Perhatikan Gua-mu
Dua orang pemuda tampak berdiskusi di sebuah mulut gua. Sesekali,
mereka memandang ke arah dalam gua yang begitu gelap. Gelap sekali!
Hingga, tak satu pun benda yang tampak dari luar. Hanya irama suara
serangga yang saling bersahutan.
“Guru menyuruh kita masuk ke sana. Menurutmu, gimana? Siap?” ucap
seorang pemuda yang membawa tas besar. Tampaknya, ia begitu siap dengan
berbagai perbekalan.
“Menurut petunjuk guru, gua ini bukan sekadar gelap. Tapi, panjang
dan banyak stalagnit, kelelawar, dan serangga,” sahut pemuda yang hanya
membawa tas kecil. Orang ini seperti punya kesiapan lain di luar
perbekalan alat. “Baiklah, mari kita masuk!” ajaknya sesaat kemudian.
Tidak menyangka dengan ajakan spontan itu, pemuda bertas besar pun
gagap menyiapkan senter. Ia masuk gua beberapa langkah di belakang
pemuda bertas kecil. “Aneh!” ucapnya kemudian. Ia heran dengan rekannya
yang masuk tanpa penerangan apa pun.
Dari mulai beriringan, perjalanan keduanya mulai berjarak. Pemuda
bertas besar berjalan sangat lambat. Ia begitu asyik menyaksikan
keindahan isi gua melalui senternya: kumpulan stalagnit yang terlihat
berkilau karena tetesan air jernih, panorama gua yang membentuk aneka
ragam bentukan unik, dan berbagai warna-warni serangga yang berterbangan
karena gangguan cahaya. “Aih, indahnya!” gumamnya tak tertahan.
Keasyikan itu menghilangkannya dari sebuah kesadaran. Bahwa ia harus
melewati gua itu dengan selamat dan tepat waktu. Bahkan ia tidak lagi
tahu sudah di mana rekan seperjalanannya. Ia terus berpindah dari satu
panorama ke panorama lain, dari satu keindahan ke keindahan lain.
Di ujung gua, sang guru menanyakan rahasia pemuda bertas kecil yang
bisa jauh lebih dulu tiba. “Guru…,” ucap sang pemuda begitu tenang.
“…dalam gelap, aku tidak lagi mau mengandalkan mata zhahir. Mata
batinkulah yang kuandalkan. Dari situ, aku bisa merasakan bimbingan
hembusan angin ujung gua, kelembaban cabang jalan gua yang tak berujung,
batu besar, dan desis ular yang tak mau diganggu,” jelas sang pemuda
begitu meyakinkan.
Ada banyak “gua” dalam hidup ini. Gua ketika seseorang kehilangan
pekerjaan. Gua di saat gadis atau lajang terus-menerus tertinggal
peluang berjodoh. Gua di saat orang alim menjadi sulit dipercaya. Gua
ketika bencana begitu buta. Dan, berbagai “gua” lain yang kadang dalam
gelapnya menyimpan seribu satu keindahan yang membuai.
Sebagian kita, suka atau tidak, harus menempuh rute jalannya yang
gelap, lembab, dan penuh jebakan. Sayangnya, tidak semua kita mampu
menyiapkan bekal secara pas. Kita kadang terjebak dengan kelengkapan
alat. Dan, melupakan bekalan lain yang jauh lebih jitu dan berdaya guna:
kejernihan mata hati.
Mata hatilah yang mampu menembus pandangan di saat “gelap”. Mata
hatilah yang bisa membedakan antara angin tuntunan dengan yang tipuan.
Kejernihannya pula yang bisa memantulkan ‘cahaya’ yang sejati.
by. eramuslim
0 komentar:
Posting Komentar