Pembagian Waris Menurut Islam
... Dalam keadaan seperti ini manakah di antara kaum laki-laki dan
kaum wanita yang lebih banyak menikmati harta dan lebih berbahagia
keadaannya? Laki-laki ataukah wanita? Inilah logika keadilan dalam
agama, sehingga pembagian hak laki-laki dua kali lipat lebih besar
daripada hak kaum wanita.....
A. Penjelasan
Allah
SWT melalui ketiga ayat tersebut yang kesemuanya termaktub dalam
surat an-Nisa' menegaskan dan merinci nashih (bagian) setiap ahli
waris yang berhak untuk menerimanya. Ayat-ayat tersebut juga dengan
gamblang menjelaskan dan merinci syarat-syarat serta keadaan orang yang
berhak mendapatkan warisan dan orang-orang yang tidak berhak
mendapatkannya. Selain itu, juga menjelaskan keadaan setiap ahli waris,
kapan ia menerima bagiannya secara "tertentu", dan kapan pula ia
menerimanya secara 'ashabah.
Perlu kita ketahui bahwa ketiga ayat
tersebut merupakan asas ilmu faraid, di dalamnya berisi aturan dan tata
cara yang berkenaan dengan hak dan pembagian waris secara lengkap. Oleh
sebab itu, orang yang dianugerahi pengetahuan dan hafal ayat-ayat
tersebut akan lebih mudah mengetahui bagian setiap ahli waris, sekaligus
mengenali hikmah Allah Yang Maha Bijaksana itu.
Allah Yang Maha
Adil tidak melalaikan dan mengabaikan hak setiap ahli waris. Bahkan
dengan aturan yang sangat jelas dan sempurna Dia menentukan pembagian
hak setiap ahli waris dengan adil serta penuh kebijaksanaan. Maha Suci
Allah. Dia menerapkan hal ini dengan tujuan mewujudkan keadilan dalam
kehidupan manusia, meniadakan kezaliman di kalangan mereka, menutup
ruang gerak para pelaku kezaliman, serta tidak membiarkan terjadinya
pengaduan yang terlontar dari hati orang-orang yang lemah.
Imam
Qurthubi dalam tafsirnya mengungkapkan bahwa ketiga ayat tersebut
merupakan salah satu rukun agama, penguat hukum, dan induk ayat-ayat
Ilahi. Oleh karenanya faraid memiliki martabat yang sangat agung, hingga
kedudukannya menjadi separo ilmu.
Hal ini tercermin dalam hadits
berikut, dari Abdullah Ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"Pelajarilah Al-Qur'an dan ajarkanlah kepada orang lain, serta pelajarilah faraid dan ajarkanlah kepada orang lain. Sesungguhnya aku seorang yang bakal meninggal, dan ilmu ini pun bakal sirna hingga akan muncul fitnah. Bahkan akan terjadi dua orang yang akan berselisih dalam hal pembagian (hak yang mesti ia terima), namun keduanya tidak mendapati orang yang dapat menyelesaikan perselisihan tersebut. " (HR Daruquthni)
Lebih
jauh Imam Qurthubi mengatakan, "Apabila kita telah mengetahui hakikat
ilmu ini, maka betapa tinggi dan agung penguasaan para sahabat tentang
masalah faraid ini. Sungguh mengagumkan pandangan mereka mengenai ilmu
waris ini. Meskipun demikian, sangat disayangkan kebanyakan manusia
(terutama pada masa kini) mengabaikan dan melecehkannya."
Perlu
kita ketahui bahwa semua kitab tentang waris yang disusun dan ditulis
oleh para ulama merupakan penjelasan dan penjabaran dari apa yang
terkandung dalam ketiga ayat tersebut. Yakni penjabaran kandungan ayat
yang bagi kita sudah sangat jelas: membagi dan adil. Maha Suci Allah
Yang Maha Bijaksana dalam menetapkan hukum dan syariat-Nya.
Di
antara kita mungkin ada yang bertanya-tanya dalam hati, adakah ayat lain
yang berkenaan dengan waris selain dari ketiga ayat tersebut?
Di
dalam Al-Qur'an memang ada beberapa ayat yang menyebutkan masalah hak
waris bagi para kerabat (nasab), akan tetapi tentang besar-kecilnya hak
waris yang mesti diterima mereka tidak dijelaskan secara rinci.
Di
antaranya adalah firman Allah berikut:
"Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetaplan. " (an-Nisa': 7)
"... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (al-Anfal: 75)
"... Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah)." (al-Ahzab: 6)
Itulah ayat-ayat
dalam Al-Qur'an yang berkenaan dengan masalah hak waris, selain dari
ketiga ayat yang saya sebutkan pada awal pembahasan.
Pada ayat
kedua dan ketiga (al-Anfal: 75 dan al-Ahzab: 6) ditegaskan bahwa kerabat
pewaris (sang mayit) lebih berhak untuk mendapatkan bagian dibandingkan
lainnya yang bukan kerabat atau tidak mempunyai tali kekerabatan
dengannya. Mereka lebih berhak daripada orang mukmin umumnya dan kaum
Muhajirin.
Telah masyhur dalam sejarah permulaan datangnya Islam,
bahwa pada masa itu kaum muslim saling mewarisi harta masing-masing
disebabkan hijrah dan rasa persaudaraan yang dipertemukan oleh
Rasulullah saw., seperti kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Pada
permulaan datangnya Islam, kaum Muhajirin dan kaum Anshar saling
mewarisi, namun justru saudara mereka yang senasab tidak mendapatkan
warisan. Keadaan demikian berjalan terus hingga Islam menjadi agama yang
kuat, kaum muslim telah benar-benar mantap menjalankan
ajaran-ajarannya, dan kaidah-kaidah agama telah begitu mengakar dalam
hati setiap muslim. Maka setelah peristiwa penaklukan kota Mekah, Allah
me-mansukh-kan (menghapuskan) hukum pewarisan yang disebabkan hijrah dan
persaudaraan, dengan hukum pewarisan yang disebabkan nasab dan
kekerabatan.
Adapun dalam ayat pertama (an-Nisa': 7) Allah SWT
dengan tegas menghilangkan bentuk kezaliman yang biasa menimpa dua jenis
manusia lemah, yakni wanita dan anak-anak. Allah SWT menyantuni
keduanya dengan rahmat dan kearifan-Nya serta dengan penuh keadilan,
yakni dengan mengembalikan hak waris mereka secara penuh. Dalam ayat
tersebut Allah dengan keadilan-Nya memberikan hak waris secara imbang,
tanpa membedakan antara yang kecil dan yang besar, laki-laki ataupun
wanita. Juga tanpa membedakan bagian mereka yang banyak maupun sedikit,
maupun pewaris itu rela atau tidak rela, yang pasti hak waris telah
Allah tetapkan bagi kerabat pewaris karena hubungan nasab. Sementara di
sisi lain Allah membatalkan hak saling mewarisi di antara kaum muslim
yang disebabkan persaudaraan dan hijrah. Meskipun demikian, ayat
tersebut tidaklah secara rinci dan detail menjelaskan jumlah
besar-kecilnya hak waris para kerabat. Jika kita pakai istilah dalam
ushul fiqh ayat ini disebut mujmal (global), sedangkan rinciannya
terdapat dalam ayat-ayat yang saya nukilkan terdahulu (an-Nisa': 11-12
dan 176).
Masih tentang kajian ayat-ayat tersebut, mungkin ada di
antara kita yang bertanya-tanya dalam hati, mengapa bagian kaum
laki-laki dua kali lipat bagian kaum wanita, padahal kaum wanita jauh
lebih banyak membutuhkannya, karena di samping memang lemah, mereka juga
sangat membutuhkan bantuan baik moril maupun materiil?
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut perlu saya utarakan beberapa hikmah adanya
syariat yang telah Allah tetapkan bagi kaum muslim, di antaranya sebagai
berikut:
- Kaum wanita selalu harus terpenuhi kebutuhan dan
keperluannya, dan dalam hal nafkahnya kaum wanita wajib diberi oleh
ayahnya, saudara laki-lakinya, anaknya, atau siapa saja yang mampu di
antara kaum laki-laki kerabatnya.
- Kaum wanita tidak diwajibkan
memberi nafkah kepada siapa pun di dunia ini. Sebaliknya, kaum lelakilah
yang mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah kepada keluarga dan
kerabatnya, serta siapa saja yang diwajibkan atasnya untuk memberi
nafkah dari kerabatnya.
- Nafkah (pengeluaran) kaum laki-laki
jauh lebih besar dibandingkan kaum wanita. Dengan demikian, kebutuhan
kaum laki-laki untuk mendapatkan dan memiliki harta jauh lebih besar dan
banyak dibandingkan kaum wanita.
- Kaum laki-laki diwajibkan
untuk membayar mahar kepada istrinya, menyediakan tempat tinggal
baginya, memberinya makan, minum, dan sandang. Dan ketika telah
dikaruniai anak, ia berkewajiban untuk memberinya sandang, pangan, dan
papan.
- Kebutuhan pendidikan anak, pengobatan jika anak sakit (termasuk istri) dan lainnya, seluruhnya dibebankan hanya pada pundak kaum laki-laki. Sementara kaum wanita tidaklah demikian.
Itulah
beberapa hikmah dari sekian banyak hikmah yang terkandung dalam
perbedaan pembagian antara kaum laki-laki --dua kali lebih besar-- dan
kaum wanita. Kalau saja tidak karena rasa takut membosankan, ingin
sekali saya sebutkan hikmah-hikmah tersebut sebanyak mungkin. Secara
logika, siapa pun yang memiliki tanggung jawab besar --hingga harus
mengeluarkan pembiayaan lebih banyak-- maka dialah yang lebih berhak
untuk mendapatkan bagian yang lebih besar pula. Kendatipun hukum Islam
telah menetapkan bahwa bagian kaum laki-laki dua kali lipat lebih besar
daripada bagian kaum wanita, Islam telah menyelimuti kaum wanita dengan
rahmat dan keutamaannya, berupa memberikan hak waris kepada kaum wanita
melebihi apa yang digambarkan. Dengan demikian, tampak secara jelas
bahwa kaum wanita justru lebih banyak mengenyam kenikmatan dan lebih
enak dibandingkan kaum laki-laki. Sebab, kaum wanita sama-sama menerima
hak waris sebagaimana halnya kaum laki-laki, namun mereka tidak
terbebani dan tidak berkewajiban untuk menanggung nafkah keluarga.
Artinya, kaum wanita berhak untuk mendapatkan hak waris, tetapi tidak
memiliki kewajiban untuk mengeluarkan nafkah.
Syariat Islam tidak
mewajibkan kaum wanita untuk membelanjakan harta miliknya meski sedikit,
baik untuk keperluan dirinya atau keperluan anak-anaknya (keluarganya),
selama masih ada suaminya. Ketentuan ini tetap berlaku sekalipun wanita
tersebut kaya raya dan hidup dalam kemewahan. Sebab, suamilah yang
berkewajiban membiayai semua nafkah dan kebutuhan keluarganya, khususnya
dalam hal sandang, pangan, dan papan. Hal ini sebagaimana ditegaskan
dalam firman-Nya:
"... Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf ..." (al-Baqarah: 233)
Untuk
lebih menjelaskan permasalahan tersebut perlu saya ketengahkan satu
contoh kasus supaya hikmah Allah dalam menetapkan hukum-hukum-Nya akan
terasa lebih jelas dan nyata. Contoh yang dimaksud di sini ialah tentang
pembagian hak kaum laki-laki yang banyaknya dua kali lipat dari bagian
kaum wanita.
Seseorang meninggal dan mempunyai dua orang anak,
satu laki-laki dan satu perempuan. Ternyata orang tersebut meninggalkan
harta, misalnya sebanyak Rp 3 juta. Maka, menurut ketetapan syariat
Islam, laki-laki mendapatkan Rp 2 juta sedangkan anak perempuan
mendapatkan Rp 1 juta.
Apabila anak laki-laki tersebut telah
dewasa dan layak untuk menikah, maka ia berkewajiban untuk membayar
mahar dan semua keperluan pesta pernikahannya. Misalnya, ia mengeluarkan
semua pembiayaan keperluan pesta pernikahan itu sebesar Rp 20 juta.
Dengan demikian, uang yang ia terima dari warisan orang tuanya tidak
tersisa. Padahal, setelah menikah ia mempunyai beban tanggung jawab
memberi nafkah istrinya.
Adapun anak perempuan, apabila ia telah
dewasa dan layak untuk berumah tangga, dialah yang mendapatkan mahar
dari calon suaminya. Kita misalkan saja mahar itu sebesar Rp 1 juta.
Maka anak perempuan itu telah memiliki uang sebanyak Rp 2 juta (satu
juta dari harta warisan dan satu juta lagi dari mahar pemberian calon
suaminya). Sementara itu, sebagai istri ia tidak dibebani tanggung jawab
untuk membiayai kebutuhan nafkah rumah tangganya, sekalipun ia memiliki
harta yang banyak dan hidup dalam kemewahan. Sebab dalam Islam kaum
laki-lakilah yang berkewajiban memberi nafkah istrinya, baik berupa
sandang, pangan, dan papan. Jadi, harta warisan anak perempuan semakin
bertambah, sedangkan harta warisan anak laki-laki habis.
Dalam
keadaan seperti ini manakah di antara kaum laki-laki dan kaum wanita
yang lebih banyak menikmati harta dan lebih berbahagia keadaannya?
Laki-laki ataukah wanita? Inilah logika keadilan dalam agama, sehingga
pembagian hak laki-laki dua kali lipat lebih besar daripada hak kaum
wanita.
B. Hak Waris Kaum Wanita sebelum Islam
Sebelum
Islam datang, kaum wanita sama sekali tidak mempunyai hak untuk
menerima warisan dari peninggalan pewaris (orang tua ataupun
kerabatnya). Dengan dalih bahwa kaum wanita tidak dapat ikut berperang
membela kaum dan sukunya. Bangsa Arab jahiliah dengan tegas menyatakan,
"Bagaimana mungkin kami memberikan warisan (harta peninggalan) kepada
orang yang tidak bisa dan tidak pernah menunggang kuda, tidak mampu
memanggul senjata, serta tidak pula berperang melawan musuh." Mereka
mengharamkan kaum wanita menerima harta warisan, sebagaimana mereka
mengharamkannya kepada anak-anak kecil.
Sangat jelas bagi kita
bahwa sebelum Islam datang bangsa Arab memperlakukan kaum wanita secara
zalim. Mereka tidak memberikan hak waris kepada kaum wanita dan
anak-anak, baik dari harta peninggalan ayah, suami, maupun kerabat
mereka. Barulah setelah Islam datang ada ketetapan syariat yang memberi
mereka hak untuk mewarisi harta peninggalan kerabat, ayah, atau suami
mereka dengan penuh kemuliaan, tanpa direndahkan. Islam memberi mereka
hak waris, tanpa boleh siapa pun mengusik dan menentangnya. Inilah
ketetapan yang telah Allah pastikan dalam syariat-Nya sebagai keharusan
yang tidak dapat diubah.
Ketika turun wahyu kepada Rasulullah saw. berupa ayat-ayat tentang waris kalangan bangsa Arab pada saat itu
merasa tidak puas dan keberatan. Mereka sangat berharap kalau saja hukum
yang tercantum dalam ayat tersebut dapat dihapus (mansukh). Sebab
menurut anggapan mereka, memberi warisan kepada kaum wanita dan
anak-anak sangat bertentangan dengan kebiasaan dan adat yang telah lama
mereka amalkan sebagai ajaran dari nenek moyang.
Ibnu Jarir
ath-Thabari meriwayatkan sebuah kisah yang bersumber dari Abdullah Ibnu
Abbas r.a.. Ia berkata: "Ketika ayat-ayat yang menetapkan tentang
warisan diturunkan Allah kepada RasulNya --yang mewajibkan agar
memberikan hak waris kepada laki-laki, wanita, anak-anak, kedua orang
tua, suami, dan istri-- sebagian bangsa Arab merasa kurang senang
terhadap ketetapan tersebut. Dengan nada keheranan sambil mencibirkan
mereka mengatakan: 'Haruskah memberi seperempat bagian kepada kaum
wanita (istri) atau seperdelapan.' Memberikan anak perempuan setengah
bagian harta peninggalan? Juga haruskah memberikan warisan kepada
anak-anak ingusan? Padahal mereka tidak ada yang dapat memanggul senjata
untuk berperang melawan musuh, dan tidak pula dapat andil membela kaum
kerabatnya. Sebaiknya kita tidak perlu membicarakan hukum tersebut.
Semoga saja Rasulullah melalaikan dan mengabaikannya, atau kita meminta
kepada beliau agar berkenan untuk mengubahnya.' Sebagian dari mereka
berkata kepada Rasulullah: 'Wahai Rasulullah, haruskah kami memberikan
warisan kepada anak kecil yang masih ingusan? Padahal kami tidak dapat
memanfaatkan mereka sama sekali. Dan haruskah kami memberikan hak waris
kepada anak-anak perempuan kami, padahal mereka tidak dapat menunggang
kuda dan memanggul senjata untuk ikut berperang melawan musuh?'"
Inilah
salah satu bentuk nyata ajaran syariat Islam dalam menyantuni kaum
wanita; Islam telah mampu melepaskan kaum wanita dari kungkungan
kezaliman zaman. Islam memberikan hak waris kepada kaum wanita yang
sebelumnya tidak memiliki hak seperti itu, bahkan telah menetapkan
mereka sebagai ashhabul furudh (kewajiban yang telah Allah tetapkan
bagian warisannya). Kendatipun demikian, dewasa ini masih saja kita
jumpai pemikiran yang kotor yang sengaja disebarluaskan oleh orang-orang
yang berhati buruk. Mereka beranggapan bahwa Islam telah menzalimi kaum
wanita dalam hal hak waris, karena hanya memberikan separo dari hak
kaum laki-laki.
Anggapan mereka semata-mata dimaksudkan untuk
memperdaya kaum wanita tentang hak yang mereka terima. Mereka
berpura-pura akan menghilangkan kezaliman yang menimpa kaum wanita
dengan cara menyamakan hak kaum wanita dengan hak kaum laki-laki dalam
hal penerimaan warisan.
Mereka yang memiliki anggapan demikian
sama halnya menghasut kaum wanita agar mereka menjadi pembangkang dan
pemberontak dengan menolak ajaran dan aturan hukum dalam syariat Islam.
Sehingga pada akhirnya kaum wanita akan menuntut persamaan hak
penerimaan warisan yang sama dan seimbang dengan kaum laki-laki.
Yang
sangat mengherankan dan sulit dicerna akal sehat ialah bahwa mereka
yang berpura-pura prihatin tentang hak waris kaum wanita, justru mereka
sendiri sangat bakhil terhadap kaum wanita dalam hal memberi nafkah.
Subhanallah! Sebagai bukti, mereka bahkan menyuruh kaum wanita untuk
bekerja demi menghidupi diri mereka, di antara mereka bekerja di ladang,
di kantor, di tempat hiburan, bar, kelab malam, dan sebagainya.
Corak
pemikiran seperti ini dapat dipastikan merupakan hembusan dari Barat
yang banyak diikuti oleh orang-orang yang teperdaya oleh kedustaan
mereka. Kultur seperti itu tidak menghormati kaum wanita, bahkan tidak
menempatkan mereka pada timbangan yang adil. Budaya mereka memandang
kaum wanita tidak lebih sebagai pemuas syahwat. Mereka sangat bakhil
dalam memberikan nafkah kepada kaum wanita, dan mengharamkan wanita
untuk mengatur harta miliknya sendiri, kecuali dengan seizin kaum
laki-laki (suaminya). Lebih dari itu, budaya mereka mengharuskan kaum
wanita bekerja guna membiayai hidupnya. Kendatipun telah nyata demikian,
mereka masih menuduh bahwa Islam telah menzalimi dan membekukan hak
wanita.
C. Asbabun Nuzul Ayat-ayat Waris
Banyak
riwayat yang mengisahkan tentang sebab turunnya ayat-ayat waris, di
antaranya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Suatu
ketika istri Sa'ad bin ar-Rabi' datang menghadap Rasulullah saw. dengan
membawa kedua orang putrinya. Ia berkata, "Wahai Rasulullah, kedua putri
ini adalah anak Sa'ad bin ar-Rabi' yang telah meninggal sebagai syuhada
ketika Perang Uhud. Tetapi paman kedua putri Sa'ad ini telah mengambil
seluruh harta peninggalan Sa'ad, tanpa meninggalkan barang sedikit pun
bagi keduanya." Kemudian Rasulullah saw. bersabda, "Semoga Allah segera
memutuskan perkara ini." Maka turunlah ayat tentang waris yaitu
(an-Nisa': 11).
Rasulullah saw. kemudian mengutus seseorang kepada
paman kedua putri Sa'ad dan memerintahkan kepadanya agar memberikan dua
per tiga harta peninggalan Sa'ad kepada kedua putri itu. Sedangkan ibu
mereka (istri Sa'ad) mendapat bagian seperdelapan, dan sisanya menjadi
bagian saudara kandung Sa'ad.
Dalam riwayat lain, yang dikeluarkan
oleh Imam ath-Thabari, dikisahkan bahwa Abdurrahman bin Tsabit wafat
dan meninggalkan seorang istri dan lima saudara perempuan. Namun,
seluruh harta peninggalan Abdurrahman bin Tsabit dikuasai dan direbut
oleh kaum laki-laki dari kerabatnya. Ummu Kahhah (istri Abdurrahman)
lalu mengadukan masalah ini kepada Nabi saw., maka turunlah ayat waris
sebagai jawaban persoalan itu.
Masih ada sederetan riwayat sahih
yang mengisahkan tentang sebab turunnya ayat waris ini. Semua riwayat
tersebut tidak ada yang menyimpang dari inti permasalahan, artinya bahwa
turunnya ayat waris sebagai penjelasan dan ketetapan Allah disebabkan
pada waktu itu kaum wanita tidak mendapat bagian harta warisan.
D. Kajian terhadap Ayat-ayat Waris
Pertama:
Firman
Allah yang artinya "bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua
orang anak perempuan," menunjukkan hukum-hukum sebagai berikut:
- Apabila
pewaris (orang yang meninggal) hanya mempunyai seorang anak laki-laki
dan seorang anak perempuan, maka harta peninggalannya dibagi untuk
keduanya. Anak laki-laki mendapat dua bagian, sedangkan anak perempuan
satu bagian.
- Apabila ahli waris berjumlah banyak, terdiri dari
anak laki-laki dan anak perempuan, maka bagian untuk laki-laki dua kali
lipat bagian anak perempuan.
- Apabila bersama anak (sebagai ahli
waris) ada juga ashhabul furudh, seperti suami atau istri, ayah atau
ibu, maka yang harus diberi terlebih dahulu adalah ashhabul furudh.
Setelah itu barulah sisa harta peninggalan yang ada dibagikan kepada
anak. Bagi anak laki-laki dua bagian, sedangkan bagi anak perempuan satu
bagian.
- Apabila pewaris hanya meninggalkan satu anak
laki-laki, maka anak tersebut mewarisi seluruh harta peninggalan.
Meskipun ayat yang ada tidak secara sharih (tegas) menyatakan demikian,
namun pemahaman seperti ini dapat diketahui dari kedua ayat yang ada.
Bunyi penggalan ayat yang dikutip sebelumnya (Butir 1) rnenunjukkan
bahwa bagian laki-laki adalah dua kali lipat bagian anak perempuan.
Kemudian dilanjutkan dengan kalimat (artinya) "jika anak perempuan itu
seorang saja, maka ia memperoleh separo harta". Dari kedua penggalan
ayat itu dapat ditarik kesimpulan bahwa bila ahli waris hanya terdiri
dari seorang anak laki-laki, maka ia mendapatkan seluruh harta
peninggalan pewaris.
- Adapun bagian keturunan dari anak laki-laki (cucu pewaris), jumlah bagian mereka sama seperti anak, apabila sang anak tidak ada (misalnya meninggal terlebih dahulu). Sebab penggalan ayat (artinya) "Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu", mencakup keturunan anak kandung. Inilah ketetapan yang telah menjadi ijma'.
Kedua:
Hukum
bagian kedua orang tua. Firman Allah (artinya): "Dan untuk dua orang
ibu-hapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
maka ibunya mendapat seperenam."
Penggalan ayat ini menunjukkan
hukum-hukum sebagai berikut:
- Ayah dan ibu masing-masing mendapatkan seperenam bagian apabila yang meninggal mempunyai keturunan.
- Apabila
pewaris tidak mempunyai keturunan, maka ibunya mendapat bagian
sepertiga dari harta yang ditinggalkan. Sedangkan sisanya, yakni dua per
tiga menjadi bagian ayah. Hal ini dapat dipahami dari redaksi ayat yang
hanya menyebutkan bagian ibu, yaitu sepertiga, sedangkan bagian ayah
tidak disebutkan. Jadi, pengertiannya, sisanya merupakan bagian ayah.
- Jika selain kedua orang tua, pewaris mempunyai saudara (dua orang atau lebih), maka ibunya mendapat seperenam bagian. Sedangkan ayah mendapatkan lima per enamnya. Adapun saudara-saudara itu tidaklah mendapat bagian harta waris dikarenakan adanya bapak, yang dalam aturan hukum waris dalam Islam dinyatakan sebagai hajib (penghalang). Jika misalnya muncul pertanyaan apa hikmah dari penghalangan saudara pewaris terhadap ibu mereka --artinya bila tanpa adanya saudara (dua orang atau lebih) ibu mendapat sepertiga bagian, sedangkan jika ada saudara kandung pewaris ibu hanya mendapatkan seperenam bagian? Jawabannya, hikmah adanya hajib tersebut dikarenakan ayahlah yang menjadi wali dalam pernikahan mereka, dan wajib memberi nafkah mereka. Sedangkan ibu tidaklah demikian. Jadi, kebutuhannya terhadap harta lebih besar dan lebih banyak dibandingkan ibu, yang memang tidak memiliki kewajiban untuk membiayai kehidupan mereka.
Ketiga:
Utang
orang yang meninggal lebih didahulukan daripada wasiat. Firman Allah
(artinya) "sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar utangnya." Secara zhahir wasiat harus didahulukan ketimbang
membayar utang orang yang meninggal. Namun, secara hakiki, utanglah yang
mesti terlebih dahulu ditunaikan. Jadi, utang-utang pewaris terlebih
dahulu ditunaikan, kemudian barulah melaksanakan wasiat bila memang ia
berwasiat sebelum meninggal. Inilah yang diamalkan Rasulullah saw..
Diriwayatkan
dari Ali bin Abi Thalib: "Sesungguhnya kalian telah membaca firman
Allah [tulisan Arab] dan Rasulullah telah menetapkan dengan menunaikan
utang-utang orang yang meninggal, lalu barulah melaksanakan wasiatnya."
Hikmah
mendahulukan pembayaran utang dibandingkan melaksanakan wasiat adalah
karena utang merupakan keharusan yang tetap ada pada pundak orang yang
utang, baik ketika ia masih hidup ataupun sesudah mati. Selain itu,
utang tersebut akan tetap dituntut oleh orang yang mempiutanginya,
sehingga bila yang berutang meninggal, yang mempiutangi akan menuntut
para ahli warisnya.
Sedangkan wasiat hanyalah suatu amalan sunnah
yang dianjurkan, kalaupun tidak ditunaikan tidak akan ada orang yang
menuntutnya. Di sisi lain, agar manusia tidak melecehkan wasiat dan jiwa
manusia tidak menjadi kikir (khususnya para ahli waris), maka Allah SWT
mendahulukan penyebutannya.
Keempat:
Firman
Allah (artinya) "orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui
siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu."
Penggalan ayat ini dengan tegas memberi isyarat bahwa Allah yang
berkompeten dan paling berhak untuk mengatur pembagian harta warisan.
Hal ini tidak diserahkan kepada manusia, siapa pun orangnya, cara
ataupun aturan pembagiannya, karena bagaimanapun bentuk usaha manusia
untuk mewujudkan keadilan tidaklah akan mampu melaksanakannya secara
sempurna. Bahkan tidak akan dapat merealisasikan pembagian yang adil
seperti yang telah ditetapkan dalam ayat-ayat Allah.
Manusia tidak
akan tahu manakah di antara orang tua dan anak yang lebih dekat atau
lebih besar kemanfaatannya terhadap seseorang, tetapi Allah, Maha Suci
Dzat-Nya, Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Pembagian yang
ditentukan-Nya pasti adil. Bila demikian, siapakah yang dapat membuat
aturan dan undang-undang yang lebih baik, lebih adil, dan lebih relevan
bagi umat manusia dan kemanusiaan selain Allah?
Kelima:
Firman
Allah (artinya) "Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika
istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari
harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau
(dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta
yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai
anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar utang-utangmu." Penggalan ayat tersebut menjelaskan tentang
hukum waris bagi suami dan istri. Bagi suami atau istri masing-masing
mempunyai dua cara pembagian.
Bagian suami:
- Apabila
seorang istri meninggal dan tidak mempunyai keturunan (anak), maka suami
mendapat bagian separo dari harta yang ditinggalkan istrinya.
- Apabila seorang istri meninggal dan ia mempunyai keturunan (anak), maka suami mendapat bagian seperempat dari harta yang ditinggalkan.
Bagian istri:
- Apabila seorang suami meninggal dan dia tidak mempunyai anak (keturunan), maka bagian istri adalah seperempat.
- Apabila seorang suami meninggal dan dia mempunyai anak (keturunan), maka istri mendapat bagian seperdelapan.
Keenam:
Hukum
yang berkenaan dengan hak waris saudara laki-laki atau saudara
perempuan seibu. Firman-Nya (artinya): "Jika seseorang mati, baik
laki-laki maupun perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu
saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu
dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya
atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli
waris). "
Yang dimaksud ikhwah (saudara) dalam penggalan ayat ini
(an-Nisa': 12) adalah saudara laki-laki atau saudara perempuan "seibu
lain ayah". Jadi, tidak mencakup saudara kandung dan tidak pula saudara
laki-laki atau saudara perempuan "seayah lain ibu". Pengertian inilah
yang disepakati oleh ulama.
Adapun yang dijadikan dalil oleh ulama
ialah bahwa Allah SWT telah menjelaskan --dalam firman-Nya-- tentang
hak waris saudara dari pewaris sebanyak dua kali. Yang pertama dalam
ayat ini, dan yang kedua pada akhir surat an-Nisa'. Dalam ayat yang
disebut terakhir ini, bagi satu saudara mendapat seperenam bagian,
sedangkan bila jumlah saudaranya banyak maka mendapatkan sepertiga dari
harta peninggalan dan dibagi secara rata.
Sementara itu, ayat
akhir surat an-Nisa' menjelaskan bahwa saudara perempuan, jika
sendirian, mendapat separo harta peninggalan, sedangkan bila dua atau
lebih ia mendapat bagian dua per tiga. Oleh karenanya, pengertian
istilah ikhwah dalam ayat ini harus dibedakan dengan pengertian ikhwah
yang terdapat dalam ayat akhir surat an-Nisa' untuk meniadakan
pertentangan antara dua ayat.
Sementara itu, karena saudara
kandung atau saudara seayah kedudukannya lebih dekat --dalam urutan
nasab-- dibandingkan saudara seibu, maka Allah menetapkan bagian
keduanya lebih besar dibandingkan saudara seibu. Dengan demikian, dapat
dipastikan bahwa pengertian kata ikhwah dalam ayat tersebut (an-Nisa':
12) adalah 'saudara seibu', sedangkan untuk kata yang sama di dalam
akhir surat an-Nisa' memiliki pengertian 'saudara kandung' atau 'saudara
seayah'.
Rincian Beberapa Keadaan Bagian Saudara Seibu
- Apabila
seseorang meninggal dan mempunyai satu orang saudara laki-laki seibu
atau satu orang saudara perempuan seibu, maka bagian yang diperolehnya
adalah seperenam.
- Jika yang meninggal mempunyai saudara seibu dua orang atau lebih, mereka mendapatkan dua per tiga bagian dan dibagi secara rata. Sebab yang zhahir dari firman-Nya [tulisan Arab] menunjukkan adanya keharusan untuk dibagi dengan rata sama besar-kecilnya. Jadi, saudara laki-laki mendapat bagian yang sama dengan bagian saudara perempuan.
Makna Kalaalah
Pengertian
kalaalah ialah seseorang meninggal tanpa memiliki ayah ataupun
keturunan; atau dengan kata lain dia tidak mempunyai pokok dan cabang.
Kata kalaalah diambil dari kata al-kalla yang bermakna 'lemah'. Kata ini
misalnya digunakan dalam kalimat kalla ar-rajulu, yang artinya 'apabila
orang itu lemah dan hilang kekuatannya'.
Ulama sepakat (ijma')
bahwa kalaalah ialah seseorang yang mati namun tidak mempunyai ayah dan
tidak memiliki keturunan. Diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a.,
ia berkata: "Saya mempunyai pendapat mengenai kalaalah. Apabila pendapat
saya ini benar maka hanyalah dari Allah semata dan tidak ada sekutu
bagi-Nya. Adapun bila pendapat ini salah, maka karena dariku dan dari
setan, dan Allah terbebas dari kekeliruan tersebut. Menurut saya,
Kalaalah adalah orang yang meninggal yang tidak mempunyai ayah dan anak.
"
Ketujuh:
Firman Allah (artinya) "sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sudah dibayar utangnya dengan
tidak membebani mudarat (kepada ahli waris)". Ayat tersebut menunjukkan
dengan tegas bahwa apabila wasiat dan utang nyata-nyata mengandung
kemudaratan, maka wajib untuk tidak dilaksanakan. Dampak negatif
mengenai wasiat yang dimaksudkan di sini, misalnya, seseorang yang
berwasiat untuk menyedekahkan hartanya lebih dari sepertiga. Sedangkan
utang yang dimaksud berdampak negatif, misalnya seseorang yang mengakui
mempunyai utang padahal sebenamya ia tidak berutang. Jadi, baik wasiat
atau utang yang dapat menimbulkan mudarat (berdampak negatif) pada ahli
waris tidak wajib dilaksanakan.
Hukum Keadaan Saudara Kandung atau Seayah
Firman
Allah SWT dalam surat an-Nisa': 176 mengisyaratkan adanya beberapa
keadaan tentang bagian saudara kandung atau saudara seayah.
- Apabila
seseorang meninggal dan hanya mempunyai satu orang saudara kandung
perempuan ataupun seayah, maka ahli waris mendapat separo harta
peninggalan, bila ternyata pewaris (yang meninggal) tidak mempunyai ayah
atau anak.
- Apabila pewaris mempunyai dua orang saudara kandung
perempuan atau seayah ke atas, dan tidak mempunyai ayah atau anak, maka
bagian ahli waris adalah dua per tiga dibagi secara rata.
- Apabila
pewaris mempunyai banyak saudara kandung laki-laki dan saudara kandung
perempuan atau seayah, maka bagi ahli waris yang laki-laki mendapatkan
dua kali bagian saudara perempuan.
- Apabila seorang saudara kandung perempuan meninggal, dan ia tidak mempunyai ayah atau anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi bagian saudara kandung laki-lakinya. Apabila saudara kandungnya banyak --lebih dari satu-- maka dibagi secara rata sesuai jumlah kepala. Begitulah hukum bagi saudara seayah, jika ternyata tidak ada saudara laki-laki yang sekandung atau saudara perempuan yang sekandung.
oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni
0 komentar:
Posting Komentar