Hikmah Qanaah Sebagai Kunci Kebahagiaan Hidup
Qana`ah Kunci Kebahagiaan Hidup
Tidak dapat dipungkiri saat ini kita hidup dalam era modern yang
lazim disebut Digital Life. Segala kebutuhan dan kepentingan hajat hidup
hampir semua dapat dikerjakan hanya dengan menekan digit. Mulai dari
kebutuhan primer seperti makan misalnya, dengan mudah kita dapat memasak
nasi setelah beras dicuci lalu kita masukkan ke dalam Rice cooker hanya
sekali tekan tombol cooking niscaya beberapa saat kemudian beraspun
berubah menjadi nasi hangat yang siap dinikmati bersama keluarga. Contoh
sederhana di atas menunjukkan bahwa kehidupan masa kini semakin
canggih, teknologi membantu memudahkan pekerjaan sehari-hari manusia.
Akankah
kehidupan yang serba digital membuat kita semakin banyak keinginan?
Jawabannya tergantung dari kebutuhan dan kemampuan masing-masing
individu. Disinilah tantangan kita dalam menjaga ketulusan hati untuk
hidup secara bijaksana dan menerima adanya walaupun godaan materi dan
gaya glamour setiap saat selalu menatap pandangan mata kita. Di saat
yang sama pula merupakan tugas berat kita untuk selalu menjaga hati agar
tidak terkontaminasi dengan virus-virus yang membahayakan tersebut,
sehingga terhindar dari penyakit-penyakit tidak terpuji.
Tentunya
dengan mengharapkan Rahmat Allah Swt. untuk diri dan keluarga agar
senantiasa menerima nikmat dan karunia yang telah diberikan Allah dengan
penuh rasa syukur baik syukur secara lisan maupun perbuatan.
Sebagaimana firman Allah dalam s. Ibrahim/14:7 yang artinya:
“Sesungguhnya
jika kamu bersyukur maka Kami akan menambah nikmat kepadamu, namun jika
kamu mengingkari nikmat-KU, maka sesungguhnya adzabku sangat pedih.”
Orang
beriman merasa senang dan puas menerima rezeki yang telah dikaruniakan
Allah kepadanya, serta merasa bersyukur atas rezeki yang diterimanya.
Makan dengan apa adanya akan terasa nikmat tiada terhingga jika
dilandasi dengan qana’ah dan syukur. Sebab, pada saat seperti itu ia
tidak pernah memikirkan apa yang tidak ada di hadapannya. Justru, ia
akan berusaha untuk membagi kenikmatan yang diterimanya itu dengan
keluarga, kerabat, teman atau pun tetangganya.
Namun hendaklah kita tidak salah pengertian tentang makna dan arti qana`ah,
bukanlah qana`ah merasa senang dengan segala kekurangan dan kehidupan
yang rendah, lemah semangat dan kemauan untuk mencapai cita-cita yang
lebih tinggi, mati keinginan untuk mencapai kemajuan moril dan materil,
atau kelesuan untuk membebaskan diri dari kelaparan, kemiskinan dan
kesengsaraan. Meski demikian, orang-orang yang memiliki sikap qana’ah
tidak berarti menerima nasib begitu saja tanpa ikhtiar. Orang yang hidup
qana’ah bisa saja memiliki harta yang sangat banyak, namun bukan untuk
menumpuk kekayaan.
Kekayaan dan dunia yang dimilikinya, dibatasi
dengan rambu-rambu Allah Swt. Dengan demikian, apa pun yang dimilikinya
tak pernah melalaikan dari mengingat Sang Maha Pemberi Rezeki.
Sebaliknya, kenikmatan yang ia dapatkan justru menambah sikap
qana’ah-nya dan mempertebal rasa syukurnya.
Iman memberikan kepada
manusia kepuasan akan apa yang diberikan Allah, dalam hal-hal yang
tidak bisa kita merubahnya atau kesanggupan untuk mencapainya, biar
dengan usaha dan tipu daya manapun. Apalagi dalam masa kesusahan dan
kesulitan yang menimpa perorangan dan masyarakat, qana`ah memberikan
pertolongan bagi ketentraman dan perdamaian dalam jiwa.
Jasa
keimanan ini sangat besar dalam membatasi jiwa manusia dari
memperturutkan loba yang tidak berkesudahan, tidak cukup dengan sedikit,
tidak puas dengan yang banyak, tidak memadai dengan yang halal dan
wajar, sehingga senantiasa dalam keadaan tidak puas, haus dan berkeluh
kesah. Maka timbullah cara-cara pencarian rezeki di luar batas hukum dan
kemanusiaan, hanya berpedoman asal dapat, tidak perduli bahaya bagi
diri dan masyarakat. Naudzubillah min dzalik
Qana’ah menurut arti
bahasanya adalah merasa cukup. Dan secara istilah qana’ah merasa cukup
atas apa yang dimilikinya. Sikap qana’ah didefinisikan sebagai sikap
merasa cukup dan ridha atas karunia dan rezeki yang diberikan Allah Swt.
Rela
menerima pemberian Allah subhanahu wata’ala apa adanya, merupakan
sesuatu yang sangat berat untuk dilakukan, kecuali bagi siapa yang
diberikan taufik dan petunjuk serta dijaga oleh Allah dari keburukan
jiwa, kebakhilan dan ketamakannya. Karena manusia diciptakan dalam
keadaan memiliki rasa cinta terhadap kepemilikan harta. Namun meskipun
demikian kita dituntut untuk memerangi hawa nafsu supaya dapat menekan
sifat tamak dan membimbingnya menuju sikap zuhud dan qana’ah. Menurut
Prof.DR. Hamka dalam Tasauf Modern, qana`ah mengandung lima perkara,
yaitu:
Pertama, menerima dengan rela akan apa
yang ada. Hati yang rela kepada Allah atas segala keadaan akan
menimbulkan kesenangan dan kegembiraan, merupakan jalan menuju hidup
bahagia. Begitu pula sebaliknya, hati yang benci memandang semua yang
baik menjadi tidak baik bahkan yang baik sekalipun masih dianggap kurang
baik. Yang telah cukup masih belum cukup. Hidup dengan keluhan,
penyesalan dan senantiasa kurang puas. Hanya iman dan sikap ridalah yang
mampu membentengi penglihatan kita dalam memandang segala sesuatu,
sehingga kelihatan indah, cantik dan menentramkan hati.
Kedua,
memohonkan kepada Allah tambahan yang pantas dan berusaha. Firman Allah
dalam s.al-Baqarah ayat 186. “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku,
Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah
mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. Karena
Allah dekat dengan hamba-hamba-NYA yang beriman dan beramal shalih kita
dipersilakan untuk memohon dengan ikhlas setelah kita berusaha dengan
menyempurnakan ikhtiar. Dalam s.al-Mu`min ayat 60, Dan Tuhanmu
berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.
Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan
masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.
Ketiga,
Menerima dengan sabar akan ketentuan Allah. Sebagaimana firman Allah
Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Orang
beriman mengetahui bahwa cobaan yang diterimanya bukanlah suatu pukulan
yang datang tiba-tiba atau datang menyerang dengan membuta tuli,
melainkan sesuatu dengan qadar yang telah dikenal, ketentuan yang pernah
berlaku, kebijaksanaan dan keputusan dari Tuhan.
Keempat,
Bertawakal kepada Allah. Tawakal bukan berarti menyerah semata-mata,
tinggal diam dan tidak bekerja. Saidina Umar yang berbunyi; “langit
tidak pernah menurunkan hujan emas atau perak”, cukup untuk memberikan
pengertian tentang arti tawakal dan menyerahkan diri kepada Allah.
Tawakal
bukanlah meninggalkan sebab-sebab yang diadakan oleh Allah, bukan pula
menyerah dan mengharapkan supaya Allah mengadakan sesuatu di luar
keadaan yang biasa, menanti–nanti hujan emas atau perak turun dari
langit atau menunggu dari bumi keluar nasi atau roti tanpa ada kerja dan
usaha, tanpa mempergunakan pikiran.
Arti tawakal ialah bekerja dan mengusahakan sebab-sebab yang biasa, kemudian menyerahkan
hasilnya kepada Allah. Benih disemai dan ditanam, sedang memberi buahnya
diharapkan kepada Allah. Kita mengerjakan mana yang biasa dan dalam
batas kesanggupan manusia, selebihnya kita serahkan kepada Allah. Tatkala
di masa Rasulullah saw. datanglah seorang Arab dusun kepada Beliau,
lalu ditinggalkannya untanya dekat pintu mesjid, lepas tak bertali.
Dengan begitu dia menyerahkan kepada Allah untuk memeliharanya, Nabi
saw. Bersabda, yang sampai sekarang tetap menjadi perkataan yang
bersayap, “I`qilha wa tawakkal” (ikatlah untamu dan bertawakallah).
Kelima,
Tidak tertarik oleh tipu daya dunia. Rasulullah Saw. telah bersabda:
“Bukanlah kekayaan itu lantaran banyak harta, kekayaan ialah kekayaan
jiwa”. Maksudnya jiwa dan raga merasa cukup dengan apa yang ada, tidak
loba dan cemburu, bukan orang yang meminta lebih terus-terusan. Karena
kalau masih meminta tambah, bertanda masih miskin. Dalam riwayat lain, Rasulullah Saw. bersabda: “alqana`atu maalun laa yanfadu wa kanzun laa yafnaa”.
Artinya: Qana`ah itu adalah harta yang tak akan hilang dan pura
(simpanan) yang tidak akan pernah lenyap. (Hadis dirawikan oleh Thabrani
dari Jabir). Tentunya maksud qana`ah dalam Hadis tersebut ialah
qana`ah hati bukan qana`ah ikhtiar. Karena kita diperintahkan untuk
bekerja dan berusaha semaksimal mungkin seakan-akan kita hidup
selamanya. Dibalik itu semua, kita diminta untuk menenangkan hati dan
meyakini bahwa dalam bekerja terdapat untung dan rugi, tidak terbentur
jika harapan tidak tercapai.. Sebagaimana firman Allah dalam S. At Taubah:105 “Dan
katakanlah: “Beramallah kamu, Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang
yang mu`min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan
kepada (Allah) Yang Maha mengetahui akan yang ghaib dan nyata…”. Rasulullah Saw. bersabda “I`mal lidunyaaka ka annaka ta`isyu abadan wa`mal liakhirataka ka annaka tamuutu ghaddan”,
artinya bekerjalah untuk kehidupan duniamu seakan-akan kamu hidup
selamanya, dan bekerjalah untuk kehidupan akhiratmu seakan-akan kamu
meninggal esok hari.
Dengan qana`ah kita dapat menghadapi
kehidupan dengan kesungguhan yang energik dalam mencari rezki. Tidaklah
terdapat rasa takut dan gentar, ragu-ragu dan syak bagi orang yang
memiliki sifat qana`ah. Dengan berteguh hati dan fikiran terbuka, ia
bertawakal kepada Allah Swt. Mengharapkan pertolongan-Nya, serta tidak
merasa jengkel dan kecewa jika terdapat maksud yang belum berhasil.
Sikap
qana`ah merupakan obat mujarab dalam menghindari segala keraguan dalam
hidup, selain itu berikhtiar dan percaya kepada takdir. Hingga keadaan
bagaimanapun yang datang kita tidak syak dan ragu.Sebagaimana
telah dicontohkan Nabi Ayyub as. yang hidup dalam limpahan kenikmatan
duniawi, tenggelam dalam kekayaan yang tidak ternilai besarnya,
mengepalai keluarga yang besar, hidup rukun damai dan sejahtera. Namun
Ayyub tidak tersilau matanya oleh kekayaan yang ia miliki dan tidak
tergoyahkan imannya oleh kenikmatan duniawinya ia tetap memohon ampun
atas segala dosa dan keteguhan iman serta kesabaran atas segala cobaan
dan ujian dari Allah.
Walaupun cobaan dan musibah datang
memusnahkan harta kekayaannya, mencerai-beraikan keluarganya sehingga ia
menjadi sebatang kara. Dimulai dengan hewan-hewan ternaknya yang
bergelimpangan mati satu persatu sehingga habis sama sekali, kemudian
disusul ladang-ladang dan kebun-kebun tanamannya yang rusak menjadi
kering dan rumahnya yang terbakar habis dimakan api, sehingga dalam
waktu yang sangat singkat sekali Ayyub yang kaya-raya tiba-tiba menjadi
seorang miskin papa tidak memiliki sesuatu apapun selain hatinya yang
penuh iman dan takwa serta jiwanya yang besar.
Maha suci Allah
yang telah membalas kesabaran dan keteguhan iman Ayyub bukan saja dengan
memulihkan kembali kesehatan badannya dan kekuatan fisiknya seperti
keadaan semula, bahkan dikembalikan pula kebesaran duniawinya dan
kekayaan harta-bendanya dengan berlipat ganda. Kepadanya juga
dikurniakan lagi putera-putera sebanyak yang telah hilang dan mati dalam
musibah yang telah dialaminya. Demikianlah rahmat Tuhan dan kurnia-Nya
kepada Nabi Ayyub yang telah berhasil melalui ujian yang berat dengan
penuh sabar, tawakkal dan beriman kepada Allah. Kisah Nabi Ayyub dapat
kita baca dalam Al-Quran surah Shaad ayat 41-44 dan surah Al-Anbiaa’
ayat 83 dan 84. Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam adalah
manusia yang paling qana’ah, ridha dengan apa yang ada dan paling banyak
zuhudnya. Beliau juga seorang yang paling kuat iman dan keyakinannya,
namun demikian beliau masih meminta kepada Allah Swt. agar diberikan
qana’ah, beliau berdoa:
“Ya Allah berikan aku sikap qana’ah
terhadap apa yang Engkau rizkikan kepadaku, berkahilah pemberian itu dan
gantilah segala yang luput (hilang) dariku dengan yang lebih baik.” (HR
al-Hakim, beliau menshahihkannya, dan disetujui oleh adz-Dzahabi).
E-mail: marfuahahmad[at]gmail.com
0 komentar:
Posting Komentar