Mempersiapkan Kehilangan
Apa
yang anda rasakan begitu menyadari ada sesuatu yang hilang dari anda?
Barang, perasaan, atau gaya hidup bahkan? Ya, setiap orang,
masing-masing dari kita memiliki ketahanan sendiri dalam menyikapi
sebuah proses dalam hidup kita tentang kehilangan. Ada yang panik,
menyalahkan nasib, santai tanpa perlu berpikir untuk mengambil ibroh
dari peristiwa ini, dan beragam cara kita dalam menyikapi kehilangan.
Begitulah, setiap yang bernyawa
pasti akan merasakan kematian. Begitulah Firman Alloh SWT. Dan bahwa
kematian adalah sebuah proses dari kehilangan itu sendiri. Bagi
seseorang yang meninggal dunia, ia merasakan kehilangan nyawa. Bahwa
dulu raga tersebut bernyawa, maka sekarang nyawa itu, ruh itu “hilang”
dari tubuh yang selama ini ditempati. Sedang bagi yang ditinggal,
berarti kehilangan sosok manusia adalam kehidupannya. Kehilangan sosok
keluarga, kerabat, sahabat, kenalan, Pokoknya kehilangan seseorang. Maka
kematian adalah sebuah keniscayaan dalam hidup. Dan kematian merupakan
sebuah bagian tersendiri dari kehilangan. Maka dalam hal ini,
kehilanganpun adalah sebuah kepastian dalam hidup. Dalam artian kita
kehilangan, ataupun dengan sengaja menghilangkan.
Karena kehilangan itu sendiri adalah
sebuah kepastian, maka tugas kita selanjutnya adalah mempersiapkan
proses kehilangan itu sendiri. Bagaimana cara kita mempersiapkan
kehilangan akan berpengaruh bagaimana kita menyikapi kehilangan itu
sendiri. Bagaimana sikap seseorang yang belum siap, namun harus
kehilangan sesuatu pada saat itu? Tak banyak yang tidak meratap.
Sebagian besar dapat dipastikan akan meratapi kehilangan itu sendiri.
Namun masalahnya, di sadari ataupun tidak, hampir tak akan pernah ada
manusia yang mempersiapkan sehingga bisa siap untuk menanggung beban
berat dari kehilangan. Hampir tak ada.
Maka pertanyaan selanjutnya adalah,
bagaimana sikap kita atas kehilangan, proses yang cukup membuat beban
dalam hidup kita tersebut. Sikap sewajarnya dalam menyikapi kehilangan.
Meskipun pada dasarnya kewajaran memiliki nilai subjektivitas
masing-masing orang dalam menakar nilai kewajaran. Adalah wajar bila
proses kehilangan itu membuat kita bersedih hati, membuat hati menjadi
‘galau’- sebuah kata yang akhir-akhir ini populer di masyarakat. Namun
wajarkah bila kemudian sikap sedih kita itu membuat meratap dalam
kesedihan yang terus-menerus? Tentu tidak. Sedih boleh, namun jangan
sampai kesedihan itu sendiri membuat goncangan badai besar dalam
kehidupan kita.
Inilah kemudian yang menjadi alasan
mengapa kita sudah seharusnya mempersiapkan mentalitas kita dalam
menyikapi kehilangan. Yakni agar ketika kita kehilangan sesuatu, sikap
sedih kita bisa terkontrol dengan baik. Sedih itu kemudian menjadi
sebuah kesedihan yang membangun pribadi kita menjadi lebih kuat, sakit
itu adalah sebuah kesulitan yang kemudian menjadikan kita sebagia orang
yang lebih tegar. Bahwa akan ada hikmah disetiap datangnya musibah dalam
hidup kita. Sayang seribu sayang apabila perasaan sakit yang kita
rasakan atas kehilangan tidak menjadikan diri kita lebih kuat.
Percaya atau tidak, saya pernah
mempersiapkan sebuah kehilangan. Lantas sikap saya saat itu adalah tanpa
kesedihan sedikitpun. Kok bisa? Kuncinya hanya satu, yakni kesiapan
kita dalam kehilangan. Sungguh sikap tanpa kesedihan saya ketika
kehilangan telepon selular ketika itu saya alami bukan lantas itu
membuktikan bahwa saya tegar, bahwa saya kuat. Namun kunci nya memang
ada pada bahwa saya sudah mempersiapkan kehilangan tersebut. Bukan
kemudian bahwa saya mempersiapkan untuk kehilangan ponsel, lantas
menyengaja untuk menghilangkan, tapi itu adalah proses ‘tanpa sengaja’
yang memang sungguh wajar.
Saya ‘tampak’ tegar, meski
sebenarnya merasa kecewa juga telepon selular itu hilang dan berpindah
kepemilikan dari tangan saya. Tapi, mau bagaimana lagi kan? Toh pada
saat itu memang saya sudah mempersiapkannya. Bahwa saat itu saya sudah
punya ponsel lain yang baru saja dibeli dengan fitur dan harga yang
lebih baik dari ponsel yang hilang tersebut. Lantas jadilah ponsel yang
hilang tersebut, yang merupakan ponsel lama, menjadi ponsel dengan
prioritas kedua saya. Hingga kemudian, ketika saya kehilangan ponsel
itu, betapapun saya merasa kehilangan, namun kekecewaan itu nampak wajar
saja, tanpa beban gurat penyesalan yang berarti. Alasan yang sangat
logis, bukan?
Barang kali memang sebatas itulah
kemampuan saya dalam persiapan kehilangan. Dan Entah bagaimana sikap
saya bila yang hilang adalah ponsel yang baru dibeli. Apakah saya masih
bisa bertahan dengan kecewa yang tak terlalu dalam seperi saat
kehilangan ponsel lama saya itu. Sehingga kemudian, saya merasa amat
terpukau oleh sikap salah seorang sahabat saya yang juga kehilangan
ponsel. Dan bedanya adalah, ponsel yang hilang itu adalah ponsel yang
baru saja dimilikinya dalam hitungan hari. Ponsel yang lumayan baik dan
baru saja masuk dalam pasar perdagangan. Subhanalloh...
Saya tahu betul saat-saat kehilangan
itu, dan bagaimana penyikapan beliau begitu sadar ponsel tersebut
hilang. Karena saat itu kami tengah berkumpul menghabiskan akhir pekan
di salah satu pusat perbelanjaan di salah satu kota terbesar di Jawa
Timur. Kami berempat waktu itu, ikut merasa kebingungan yang dirasakan
oleh sahabat kami tersebut. Salah satu diantara kami bahkan berbisik ke
saya, ‘kalau aku yang kehilangan, pasti sudah panik sekali’. Karena
bagaimanapun, yang hilang tersebut adalah sesuatu yang baru beliau
miliki, masih anget-angetnya.
Bukan, bukan beliau tidak panik.
Beliau juga merasa panik. Namun tidak lantas panik begitu saja. Kami
begitu sadar beliau kehilangan, langsung kembali ke pusat hiburan anak
dimana kita menghabiskan hampir sebagian besar waktu di pusat
perbelanjaan tersebut. Kami pun turut berusaha mencari dimana ada
kemungkinan hape tersebut tertinggal. Maka setelah beberapa saat tak
menemukan dalam pencarian tersebut, tugas berikutnya adalah pasrah.
Sadar bahwa ikhtiar ini tak banyak menemukan hasil, maka kami
menyerahkan masalah ini pada pihak security pusat perbelanjaan. Masalah
ponsel tersebut ditemukan kembali atau tidak, beliau sudah pasrah.
Saya cukup terkagum dengan beliau,
bahwa dalam kepanikan tersebut, beliau masih husnudzan terhadap keadaan.
Ketika mendapati ponsel itu raib, maka dalam pencarian, nomor beliau
berkali-kali coba kami hubungi, Berharap akan ada dermawan yang
menemukan, menjawab panggilan kami, dan bersedia menunggu penjemputan
ponsel tersebut. Namun hasilnya nihil. Yang ada, panggilan itu di
reject. Entah apa motif nya, namun sepertinya karena memang ponsel itu
masih baru di pasaran, jadi belum banyak yang bisa memanfaatkannya
dengan benar (indikasi yang ‘menemukan’ belum bisa menonaktifkan ponsel
tersebut-red). Dan ketika beliau mengirim pesan ke Nomor tersebut,
isinya pun tanpa tendensi apapun, hanya berharap ada yang bersedia
menunggu kami mengambil kembali ponsel tersebut. Subhanalloh...
Dalam perjalanan pulang, beliau bilang ke saya, ‘Mungkin
Ipung benar, aku yang belum siap, gimanapun juga sejak ada ponsel itu,
pengennya pegang mulu, internetan melulu, sampe tengah malam mantengin
hape itu...’. Sebelumnya memang saya bilang ke beliau dan
teman-teman bahwa saya keteteran menetapkan prioritas kegiatan gara-gara
internetan. ‘Aah.. mungkin ada yang cemburu ya, Pung...’.
beliau melanjutkan. Dan Kalimat itulah yang begitu menentramkan hati
saya. Membuka mata saya, membenarkan ucapan sahabat saya yang lain tadi
yang membandingkan kalau yang kehilangan itu beliau. Membuka mata saya
betapa beliau luar biasa menyikapi masalah kehilangan ini.
Beliau mencoba menekuri sudut
pandang lain mengenai kehilangan ini. Dan itu benar-benar dibuktikan
dalam tindakan beliau selanjutnya, yaitu membeli hape dengan fitur yang
terbatas, seharga yang bagai langit dan bumi dengan ponsel yang hilang
itu. Padahal saya yakin, dengan take home pay beliau sebagai seorang
pegawai di instansi pemerintahan di negeri ini dengan
remunerasi tertinggi, dengan mudah beliau mampu membeli kembali ponsel
sejenis dengan ponsel yang hilang tadi. Subhanalloh...
Subhanalloh, Apa yang Beliau Ucapkan tadi, ‘Ada’ yang cemburu? Yang
di maksud Beliau tentu bukanlah manusia, Namun Dzat yang di
‘tangan’-Nya lah nyawa kita berada dalam genggaman-Nya. Betapa bagi
Beliau, Ponsel hanyalah sebuah sarana yang dengannya justru melalaikan
dari tanggungjawab kita sebagai abdi-Nya. Padahal saya paham betul bahwa
beliau bukan orang sembarangan dalam beribadah, kegitan dakwah
Beliaupun bukan dakwah biasa, sekalipun beliau lebih konsen pada dakwah
dalam bidang kesenian, namun saya paham betul apa yang biasa beliau
lakukan dalam kebaikan.
‘Aku yang belum siap, mungkin ya...’
Beliau belum siap? Padahal saya pun punya ponsel sejenis dengan ponsel
beliau yang hilang itu. Dengan apa yang selama ini beliau lakukan untuk
kebaikan, beliau merasa ditegur atas ketidaksiapan beliau memiliki
perangkat yang justru dengannya beliau merasa menjauh. Bukan tak siap
atas kehilangan, saya mengerti bahwa ada perasaan kecewa, tentu. Namun
belum siap yang beliau rasa adalah belum siap memiliki sarana yang
mestinya menolong aktivitas kita agar lebih efektif bagi kebaikan hidup
di dunia, namun dengannya kita semakin menjauh. Beliau meneruskan bahwa
sebenarnya hidup tanpa fitur internetan, hiburan di genggaman pun kita
bisa meneruskan perjuangan. Namun dengan kemudahan di genggaman, justru
makin melenakan kita dalam mencari semakin banyak hiburan dalam
genggaman.
Aah.. Jujur saya yang amat tertampar
mendengar ucapan beliau kepada saya itu. Dengan pemikiran seperti itu,
mestnya saya jauh lebih tak siap dengan segala kemudahan yang tiba-tiba
ada dalam genggaman. Penghasilan yang –(Jauh)—lebih banyak membuat saya
makin boros dalam pengeluaran. Bayangkan saja, dulu masa kuliah mudah
sekali merasa prihatin, hidup dengan sederhana dan sewajarnya. Sekarang?
Begitu mudah mengeluarkan isi dompet hanya memperturutkan lidah dan
perut. Dulu, 20 ribu untuk pulsa bisa digunakan untuk sebulan. Sekarang?
Dua ponsel dan satu modem tak kurang dari 50ribu masing-masing
perbulan. Dulu, hampir tak pernah saya nonton film di bioskop, dan
subhanalloh sekarang begitu mudah mengeluarkan uang untuk hiburan yang
tak banyak nilainya untuk kebaikan. Dulu bahkan saya tak pernah
mebayangkan akan karaokean, sekarang ketika datang tawaran rombongan
karaokean, saya menyambut uluran tangan dengan senang hati... Astaghfirulloh.
Bedakan sikap saya dengan beliau,
dalam masalah menyikapi kehilangan barang yang sama, Telepon Selular.
Saya merasa ‘siap’ karena telah memiliki ganti yang jauh lebih baik.
Sangat matrealistis. Bandingkan dengan beliau, yang menyingkap ibroh
atas kehilangan tersebut, kesiapan yang bukan Cuma ternilai dengan
matrealistis semata, namun ada jauh dalam segumpal danging yang
dengannya seluruh tubuh digerakkan kehendak dan niat, Hati. Beliau siap
atas kehilangan karena ruhiyah beliau telah siap untuk kehilangan barang
yang tidak terlalu vital dalam dakwah beliau. Siap dengan vitalitas ruhiyyah
yang terjaga, Iman yang luar biasa, langsung begitu saaj menyentuh hati
dan menyeruak dalam hikmah dan ibroh yang diiringi dengan tindakan yang
luarbiasa pula.
Dan inilah yang kita butuhkan, yaitu
mempersiapkan kehilangan. bukan dengan sisi matrealistis semata, namun
dari sisi yang lebih hakiki. Yakni ruhiyyah. Proses persiapan ini
tentulah bukan sebuah proses yang mudah dengan kebutuhan waktu yang
singkat. Tapi ini merupakan sebuah proses panjang membentuk kepribadian
dan ruhiyyah yang ukhrawi bukan duniawi.
Bukankah seperti tadi yang saya
tuliskan di depan, bahwa hakikinya kematian juga merupakan bagian dari
kehilangan? lalu, sudahkah kita mempersiapkannya dengan baik? Apapun
jawaban anda, mari kita bersama mempersiapkan (baca: bekal-red) kematian
dengan baik. Agar ketika nyawa ini sudah melayang dan pergi dari raga,
kita lantas menyikapinya dengan heboh lantaran persiapan kita kurang
matang dalam menyambut kematian. Sekalipun apabila anda menjawab sudah
mempersiapkan kematian dengan baik dari pertanyaan saya di atas, maka
ingatlah kita bahwa mempersiapkan kehilangan adalah sebuah proses
panjang tak berujung. Ia muncul begitu saja dari pribadi yang terbentuk
secara kontinyu, bukan instan. Maka persiapan ini harus segera berlanjut
dan terus berlanjut. Hingga tatkala raga kita kehilangan nyawa, atau
begitupula sebaliknya, ruh kita yang kehilangan tubuh, maka kita tak
perlu lagi khawatir dan bisa menyikapi dengan tenang, karena kita telah
mempersiapkan dengan baik.
Allohua’lam bisshawab,
0 komentar:
Posting Komentar