Tegurlah, Walau Ia Marah
“Jika orang-orang melihat seorang yang zalim tapi mereka tidak
mencegahnya dikhawatirkan Allah akan menimpakan hukuman terhadap mereka
semua,” (HR. Abu Dawud).
MAHA Suci Allah yang menciptakan alam begitu indah, serasi, dan
sempurna. Siang memperlihatkan keindahannya sendiri. Begitu pun dengan
malam. Dan manusia punya sisi lain di antara makhluk-makhluk-Nya.
Tegurlah saudaramu, walau ia tidak meminta
Tidak semua orang punya kepekaan tinggi. Kadang, seseorang melakukan
kesalahan di luar kesadarannya. Sekali, dua kali, dan seterusnya.
Setelah itu, kesalahan menjadi rutin.
Jarang orang mampu menemukan kesalahan diri tanpa bantuan orang lain.
Bahkan, Rasul pun bisa khilaf ketika tanpa sadar mengabaikan seorang
buta yang ingin dekat dengan Islam. Dan Allah yang langsung menegur
beliau saw. melalui firman-Nya.
Karena itulah, seorang mukmin wajib menegur saudaranya tanpa menunggu
permintaan. Kesadaran akan sebuah kesalahan memang bukan untuk
ditunggu, apalagi digunjingkan. Tapi, harus ditumbuhkan. Dan salah
satunya dengan menegur. Itulah hadiah mahal yang bisa kita berikan buat
saudara seiman.
Tegurlah saudaramu, walau ia yang paling kamu hormati
Indonesia memang tidak sama dengan Arab. Ada nuansa sendiri yang
tidak berlaku di Arab, tapi punya pengaruh kuat di negeri ini. Orang
biasa menyebutnya dengan paternalistik. Sebuah penghormatan yang begitu
tinggi buat orang tua, bos, pimpinan, tokoh, dan sebagainya. Dan
penghormatan biasa disimbolkan dengan sebutan tertentu sebelum namanya.
Seperti, pak, haji, tuan, ustadz, dan sebagainya. Hampir tak pernah
terdengar ada sahabat Rasul yang memanggil ustadz Abu Bakar atau ustadz
Umar bin Khattab. Walaupun mereka sebagai khalifah.
Sayangnya, penghormatan yang sebenarnya bagus bisa jatuh pada
keburukan. Karena penghormatan yang berlebihan, orang merasa bersalah
jika melakukan teguran. Seolah, kesalahan orang-orang yang dihormati
menjadi sebuah kewajaran. Dan, terlarang untuk diluruskan. Padahal,
kesalahan tokoh punya dampak besar. Bukan cuma buat dirinya, tapi juga
orang lain.
Memang berat menegur orang yang dihormati. Tapi, mesti ada kesadaran
bahwa kesalahan dan kekhilafan milik semua manusia. Siapa pun bisa
salah. Dan boleh jadi, orang yang kita hormati sama sekali tidak
menyadari kalau langkah atau perilakunya tergolong salah.
Masalahnya tinggal pada cara. Agar, maksud baik tidak diterjemahkan
buruk. Perlu memilih suasana dan kalimat yang pas. Hasan dan Husein
ketika masih anak-anak pernah menegur seorang tua yang salah dalam
berwudhu. Mereka pun menemukan cara yang begitu berakhlak.
Dua bocah yang ingin menegur ini minta dinilai bagaimana mutu wudhu
mereka. Salah, atau benar. Selama menyaksikan peragaan wudhu itulah,
sang kakek menyadari kesalahannya. Ia tersenyum. Tanpa mengurangi
penghormatan, seorang bocah bisa menegur dan meluruskan orang tua yang
melakukan kesalahan.
Tegurlah saudaramu, walau ia jauh lebih pandai
Tidak ada manusia yang pandai di segala bidang. Selalu ada
keterbatasan. Seorang pakar medis, tidak begitu paham soal mesin mobil.
Seorang guru besar, tidak memahami secara utuh urusan masak memasak.
Begitu pun seorang pakar agama, jarang yang mampu menangkap secara
detail sebuah peta politik.
Ketika kesalahan muncul, siapa pun dia, patut ditegur. Memang,
teguran untuk orang pandai tidak sama dengan yang biasa. Perlu disiapkan
argumentasi. Tidak cuma menyalahkan, tapi mampu menjelaskan kenapa bisa
dianggap salah. Dari situ, lahirlah kesadaran bersama tentang sebuah
kebenaran.
Betapa cantik ungkapan seorang sahabat Rasul ketika menegur beliau saw. soal lokasi basecamp
perang Badar. “Ya Rasul, pilihanmu ini wahyu atau pendapat pribadi?”
Setelah jawabannya pendapat pribadi, barulah sang sahabat mengungkapkan
pengalamannya soal strategi perang. Dan ia pun mengungkapkan beberapa
alasan kuat, untung dan rugi memilih lokasi. Berbeda jika jawabannya
adalah wahyu. Tidak ada sikap yang pas pada soal itu kecuali mendengar
dan taat.
Tegurlah saudaramu, walau ia akan marah
Adalah hak setiap manusia merasa benar dalam semua sikap dan langkah
yang diambilnya. Saat itulah orang merasa bermartabat. “Inilah pilihan
langkah saya.” Dan itu akan ia pertahankan walau apa pun halangannya.
Dalam proses pernikahan misalnya. Seseorang pasti yakin kalau
calonnya memang baik, cocok buat diri dan masa depannya. Ia akan
mempertahankan keyakinan itu buat selama-lamanya.
Tapi bagaimana jika ada seorang teman yang menemukan kenyataan lain.
Sang calon ternyata punya cacat moral. Ada sifat buruk yang lumayan
berat. Sang calon diketahui sangat kikir. Kalau tidak disampaikan, sang
teman akan menyesal. Dan orang yang mestinya menegur boleh jadi
kecipratan dosa.
Saat teguran menjadi pilihan itulah, teman yang ditegur pasti
tersinggung. Di benaknya ada protes, “Kok orang lain bisa lebih tahu
yang baik buat saya?” Dan boleh jadi, ia bereaksi marah.
Inilah harga yang mungkin kita terima. Sebuah teguran bukan lagi
mendapat penghargaan, tapi justru marah. Namun, inilah yang bisa
dilakukan. Walau bereaksi marah, sekecil apa pun, teguran bisa menjadi
pertimbangan seseorang.
Kelak, sejalan dengan waktu, sang teman akan
mendapat kesadaran. Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat
menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya
menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3).
0 komentar:
Posting Komentar