Cadar Bagi Muslimah Wajibkah?
Pembahasan ini diambil dari rubrik tanya jawab majalah As Sunnah dan
kami mendapatkan naskah ini dari kumpulan artikel Ustadz Kholid Syamhudi
jazaahullahu khairan. Untuk memudahkan dalam pembacaan,
pembahasan ini akan kami bagi menjadi 5 bagian yaitu dalil para ulama
yang mewajibkan (2 bagian), dalil para ulama yang mengatakan tidak wajib
(2 bagian) dan kesimpulan (1 bagian). Kami sarankan pada pembaca untuk
menyimak dengan seksama dalil-dalil yang dipaparkan dalam artikel ini.
Selamat membaca…
Pertanyaan:
Apakah hukum cadar (menutup wajah) bagi wanita, wajib atau tidak?
Jawaban:
Banyak pertanyaan yang ditujukan kepada kami, baik secara langsung
maupun lewat surat, tentang masalah hukum cadar (menutup wajah) bagi
wanita. Karena banyak kaum muslimin belum memahami masalah ini, dan
banyak wanita muslimah yang mendapatkan problem karenanya, maka kami
akan menjawab masalah ini dengan sedikit panjang. Dalam masalah ini,
para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan wajib, yang lain
menyatakan tidak wajib, namun merupakan keutamaan. Maka di sini -insya Allah-
akan kami sampaikan hujjah masing-masing pendapat itu, sehingga
masing-masing pihak dapat mengetahui hujjah (argumen) pihak yang lain,
agar saling memahami pendapat yang lain.
Dalil yang Mewajibkan
Berikut ini akan kami paparkan secara ringkas dalil-dalil para ulama yang mewajibkan cadar bagi wanita.
Pertama, firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka.” (QS. An Nur: 31)
Allah ta’ala memerintahkan wanita mukmin untuk memelihara kemaluan
mereka, hal itu juga mencakup perintah melakukan sarana-sarana untuk
memelihara kemaluan. Karena menutup wajah termasuk sarana untuk
memelihara kemaluan, maka juga diperintahkan, karena sarana memiliki
hukum tujuan. (Lihat Risalah Al-Hijab, hal 7, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Kedua, firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka.” (QS. An Nur: 31)
Ibnu Mas’ud berkata tentang perhiasan yang (biasa) nampak dari wanita: “(yaitu) pakaian” (Riwayat Ibnu Jarir, dishahihkan oleh Syaikh Mushthafa Al Adawi, Jami’ Ahkamin Nisa’ IV/486). Dengan demikian yang boleh nampak dari wanita hanyalah pakaian, karena memang tidak mungkin disembunyikan.
Ketiga, firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. An Nur: 31)
Berdasarkan ayat ini wanita wajib menutupi dada dan lehernya, maka
menutup wajah lebih wajib! Karena wajah adalah tempat kecantikan dan
godaan. Bagaimana mungkin agama yang bijaksana ini memerintahkan wanita
menutupi dada dan lehernya, tetapi membolehkan membuka wajah? (Lihat Risalah Al-Hijab, hal 7-8, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Keempat, firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَايُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ
“Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (QS. An Nur: 31)
Allah melarang wanita menghentakkan kakinya agar diketahui
perhiasannya yang dia sembunyikan, seperti gelang kaki dan sebagainya.
Hal ini karena dikhawatirkan laki-laki akan tergoda gara-gara mendengar
suara gelang kakinya atau semacamnya. Maka godaan yang ditimbulkan
karena memandang wajah wanita cantik, apalagi yang dirias, lebih besar
dari pada sekedar mendengar suara gelang kaki wanita. Sehingga wajah
wanita lebih pantas untuk ditutup untuk menghindarkan kemaksiatan.
(Lihat Risalah Al-Hijab, hal 9, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Kelima, firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَآءِ الاَّتِي لاَيَرْجُونَ نِكَاحًا
فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَن يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ
مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَن يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَّهُنَّ وَاللهُ
سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan
mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa
menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan
perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nur: 60)
Wanita-wanita tua dan tidak ingin kawin lagi ini diperbolehkan
menanggalkan pakaian mereka. Ini bukan berarti mereka kemudian
telanjang. Tetapi yang dimaksud dengan pakaian di sini adalah pakaian
yang menutupi seluruh badan, pakaian yang dipakai di atas baju (seperti
mukena), yang baju wanita umumnya tidak menutupi wajah dan telapak
tangan. Ini berarti wanita-wanita muda dan berkeinginan untuk kawin
harus menutupi wajah mereka. (Lihat Risalah Al-Hijab, hal 10, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Abdullah bin Mas’ud dan Ibnu Abbas berkata tentang firman Allah “Tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka.” (QS An Nur:60): “(Yaitu) jilbab”. (Kedua riwayat ini dishahihkan oleh Syaikh Mushthafa Al-Adawi di dalam Jami’ Ahkamin Nisa IV/523)
Dari ‘Ashim Al-Ahwal, dia berkata: “Kami menemui Hafshah binti
Sirin, dan dia telah mengenakan jilbab seperti ini, yaitu dia menutupi
wajah dengannya. Maka kami mengatakan kepadanya: “Semoga Allah merahmati
Anda, Allah telah berfirman,
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَآءِ الاَّتِي لاَيَرْجُونَ نِكَاحًا
فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَن يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ
مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan
mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa
menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan
perhiasan.” (QS. An-Nur: 60)
Yang dimaksud adalah jilbab. Dia berkata kepada kami: “Apa firman Allah setelah itu?”Kami menjawab:
وَأَن يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَّهُنَّ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan jika mereka berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur: 60)
Dia mengatakan, “Ini menetapkan jilbab.” (Riwayat Al-Baihaqi. Lihat Jami’ Ahkamin NisaIV/524)
Keenam, firman Allah subhanahu wa ta’ala:
غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ
“Dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan.” (QS. An-Nur: 60)
Ini berarti wanita muda wajib menutup wajahnya, karena kebanyakan
wanita muda yang membuka wajahnya, berkehendak menampakkan perhiasan dan
kecantikan, agar dilihat dan dipuji oleh laki-laki. Wanita yang tidak
berkehendak seperti itu jarang, sedang perkara yang jarang tidak dapat
dijadikan sandaran hukum. (Lihat Risalah Al-Hijab, hal 11, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al- ‘Utsaimin, penerbit: Darul Qasim).
Ketujuh, firman Allah subhanahu wa ta’ala:
يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ
الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى
أَن يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu
dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata, “Allah
memerintahkan kepada istri-istri kaum mukminin, jika mereka keluar
rumah karena suatu keperluan, hendaklah mereka menutupi wajah mereka
dengan jilbab (pakaian semacam mukena) dari kepala mereka. Mereka dapat
menampakkan satu mata saja.” (Syaikh Mushthafa Al-Adawi menyatakan
bahwa perawi riwayat ini dari Ibnu Abbas adalah Ali bin Abi Thalhah yang
tidak mendengar dari ibnu Abbas. Lihat Jami’ Ahkamin Nisa IV/513)
Qatadah berkata tentang firman Allah ini (QS. Al Ahzab: 59), “Allah
memerintahkan para wanita, jika mereka keluar (rumah) agar menutupi
alis mereka, sehingga mereka mudah dikenali dan tidak diganggu.” (Riwayat Ibnu Jarir, dihasankan oleh Syaikh Mushthafa Al-Adawi di dalam Jami’ Ahkamin Nisa IV/514)
Diriwayatkan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata, “Wanita itu mengulurkan jilbabnya ke wajahnya, tetapi tidak menutupinya.” (Riwayat Abu Dawud, Syaikh Mushthafa Al-Adawi menyatakan: Hasan Shahih. Lihat Jami’ Ahkamin Nisa IV/514)
Abu ‘Ubaidah As-Salmani dan lainnya mempraktekkan cara mengulurkan
jilbab itu dengan selendangnya, yaitu menjadikannya sebagai kerudung,
lalu dia menutupi hidung dan matanya sebelah kiri, dan menampakkan
matanya sebelah kanan. Lalu dia mengulurkan selendangnya dari atas
(kepala) sehingga dekat ke alisnya, atau di atas alis. (Riwayat Ibnu
Jarir, dishahihkan oleh Syaikh Mushthafa Al-Adawi di dalam Jami’ Ahkamin NisaIV/513)
As-Suyuthi berkata, “Ayat hijab ini berlaku bagi seluruh wanita, di dalam ayat ini terdapat dalil kewajiban menutup kepala dan wajah bagi wanita.” (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 51, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Perintah mengulurkan jilbab ini meliputi menutup wajah berdasarkan beberapa dalil:
- Makna jilbab dalam bahasa Arab adalah: Pakaian yang luas yang menutupi seluruh badan. Sehingga seorang wanita wajib memakai jilbab itu pada pakaian luarnya dari ujung kepalanya turun sampai menutupi wajahnya, segala perhiasannya dan seluruh badannya sampai menutupi kedua ujung kakinya.
- Yang biasa nampak pada sebagian wanita jahiliah adalah wajah mereka, lalu Allah perintahkan istri-istri dan anak-anak perempuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta istri-istri orang mukmin untuk mengulurkan jilbabnya ke tubuh mereka. Kata idna’ (pada ayat tersebut يُدْنِينَ -ed) yang ditambahkan huruf (عَلَي) mengandung makna mengulurkan dari atas. Maka jilbab itu diulurkan dari atas kepala menutupi wajah dan badan.
- Menutupi wajah, baju, dan perhiasan dengan jilbab itulah yang dipahami oleh wanita-wanita sahabat.
- Dalam firman Allah: “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu”, merupakan dalil kewajiban hijab dan menutup wajah bagi istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada perselisihan dalam hal ini di antara kaum muslimin. Sedangkan dalam ayat ini istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bersama-sama dengan anak-anak perempuan beliau serta istri-istri orang mukmin. Ini berarti hukumnya mengenai seluruh wanita mukmin.
- Dalam firman Allah: “Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.” Menutup wajah wanita merupakan tanda wanita baik-baik, dengan demikian tidak akan diganggu. Demikian juga jika wanita menutupi wajahnya, maka laki-laki yang rakus tidak akan berkeinginan untuk membuka anggota tubuhnya yang lain. Maka membuka wajah bagi wanita merupakan sasaran gangguan dari laki-laki nakal/jahat. Maka dengan menutupi wajahnya, seorang wanita tidak akan memikat dan menggoda laki-laki sehingga dia tidak akan diganggu.
(Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 52-56, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Kedelapan, firman Allah subhanahu wa ta’ala:
لاَّ جُنَاحَ عَلَيْهِنَّ فِي ءَابَآئِهِنَّ وَلآ أَبْنَآئِهِنَّ وَلآ
إِخْوَانِهِنَّ وَلآ أَبْنَآءِ إِخْوَانِهِنَّ وَلآ أَبْنَآءِ
أَخَوَاتِهِنَّ وَلاَ نِسَآئِهِنَّ وَلاَ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ
وَاتَّقِينَ اللهَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ شَهِيدًا
“Tidak ada dosa atas istri-istri Nabi (untuk berjumpa tanpa
tabir) dengan bapak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka, saudara
laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak
laki-laki dari saudara mereka yang perempuan, perempuan-perempuan yang
beriman dan hamba sahaya yang mereka miliki, dan bertakwalah kamu (hai
istri-istri Nabi) kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan
segala sesuatu.”(QS. Al Ahzab: 55)
Ibnu Katsir berkata, “Ketika Allah memerintahkan wanita-wanita
berhijab dari laki-laki asing (bukan mahram), Dia menjelaskan bahwa
(para wanita) tidak wajib berhijab dari karib kerabat ini.” Kewajiban wanita berhijab dari laki-laki asing adalah termasuk menutupi wajahnya.
Kesembilan, firman Allah:
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَسْئَلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka
(istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang
demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (QS. Al Ahzab: 53)
Ayat ini jelas menunjukkan wanita wajib menutupi diri dari laki-laki,
termasuk menutup wajah, yang hikmahnya adalah lebih menjaga kesucian
hati wanita dan hati laki-laki. Sedangkan menjaga kesucian hati
merupakan kebutuhan setiap manusia, yaitu tidak khusus bagi istri-istri
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat saja, maka ayat ini umum, berlaku bagi para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan semua wanita mukmin. Setelah turunnya ayat ini maka Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam
menutupi istri-istri beliau, demikian para sahabat menutupi istri-istri
mereka, dengan menutupi wajah, badan, dan perhiasan. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal: 46-49, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Kesepuluh, firman Allah:
يَانِسَآءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَآءِ إِنِ
اتَّقَيْتُنَّ فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي
قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَّعْرُوفًا {32} وَقَرْنَ فِي
بُيُوتِكُنَّ وَلاَتَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى
وَأَقِمْنَ الصَّلاَةَ وَءَاتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ
إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ
وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang
lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara
sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan
ucapkanlah perkataan yang baik. dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan
janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah
yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah
Allah dan Rasul-Nya.Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan
dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya.” (QS. Al Ahzab: 32-33)
Ayat ini ditujukan kepada para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
tetapi hukumnya mencakup wanita mukmin, karena sebab hikmah ini, yaitu
untuk menghilangkan dosa dan membersihkan jiwa sebersih-bersihnya, juga
mengenai wanita mukmin. Dari kedua ayat ini didapatkan kewajiban hijab
(termasuk menutup wajah) bagi wanita dari beberapa sisi:
- Firman Allah: “Janganlah kamu tunduk dalam berbicara” adalah larangan Allah terhadap wanita untuk berbicara secara lembut dan merdu kepada laki-laki. Karena hal itu akan membangkitkan syahwat zina laki-laki yang diajak bicara. Tetapi seorang wanita haruslah berbicara sesuai kebutuhan dengan tanpa memerdukan suaranya. Larangan ini merupakan sebab-sebab untuk menjaga kemaluan, dan hal itu tidak akan sempurna kecuali dengan hijab.
- Firman Allah: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu” merupakan perintah bagi wanita untuk selalu berada di dalam rumah, menetap dan merasa tenang di dalamnya. Maka hal ini sebagai perintah untuk menutupi badan wanita di dalam rumah dari laki-laki asing.
- Firman Allah: “Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” adalah larangan terhadap wanita dari banyak keluar dengan berhias, memakai minyak wangi dan menampakkan perhiasan dan keindahan, termasuk menampakkan wajah.
(Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 39-44, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit, Darul ‘Ashimah).
Kesebelas, Ummu ‘Athiyah berkata:
أُمِرْنَا أَنْ نُخْرِجَ الْحُيَّضَ يَوْمَ الْعِيدَيْنِ وَذَوَاتِ
الْخُدُورِ فَيَشْهَدْنَ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَدَعْوَتَهُمْ
وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ عَنْ مُصَلَّاهُنَّ قَالَتِ امْرَأَةٌ يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِحْدَانَا لَيْسَ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا
صَاحِبَتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
“Pada dua hari raya, kami diperintahkan untuk mengeluarkan
wanita-wanita haidh dan gadis-gadis pingitan untuk menghadiri jamaah
kaum muslimin dan doa mereka. Tetapi wanita-wanita haidh menjauhi tempat
shalat mereka. Seorang wanita bertanya: “Wahai Rasulullah, seorang
wanita di antara kami tidak memiliki jilbab (bolehkan dia keluar)?”
Beliau menjawab: “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai
wanita tersebut.”” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan kebiasaan wanita sahabat keluar rumah memakai
jilbab. Dan Rasulullah tidak mengizinkan wanita keluar rumah tanpa
jilbab, walaupun dalam perkara yang diperintahkan agama. Maka hal ini
menjadi dalil untuk menutupi diri. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 15, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Keduabelas, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:
كُنَّ نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ
بِمُرُوطِهِنَّ ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ حِينَ يَقْضِينَ
الصَّلَاةَ لَا يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ
“Dahulu wanita-wanita mukmin biasa menghadiri shalat subuh
bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menutupi tubuh
mereka dengan selimut. Kemudian mereka kembali ke rumah-rumah mereka
ketika telah menyelesaikan shalat. Tidak ada seorang pun mengenal mereka
karena gelap.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menutupi diri merupakan kebiasaan wanita sahabat yang merupakan
teladan terbaik. Maka kita tidak boleh menyimpang dari jalan mereka itu.
(Lihat Risalah Al Hijab, hal 16-17, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Ketiga belas, Perkataan ‘Aisyah: “Seandainya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat wanita-wanita (di zaman
ini) apa yang kita lihat, niscaya beliau melarang para wanita ke
masjid, sebagaimana Bani Israil dahulu melarang para wanita mereka.”Diriwayatkan juga seperti ini dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu.
Dari riwayat ini diketahui bahwa setiap perkara yang mengakibatkan
sesuatu yang berbahaya maka hal itu dilarang. Karena membuka wajah bagi
wanita akan mengakibatkan bahaya, maka terlarang. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 17, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Keempat belas, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ
بِذُيُولِهِنَّ قَالَ يُرْخِينَ شِبْرًا فَقَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفُ
أَقْدَامُهُنَّ قَالَ فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لَا يَزِدْنَ عَلَيْهِ
“Barang siapa menyeret pakaiannya dengan sombong, Allah tidak
akan melihatnya pada hari kiamat.” Kemudian Ummu Salamah bertanya:
“Bagaimana para wanita membuat ujung pakaian mereka?” Beliau menjawab:
“Hendaklah mereka menjulurkan sejengka.l” Ummu Salamah berkata lagi:
“Kalau begitu telapak kaki mereka akan tersingkap?” Beliau menjawab:
“Hendaklah mereka menjulurkan sehasta, mereka tidak boleh
melebihkannya.” (HR. Tirmidzi, dan lainnya)
Hadits ini menunjukkan kewajiban menutupi telapak kaki wanita, dan
hal ini sudah dikenal di kalangan wanita sahabat. Sedangkan terbukanya
telapak kaki wanita tidak lebih berbahaya dari pada terbukanya wajah dan
tangan mereka, maka ini menunjukkan wajibnya menutupi wajah dan tangan
wanita. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 17-18, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Kelima belas, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا كَانَ عِنْدَ مُكَاتَبِ إِحْدَاكُنَّ مَا يُؤَدِّي فَلْتَحْتَجِبْ مِنْهُ
“Jika budak mukatab (budak yang ada perjanjian dengan tuannya
bahwa dia akan merdeka jika telah membayar sejumlah uang tertentu -pen)
salah seorang di antara kamu (wanita) memiliki apa yang akan dia
tunaikan, maka hendaklah wanita itu berhijab (menutupi diri) darinya.” (HR. Tirmidzi dan lainnya)
Hadits ini menunjukkan kewajiban wanita berhijab (menutupi dirinya) dari laki-laki asing (bukan mahram). (Lihat Risalah Al Hijab, hal 18, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Keenam belas, ‘Aisyah berkata:
كَانَ الرُّكْبَانُ يَمُرُّونَ بِنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحْرِمَاتٌ فَإِذَا حَاذَوْا بِنَا
سَدَلَتْ إِحْدَانَا جِلْبَابَهَا مِنْ رَأْسِهَا عَلَى وَجْهِهَا فَإِذَا
جَاوَزُونَا كَشَفْنَاهُ
“Para pengendara kendaraan biasa melewati kami, di saat kami
(para wanita) berihram bersama-sama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Maka jika mereka mendekati kami, salah seorang di antara kami
menurunkan jilbabnya dari kepalanya pada wajahnya. Jika mereka telah
melewati kami, kami membuka wajah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain)
Wanita yang ihram dilarang memakai penutup wajah dan kaos tangan
sebagaimana disebutkan di dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih
Muslim). Sehingga kebanyakan ulama berpendapat, wanita yang ihram wajib
membuka wajah dan tangannya. Sedangkan yang wajib tidaklah dapat dilawan
kecuali dengan yang wajib pula. Maka kalau bukan karena kewajiban
menutup wajah bagi wanita, niscaya tidak boleh meninggalkan kewajiban
ini (yakni membuka wajah bagi wanita yang ihram). (Lihat Risalah Al Hijab, hal 18-19, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Ketujuh belas, Asma’ binti Abi Bakar berkata: “Kami menutupi wajah kami dari laki-laki, dan kami menyisiri rambut sebelum itu di saat ihram.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim. Al-Hakim berkata: “Shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim”, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)
Ini menunjukkan bahwa menutup wajah wanita sudah merupakan kebiasaan para wanita sahabat. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 68-69, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Kedelapan belas, ‘Aisyah berkata:
لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ ( وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى
جُيُوبِهِنَّ ) أَخَذْنَ أُزْرَهُنَّ فَشَقَّقْنَهَا مِنْ قِبَلِ
الْحَوَاشِي فَاخْتَمَرْنَ بِهَا
“Mudah-mudahan Allah merahmati wanita-wanita Muhajirin yang
pertama-tama, ketika turun ayat ini: “Dan hendaklah mereka menutupkan
kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. Al Ahzab: 31), mereka
merobek selimut mereka lalu mereka berkerudung dengannya.” (HR. Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Jarir, dan lainnya)
Ibnu Hajar berkata (Fathul Bari 8/490): “Perkataan: lalu mereka berkerudung dengannya” maksudnya mereka menutupi wajah mereka.” (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 69, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Kesembilan belas, Dari Urwah bin Zubair:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ أَفْلَحَ أَخَا أَبِي الْقُعَيْسِ جَاءَ
يَسْتَأْذِنُ عَلَيْهَا وَهُوَ عَمُّهَا مِنَ الرَّضَاعَةِ بَعْدَ أَنْ
نَزَلَ الْحِجَابُ فَأَبَيْتُ أَنْ آذَنَ لَهُ فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي
صَنَعْتُ فَأَمَرَنِي أَنْ آذَنَ لَهُ
Dari ‘Aisyah bahwa Aflah saudara Abul Qu’eis, paman Aisyah dari
penyusuan, datang minta izin untuk menemuinya setelah turun ayat hijab.
‘Aisyah berkata: “Maka aku tidak mau memberinya izin kepadanya. Ketika
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah datang maka aku
memberitahukan apa yang telah aku lakukan, maka beliau memerintahkanku
agar memberi izin kepadanya.” (HR. Bukhari dan lainnya)
Ibnu Hajar berkata (Fathul Bari 9/152): “Dalam hadits ini terdapat dalil kewajiban wanita menutupi diri dari laki-laki asing.”
Kedua puluh, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
“Wanita adalah aurat, jika dia keluar, setan akan menjadikannya indah pada pandangan laki-laki.” (HR. Tirmidzi dan lainnya)
Kalau wanita adalah aurat, maka semuanya harus ditutupi. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 74-75, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Kedua puluh satu, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ
الْأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ
الْمَوْتُ
“Janganlah kamu masuk menemui wanita-wanita.” Seorang laki-laki
Anshar bertanya: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
bagaimana pendapat Anda tentang saudara suami (bolehkah dia masuk
menemui wanita, istri saudaranya)? Beliau menjawab: “Saudara suami
adalah kematian. (Yakni: lebih berbahaya dari orang lain).”(HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya)
Jika masuk menemui wanita-wanita bukan mahram tidak boleh, maka
menemui mereka harus di balik tabir. Sehingga wanita wajib menutupi
tubuh mereka, termasuk wajah. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 75, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Kedua puluh dua, Perkataan ‘Aisyah dalam peristiwa Haditsul Ifki:
وَقَدْ كَانَ -صَفْوَانُ بْنُ الْمُعَطَّلِ السُّلَمِيُّ ثُمَّ
الذَّكْوَانِيُّ- يَرَانِي قَبْلَ أَنْ يُضْرَبَ الْحِجَابُ عَلَيَّ
فَاسْتَيْقَظْتُ بِاسْتِرْجَاعِهِ حِينَ عَرَفَنِي فَخَمَّرْتُ وَجْهِي
بِجِلْبَابِي
“Dia (Shawfan bin Al-Mu’athal) dahulu pernah melihatku sebelum
diwajibkan hijab atasku, lalu aku terbangun karena perkataannya: “Inna
lillaahi…” ketika dia mengenaliku. Maka aku menutupi wajahku dengan
jilbabku.” (HR. Muslim)
Inilah kebiasaan Ummahatul mukminin, yaitu menutupi wajah, maka
hukumnya meliputi wanita mukmin secara umum sebagaimana dalam masalah
hijab. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 72, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Kedua puluh tiga, Aisyah berkata:
خَرَجَتْ سَوْدَةُ بَعْدَ مَا ضُرِبَ عَلَيْهَا الْحِجَابُ لِتَقْضِيَ
حَاجَتَهَا وَكَانَتِ امْرَأَةً جَسِيمَةً تَفْرَعُ النِّسَاءَ جِسْمًا لَا
تَخْفَى عَلَى مَنْ يَعْرِفُهَا فَرَآهَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَقَالَ
يَا سَوْدَةُ وَاللَّهِ مَا تَخْفَيْنَ عَلَيْنَا فَانْظُرِي كَيْفَ
تَخْرُجِينَ
“Setelah diwajibkan hijab pada Saudah, dia keluar (rumah) untuk
menunaikan hajatnya, dia adalah seorang wanita yang besar (dalam riwayat
lain: tinggi), tubuhnya melebihi wanita-wanita lainnya, tidak samar
bagi orang yang mengenalnya. Lalu Umar melihatnya, kemudian berkata:
“Hai Saudah, demi Allah engkau tidaklah tersembunyi bagi kami,
perhatikanlah bagaimana engkau keluar!” (HR. Muslim)
Karena Umar mengetahui Saudah dengan tinggi dan besarnya, maka ini menunjukkan wajahnya tertutup. (Lihat Jami Ahkamin Nisa’ IV/486, karya Syaikh Mushthafa Al-Adawi).
Kedua puluh empat, terjadinya ijma’ tentang
kewajiban wanita untuk selalu menetap di rumah dan tidak keluar kecuali
jika ada keperluan, dan tentang wanita tidak keluar rumah dan lewat di
hadapan laki-laki kecuali dengan berhijab (menutupi diri) dan menutup
wajah. Ijma’ ini dinukilkan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, Imam Nawawi,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan lainnya. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 38, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Kedua puluh lima, banyaknya kerusakan yang ditimbulkan oleh terbukanya wajah wanita. Seperti wanita akan menghiasi wajahnya sehingga mengundang berbagai kerusakan; hilangnya rasa malu dari wanita; tergodanya laki-laki; percampuran laki-laki dengan wanita; dan lain-lainnya. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 20-24, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).
Kedua puluh enam, bantahan terhadap dalil-dalil yang membolehkan wanita membuka wajah secara ringkas:
- Dalil-dalilnya shahih dan jelas penunjukan dalilnya. Tetapi dalil-dalil itu telah mansukh (dihapus hukumnya) dengan ayat yang mewajibkan hijab yang turun pada tahun 5 H, atau itu dilakukan oleh wanita tua yang tidak wajib berhijab, atau di hadapan anak kecil yang belum tahu aurat wanita.
- Dalil-dalilnya shahih tetapi tidak jelas penunjukan dalilnya. Sehingga tidak kuat melawan dalil-dalil yang mewajibkan wanita menutup wajahnya. Sedangkan yang wajib adalah mengembalikan dalil-dalil mutasyabih (maknanya tidak pasti) kepada yang muhkam (maknanya pasti).
- Dalil-dalilnya jelas penunjukan dalilnya tetapi tidak shahih, sehingga tidak dapat diterima.
(Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 82-83, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).
Ringkasan Dalil-Dalil di Atas
Inilah ringkasan dalil-dalil para ulama yang mewajibkan hijab. Jika
disimpulkan dalil-dalil itu, maka dapat dikelompokkan pada beberapa
point:
- Menjaga kemaluan hukumnya wajib, sedangkan menutup wajah termasuk sarana untuk menjaga kemaluan, sehingga hukumnya juga wajib.
- Perintah Allah dan Rasul-Nya kepada wanita untuk berhijab (menutupi diri) dari laki-laki selain mahramnya. Perintah hijab ini meliputi menutup wajah.
- Perintah Allah dan Rasul-Nya kepada wanita untuk memakai jilbab. Jilbab ini meliputi menutup wajah.
- Perintah Allah kepada wanita untuk menutupi perhiasannya, ini mencakup menutupi wajah.
- Ijma yang mereka nukilkan.
- Qiyas. Yaitu kalau wanita wajib menutupi telapak kakinya, lehernya, dan lainnya karena dikhawatirkan akan menimbulkan godaan, maka menutup wajah wanita lebih wajib.
- Kebiasaan para wanita sahabat, termasuk Ummahatul mukminin, menutupi wajah mereka.
Di Antara Ulama Zaman Ini yang Mewajibkan Cadar
Di antara para ulama zaman ini yang menguatkan pendapat ini adalah:
Syaikh Muhammad As-Sinqithi, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim
Al-Jarullah, Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh Mushthafa Al-Adawi dan para
ulama lainnya. Inilah sedikit penjelasan tentang dalil-dalil para ulama
yang mewajibkan cadar (menutup wajah) bagi wanita. Selanjutnya akan kita
sampaikan dalil-dalil para ulama yang tidak mewajibkan cadar.
Dalil-Dalil yang Tidak Mewajibkan
Inilah secara ringkas dalil-dalil para ulama yang tidak mewajibkan cadar bagi wanita.
Pertama, firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka.” (QS. An Nuur: 31)
Tentang perhiasan yang biasa nampak ini, Ibnu Abbas berkata, “Wajah dan telapak tangan.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Isma’il Al Qadhi. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah,
hal. 59-60, Penerbit Al Maktabah Al Islamiyyah, Cet. I. Tetapi berbagai
riwayat dari Ibnu Abbas tentang penafsiran ini dilemahkan oleh Syeikh
Mushthafa Al Adawi dalam kitabnya Jami’ Ahkamin Nisa. Tentang hal ini terdapat riwayat-riwayat shahih dari perkataan sebagian tabi’in. Wallahu a’lam).
Perkataan serupa juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Umar. (Riwayat ini dishahihkan oleh Syeikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah,
hal. 59-60). Berdasarkan penafsiran kedua sahabat ini jelas bahwa wajah
dan telapak tangan wanita boleh kelihatan, sehingga bukan merupakan
aurat yang wajib ditutup.
Kedua, firman Allah,
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. An Nur: 31)
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Allah ta’ala
memerintahkan para wanita menutupkan khimar (kerudung) pada
belahan-belahan baju (dada dan lehernya), maka ini merupakan nash
menutupi aurat, leher dan dada. Dalam firman Allah ini juga terdapat
nash bolehnya membuka wajah, tidak mungkin selain itu.” (Al Muhalla III/216-217, Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 73).
Karena memang makna khimar (kerudung) adalah penutup kepala. Demikian diterangkan oleh para ulama, seperti tersebut dalam An Nihayah karya Imam Ibnul Atsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Al Hafizh Ibnu Katsir, Tafsir Fathu Al Qadir karya Asy Syaukani, dan lainnya. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 72-73).
Ketiga, firman Allah subhanahu wa ta’ala,
قُلْ لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا
فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَايَصْنَعُونَ
{30} وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ
فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian
itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman:
“Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya.” (QS. An Nur: 30,31)
Ayat ini menunjukkan bahwa pada diri wanita ada sesuatu yang terbuka
dan mungkin untuk dilihat. Sehingga Allah memerintahkan untuk menahan
pandangan dari wanita. Dan yang biasa nampak itu yaitu wajah dan kedua
telapak tangan. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal.
76,77). Semakna dengan ayat tersebut ialah hadits-hadits yang
memerintahkan menahan pandangan dari wanita dan larangan mengulangi
pandangan jika telah terlanjur memandang dengan tidak sengaja. Di
antaranya,
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ قَالَ إِيَّاكُمْ
وَالْجُلُوسَ بِالطُّرُقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ مَا بُدَّ لَنَا
مِنْ مَجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ إِنْ
أَبَيْتُمْ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ
يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الأَذَى وَرَدُّ
السَّلاَمِ وَاْلأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ
Dari Abu Said Al Khudri radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Janganlah kamu duduk-duduk di
jalan”. Maka para Sahabat berkata, “Kami tidak dapat meninggalkannya,
karena merupakan tempat kami untuk bercakap-cakap.” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Jika kalian enggan (meninggalkan
bermajelis di jalan), maka berilah hak jalan.” Sahabat bertanya,
“Apakah hak jalan itu?” Beliau menjawab, “Menundukkan pandangan,
menghilangkan gangguan, menjawab salam, memerintahkan kebaikan dan
mencegah kemungkaran.” (HR. Bukhari dalamAdabul Mufrad no. 1150, Muslim, Abu Dawud (4816). Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah6/11-13)
Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali radhiallahu ‘anhu,
يَا عَلِيُّ لَا تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الْآخِرَةُ
“Wahai Ali, janganlah engkau turutkan pandangan (pertama) dengan
pandangan (kedua), karena engkau berhak (yakni, tidak berdosa) pada
pandangan (pertama), tetapi tidak berhak pada pandangan (kedua).” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 77)
Jarir bin Abdullah berkata,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرَةِ الْفَجْأَةِ فَقَالَ اصْرِفْ بَصَرَكَ
Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang pandangan tiba-tiba (tidak sengaja), maka beliau bersabda,
“Palingkan pandanganmu.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya. Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 78)
Al Qadhi ‘Iyadh berkata, “Para ulama berkata, di sini terdapat
hujjah (argumen) bahwa wanita tidak wajib menutupi wajahnya di jalan,
tetapi hal itu adalah sunah yang disukai. Dan yang wajib bagi laki-laki
ialah menahan pandangan dari wanita dalam segala keadaan, kecuali untuk
tujuan yang syar’i (dibenarkan agama). Hal itu disebutkan oleh Muhyiddin
An Nawawi, dan beliau tidak menambahinya.” (Adab Asy Syar’iyyah I/187, karya Ibnu Muflih. Lihat: Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 77).
Keempat, Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, dia berkata,
أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ
عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا
أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ
يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ
قَالَ أَبُو دَاوُد هَذَا مُرْسَلٌ خَالِدُ بْنُ دُرَيْكٍ لَمْ يُدْرِكْ
عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا
Bahwa Asma’ bintu Abi Bakar menemui Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya dan berkata, “Wahai
Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu, jika telah mendapatkan haidh,
tidak pantas terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini”, beliau menunjuk
wajahnya dan kedua telapak tangannya. (HR. Abu Dawud, Thabarani,
Ibnu ‘Adi, dari jalan Sa’id bin Basyir dari Qatadah dari Khalid bin
Duraik dari ‘Aisyah. Ibnu ‘Adi berkata, “Terkadang Khalid mengatakan dari Ummu Salamah, sebagai ganti dari ‘Aisyah.” Sanad hadits ini lemah, sebagaimana Abu Dawud berkata setelah meriwayatkannya, “Hadits
ini mursal, Khalid bin Duraik tidak bertemu ‘Aisyah radhiallahu ‘anha.
Demikian juga perawi bernama Sa’id bin Basyir lemah.”)
Hadits ini sesungguhnya lemah, tetapi Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadits ini dikuatkan dengan beberapa penguat (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 58).
(1) Riwayat mursal shahih dari Qatadah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.“Jika
seorang gadis kecil telah haidh, maka tidak pantas terlihat sesuatu
darinya kecuali wajahnya dan tangannya sampai pergelangan.” (Tetapi
kemungkinan riwayat ini sama sanadnya dengan riwayat di atas, yaitu
Qatadah mendapatkan hadits ini dari Khalid bin Duraik, sehingga tidak
dapat menguatkan. Wallahu a’lam).
(2) Diriwayatkan oleh Thabrani dan Al Baihaqi dari jalan Ibnu
Luhai’ah, dari ‘Iyadh bin Abdullah, bahwa dia mendengar Ibrahim bin
‘Ubaid bin Rifa’ah Al Anshari menceritakan dari bapaknya, aku menyangka
dari Asma’ binti ‘Umais yang berkata, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam masuk menemui ‘Aisyah, dan di dekat ‘Aisyah ada
saudarinya, yaitu Asma bintu Abi Bakar. Asma memakai pakaian buatan Syam
yang longgar lengan bajunya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melihatnya, beliau bangkit lalu keluar. Maka ‘Aisyah berkata
kepada Asma, “Menyingkirlah engkau, sesungguhnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah melihat perkara yang tidak beliau sukai. Maka
Asma menyingkir. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
masuk, lalu Aisyah bertanya kenapa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bangkit (dan keluar). Maka beliau menjawab, “Tidakkah engkau melihat
keadaan Asma, sesungguhnya seorang wanita muslimah itu tidak boleh
tampak darinya kecuali ini dan ini”, lalu beliau memegangi kedua lengan
bajunya dan menutupkan pada kedua telapak tangannya, sehingga yang
nampak hanyalah jari-jarinya, kemudian meletakkan kedua telapak
tangannya pada kedua pelipisnya sehingga yang nampak hanyalah wajahnya.”
Al-Baihaqi menyatakan, “Sanadnya dha’if.” Kelemahan hadits
ini karena perawi yang bernama Ibnu Luhai’ah sering keliru setelah
menceritakan dengan hafalannya, yang sebelumnya dia seorang yang utama
dan terpercaya ketika menceritakan dengan bukunya. Syaikh Al Albani
menyatakan bahwa haditsnya ini dapat dijadikan penguat. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 59).
(3) Pendapat sebagian sahabat (seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar) yang
menjelaskan perhiasan yang biasa nampak yang boleh tidak ditutup, yaitu
wajah dan telapak tangan. Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 59).
Kelima, Jabir bin Abdillah berkata,
شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الصَّلَاةَ يَوْمَ الْعِيدِ فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ
بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلَالٍ
فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ
وَذَكَّرَهُمْ ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ
وَذَكَّرَهُنَّ فَقَالَ تَصَدَّقْنَ فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ
جَهَنَّمَ فَقَامَتِ امْرَأَةٌ مِنْ سِطَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ
الْخَدَّيْنِ فَقَالَتْ لِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِأَنَّكُنَّ
تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ قَالَ فَجَعَلْنَ
يَتَصَدَّقْنَ مِنْ حُلِيِّهِنَّ يُلْقِينَ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ مِنْ
أَقْرِطَتِهِنَّ وَخَوَاتِمِهِنَّ
Aku menghadiri shalat hari ‘ied bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Beliau memulai dengan shalat sebelum khutbah, dengan
tanpa azan dan tanpa iqamat. Kemudian beliau bersandar pada Bilal,
memerintahkan untuk bertakwa kepada Allah dan mendorong untuk
menaati-Nya. Beliau menasihati dan mengingatkan orang banyak. Kemudian
beliau berlalu sampai mendatangi para wanita, lalu beliau menasihati dan
mengingatkan mereka. Beliau bersabda, “Hendaklah kamu bersedekah,
karena mayoritas kamu adalah bahan bakar neraka Jahannam!” Maka
berdirilah seorang wanita dari tengah-tengah mereka, yang pipinya merah
kehitam-hitaman, lalu bertanya, “Kenapa wahai Rasulullah?” Beliau
bersabda, “Karena kamu banyak mengeluh dan mengingkari (kebaikan)
suami.” Maka para wanita itu mulai bersedekah dengan perhiasan mereka,
yang berupa giwang dan cincin, mereka melemparkan pada kain Bilal. (HSR Muslim, dan lainnya)
Hadits ini jelas menunjukkan wajah wanita bukan aurat, yakni bolehnya
wanita membuka wajah. Sebab jika tidak, pastilah Jabir tidak dapat
menyebutkan bahwa wanita itu pipinya merah kehitam-hitaman. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 59) (Tetapi dalil ini dibantah dengan penjelasan bahwa hadits ini yang mahfudz (shahih) dengan lafazh min safilatin nisa’ (dari wanita-wanita rendah) sebagai ganti lafazh sithatin nisa’
(dari wanita dari tengah-tengah). Yang hal itu mengisyaratkan wanita
tersebut adalah budak, sedangkan budak tidak wajib menutupi wajah. Atau
kejadian ini sebelum turunnya ayat hijab. Wallahu a’lam).
Keenam, Ibnu Abbas berkata,
أَرْدَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْفَضْلَ
بْنَ عَبَّاسٍ … فَوَقَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لِلنَّاسِ يُفْتِيهِمْ وَأَقْبَلَتِ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ وَضِيئَةٌ
تَسْتَفْتِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَطَفِقَ
الْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَأَعْجَبَهُ حُسْنُهَا فَالْتَفَتَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْفَضْلُ يَنْظُرُ
إِلَيْهَا فَأَخْلَفَ بِيَدِهِ فَأَخَذَ بِذَقَنِ الْفَضْلِ فَعَدَلَ
وَجْهَهُ عَنِ النَّظَرِ إِلَيْهَا …
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memboncengkan Al Fadhl
bin Abbas… kemudian beliau berhenti untuk memberi fatwa kepada orang
banyak. Datanglah seorang wanita yang cantik dari suku Khats’am meminta
fatwa kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mulailah Al Fadhl
melihat wanita tersebut, dan kecantikannya mengagumkannya. Nabi ‘alaihi
wa sallam pun berpaling, tetapi Al Fadhl tetap melihatnya. Maka nabi
‘alaihi wa sallam memundurkan tangannya dan memegang dagu Al Fadhl,
kemudian memalingkan wajah Al Fadhl dari melihatnya…” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya)
Kisah ini juga diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu,
dan dia menyebutkan bahwa permintaan fatwa itu terjadi di tempat
penyembelihan kurban, setelah Rasulullah melemparkan jumrah, lalu dia
menambahkan, “Maka Abbas berkata kepada Rasulullah ‘alaihi wa
sallam, “Wahai Rasulullah, kenapa anda memalingkan leher anak pamanmu?”
Beliau menjawab, “Aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi,
sehingga aku tidak merasa aman dari syaitan (menggoda) keduanya” (HR. Tirmidzi, Ahmad, dan lainnya. Syaikh Al Albani menyatakan, “Sanadnya bagus”)
Dengan ini berarti, bahwa peristiwa tersebut terjadi setelah tahallul
(selesai) dari ihram, sehingga wanita tersebut bukanlah muhrimah
(wanita yang sedang berihram, dengan hajji atau umrah).
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Seandainya wajah wanita
merupakan aurat yang wajib ditutupi, tidaklah beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam membenarkan wanita tersebut membuka wajahnya di
hadapan orang banyak. Pastilah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan wanita itu untuk menurunkan (jilbabnya) dari atas (kepala
untuk menutupi wajah). Dan seandainya wajahnya tertutup, tentulah Ibnu
Abbas tidak mengetahui wanita itu cantik atau buruk.”
Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits
ini terdapat perintah untuk menahan pandangan karena khawatir fitnah.
Konsekuensinya jika aman dari fitnah, maka tidak terlarang. Hal itu
dikuatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memalingkan
wajah Al Fadhl sampai dia menajamkan pandangan, karena kekagumannya
terhadap wanita tersebut, sehingga beliau khawatir fitnah menimpanya. Di
dalam hadits ini juga terdapat (dalil) pertarungan watak dasar manusia
terhadapnya serta kelemahan manusia dari kecenderungan dan kekaguman
terhadap wanita. Juga terdapat (dalil) bahwa istri-istri kaum mukminin
tidak wajib berhijab sebagaimana istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Karena (kalau memang hal itu) wajib bagi seluruh wanita,
pastilah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada wanita
dari suku Khats’am tersebut untuk menutupi (dirinya) dan tidak
memalingkan wajah Al Fadhl. Di dalamnya juga terdapat (dalil) bahwa
menutup wajah wanita tidak wajib, Para ulama berijma’ bahwa wanita boleh
menampakkan wajahnya ketika shalat, walaupun dilihat oleh laki-laki
asing.” (Fathu Al-Bari XI/8)
Perkataan Ibnu Baththal rahimahullah tersebut dibantah oleh
Al Hafizh Ibnu Hajar, dengan alasan bahwa wanita dari suku Khats’am
tersebut muhrimah (wanita yang sedang berihram). Tetapi Syaikh Al Albani
menyatakan, bahwa yang benar wanita itu bukan muhrimah (wanita yang
sedang berihram), sebagaimana penjelasan di atas. Seandainya wanita itu
muhrimah (wanita yang sedang berihram), maka pendapat Ibnu Baththal itu
tetap kuat. Karena wanita muhrimah itu boleh melabuhkan jilbabnya ke
wajahnya di hadapan laki-laki asing, sebagaimana hadits tentang hal ini.
(Lihat haditsnya pada edisi terdahulu, pada dalil ke 13 yang mewajibkan
cadar). Maka hadits ini menunjukkan bahwa cadar tidaklah wajib bagi
wanita, walaupun dia memiliki wajah yang cantik, tetapi hukumnya adalah
disukai (sunah). Peristiwa ini terjadi di akhir kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga hukumnya muhkam (tetap; tidak dihapus). (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 61-64).
Ketujuh, Sahl bin Sa’d berkata,
أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ جِئْتُ لِأَهَبَ لَكَ نَفْسِي
فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَصَعَّدَ النَّظَرَ إِلَيْهَا وَصَوَّبَهُ ثُمَّ طَأْطَأَ رَأْسَهُ…
“Bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, saya datang untuk
menghibahkan diriku kepada Anda.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melihatnya, beliau menaikkan dan menurunkan pandangan kepadanya.
Lalu beliau menundukkan kepalanya……” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya)
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan, “Di dalam
hadits ini juga terdapat (dalil) bolehnya memperhatikan kecantikan
seorang wanita karena berkehendak menikahinya… tetapi (pemahaman) ini
terbantah dengan anggapan bahwa hal itu khusus bagi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam karena beliau ma’shum, dan yang telah menjadi
kesimpulan kami, bahwa tidak haram bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk melihat wanita mukmin yang bukan mahram, ini berbeda dengan
selain beliau. Sedangkan Ibnul ‘Arabi menempuh cara lain dalam menjawab
hal tersebut, dia mengatakan, “Kemungkinan hal itu sebelum (kewajiban)
hijab, atau setelahnya tetapi dia menyelubungi dirinya.” Tetapi
rangkaian hadits ini jauh dari apa yang dia katakan.” (Fathul Bari IX/210).
Kedelapan, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,
كُنَّ نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ
بِمُرُوطِهِنَّ ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ حِينَ يَقْضِينَ
الصَّلَاةَ لَا يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ
“Dahulu wanita-wanita mukminah biasa menghadiri shalat subuh
bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menutupi tubuh
(mereka) dengan selimut. Kemudian (mereka) kembali ke rumah-rumah mereka
ketika telah menyelesaikan shalat. Tidak ada seorang pun mengenal
mereka karena gelap.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain,
وَمَا يَعْرِفُ بَعْضُنَا وُجُوْهَ بَعْضٍ
“Dan sebagian kami tidak mengenal wajah yang lain.” (HR. Abu Ya’la di dalam Musnadnya. Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 66)
Dari perkataan ‘Aisyah, “Tidak ada seorangpun mengenal mereka karena gelap.”
dapat dipahami, jika tidak gelap niscaya dikenali, sedangkan mereka
dikenali -menurut kebiasaan- dari wajahnya yang terbuka. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 65).
Kesembilan, ketika Fatimah binti Qais dicerai thalaq tiga oleh suaminya, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam
mengutus seseorang kepadanya memerintahkan agar dia ber-’iddah di rumah
Ummu Syuraik. Tetapi kemudian beliau mengutus seseorang kepadanya lagi
dengan menyatakan,
أَنَّ أُمَّ شَرِيكٍ يَأْتِيهَا الْمُهَاجِرُونَ الْأَوَّلُونَ
فَانْطَلِقِي إِلَى ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ الْأَعْمَى فَإِنَّكِ إِذَا
وَضَعْتِ خِمَارَكِ لَمْ يَرَكِ فَانْطَلَقَتْ إِلَيْهِ …
“Bahwa Ummu Syuraik biasa didatangi oleh orang-orang Muhajirin
yang pertama. Maka hendaklah engkau pergi ke (rumah) Ibnu Ummi Maktum
yang buta, karena jika engkau melepaskan khimar (kerudung, penutup
kepala) dia tidak akan melihatmu. Fathimah binti Qais pergi kepadanya…” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa wajah bukan aurat, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
membenarkan Fathimah binti Qais dengan memakai khimar dilihat oleh
laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa wajahnya tidak wajib ditutup,
sebagaimana kewajiban menutup kepalanya. Tetapi karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
khawatir dia melepaskan khimarnya (kerudung), sehingga akan nampak apa
yang harus ditutupi, maka beliau memerintahkannya dengan yang lebih
selamat untuknya; yaitu berpindah ke rumah Ibnu Ummi Maktum yang buta.
Karena dia tidak akan melihatnya jika Fathimah binti Qais melepaskan
khimar. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 65).
Peristiwa ini terjadi di akhir kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Fathimah binti Qais menyebutkan bahwa setelah habis ‘iddahnya dia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menceritakan kisah tentang Dajjal dari Tamim Ad Dari yang baru masuk
Islam dari Nasrani. Sedangkan Tamim masuk Islam tahun 9 H. Adapun ayat
jilbab turun tahun 3 H atau 5 H, sehingga kejadian ini setelah adanya
kewajiban berjilbab. (LihatJilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 66-67).
Kesepuluh, Abdurrahman bin ‘Abis,
سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ قِيلَ لَهُ أَشَهِدْتَ الْعِيدَ مَعَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ وَلَوْلَا
مَكَانِي مِنَ الصِّغَرِ مَا شَهِدْتُهُ حَتَّى أَتَى الْعَلَمَ الَّذِي
عِنْدَ دَارِ كَثِيرِ بْنِ الصَّلْتِ فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ ثُمَّ أَتَى
النِّسَاءَ وَمَعَهُ بِلَالٌ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ
بِالصَّدَقَةِ فَرَأَيْتُهُنَّ يَهْوِينَ بِأَيْدِيهِنَّ يَقْذِفْنَهُ فِي
ثَوْبِ بِلَالٍ ثُمَّ انْطَلَقَ هُوَ وَبِلَالٌ إِلَى بَيْتِهِ
“Saya mendegar Ibnu Abbas ditanya, “Apakah Anda (pernah)
menghadiri (shalat) ‘ied bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?”
Dia menjawab, “Ya, dan jika bukan karena posisiku (umurku) yang masih
kecil, niscaya saya tidak menyaksikannya. (Rasulullah keluar) sampai
mendatangi tanda yang ada di dekat rumah Katsir bin Ash Shalt, lalu
beliau shalat, kemudian berkhutbah. Lalu beliau bersama Bilal mendatangi
para wanita, kemudian menasihati mereka, mengingatkan mereka, dan
memerintahkan mereka untuk bersedekah. Maka aku lihat para wanita
mengulurkan tangan mereka melemparkannya (cincin, dan lainnya sebagai
sedekaah) ke kain Bilal. Kemudian Beliau dan Bilal pulang ke rumahnya.” (HR. Bukhari, Abu Daud, Nasai, dan lainnya. Lafazh hadits ini riwayat Bukhari dalam Kitab Jum’ah)
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Inilah Ibnu Abbas -di
hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- melihat tangan para
wanita, maka benarlah bahwa tangan dan wajah wanita bukan aurat, adapun
selainnya wajib ditutup.”
Pengambilan dalil ini tidak dapat dibantah dengan perkataan,
kemungkinan kejadian ini sebelum turunnya ayat jilbab, karena peristiwa
ini terjadi setelah turunnya ayat jilbab. Dengan dalil, Imam Ahmad
meriwayatkan (dengan tambahan) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat bai’atun nisa’
(surat Al Mumtahanah: 12), padahal ayat ini turun pada Fathu Makkah,
tahun 8 H, sebagaimana perkataan Muqatil. Sedangkan perintah jilbab
(hijab) turun tahun 3 H atau 5 H ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammenikahi Zainab binti Jahsy (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 67, 75).
Kesebelas, dari Subai’ah binti Al-Harits,
أَنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ سَعْدِ ابْنِ خَوْلَةَ فَتُوُفِّيَ عَنْهَا فِي
حَجَّةِ الْوَدَاعِ وَكَانَ بَدْرِيًّا فَوَضَعَتْ حَمْلَهَا قَبْلَ أَنْ
يَنْقَضِيَ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ مِنْ وَفَاتِهِ فَلَقِيَهَا أَبُو
السَّنَابِلِ يَعْنِي ابْنَ بَعْكَكٍ حِينَ تَعَلَّتْ مِنْ نِفَاسِهَا
وَقَدِ اكْتَحَلَتْ (وَاحْتَضَبَتْ وَ تَهَيَّأَتْ) فَقَالَ لَهَا ارْبَعِي
عَلَى نَفْسِكِ أَوْ نَحْوَ هَذَا لَعَلَّكِ تُرِيدِينَ النِّكَاحَ
Bahwa dia menjadi istri Sa’d bin Khaulah, lalu Sa’d wafat pada
haji wada’, dan dia seorang Badari (sahabat yang ikut perang Badar).
Lalu Subai’ah binti Al Harits melahirkan kandungannya sebelum selesai 4
bulan 10 hari dari wafat suaminya. Kemudian Abu As Sanabil (yakni Ibnu
Ba’kak) menemuinya ketika nifasnya telah selesai, dan dia telah memakai
celak mata (dan memakai inai pada kuku tangan, dan bersip-siap). Lalu
Abu As Sanabil berkata kepadanya, “Jangan terburu-buru (atau kalimat
semacamnya) mungkin engkau menghendaki nikah…” (HR. Ahmad. Dishahihkan Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 69. Asal kisah riwayat Bukhari dan Muslim)
Hadits ini nyata menunjukkan, bahwa kedua telapak tangan dan wajah
atau mata bukanlah aurat pada kebiasaan para wanita sahabat. Karena jika
merupakan aurat yang harus ditutup, tentulah Subai’ah tidak boleh
menampakkannya di hadapan Abu As Sanabil. Peristiwa ini nyata terjadi
setelah kewajiban jilbab (hijab), yaitu setelah haji wada’, tahun 10 H.
(Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 69).
Keduabelas, Atha bin Abi Rabah berkata,
قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ أَلَا أُرِيكَ امْرَأَةً مِنْ أَهْلِ
الْجَنَّةِ قُلْتُ بَلَى قَالَ هَذِهِ الْمَرْأَةُ السَّوْدَاءُ أَتَتِ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنِّي أُصْرَعُ
وَإِنِّي أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ لِي قَالَ إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ
وَلَكِ الْجَنَّةُ وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ
فَقَالَتْ أَصْبِرُ فَقَالَتْ إِنِّي أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ لِي أَنْ
لَا أَتَكَشَّفَ فَدَعَا لَهَا
Ibnu Abbas berkata kepadaku, “Maukah kutunjukkan kepadamu seorang
wanita dari penghuni surga?” Aku menjawab, “Ya”. Dia berkata, “Itu
wanita yang hitam, dia dahulu mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam lalu berkata, “Sesungguhnya aku memiliki penyakit ayan
(epilepsi), dan (jika kambuh, auratku) terbuka. Berdoalah kepada Allah
untuk (kesembuhan) ku!”. Beliau menjawab, “Jika engkau mau bersabar
(terhadap penyakit ini), engkau mendapatkan surga. Tetapi jika engkau
mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Wanita tadi
berkata, “Aku akan bersabar. Tetapi (jika kambuh penyakitku, auratku)
terbuka, maka berdoalah kepada Allah untukku agar (jika kambuh, auratku)
tidak terbuka.” Maka beliau mendoakannya. (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
Ketiga belas, Ibnu Abbas berkata,
كَانَتِ امْرَأَةٌ تُصَلِّي خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَسْنَاءَ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ فَكَانَ بَعْضُ
الْقَوْمِ يَتَقَدَّمُ حَتَّى يَكُونَ فِي الصَّفِّ الْأَوَّلِ لِئَلَّا
يَرَاهَا وَيَسْتَأْخِرُ بَعْضُهُمْ حَتَّى يَكُونَ فِي الصَّفِّ
الْمُؤَخَّرِ فَإِذَا رَكَعَ نَظَرَ مِنْ تَحْتِ إِبْطَيْهِ فَأَنْزَلَ
اللَّهُ تَعَالَى ( وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنْكُمْ
وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَأْخِرِينَ )
Dahulu ada seorang wanita yang sangat cantik shalat di belakang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka sebagian laki-laki maju,
sehingga berada di shaf pertama agar tidak melihat wanita itu. Tetapi
sebagian orang mundur, sehingga berada di shaf belakang. Jika ruku’, dia
dapat melihat (wanita itu) dari sela ketiaknya. Maka Allah menurunkan
(ayat),
وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنكُمْ وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَأْخِرِينَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengetahui orang-orang yang
terdahulu daripadamu dan sesungguhnya Kami mengetahui pula orang-orang
yang terkemudian (daripadamu).”(QS. Al Hijr: 24) (HR. Ash Habus Sunan, Al Hakim, dan lainnya. Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 2472. Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 70).
Hadits ini menunjukkan bahwa di zaman Nabi, wajah wanita biasa terbuka.
Keempat belas, Ibnu Mas’ud berkata,
رَأَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ امْرَأَةً
فَأَعْجَبَتْهُ فَأَتَى سَوْدَةَ وَهِيَ تَصْنَعُ طِيبًا وَعِنْدَهَا
نِسَاءٌ فَأَخْلَيْنَهُ فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ قَالَ أَيُّمَا رَجُلٍ
رَأَى امْرَأَةً تُعْجِبُهُ فَلْيَقُمْ إِلَى أَهْلِهِ فَإِنَّ مَعَهَا
مِثْلَ الَّذِي مَعَهَا
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang wanita
sehingga wanita itu membuat beliau terpesona, kemudian beliau mendatangi
Saudah (istri beliau), yang sedang membuat minyak wangi dan di dekatnya
ada banyak wanita. Maka wanita-wanita itu meninggalkan beliau, lalu
beliau menunaikan hajatnya. Kemudian beliau bersabda: “Siapa pun lelaki
yang melihat seorang wanita, sehingga wanita itu membuatnya terpesona,
maka hendaklah dia pergi kepada istrinya, karena sesungguhnya pada
istrinya itu ada yang semisal apa yang ada pada wanita itu.” (HR. Muslim, Ibnu Hibban, Darimi, dan lainnya. Lafazh ini riwayat Darimi. Lihat takhrijnya di dalam Ash-Shahihah no. 235)
Sebagaimana hadits sebelumnya, hadits ini nyata menunjukkan bahwa di zaman Nabi, wajah wanita biasa terbuka.
Kelima belas, Dari Abdullah bin Muhammad, dari seorang wanita di antara mereka yang berkata,
دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَأَنَا آكُلُ بِشِمَالِي وَكُنْتُ امْرَأَةً عَسْرَاءَ فَضَرَبَ يَدِي
فَسَقَطَتِ اللُّقْمَةُ فَقَالَ لَا تَأْكُلِي بِشِمَالِكِ وَقَدْ جَعَلَ
اللَّهُ لَكِ يَمِينًا أَوْ قَالَ وَقَدْ أَطْلَقَ اللَّهُ يَمِينَكِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemuiku ketika
aku sedang makan dengan tangan kiriku, karena aku seorang wanita yang
kidal. Maka beliau memukul tanganku sehingga sesuap makanan jatuh. Lalu
beliau bersabda, “Janganlah engkau makan dengan tangan kirimu, sedangkan
Allah telah menjadikan tangan kanan untukmu.” Atau bersabda, “Sedangkan
Allah telah menyembuhkan tangan kananmu.” (HR. Ahmad dan Thabarani. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 72)
Keenam belas, berlakunya perbuatan ini setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits-hadits di atas jelas menunjukkan tentang perbuatan sebagian
sahabiah yang membuka wajah dan telapak tangan pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan hal ini terus berlangsung setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Sebagaimana ditunjukkan dengan 16 riwayat yang dibawakan Syaikh Al Albani dalamJilbab Al Mar’ah Al Muslimah (hal. 96-103). Ini semua menguatkan, bahwa wajah dan telapak tangan wanita bukanlah aurat sehingga wajib ditutup.
Ketujuh belas, anggapan terjadinya ijma’ tentang
wajah dan telapak tangan merupakan aurat yang wajib ditutup, tidaklah
benar. Bahkan telah terjadi perselisihan di antara ulama. Pendapat tiga
imam (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i), menyatakan bukan
sebagai aurat. Ini juga merupakan satu riwayat dari Imam Ahmad. Di
antara ulama besar mazhab Hambali yang menguatkan pendapat ini ialah dua
imam; yakni Ibnu Qudamah dan Imam Ibnu Muflih. Ibnu Qudamah
rahimahullah menyatakan dalam Al Mughni, “Karena kebutuhan mendorong telah dibukanya wajah untuk jual-beli, dan membuka telapak tangan untuk mengambil dan memberi.” (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 7-9).
Kedelapan belas (tambahan), dalil-dalil shahih di atas dengan tegas menunjukkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
wajah dan telapak tangan wanita biasa terbuka. Berarti wajah dan
telapak tangan wanita dikecualikan dari kewajiban untuk ditutup.
Sebagian keterangan di atas juga menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa
itu terjadi setelah turunnya ayat hijab (jilbab). Sehingga menunjukkan
diperbolehkannya membuka wajah dan telapak tangan bagi wanita tidak
terhapus oleh ayat jilbab. Kemudian, seandainya tidak diketahui bahwa
peristiwa-peristiwa itu terjadi setelah turunnya ayat hijab/jilbab, maka
hal itu menunjukkan diperbolehkannya membuka wajah dan telapak tangan
bagi wanita. Sedangkan menurut kaidah, bahwa setiap hukum itu tetap
sebagaimana sebelumnya sampai ada hukum lain yang menghapusnya. Maka
orang yang mewajibkan wanita menutup wajah wajib membawakan dalil yang
menghapuskan bolehnya wanita membuka wajah dan telapak tangan. Adakah
hal itu? Bahkan yang didapati ialah keterangan dan dalil yang memperkuat
hukum asal tersebut.
Hukum Cadar: Kesimpulan Antara 2 Pendapat Ulama
Pertama, wanita menutup wajahnya bukanlah sesuatu yang aneh di zaman kenabian. Karena hal itu dilakukan oleh ummahatul mukminin (para istri Rasulullah) dan sebagian para wanita sahabat. Sehingga merupakan sesuatu yang disyariatkan dan keutamaan.
Kedua, membuka wajah juga dilakukan oleh sebagian sahabiah. Bahkan hingga akhir masa kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihin wa sallam, dan berlanjut pada perbuatan wanita-wanita pada zaman setelahnya.
Ketiga, seorang muslim tidak boleh merendahkan wanita yang menutup wajahnya dan tidak boleh menganggapnya berlebihan.
Keempat, dalil-dalil yang disebutkan para ulama yang mewajibkan cadar
begitu kuat; menunjukkan kewajiban wanita untuk berhijab (menutupi diri
dari laki-laki) dan berjilbab serta menutupi perhiasannya secara umum.
Dalil-dalil yang disebutkan para ulama yang tidak mewajibkan cadar
begitu kuat; menunjukkan bahwa wajah dan telapak tangan wanita bukan
aurat yang harus ditutup.
Inilah jawaban kami tentang masalah cadar bagi wanita. Mudah-mudahan
kaum muslimin dapat saling memahami permasalahan ini dengan
sebaik-baiknya.
Wallahu a’lam bishshawwab.
*****
0 komentar:
Posting Komentar