Santun
Para salaf sepakat bahwa kedudukan yang tinggi hanya bisa dicapai dengan etika yang semakin baik.
Para salaf shalih senantiasa bersikap santun kepada
yang kecil, sebagaimana kepada yang besar. Santun kepada yang jauh,
sebagaimana kepada yang dekat. Demikian juga mereka bersikap santun
kepada yang bodoh, sebagaimana mereka bersikap santun kepada yang
pintar.
Allah Ta`ala berfirman kepada Musa dan Harun a.s., “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut”, padahal Fir’aun adalah seorang kafir yang paling fasik.
Para salaf sepakat bahwa kedudukan yang tinggi hanya bisa dicapai
dengan etika yang semakin baik. Dan pokok kesantunan ini adalah
memperhatikan kekurangan diri serta melihat kesempurnaan pada orang
lain, kebalikan dari orang yang tidak santun. Rasulullah Shalallaahu
‘Alahi Wasallam tidak menyukai orang yang memandang sebelah mata kepada
yang lain.
Jika menghadiri suatu walimah, Maimun ibnu Mahran lebih suka duduk
bersama anak-anak dan orang-orang miskin, serta menjauhi orang-orang
kaya.
Sa`id ibnu `Amir berkata, “Barangsiapa menyifati seseorang dengan
sesuatu yang tidak ada pada dirinya, malaikat akan melaknatnya.” Suatu
hari, seseorang berkata kepada Sa`id ibnu `Amir, dan ia tidak tahu siapa
Sa`id, “Hai botak!” Said berkata kepadanya, “Wahai saudaraku! Dengan
berkata seperti itu, tentu engkau tidak menginginkan Malaikat
melaknatmu.”
‘Ali ibnu Abi Thalib berkata, “Orang yang paling mengetahui Allah Ta`ala adalah orang yang paling menghormati ahli La ilaha illallah.”
Bakr ibnu `Abdullah al-Mazni berkata, “Jika engkau melihat orang yang
berusia lebih tua darimu, hormatilah ia dan katakanlah dalam dirimu,
`Sungguh ia telah mendahuluiku dalam Islam dan amal saleh.’ Dan, jika
engkau melihat orang yang lebih muda darimu, hormatilah ia dan
katakanlah dalam dirimu, ‘Sungguh aku telah mendahuluinya melakukan
berbagai dosa.’ Jika orang-orang memuliakanmu, katakanlah, `Ini adalah
karunia dari Allah Ta`ala atas diriku, aku tidak berhak atas pemuliaan
itu.’ Dan jika mereka merendahkanmu, katakanlah, `Semua ini karena dosa
yang telah kulakukan.’ Jika engkau melempar anjing tetanggamu dengan
kerikil, berarti engkau telah menyakitinya.”
Wahb ibnu Munahbih berkata, “Ketika Bani Israil menambah lebih banyak
persoalan kepada Musa a.s. dan mereka membuatnya bosan, maka dalam
sehari Allah Ta`ala menurunkan wahyu kepada seribu Nabi, agar mereka
menolong dan menghormati Musa. Namun orang-orang malah bergabung dengan
mereka, dan Musa mendapati kecemburuan dalam dirinya, maka Allah Ta`ala
pun mematikan mereka semua dalam satu hari itu.” Kecemburuan para Nabi
a.s. itu terpuji, karena dengan ishmah (keterjagaan) mereka terjaga dari
nafsu. Dan Allah Ta`ala mematikan para Nabi tersebut bukan sebagai
siksaan bagi mereka, melainkan karena dalam ilmu-Nya. Ajal mereka telah
sampai setelah menolong Musa a.s.
Muhammad Ibnu Wasi` berkata, “Seorang hamba tidak akan mampu mencapai
maqam ihsan sebelum ia bersikap baik kepada setiap orang yang
menemaninya, walaupun hanya sesaat.” Jika ibnu Wasi` menjual seekor
domba, dengan domba itu ia berwasiat kepada pembelinya. Ia berkata,
“Pada domba ini ada makna persahabatan.”
Hatim al-Ashamm berkata, “Akhlak manusia sangat minim dalam tiga hal
berikut: menghormati perilaku saudara (sesama Muslim), menutupi aib
mereka, dan ikut menanggung derita mereka.”
Yahya ibnu Mu`adz berkata, “Masyarakat Mukmin yang paling jelek
adalah masyarakat yang jika salah seorang di antara mereka kaya, mereka
memujinya. Dan jika ia jatuh miskin, mereka menghinanya. Hukuman bagi
orang yang berjalan di depan orang yang lebih tua adalah tercegah dari
berbagai kebaikan.”
Barangsiapa mendambakan naungan Allah Ta`ala di hari kiamat nanti dari
neraka Jahannam, ia mesti mengasihi orang Mukmin dan berhati lembut.
Banyak orang memuji seseorang di hadapan Fudhail ibnu `Iyadh: “Sungguh orang ini tidak pernah makan khabish (campuran halal dan haram).” Fudhail berkata, “Tidak, ia tidak pernah meninggalkan makan khabish.
Lihatlah oleh kalian bagaimana silaturahminya, lihatlah bagaimana ia
membendung ladangnya, bagaimana belas kasihnya kepada tetangga, para
janda, dan anak yatim, dan lihatlah bagaimana akhlaknya terhadap
saudara-saudaranya.”
Ahmad ibnu Harb berkata, “Orang yang mengajarkan kebaikan kepada
manusia dan membimbing mereka kepada kebaikan, bagaikan orang yang
mengupah para pekerja, yang dengan tubuh dan harta mereka, bekerja
untuknya, siang malam, di kehidupan dunia dan akhirat.”
Yahya ibnu Mu`adz mendengar seseorang mengidam-idamkan harta. Yahya
berkata kepadanya, “Apa yang akan kau perbuat dengan harta itu.” Orang
itu berkata, “Aku akan dermawan kepada orang-orang yang kekurangan.”
Yahya berkata, “Tinggalkanlah mereka, biarlah Allah yang menanggung
pembiayaan mereka, agar engkau mencintai mereka. Karena, jika biaya
hidup mereka menjadi tanggunganmu, engkau akan membenci mereka, dan
mereka akan memberati hatimu.”
Yahya juga berkata, “Untuk menghormati saudara sesama Muslim di
negeri lain yang ditinggal mati seseorang, adalah melayatnya ke tempat
ia berada, untuk berbela sungkawa. Abu Mu`awiyah al-Aswad berangkat dari
Syam ke Makkah untuk melayat seseorang yang dipandang istimewa oleh
putranya, `Ali. Ia pergi ke Makkah bukan untuk melaksanakan haji maupun
`umrah.”
Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. berkata, “Barangsiapa mendambakan naungan
Allah Ta`ala di hari kiamat nanti dari neraka Jahannam, ia mesti
mengasihi orang Mukmin dan berhati lembut.”
Muhammad ibnu al-Munkadir selau melaksanakan ibadah malam. Namun,
jika Ibunya minta agar ia memijat kakinya sampai subuh, ia melihat itu
lebih utama daripada shalatnya.
Kahmas ibnu Hasan berkata, “Aku selalu melayani Ibuku dan
membersihkan kotorannya. Kemudian Sulaiman ibnu `Ali mengirimiku kapas
dan berkata, `Dengan kapas ini, belilah seorang pelayan untuk melayani
ibumu.’ Aku menolaknya, dan kukatakan, ‘Semasa aku kecil, Ibuku tidak
rela kalau orang lain yang melayaniku. Dan aku pun tidak rela orang lain
yang melayaninya, sementara aku sudah dewasa.’”
Mauriq al-`Ajli r.a. suka mencarikan kutu di kepala Ibunya. Dan ia tidak akan membiarkan selain dirinya yang melakukan itu.
Tentang firman Allah Ta`ala: “Janganlah engkau mengatakan “ah” kepada keduanya”,
Hasan al-Bashri berkata, “Jika kedua orang tua sudah renta, kemudian
mereka meminta anaknya untuk membersihkan kotoran mereka, sebagaimana
mereka membersihkan kotorannya semasa ia kecil, maka ia tidak boleh
mengatakan `ah’, tidak boleh membentak mereka, bahkan untuk sekadar
menghindari bau dengan menutup hidung pun tidak boleh, karena mereka pun
tidak menutup hidung saat mencium bau kotoran anaknya semasa kecil.
0 komentar:
Posting Komentar