Waktu Adalah Pusaka Penuntut Ilmu
Dalam semenit saja seseorang dapat
menghasilkan bermacam-macam kegiatan, pedagang dapat mendapatkan
keuntungan yang banyak dalam waktu sekejab, begitupula sebaliknya.
Pemuda dapat mendapatkan kesenangannya dalam waktu yang tak lama,
begitupula sebaliknya. Penuntut ilmu juga demikian bisa mendapatkan
pengetahuan dan maklumat yang banyak dalam waktu yang sedikit. Semua ini
disebabkan satu hal, yaitu menjaga waktu dengan sangat hati-hati,
karena jikalau dibiarkan begitu saja maka akan lewat tanpa arti.
Manusia diciptakan Allah untuk berfikir, sebagaimana yang telah ditegaskan dalam ayat-ayatnya, di antaranya:
(وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُون*﴾ ( الحشر: 21]
Artinya: "Dan itu adalah perumpamaan-perumpamaan yang kami tujukan kepada manusia agar mereka mau berfikir."
Dan ayat-ayat lain yang memotivasi manusia agar senantiasa berfikir dan mau memikirkan orang lain. Sebelum itu, Allah swt dalam QS. Al-Ashr ayat 1-3 bersumpah atas
al-Ashr yang berarti masa atau waktu. Allah tidak menggunakan kata untuk
bersumpah kecuali dalam kata itu ada makna yang dalam. Waktu adalah hal
yang paling berharga bagi manusia. Kita bayangkan, jika seseorang
mempunyai umur seribu tahun hanya melakukan maksiat dan selalu melanggar
perintah-perintah Allah. Namun pada akhir umurnya dia kembali kepada
Allah dan bertubat kepada-Nya, maka dia akan dimasukkan kedalam
surga-Nya dalam keadaan kekal abadi. Maka hal yang paling berarti dan
berharga bagi manusia adalah waktu.
Ilmu adalah benda yang tak ternilai harganya, Asy-Syeh abdul Fattah
Abu Ghuddah dalam karyanya yang sangat menarik bagi thullabul ilmi,
Qimatuzzaman 'Indal Ulama, berkata: "Termasuk pondasi/asas nikmat adalah
nikmat ilmu, ia merupakan nikmat yang paling agung karena berkaitan
dengan tingginya derajat dan martabat manusia, serta kebahagiaannya di
dunia, pencariannya adalah nikmat, memanfaatkannya adalah nikmat,
mengabadikannya adalah nikmat, memberikannya kepada generasi yang
selanjutnya juga merupakan kenikmatan yang luar biasa". Hanya saja,
sedikit sekali dari mereka yang sadar akan berharganya waktu. Padahal
kalau kita bandingkan dengan ulama'-ulama' sebelum kita, maka kita tau
bahwa jarang sekali bahkan tak ada yang bisa membadingi mereka, karena
mereka sangat berhati-hati sekali dalam membagi waktu. Tak sedikitpun
waktu yang mereka luangkan untuk bersantai-santai apalagi membuangnya
dengan sia-sia tanpa ada manfaatnya. Bayangkan saja, waktu membuang air
saja mereka masih menyempatkan diri untuk istifadah dengan menyuruh
temannya membaca buku bacaan di luar kamar mandi dengan suara yang keras
agar ia bisa mendengarnya, sebagaimana dalam kisah al-Habib Abdullah
bin Husin bin Thohir dan saudaranya al-Habib Thohir bin Husin bin
Thohir. Sehingga, tak heran kalau mereka berdua menjadi ulama' terkemuka
pada masanya dan namanya terdengar dimana-mana sampai sekarang. Bukan
tujuan kita untuk menjadi orang yang terkenal, namun kita berusaha agar
waktu kita tidak terbuang sia-sia tanpa manfaat, dan kita tidak menyesal
kelak.
Diantara kisah-kisah yang disebutkan dalam qimatuz zaman adalah sebagai berikkut:
Abu Yusuf, salah satu murid imam Abu Hanifah dan penerus
perjuangannya dalam menyebarkan madzhab hanafi, ketika waktu naza'
(sakaratul maut) masih menyempatkan diri untuk menjelaskan permasalahan
yang ditanyakan oleh salah satu muridnya, karena ingin memberikan faidah
kepada yang membutuhkan. Dari kisah ini kita tau dan yakin bahwa mereka
benar-benar mengamalkan pepatah yang mengatakan tholabul ilmi minal
Mahdi ilal lahdi, tidak seperti orang zaman sekarang yang mengaku lebih
alim dan pintar dari ulama tempo dulu, padahal ilmu mereka tak sebanding
dengan ilmu ulama salaf walaupun seujung kukunya sekalipun.
Dan suatu ketika imam Ibnu Jarir At-Thobari berkeinginan mengarang
sejarah di mulai dari penciptaan Nabi adam sampai masanya sebanyak
30.000 lembar, beliau bertanya kepada murid-muridnya: "Apa pendapat
kalian jika aku mengarang buku sejarah yang berjumlah 30.000 lembar?"
Mereka jawab: "Wahai imam, semangat para penuntut ilmu sudah pudar, tak
mungkin ada yang mampu membacanya". Ketika mendengarnya beliaupun
meringkasnya dengan kadar sepersepuluh dari kitab aslinya. Kejadian ini
terjadi pada tahun 308 H yang merupakan masa keemasan bagi umat Islam,
bagaimana dengan masa sekarang yang ilmu hanya tinggal nama, tanpa ada
hakekatnya.
Jika kita telaah kisah-kisah mereka, akan terbayang dibenak kita
bahwa hal semua itu seakan-akan mustahil. Namun, begitulah adanya dan
itulah yang tertera dalam buku-buku sejarah. Karena sejarah tak mungkin
di tutup-tutupi. Itulah perbedaan antara kita dengan ulama'-ulama'
terdahulu yang tak tertandingi oleh siapapun. Mereka mengabdikan diri
untuk agama ini seumur hidupnya, rela mengorbankan semua waktu, harta,
bahkan nyawa sekalipun untuk berkhidmat di jalan Allah SWT, dan mencari
ridho-Nya. Jadi sangatlah salah jika kita tinggalkan mereka dengan
alasan kalau mereka hanya membawa kita ke jurang ketertinggalan, dan
perlu diingat bahwa merekalah yang menemukan penemuan-penemuan baru
seperti angka latin 1,2,3, dan seterusnya. Pertama kali yang
menemukannya adalah ulama muslim yang berada di Andalus atau yang lebih
dikenal dengan Asbania atau spanyol sebagaimana yang dituturkan oleh
Al-Ghumari dalam salah satu karyanya. Hanya saja muslimin sekarang hanya
tidur dan diam dengan ketertinggalannya serta diam dengan cacian yang
dilontarkan kepada islam.
Semoga ini bisa bermanfaat bagi kita, dan menyadarkan semua bahwa
waktu adalah pusaka yang harus dijaga dengan ketat agar tidak lewat
begitu saja tanpa manfaat sedikitpun, serta selalu menghormati salafus
sholih yang telah rela mengorbankan segalanya untuk agama Islam,
sedangkan apa yang sudah kita suguhkan pada orang lain, Islam, dan
muslimin? Anda yang lebih tau jawabannya.
0 komentar:
Posting Komentar