Tentang Jodoh Kalau Sudah Lelah Berikhtiar, Mungkin Ini Saatnya Kamu Pasrah dan Sabar Menunggu
Saya bingung, mengapa setiap kali ada tulisan tentang jodoh, galau,
dan sejenisnya, begitu banyak yang memberikan respon. Antusiasme ini
adalah hal menarik. Paling tidak untuk saya. Dari situ saya berpikir,
apa mungkin ini karena mereka, kita, atau kalian yang begitu senang
membaca tulisan bertema demikian punya waktu yang lebih luang
dibandingkan mereka yang sudah menikah?
Atau mungkin, dunia maya didominasi oleh mereka yang berusia
nanggung. Mereka yang terhitung masih produktif namun belum juga
menambatkan hati secara hakiki. Entahlah, yang pasti, perkara jodoh
adalah salah satu tema yang saya yakin tidak akan habis dibahas walau
sampai, uhmm, sampai akhirnya kita menikah paling tidak.
Percayalah, manusia hanya bisa menentukan rencana, target, atau harapan. Pada akhirnya Tuhan lah Yang Maha Menentukan.
Meyakinkan diri sendiri akan keberadaan Tuhan bukan merupakan hal
mudah. Nabi Muhammad saja membutuhkan waktu belasan tahun untuk
mendakwahkan ajaran agama-Nya. Karena hal paling esensial dalam beragama
adalah mempercayai, dengan hati, lisan, dan perbuatan.
Begitu juga dengan urusan jodoh. Seperti halnya hujan, seberat apapun
awan menggantung di udara, segelap apapun langit saat siang, toh tidak
ada seorang manusia pun yang tahu apakah benar akan turun hujan. Kita
boleh saja menuliskan harap tentang masa depan. Tentang usia berapa kita
idealnya menikah, atau menimang anak pertama, atau mengantar mereka ke
sekolah. Tidak ada yang melarangnya sama sekali.
Namun, akan lebih baik jika itu semua dibalut dalam doa yang tulus. Dengan segenap rasa pasrah akan kebesaran kuasa Tuhan.
Untuk mencapai titik pasrah yang sebenarnya. Adalah untuk merelakan
apa yang sudah terjadi. Mengejawantahkan usaha ikhlas paling murni.
Saya yakin, semua orang punya masa lalu. Punya harapan yang belum
terkabul. Punya kenangan yang belum sepenuhnya terhapus. Dan tentu saja
punya banyak jalan yang belum dan masih akan harus terlewatkan.Yang di
setiap tikungannya menawarkan pengalaman baru. Kesempatan yang lebih
segar dan tak terduga.
Dari itu semua lah kita seharusnya berdiri lebih tegap. Bukan dalam
arti menantang datangnya jodoh, tapi memberikan diri ruang lebih lapang
untuk berkontemplasi. Kemudian merengkuh rasa pasrah yang tidak bikin
gerah. Pasrah yang ikhlas dan menenangkan. Yang bukan menyerah, tapi
berserah.
Lelah berikhtiar? Jengah dengan pertanyaan kapan nikah? Itu manusiawi. Nikmati saja.
Pada dasarnya saya sedikit kurang sependapat dengan ungkapan "lelah
berikhtiar". Namun, yang namanya manusia, rasanya naif jika saya
menafikan hal itu. Pasti ada perasaan menyerah dan lemah atas segala
usaha yang telah dilakukan.
Tapi, memangnya usaha apa saja yang telah dilakukan? Berkenalan
dengan seribu wanita? Atau memasang foto paling tampan di sosial media?
Atau menanyakan perihal jodoh kepada seluruh kerabat? Atau bahkan ikut
serta dalam kegiatan biro jodoh? Jika itu semua telah dilakukan namun
hasilnya nihil, mungkin ada baiknya kita melakukan ikhtiar yang lebih
mendasar dan sederhana.
Mematut diri di depan cermin. Menenggelamkan diri sedalam-dalamnya ke
masa lalu. Tentang apa yang telah kita lakukan untuk menjadi pribadi
yang lebih salih/salihah. Tentang sejauh mana pengatahuan kita mengenai
agama dan hukum muamalah. Tentang seberapa arif kita melerai masalah
hidup. Tentang bagaimana hari-hari kita di mata orang lain.
Sabar menunggu sembari istiqamah berdoa dan memantaskan diri.
Demi Tuhan! Ini memang sulit. Saya tahu mengetik kalimat "Sabar
menunggu sembari istiqamah berdoa dan memantaskan diri" jauuuuhhh lebih
mudah dibanding melaksanakannya. Saya tahu benar itu. Tolong jangan
hakimi saya karena dengan begitu mudahnya menulis hal demikian.
Karena saya yang tidak tahu apa-apa ini nyatanya belum menemukan
jawaban atau kalimat paling tepat untuk tema tulisan ini. Hanya kalimat
itu yang saya rasa pantas menjadi penutup tulisan ini. Semoga
menginspirasi dan menguatkan.
0 komentar:
Posting Komentar