawan sejawat tentang seekor monyet yang menjaga
pokok apel.
Pertanyaannya, bagaimana cara kita mendapatkan apel tanpa dikejar
monyet? Kira-kira jawabannya adalah, “lempar monyet itu dengan batu,
maka sang monyet akan melempar kita dengan apelnya.” Begitu kira-kira.
Memang konyol, hanya saja kita bisa melihat pelajaran penting di
sana. Bukan, tentu bukan pelajaran menjadi monyet atau melempar
monyetnya, tapi pelajaran tentang seni membalas, bahwa bagaimana pun
orang lain berbuat buruk kepada kita, kita selalu punya pilihan;
Pertama, menjadikan keburukan orang lain itu alasan untuk kita susah
payah menyibukkan diri mencari ‘batu’ pembalasan yang justru sering kali
lebih menyakitkan.
Kedua; tenang, damai dan melemparkan ‘apel-apel’
kebaikan di sekitar kita kepadanya lalu mengembalikan semua urusan dia
kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Ya, benar sekali! Balaslah keburukan dengan kebaikan sebisa kita,
atau paling tidak satu derajat di bawahnya, sabar dan memaafkan.
Sebabnya apa? Sebabnya adalah karena balasan terbaik kebaikan dan
keburukan hanyalah dari Allah Subhanahu Wata’ala.
Penulis Bina Qalam Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar