Takut akan Bayangan
Di sebuah daerah nan jauh dari kota, seorang pemuda terhinggap
penyakit aneh. Ia begitu gusar dengan keadaannya. Selalu gelisah. Karena
penyakit itu, sang pemuda tak berani keluar rumah siang hari. Takut.
Sangat takut.
Sebenarnya, penyakit itu tampak sederhana. Sang pemuda begitu
merinding ketakutan ketika melihat bayangan hitam dirinya akibat sorotan
cahaya. Tiap kali menemukan bayangan hitam yang mengikuti geraknya, si
pemuda berteriak histeris. “Takut! Takut!” Mungkin, bayangan itu
terlihat lain olehnya. Seperti sosok hitam misterius yang terus
membayangi ke mana pun ia bergerak.
Beberapa tabib telah didatangkan. Ada yang ahli gangguan setan. Ada
yang ahli jiwa. Ada juru nasihat. Dan seterusnya. Tapi, semua belum
menggembirakan. Sang pemuda masih saja takut. Ia seperti tak akan pernah
sembuh.
Hingga suatu kali, seorang guru berkunjung. Dari balik rumahnya nan
gelap, sang pemuda mempersilakan kakek tua itu masuk. “Silakan masuk,
Guru!” ucapnya pelan. Kakek dan pemuda itu pun duduk dalam ruang gelap.
Nyaris, tak seberkas sinar pun bisa menelusup dari celah bilik rumah
itu. Ruang-ruang di situ begitu rapat. Gelap dan pengap.
“Ada apa, anakku? Kenapa kau mengurung diri seperti ini?” suara sang
kakek memulai pembicaraan. Wajahnya nan teduh bisa terasa jelas oleh
sang pemuda. Pertanyaan itu seperti mengungkit-ungkit rasa kesadarannya
yang tertimbun takut.
“Aku takut, Guru! Takut!” jawabnya singkat. “Takut apa?” tanya sang
guru lagi. “Aku takut dengan bayangan hitam yang terus membuntutiku. Ia
seperti menunggu saat aku lengah. Mungkin, sosok hitam itu akan
membunuhku!” ungkapnya sambil sesekali menahan tangis.
“Anakku. Tahukah kamu kalau bayangan hitamlah yang mengantarku ke
sini. Kini, ia tak dapat masuk bersamaku di ruang ini. Padahal, ia
sahabat terbaikku. Kemana pun aku pergi, ia selalu menemani,” ucap sang
guru tenang.
“Tapi guru, ia begitu menyeramkan!” sergah sang pemuda bersemangat.
Sang kakek pun tersenyum. Ia memegang pundak pemuda itu, lembut.
“Anakku. Jangan terpengaruh dengan bayangan hitam. Karena itu pertanda
kalau seseorang sedang tersorot cahaya,” suara sang kakek sambil menahan
nafas.
“Anakku,” suaranya lagi agak lebih berat. “Songsonglah sumber cahaya,
kau akan bahagia. Jangan terus menatap bayangan gelapnya. Karena kau
akan takut melangkah!” ucap sang guru meyakinkan.
Dinamika hidup kerap menawarkan dua sisi. Satu sisi menawarkan
peluang, dan sisi lain memunculkan ancaman. Ibarat cahaya, peluang
selalu memberikan harapan. Dan cahaya yang menyorot sebuah benda, pasti
akan membentuk bayangan. Itulah sisi gelap sebuah ancaman.
Persoalannya, orang kadang lebih sering melihat sisi gelap ancaman
daripada harapan. Mau nikah, takut cerai. Mau bisnis, takut rugi. Mau
jadi pejabat, takut kena hujat. Dan seterusnya. Orang pun terkungkung
pada rasa takut bayangan hitam yang sebenarnya sisi lain dari sebuah
peluang.
Menarik apa yang pernah diajarkan seorang ulama seperti Ibnu Qayyim
soal cahaya harap dan ancaman takut. Beliau mengatakan, “Harap dan takut
tak ubahnya seperti dua sayap pada seekor burung.” Kepakan keduanya
akan menerbangkan burung kemana pun ia pergi.
Mungkin benar apa yang dikatakan kakek guru di atas. Songsonglah
cahaya harap, dan jadikan bayangan ancaman sebagai teman pengawas. Insya
Allah, kita bisa terbang ke puncak cita-cita.
oase-iman
0 komentar:
Posting Komentar