Sadar…
Hidup manusia di dunia adalah untuk mengemban misi.
Ia berperan sebagai agen atas misi itu.
Bertugas menjalankan perintah “Tuan”, Allah Rabbul Izzati.
Dunia dengan segala pernak-perniknya adalah lahan untuk persemaian Syariah-Nya.
Suatu malam Aku berdo’a, ku pejamkan mataku. Ku pahami bahwa Allah
Maha Keras siksa-Nya. Sangat keras! Neraka dengan malaikat Malik-Nya
adalah milik-Nya dan berjalan dibawah kuasa-Nya. Berikutnya aku
merenung, kalau aku waktu kecil dulu saja bisa merasakan kelugasan dan
kekerasan sikap ayahku, dan aku merasa bersalah, apalagi ini…, terhadap
Tuhan “Allah”, Rabbul Izzati. Lantas…, bagaimana amalku, bagaimana sisa
usiaku, apakah terjamin hidup masih lama…, bagaimana dengan dosa-dosa…,
bagaimana…, bagaimana…
Perih rasanya! Untuk mengurangi keperihan itu aku mencoba merenungi, bahwa Allah juga Maha Penyayang. Ia adalah Ar-Rahim. Aku coba rasakan bahwa aku ini dimiliki oleh pihak yang sangat sangat sangat penyayang. Dan pihak yang sangat penyayang ini menaungiku. Kalau aku waktu kecil saja bisa merasakan kehadiran ibuku dengan segala sikap sayangnya, apalagi ini…, Allah, asal muasal rasa sayang. Ada perasaan diayomi, dilindungi, dibuat mudah, seakan kita terjerembab tapi ada yang menyangga.
Kapan marahnya ayahku hilang? Ketika terkalahkan oleh rasa sayangnya. Kapan itu muncul? Saat melihat munculnya kesungguhanku yang tak kenal lelah. Saat melihat bahwa upayaku saat itu adalah pembuktian keseriusan tertinggi seakan selain waktu itu tak ada waktu pembuktian lagi. Saat melihat aku pasrah dengan segala sanksi yang akan ia berikan sekaligus percaya bahwa ayah bisa berbuat sanksi yang tegas.
Kapan marahnya ayahku tak hilang? Ketika keseriusanku hanyalah kepura-puraan. Ketika ia bisa membaca bahwa aku berpikir “Paling-paling nanti tidak tega…” ketika ia bisa mengetahui isi benakku saat itu “kalau ingin membuat ayah…, caranya adalah…”
Ini bukan penyerupaan Tuhan dan orang tua. Tapi, kalau terhadap orang tua aku bisa memahami dan menerima itu semua, mengapa terhadap Tuhan tidak?
Dan apa arti dosa? Bayangkan saat kita merasa dikhianati. Kesal sekali rasanya! Sementara dosa adalah penghianatan terhadap Tuhan. Aku tidak ingin menyatakan bahwa Ia juga kesal terhadap kita. Tapi memang Ia sangat berhak untuk “kesal”. Dan kalau yang “kesal” itu Tuhan, pemilik segala apa yang kita pegang, penguasa seluruh tempat yang kita lalui…, mau apa kita, mau kemana kita…Bumi tak sudi kita injak. Langit bosan melihat kita. Daun-daun seperti jarum yang mau menghujani. Burung-burung siap menukik dari atas. Tak ada kedamaian.
Dan apa arti “disayangi Tuhan”? Disayangi penguasa segala yang ada dan segala tempat yang kita pijak. Disayangi pihak yang mampu memberikan apa saja. Pihak yang bisa memberikan kasih sayang lebih dari kasih sayang siapapun. Pihak yang memiliki segala bahaya di depan kita. Sementara bahaya itu tidak bisa mengenai kita kecuali atas izin-Nya.
Betapa luar biasa makna “radhiallahu ‘anhu” yang dimiliki para sahabat. Kebahagiaan apalagi yang lebih tinggi dari itu.
Kalau ingat itu, betapa bodohnya aku, sangat bodoh. Tapi aku juga sadar, setelah merenung pun berapa kali aku tetap bodoh. Jika aku disebut keledai, itu masih pujian (keledai hanya dua kesalahan).
Mengapa bisa begitu? Karena ini bukan sekadar diketahui, atau sekadar menjadi pemikiran kita. Kesadaran jenis ini sebenrnya sudah menjadi pemikiran kita, tapi butuh dibangkitkan untuk menjadi pengakuan yang sempurna, dan berikutnya kehendak yang kuat untuk berbuat sesuai pengakuan itu.
Kesadaran : kadang bermakna “terbukanya benak”, kadang bermakna “terdorongnya kehendak”.
Umat Islam sekarang tidak bisa menjalankan misinya secara sempurna. Sangat jauh dari sempurna. Allah menegaskan bahwa hidup manusia adalah untuk beribadah. Namun melihat lingkungan kita, benarkah ibadah? Allah menegaskan bahwa hendaknya umat Islam menegakkan agamanya. Namun apakah dakwah Islam yang selama ini mengintari dunia? Atau “dakwah” pemikiran yang bertentangan dengan Islam yang justru mengintari umat Islam? Allah menegaskan bahwa hendaknya umat Islam tidak terkendalikan umat lain.
Namun ternyata kalau sekarang dikatakan umat ini dikendalikan pihak
lain, nampaknya itu masih “pujian” (kenyataannya lebih buruk dari itu).
Bagaimana dengan “benak” dan “kehendak” kolektif sekarang? Umat Islam zaman khulafaurrasyidin benar-benar nampak bahwa hidupnya
untuk ibadah, untuk mengemban pelaksanaan Islam, untuk hidup mandiri,
bahkan menyinari bumi dengan Islam. Tentu itu karena terbukanya benak
dan terdorongnya kehendak. Secara sempurna. Itulah mengapa kesadaran
mereka sempurna.
Aku membayangkan suasana semacam itu menaungi kita, umat Islam masa sekarang : terbukanya benak, terdorongnya kehendak, secara sempurna. Aku membayangkan. Aku membayangkan!
0 komentar:
Posting Komentar