Demokrasi dalam Pandangan Islam
Assalamualaikum wr wb.
” Islam adalah Agama Demokrasi !!! “ Itulah kalimat yang seringkali
terucap oleh sebagian kaum Muslimin tentang Hubungan Islam dan
Demokrasi. Hmm… Benarkah bahwa Islam adalah agama demokrasi ?
Istilah ” Demokrasi ” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di
Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap
sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum
demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan
dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18,
bersamaan dengan perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.
Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/crateinpemerintahan,
sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih
kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam
bidang ilmu politik.
Hakikat demokrasi yang sebenarnya adalah proses penetapan hukum
di tengah-tengah manusia berdasarkan kehendak rakyat secara mayoritas.
Ide demokrasi yang dikembangkan oleh Voltaire dan Montesquie dalam
konteks kenegaraan ini sebenarnya telah menetapkan manusia sebagai
pembuat hukum (Musyarri’), bukan Al Khaliq. Dalam
format negara demokrasi, akan dianggap tidak demokratis kalau hukum
yang ditetapkan berdasarkan hukum Tuhan. Oleh karena itu, ide
demokrasi ini sebenarnya adalah proses pemisahan agama dari negara (fashluddin ‘an dawlah). Falsafah Barat, the grand process of modernization, berpijak pada pemisahan masyarakat politik dari agama dan dari strukutur agama (uneklesastikal structure).
Padahal Allah SWT berfirman :
” Dan hendaklah kamu
memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah,
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah
kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.”” (Qs: Al-Maaidah:49).
Sebagian kaum muslimin meyakini bahwa musyawarah adalah substansi
dari demokrasi. Bahkan, mereka mengatakan bahwa jauh sebelum demokrasi
di lahirkan masyarakat barat, Islam terlebih dahulu menancapkan
prinsip-prinsip kehidupan yang demokratis. Dengan menafikan pengertian
karakter dari demokrasi itu sendiri, demokrasi dipahami secara
sederhana sebagai proses pemilihan yang melibatkan banyak orang untuk
mengangkat seorang pemimpin. Menurut mereka adanya pemilu, meminta
pendapat rakyat, menegakkan ketetapan mayoritas, multi partai politik,
kebebasan pers, mengeluarkan pendapat, otoritas pengadilan adalah
bagian kehidupan demokrasi yang substansinya sudah ada didalam
kehidupan Islam. Padahal literatur-literatur yang membahas
teori-teori politik dan demokrasi tidaklah memberikan pengertian yang
sesederhana pemahaman di atas. Secara mendasar, teori demokrasi adalah
pemerintahan yang meletakkan kedaulatan di tangan rakyat (as siyadatu lir ra’iyyah).
Para pemimpin yang diangkat dalm sistem demokrasi terikat dengan
kontrak sosial untuk melaksankan aspirasi rakyat. Adanya kritik,
koreksi bahkan pemecatan pemimpin dalam sistem demokrasi semuanya
terkait dengan aspirasi rakyat.
Bertolak belakang dengan demokrasi, pemerintah yang dibangun Islam meletakkan kedaulatan di tangan syariat (as siyadah li asy-syar’i).
Pemimpin yang diangkat oleh publik di dalam Islam melaui proses baiat
adalah bertugas menyelenggarakan pengaturan urusan publik (ri’ayah asyu’uni an-nas) sesuai dengan hukum Islam. Adanya aktiftas mengoreksi penguasa (muhasabah li al hukam)
sebagai bagian dari aktifitas amar ma’ruf nahi mungkar tidak bisa
disamakan dengan aktifitas kritik atau koreksi, apalagi aksi oposisi
didalam demokrasi. Sebab, amar ma’uf nahi mungkar bertujuan untuk
meluruskan penguasa agar kembali pada hukum-hukum Islam, sedangkan
aktifitas kritik pada sistem demokrasi bertujuan mengembalikan
kedaulatan agar kembali kepada rakyat. Bahkan, gerakan oposisi pada
sistem demokrasi sering ditujukan untuk menjatuhkan pemerintah yang
sah (dan hal ini tidak diperbolehkan di dalam Sistem Islam selama
penguasa tersebut tidak melakukan kekufuran yang nyata, sebagaimana
hadist Rasulullah saw. dari Ubadah bin Shamit: “Dan hendaklah
kami tidak merampas kekuasaan dari yang berhak, kecuali [sabda rasul]
apabila kalian melihat kekufuran yang nyata yang dapat dibuktikan di
sisi Allah.” (HR. Bukhari muslim)).
2 pokok dasar yang menurut saya merupakan bukti bahwa Demokrasi tidak sejalan dengan Islam adalah :
- Sistem Politik yang dianut islam berpegang teguh pada konsep Kedaulatan Tuhan. Artinya, segala hukum yang berlaku di negara tersebut harus sesuai dengan Hukum Tuhan atau Al-Qur’an dan As-sunnah. Berbeda dengan Demokrasi yang memegang konsep Kedaulatan Rakyat. Artinya, segala hukum yang berlaku di negara tersebut harus sesuai dengan keinginan dan kehendak rakyat. Inilah yang menyebabkan munculnya ideologi Sekulerisme.
- Dalam menentukan sebuah pilihan, Islam menjunjung tinggi proses Musyawarah. Sedangkan Demokrasi, keputusan mutlak seluruhnya pada suara mayoritas, maka dalam Islam tidak demikian. Keputusan yang membutuhkan ijtihad, strategi dan pemikiran mendalam diserahkan kepada para mujtahid dan para pakar yang bersangkutan, untuk dipilih pendapat yang terkuat dan paling mendekati kebenaran. Pada kasus Perang Badar, misalnya, Rasulullah saw. hanya mengambil pendapat Khubab ibn Mundzir ra. dan tidak meminta pendapat dari seluruh anggota legiun Perang Badar. Sementara itu, perkara yang bersifat teknis, seperti pemilihan kepala negara atau ketua organisasi, diserahkan kepada suara mayoritas. Sehingga analogi musyawarah sebagai substansi demokrasi adalah bathil pula adanya.
Jadi inilah kebebasan agama demokrasi:
Melepaskan diri dari agama Allah, syari’at-Nya, dan melanggar
batasan-batasannya. Adapun hukum undang-undang bumi dan aturannya maka
itu selalu dijaga, dijunjung tinggi dan disucikan (disakralkan) serta
dilindungi dalam agama demokrasi mereka yang busuk, bahkan orang yang
berusaha melanggarnya, menentangnya, atau menggugurkannya dia akan
merasakan sangsinya…
0 komentar:
Posting Komentar