Lubangnya Kapal Kita
BANYAK pujangga, guru, ustadz/ustadza, inspirator,
motivator, trainer mengatakan bahwa existensi manusia di dunia tak
ubahnya laksana berada dalam kapal/perahu yang super (duper) besar.
Menjalani hiruk pikuk kehidupan di dalamnya, ibarat tengah berlayar
mengarungi lautan yang sangat luas. Tentu, saya dan Anda semua tengah
berada di dalamnya.
Bisa dibayangkan, berat ringannya hidup selama di dunia sama dengan
berat ringannya hidup dalam pelayaran. Saat kita tertimpa
masalah/problematika ibaratnya kapal sedang menghadapi terjangan ombak
yang besar atau angin dan cuaca yang buruk. Namun suatu saat, kita juga
merasakan hidup yang bahagia dan itu laksana kapal sedang berada di laut
yang ombaknya kecil, anging berhembus sepoi-sepoi, dan cuaca yang cerah
memanjakan penumpangnya.
Begitu juga bicara tentang perbekalan yang diperlukan selama
perjalanan. Ketika bekal makanan, minuman, dan lain-lain telah menipis,
singgahlah kita di pelabuhan/daratan untuk mengisi kembali dan
mengumpulkan berbagai macam bekal yang diperlukan.
Begitu pula dalam kehidupan kita yang sesungguhnya, bekal-bekal itu
bisa jadi gambaran bertambah dan berkurangnya tingkat keimanan. Bila
iman telah menipis, taqwa makin habis, berarti memang perlu di-recharge.
Maka membaca-baca buku tentang keIslaman, hadir di tempat-tempat
pengajian, mendengarkan ceramah-ceramah agama, dan kegiatan yang
lainnya, mutlak harus dilakukan bila tidak ingin hidup dalam kekurangan
(baca: kesesatan).
Ya, karena keimanan/ketaqwaan inilah, sebaik-baik bekal untuk
menemani tujuan hidup yang telah kita rencanakan dan yang Allah
gariskan. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman;
وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُوْلِي الأَلْبَابِ
Artinya “Maka berbekallah kalian, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa.” (QS: Al-Baqarah: 197)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam pun berpesan tentang tema kapal dan taqwa ini. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wassallam
menggambarkan kehidupan kita dengan hidup di sebuah kapal yang sedang
berlayar mengarungi lautan yang luas. Pesan yang disampaikan Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wassallam kepada kita begitu dalam dan tajam.
“Perumpamaan orang yang berpegang dengan hukum-hukum Allah dan
yang melanggarnya itu bagaikan kaum yang sama-sama menaiki kapal,
sebagian ada yang di atas dan sebagian ada yang di bawah, orang-orang
yang berada di bawah apabila ingin mengambil air mereka mesti melalui
orang-orang yang berada di atas, lalu orang-orang yang di bawah itu
berkata, “Seandainya kita lubangi (kapal ini) untuk memenuhi kebutuhan
kita maka kita tidak usah mengganggu orang-orang yang ada di atas kita!”
Maka jika orang-orang yang di atas itu membiarkan kemauan mereka yang
di bawah, akan tenggelamlah semuanya, dan jika mereka menahan tangan
orang-orang, yang di bawah, maka akan selamat, dan selamatlah semuanya.” (HR. Bukhari).
Pesan singkat namun sarat hikmah yang dalam dan aplikatif diterapkan
dalam kehidupan. Kita bisa bayangkan bagaimana bila perahu yang kita
tumpangi itu bocor maka perlahan-lahan kita akan tenggelam. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam jelas tidak menginginkan hal itu terjadi kepada umatnya. Pesan tersebut bisa dipaparkan secara rinci sebagai berikut:
Pertama, ternyata dalam kehidupan nyata banyak
diantara kita dan orang-orang di sekitar yang berusaha melubangi perahu
kehidupan ini. Entah perbuatan itu kita sadari atau tidak, kita sengaja
atau tidak. Secara langsung dan tak langsung, perbuatan-perbuatan itu
menjadi salah satu penyebab bocornya perahu kehidupan. Contoh: ada
beberapa pejabat (tidak semuanya) ingin dapat harta yang banyak dan
tahta yang kuat tak tergantikan, lalu ‘potong kompas’ menghalalkan
segala cara untuk mencapainya. Bisa dengan korupsi atau mark up
anggaran atau suap sana-sini. Kasus cicak buaya dari jilid 1 sampai 3
(entah sampai berapa jilid lagi) memperjelas pesan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam. Yang haram jadi halal dan sebaliknya, yang kawan jadi lawan dan sebaliknya.
Kedua, pelubang perahu yang dimaksud Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam
adalah sejenis manusia yang memiliki karakter tidak saja egois, tapi
juga manusia yang hobi berbuat maksiat atas aturan Allah dan Rasul-Nya.
Inilah gambaran orang yang melubangi perahu. Misalnya: ketika kita
meninggalkan shalat fardlu/puasa ramadhan, maka kita sudah termasuk
golongan orang-orang yang melubangi perahu. Ketika kita asyik memperkaya
diri, tanpa peduli tetangga kiri-kanan yang lagi kesusahan, maka kita
sudah termasuk golongan orang-orang yang melubangi perahu. Mungkin kita
berpikir, “Ah..cuma saya saja kok yang gak shalat, yang lain kan masih
banyak yang shalat. Dan gak akan menjadi lubang yang besar dalam perahu
ini.” Bila pikiran seperti ini yang muncul dalam benak kita, maka bisa
dipastikan ini salah besar. Karena kalau hanya kita seorang yang punya
pikiran seperti itu, memang efeknya tidak akan besar, tapi coba
bayangkan bila sebagian besar rakyat di negeri ini berpikiran yang sama.
Lubang yang kecil-kecil tadi tentu menjadi lubang-lubang yang semakin
banyak dan semakin besar. Pada akhirnya, perahu ini akan tenggelam
perlahan-lahan dengan ‘baik’.
Ketiga, harus ada sebagian kecil atau sebagian besar
dari penumpang perahu ini, yang berperan sebagai pemberi peringatan
atau pemberi teguran kepada siapa saja yang secara sadar atau tidak,
menjadi pelubang perahu. Segolongan manusia pemberi peringatan/teguran
ini harus selalu waspada dan istiqomah mengawasi dan memberi nasehat
agar seluruh penumpang kapal/perahu senantiasa berbuat kebaikan dan
berusaha me-minimalisir perbuatan yang bisa merugikan seluruh penumpang
kapal. Segolongan manusia pemberi peringatan/teguran ini juga harus peka
terhadap persoalan-persoalam yang terjadi di dalam kapal/perahu, agar
seluruh penumpang hidup harmonis, bahagia, tentram dan pada akhirnya
sampai selamat sampai di tujuan.
Setiap ada yang melakukan pelanggaran, segera diingatkan. Setiap ada
yang melakukan kemaksiatan, segera dihukum dan dinasehati. Berat memang,
apalagi bila segolongan orang ini jumlahnya minoritas. Misal: ada
sebuah kebijakan bahwa pabrik-pabrik miras harus ditutup dan dilarang
ada di negeri ini, karena telah meracuni dan menghancurkan generasi muda
harapan bangsa. Maka sebagai segolongan umat yang memiliki pemikiran
yang sehat dan ‘waras’ tentu harus mendukung sepenuhnya sesuai dengan
kemampuan kita.
Ala kulli hal, bila negeri yang gemah ripah loh jinawi-toto tentrem kertoraharjo
ini, telah terjadi bencana yang datang silih berganti. Maka ketahuilah
perahu kita ini sudah banyak berlubang, perahu ini telah dilubangi oleh
para penumpang-penumpang yang hanya memikirkan perut mereka sendiri.
Perahu ini telah retak, kata Franky Sahilatua. Artinya siap-siap
tenggelam.
Segolongan umat yang senantiasa memberi peringatan/teguran tidak
pernah digubris. Bahkan mereka ini dianggap tidak
demokratis/fundamentalis dan lebih menyakitkan lagi mereka ini sering
diperlakukan bak “teroris”.
Yang mayoritas adalah orang-orang yang hobinya melubangi perahu, dan
yang minoritas adalah yang menyeru, mengingatkan dan menasehati kepada
jalan kebaikan. Saya dan Anda termasuk yang mana?
Yang mayoritas adalah orang-orang yang hobinya melubangi perahu, dan yang minoritas adalah yang menyeru.
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Unisma
0 komentar:
Posting Komentar