Fitnah Dajjal
Sejarah panjang Islam mencatat hadirnya sekian banyak penyeru
kesesatan di tengah umat. Sebagian besar tampil dengan baju Islam,
mengemasnya dalam bahasa tutur yang menarik meski tampak susah payah
untuk tampil ilmiah, mengusung ide-ide nyleneh semisal penyatuan
agama-agama samawi, Islam liberal, “toleransi” (berstandar ganda), dan
yang lainnya. Ibarat dagangan, jualan mereka kian hari juga kian
beragam. Dari fiqh-fiqh tertentu yang dikaburkan sampai masuk wilayah
abu-abu, Islam warna-warni, hingga aliran gado-gado Islam-Kristen.
Ini memang sudah menjadi sunnatullah. Kebatilan akan selalu malang
melintang menghalangi kebenaran kapan dan di manapun, termasuk di
penghujung zaman nanti saat kiamat menjelang. Beberapa masa sebelum hari
pungkasan itu tiba, akan muncul seorang ‘penyeru kesesatan’ besar.
Fitnahnya dahsyat karena ia berbekal keluarbiasaan yang tidak dimampui
oleh manusia umumnya. Alhasil, “dakwah”-nya diikuti oleh sekian banyak
orang hingga hampir-hampir tak ada yang selamat darinya.
Dialah Dajjal. Digambarkan dalam banyak hadits, dia berasal dari
bangsa manusia yang buta salah satu matanya. Antara dua matanya tertulis
kata kafir. Dia adalah sosok yang pasti kemunculannya karena telah
tsabit (tetap) berita dari Rasulullah. Ia benar-benar nyata, bukan
tokoh jahat rekaan yang banyak kita jumpai dalam dunia imaji. Bukan pula
simbol kerusakan sebagaimana dilontarkan orang-orang yang diperkuda
oleh akal. Lebih jelasnya, pembaca dapat menggali kisahnya dalam Kajian
Utama.
Pembaca, sudah jamak diketahui, syariat mengakui tingginya kedudukan
suami dalam rumah tangga. Sampai-sampai kultur adat pun menggarisbawahi
hal serupa, karena memang demikian fitrah laki-laki atas perempuan.
Namun kenyataan menorehkan cerita lain. Banyak istri yang berani
membantah, melawan, bahkan beradu fisik dengan suami. Terlebih jika
sejak awal tumbuh perasaan superior atas suami. Karena, misalnya, ketika
menikah berangkat dari status sosial atau tingkat pendidikan yang lebih
tinggi, merasa mempunyai kontribusi lebih dalam ekonomi keluarga, atau
yang lainnya.
Sehingga banyak terjadi, suami diperlakukan tak lebih dari sekedar
”mesin uang”. Suami bermandi peluh bekerja sementara istri menguasai
penuh uang dan hartanya, atau malah menghamburkannya. Maka syariat pun mengatur bagaimana semestinya seorang istri
memosisikan suami. Ini bukanlah soal budaya patriarki atau mengunggulkan
nilai-nilai yang melekat pada laki-laki. Karena ini memang sebuah
tatanan fitrah. Islam sejak awal, telah mengubur ego suami istri dengan
mengatur hak dan kewajiban masing-masing agar terwujud tatanan keluarga
yang bahagia.
Suami sendiri memang manusia biasa yang bisa salah dan bisa benar.
Namun itu bukanlah dalil untuk melawan bahkan merendahkannya. Ia
tetaplah pemimpin rumah tangga yang wajib ditaati selama tidak
memerintahkan kemaksiatan. Ketika tatanan ini dilanggar, kebahagiaan
berumah tangga tentu bakal menjadi impian. Mengayuh Biduk akan tajam
mengulas hak-hak suami apa saja yang mesti ditunaikan para istri.
0 komentar:
Posting Komentar