Tentang Ibu
Kemarin pagi, badmood berat gara gara urusan pajak yang bikin ribet. Tiba-tiba di tempat parkir, HP berdering…
Di ujung telpon, saya dengar suara isak. Lama. Cuma suara isak.
“Ada apa?” tanya saya penuh keheranan.
Jawabannya hanya isak….
“Kalau kamu puas dengan menangis.. Menangislah sepuasmu.. Kalau kamu anggap menangis itu menyelesaikan masalah…
Menangislah hingga masalahmu usai,” kataku masih bingung.
Akhirnya dari ujung sana terdengar suara. “Tau gak sih..aku cuma berusaha berbakti dengan ibu…
“Semua aku lakukan untuk ibu…
“Aku capek kerja banting tulang buat nyenengin ibu…buat bikin ibu bangga…
“Tapi semua kayak gak ada artinya.. Semua yang aku lakukan kayak sia sia.
“Aku capek kerja senin sampai jumat pergi pagi pulang malam, anakku
aja jarang ketemu. Wajar dong kalau aku gak bisa datang tiap minggu ke
ibu… Kok ibu marah-marah.. Bilang aku anak durhaka…gak mau ngurus orang
tua…padahal semua kebutuhannya aku penuhi, sakit aku obati, aku juga
perlu istirahat… Aku ini manusia… Bukan robot… Aku juga punya hati,
perasaan dan ingin dihargai,” ucapannya bergulir penuh emosi diiringi
isak yang makin meledak.
Saya diam. Menunggu isaknya mereda. “Istighfar yaaa… Istighfar… Tarik
nafas panjang…. Buang pelan-pelan sambil istighfar… Malu… Kamu lagi
dimana nih?” tanyaku memastikan.
“Di rest area. Aku gak ngantor… Aku gak karuan dengar ocehan ibuku
yang nyumpahin aku, ‘Nanti kamu tunggu kamu kalau sehat, panjang umur
ngerasaain diginiin anak.’…
Emang apa yang aku lakukan? Solah-olah aku ini anak durhaka.. Kurang apa aku sebagai anak?” katanya masih nada emosi.
Emang apa yang aku lakukan? Solah-olah aku ini anak durhaka.. Kurang apa aku sebagai anak?” katanya masih nada emosi.
“Helloooww, jangan umbar emosimu, coba pastikan lagi…apa benar yang kamu lakukan semua buat ibumu?” tanyaku lagi.
“Kok kamu ngomongnya gitu?” dia bertanya dengan nada tinggi.
“Kamu berapa tahun sudah menghidupi ibumu? Bandingkan berapa tahun ibumu menghidupimu?”
Hening di seberang sana.
“Yuk kita putar balik… Bayangkan ibu kita yang berkata seperti yang
kamu katakan tadi,” kataku.
“Saya ulang yaa…
“Saya ulang yaa…
dengan versi ibu, ‘Aku cuma
berusaha mengurus dan membesarkan anakku… Semua aku lakukan untuk
anakku… Aku capek kerja banting tulang buat nyenengin anak… Tapi semua
kayak gak ada artinya… Semua yang aku lakukan kayak sia sia.
‘Aku capek kerja BANTING TULANG 24 JAM. Wajar dong kalau aku juga
butuh istirahat. Kok anakku uring-uringan, minta diperhatikan…..padahal
semua kebutuhannya aku penuhi, sakit aku obati, aku juga perlu
istirahat… Aku ini manusia… Bukan robot… Aku juga punya hati, perasaan
dan ingin dihargai…’.”
Hanya isak jawaban di ujung sana…
“Kamu bisa bayangkan enggak kalau cara berpikir ibu kita seperti
caramu berpikir tadi?
Jadi apa kita?
Tapi ibu gak seperti itu… Dalam lelahnya, dalam kecewanya, dalam sedihnya, ibu tetap berusaha memenuhi semuanya di tiap detak waktu kehidupannya. Kadang hidupnya seperti robot, kadang harus mengabaikan perasaannya dan tidak jarang semuanya terlihat tidak berharga.
Jadi apa kita?
Tapi ibu gak seperti itu… Dalam lelahnya, dalam kecewanya, dalam sedihnya, ibu tetap berusaha memenuhi semuanya di tiap detak waktu kehidupannya. Kadang hidupnya seperti robot, kadang harus mengabaikan perasaannya dan tidak jarang semuanya terlihat tidak berharga.
“Yakin kita sudah penuhi segalanya seperti ibu memenuhi kita dengan segalanya?
“Berapa penghasilanmu yang kamu berikan ke ibu? 100%, 90%? Berapa
yang ibu kita berikan pada kita? 25%, 50%? SEMUAnya… Masih gak malu
kalau mengklaim semua kebutuhannya sudah kita penuhi semua?
“Berapa besar perhatian dan frekwensi sentuhanmu untuk ibu? Totalitas
hidupmu? Berapa persen perhatian ibu dan sentuhannya untuk kita? Di
sisa waktukah?
“Seberapa besar penghargaan kita terhadap ibu? Melebihi kasih sayang
pada pasangan dan anak? Bagaimana besar penghargaan ibu terhadap kita?
Repotnya beliau masak kesenangan kita, menjamu anak menantunya? Sedang
kita?
“Kita mungkin bisa bangunkan ibu kita istana yang megah, tapi tak
akan sanggup menandingi kemegahan hatinya dalam mendidik dan membesarkan
kita.
“Kita mungkin bisa membayarinya makan makanan enak, tapi kita tidak
bisa membayar lelah dan perjuangan sang bunda memasak untuk memberi kita
makan tiap hari.
“Kita mungkin merasa jumawa telah berusaha mengurus dan berjuang
untuk ibu, tapi tetap kita tidak bisa membayar perjuangannya bertaruh
nyawa melahirkan kita… Lelahnya mengurus kita.
“Setelah itu semua, apa kita masih pantas merasa sudah melakukan semuanya untuk ibu?
“Di hari tuanya… Ibu merasa sepi.. Hilang sudah tenaganya untuk mengurusi dan mendekati anaknya satu persatu.
“Hilang sudah kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan kita, tapi pasti
tidak akan hilang kekuatan dan kemampuannya untuk mencintai
anak-anaknya…
“Protesnya hanya bagian dari kerinduannya… Marahnya hanya bagian dari
kasih sayangnya… Mungkin kita yang keterlaluan mengabaikannya…”
Isak di ujung telepon sana mulai mereda.
“Heyy… Kamu dengar apa yang aku bicarakan enggak?” tanyaku memastikan.
“Iya.. Iyaa.. Aku dengar… Dan aku malu sekarang….”
“Hehee.. Aku juga selalu malu… karena masih juga belum bisa banyak
berbakti. Tapi apapun yang aku usahakan, aku niatkan, semoga itu bakti
terbaikku sama ibu dan jadi bagian kebahagiaan ibu,” kataku.
“Terus gimana?”
“Daripada ngabisin waktu nangis di rest area, apa gak mending kamu ke
rumah ibu? Meluk ibu… Jangan sampai gak sempat meluk ibu di masa masa
akhir hidupnya. Umur kita gak tau loohh,” lanjutku.
“Iyaa… Iyaa…” jawabnya dengan suara yang mulai ceria.
“Feeling better?” tanyaku lagi.
“Absoulutely,” jawabnya mantap.
“Okeeehh, hati-hati di jalan…. Assalamualaikum.”
Klik. Telepon terputus.
Saya termenung sesaat. Itulah nasib seorang ibu.
Ketika totalitas beliau berikan pada anak, terkadang anak akan
membalasnya sekadar rutinitas. Tapi anak terkadang merasa sudah
melakukan segalanya.
Kadang kita bosan dengan ocehannya, jenuh dengan keluhannya, tapi
dimasa sulit di sepanjang hidup kita tidak jarang dialah orang yang
pertama kita cari. Dan ibu tidak jengah dengan itu.
Sejak lahir ke dunia, kita selalu memaksa mereka untuk memahami Kita,
ternyata kita pun sekarang memaksa mereka tetap memahami kita di sisa
hidupnya.
Hukum alam akan terus berputar.
Kita pun kelak menjadi orang tua tanpa daya, hidup dalam sepi dan tenggelam dalam bayangan masa kanak-kanak anak-anak kita.
Tapi apa yang kita contohkan pada anak anak kita akan terekam dengan
baik pada anak kita untuk melakukan hal yang minimal sama dengan yang
kita contohkan. InsyaAllah.
haloo.. Mamah sehat? Nie belum mampir… Lagi repot ngurus pajak… Mamah lagi apa?
0 komentar:
Posting Komentar