Senin, 07 Januari 2013

Kullu Nafsin Dzaaiqatul Mauut

Mempersiapkan Kehilangan

Apa yang anda rasakan begitu menyadari ada sesuatu yang hilang dari anda? Barang, perasaan, atau gaya hidup bahkan? Ya, setiap orang, masing-masing dari kita memiliki ketahanan sendiri dalam menyikapi sebuah proses dalam hidup kita tentang kehilangan. Ada yang panik, menyalahkan nasib, santai tanpa perlu berpikir untuk mengambil ibroh dari peristiwa ini, dan beragam cara kita dalam menyikapi kehilangan.

Kullu nafsin dzaaiqatul mauut..
Begitulah, setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian. Begitulah Firman Alloh SWT. Dan bahwa kematian adalah sebuah proses dari kehilangan itu sendiri. Bagi seseorang yang meninggal dunia, ia merasakan kehilangan nyawa. Bahwa dulu raga tersebut bernyawa, maka sekarang nyawa itu, ruh itu “hilang” dari tubuh yang selama ini ditempati. Sedang bagi yang ditinggal, berarti kehilangan sosok manusia adalam kehidupannya. Kehilangan sosok keluarga, kerabat, sahabat, kenalan, Pokoknya kehilangan seseorang. Maka kematian adalah sebuah keniscayaan dalam hidup. Dan kematian merupakan sebuah bagian tersendiri dari kehilangan. Maka dalam hal ini, kehilanganpun adalah sebuah kepastian dalam hidup. Dalam artian kita kehilangan, ataupun dengan sengaja menghilangkan.
Karena kehilangan itu sendiri adalah sebuah kepastian, maka tugas kita selanjutnya adalah mempersiapkan proses kehilangan itu sendiri. Bagaimana cara kita mempersiapkan kehilangan akan berpengaruh bagaimana kita menyikapi kehilangan itu sendiri. Bagaimana sikap seseorang yang belum siap, namun harus kehilangan sesuatu pada saat itu? Tak banyak yang tidak meratap. Sebagian besar dapat dipastikan akan meratapi kehilangan itu sendiri. Namun masalahnya, di sadari ataupun tidak, hampir tak akan pernah ada manusia yang mempersiapkan sehingga bisa siap untuk menanggung beban berat dari kehilangan. Hampir tak ada.
Maka pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana sikap kita atas kehilangan, proses yang cukup membuat beban dalam hidup kita tersebut. Sikap sewajarnya dalam menyikapi kehilangan. Meskipun pada dasarnya kewajaran memiliki nilai subjektivitas masing-masing orang dalam menakar nilai kewajaran. Adalah wajar bila proses kehilangan itu membuat kita bersedih hati, membuat hati menjadi ‘galau’- sebuah kata yang akhir-akhir ini populer di masyarakat. Namun wajarkah bila kemudian sikap sedih kita itu membuat meratap dalam kesedihan yang terus-menerus? Tentu tidak. Sedih boleh, namun jangan sampai kesedihan itu sendiri membuat goncangan badai besar dalam kehidupan kita.
Inilah kemudian yang menjadi alasan mengapa kita sudah seharusnya mempersiapkan mentalitas kita dalam menyikapi kehilangan. Yakni agar ketika kita kehilangan sesuatu, sikap sedih kita bisa terkontrol dengan baik. Sedih itu kemudian menjadi sebuah kesedihan yang membangun pribadi kita menjadi lebih kuat, sakit itu adalah sebuah kesulitan yang kemudian menjadikan kita sebagia orang yang lebih tegar. Bahwa akan ada hikmah disetiap datangnya musibah dalam hidup kita. Sayang seribu sayang apabila perasaan sakit yang kita rasakan atas kehilangan tidak menjadikan diri kita lebih kuat.
Percaya atau tidak, saya pernah mempersiapkan sebuah kehilangan. Lantas sikap saya saat itu adalah tanpa kesedihan sedikitpun. Kok bisa? Kuncinya hanya satu, yakni kesiapan kita dalam kehilangan. Sungguh sikap tanpa kesedihan saya ketika kehilangan telepon selular ketika itu saya alami bukan lantas itu membuktikan bahwa saya tegar, bahwa saya kuat. Namun kunci nya memang ada pada bahwa saya sudah mempersiapkan kehilangan tersebut. Bukan kemudian bahwa saya mempersiapkan untuk kehilangan ponsel, lantas menyengaja untuk menghilangkan, tapi itu adalah proses ‘tanpa sengaja’ yang memang sungguh wajar.
Saya ‘tampak’ tegar, meski sebenarnya merasa kecewa juga telepon selular itu hilang dan berpindah kepemilikan dari tangan saya. Tapi, mau bagaimana lagi kan? Toh pada saat itu memang saya sudah mempersiapkannya. Bahwa saat itu saya sudah punya ponsel lain yang baru saja dibeli dengan fitur dan harga yang lebih baik dari ponsel yang hilang tersebut. Lantas jadilah ponsel yang hilang tersebut, yang merupakan ponsel lama, menjadi ponsel dengan prioritas kedua saya. Hingga kemudian, ketika saya kehilangan ponsel itu, betapapun saya merasa kehilangan, namun kekecewaan itu nampak wajar saja, tanpa beban gurat penyesalan yang berarti. Alasan yang sangat logis, bukan?
Barang kali memang sebatas itulah kemampuan saya dalam persiapan kehilangan. Dan Entah bagaimana sikap saya bila yang hilang adalah ponsel yang baru dibeli. Apakah saya masih bisa bertahan dengan kecewa yang tak terlalu dalam seperi saat kehilangan ponsel lama saya itu. Sehingga kemudian, saya merasa amat terpukau oleh sikap salah seorang sahabat saya yang juga kehilangan ponsel. Dan bedanya adalah, ponsel yang hilang itu adalah ponsel yang baru saja dimilikinya dalam hitungan hari. Ponsel yang lumayan baik dan baru saja masuk dalam pasar perdagangan. Subhanalloh...
Saya tahu betul saat-saat kehilangan itu, dan bagaimana penyikapan beliau begitu sadar ponsel tersebut hilang. Karena saat itu kami tengah berkumpul menghabiskan akhir pekan di salah satu pusat perbelanjaan di salah satu kota terbesar di Jawa Timur. Kami berempat waktu itu, ikut merasa kebingungan yang dirasakan oleh sahabat kami tersebut. Salah satu diantara kami bahkan berbisik ke saya, ‘kalau aku yang kehilangan, pasti sudah panik sekali’. Karena bagaimanapun, yang hilang tersebut adalah sesuatu yang baru beliau miliki, masih anget-angetnya.
Bukan, bukan beliau tidak panik. Beliau juga merasa panik. Namun tidak lantas panik begitu saja. Kami begitu sadar beliau kehilangan, langsung kembali ke pusat hiburan anak dimana kita menghabiskan hampir sebagian besar waktu di pusat perbelanjaan tersebut. Kami pun turut berusaha mencari dimana ada kemungkinan hape tersebut tertinggal. Maka setelah beberapa saat tak menemukan dalam pencarian tersebut, tugas berikutnya adalah pasrah. Sadar bahwa ikhtiar ini tak banyak menemukan hasil, maka kami menyerahkan masalah ini pada pihak security pusat perbelanjaan. Masalah ponsel tersebut ditemukan kembali atau tidak, beliau sudah pasrah.
Saya cukup terkagum dengan beliau, bahwa dalam kepanikan tersebut, beliau masih husnudzan terhadap keadaan. Ketika mendapati ponsel itu raib, maka dalam pencarian, nomor beliau berkali-kali coba kami hubungi, Berharap akan ada dermawan yang menemukan, menjawab panggilan kami, dan bersedia menunggu penjemputan ponsel tersebut. Namun hasilnya nihil. Yang ada, panggilan itu di reject. Entah apa motif nya, namun sepertinya karena memang ponsel itu masih baru di pasaran, jadi belum banyak yang bisa memanfaatkannya dengan benar (indikasi yang ‘menemukan’ belum bisa menonaktifkan ponsel tersebut-red). Dan ketika beliau mengirim pesan ke Nomor tersebut, isinya pun tanpa tendensi apapun, hanya berharap ada yang bersedia menunggu kami mengambil kembali ponsel tersebut. Subhanalloh...
Dalam perjalanan pulang, beliau bilang ke saya, ‘Mungkin Ipung benar, aku yang belum siap, gimanapun juga sejak ada ponsel itu, pengennya pegang mulu, internetan melulu, sampe tengah malam mantengin hape itu...’. Sebelumnya memang saya bilang ke beliau dan teman-teman bahwa saya keteteran menetapkan prioritas kegiatan gara-gara internetan. ‘Aah.. mungkin ada yang cemburu ya, Pung...’. beliau melanjutkan. Dan Kalimat itulah yang begitu menentramkan hati saya. Membuka mata saya, membenarkan ucapan sahabat saya yang lain tadi yang membandingkan kalau yang kehilangan itu beliau. Membuka mata saya betapa beliau luar biasa menyikapi masalah kehilangan ini.
Beliau mencoba menekuri sudut pandang lain mengenai kehilangan ini. Dan itu benar-benar dibuktikan dalam tindakan beliau selanjutnya, yaitu membeli hape dengan fitur yang terbatas, seharga yang bagai langit dan bumi dengan ponsel yang hilang itu. Padahal saya yakin, dengan take home pay beliau sebagai seorang pegawai di instansi pemerintahan di negeri ini  dengan remunerasi tertinggi, dengan mudah beliau mampu membeli kembali ponsel sejenis dengan ponsel yang hilang tadi. Subhanalloh...
Subhanalloh, Apa yang Beliau Ucapkan tadi,  ‘Ada’ yang cemburu? Yang di maksud Beliau tentu bukanlah manusia, Namun Dzat yang di ‘tangan’-Nya lah nyawa kita berada dalam genggaman-Nya. Betapa bagi Beliau, Ponsel hanyalah sebuah sarana yang dengannya justru melalaikan dari tanggungjawab kita sebagai abdi-Nya. Padahal saya paham betul bahwa beliau bukan orang sembarangan dalam beribadah, kegitan dakwah Beliaupun bukan dakwah biasa, sekalipun beliau lebih konsen pada dakwah dalam bidang kesenian, namun saya paham betul apa yang biasa beliau lakukan dalam kebaikan.
‘Aku yang belum siap, mungkin ya...’ Beliau belum siap? Padahal saya pun punya ponsel sejenis dengan ponsel beliau yang hilang itu. Dengan apa yang selama ini beliau lakukan untuk kebaikan, beliau merasa ditegur atas ketidaksiapan beliau memiliki perangkat yang justru dengannya beliau merasa menjauh. Bukan tak siap atas kehilangan, saya mengerti bahwa ada perasaan kecewa, tentu. Namun belum siap yang beliau rasa adalah belum siap memiliki sarana yang mestinya menolong aktivitas kita agar lebih efektif bagi kebaikan hidup di dunia, namun dengannya kita semakin menjauh. Beliau meneruskan bahwa sebenarnya hidup tanpa fitur internetan, hiburan di genggaman pun kita bisa meneruskan perjuangan. Namun dengan kemudahan di genggaman, justru makin melenakan kita dalam mencari semakin banyak hiburan dalam genggaman.
Aah.. Jujur saya yang amat tertampar mendengar ucapan beliau kepada saya itu. Dengan pemikiran seperti itu, mestnya saya jauh lebih tak siap dengan segala kemudahan yang tiba-tiba ada dalam genggaman. Penghasilan yang –(Jauh)—lebih banyak membuat saya makin boros dalam pengeluaran. Bayangkan saja, dulu masa kuliah mudah sekali merasa prihatin, hidup dengan sederhana dan sewajarnya. Sekarang? Begitu mudah mengeluarkan isi dompet hanya memperturutkan lidah dan perut. Dulu, 20 ribu untuk pulsa bisa digunakan untuk sebulan. Sekarang? Dua ponsel dan satu modem tak kurang dari 50ribu masing-masing perbulan. Dulu, hampir tak pernah saya nonton film di bioskop, dan subhanalloh sekarang begitu mudah mengeluarkan uang untuk hiburan yang tak banyak nilainya untuk kebaikan. Dulu bahkan saya tak pernah mebayangkan akan karaokean, sekarang ketika datang tawaran rombongan karaokean, saya menyambut uluran tangan dengan senang hati... Astaghfirulloh.
Bedakan sikap saya dengan beliau, dalam masalah menyikapi kehilangan barang yang sama, Telepon Selular. Saya merasa ‘siap’ karena telah memiliki ganti yang jauh lebih baik. Sangat matrealistis. Bandingkan dengan beliau, yang menyingkap ibroh atas kehilangan tersebut, kesiapan yang bukan Cuma ternilai dengan matrealistis semata, namun ada jauh dalam segumpal danging yang dengannya seluruh tubuh digerakkan kehendak dan niat, Hati. Beliau siap atas kehilangan karena ruhiyah beliau telah siap untuk kehilangan barang yang tidak terlalu vital dalam dakwah beliau. Siap dengan vitalitas ruhiyyah yang terjaga, Iman yang luar biasa, langsung begitu saaj menyentuh hati dan menyeruak dalam hikmah dan ibroh yang diiringi dengan tindakan yang luarbiasa pula.
Dan inilah yang kita butuhkan, yaitu mempersiapkan kehilangan. bukan dengan sisi matrealistis semata, namun dari sisi yang lebih hakiki. Yakni ruhiyyah. Proses persiapan ini tentulah bukan sebuah proses yang mudah dengan kebutuhan waktu yang singkat. Tapi ini merupakan sebuah proses panjang membentuk kepribadian dan ruhiyyah yang ukhrawi bukan duniawi.
Bukankah seperti tadi yang saya tuliskan di depan, bahwa hakikinya kematian juga merupakan bagian dari kehilangan? lalu, sudahkah kita mempersiapkannya dengan baik? Apapun jawaban anda, mari kita bersama mempersiapkan (baca: bekal-red) kematian dengan baik. Agar ketika nyawa ini sudah melayang dan pergi dari raga, kita lantas menyikapinya dengan heboh lantaran persiapan kita kurang matang dalam menyambut kematian. Sekalipun apabila anda menjawab sudah mempersiapkan kematian dengan baik dari pertanyaan saya di atas, maka ingatlah kita bahwa mempersiapkan kehilangan adalah sebuah proses panjang tak berujung. Ia muncul begitu saja dari pribadi yang terbentuk secara kontinyu, bukan instan. Maka persiapan ini harus segera berlanjut dan terus berlanjut. Hingga tatkala raga kita kehilangan nyawa, atau begitupula sebaliknya, ruh kita yang kehilangan tubuh, maka kita tak perlu lagi khawatir dan bisa menyikapi dengan tenang, karena kita telah mempersiapkan dengan baik.
Allohua’lam bisshawab,

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution