Selasa, 26 Januari 2016

Orang Serakah Tak Pernah Puas

Serakah Menjadi Musibah

Untuk memenuhi keserakahan mereka, tidak sedikit orang harus menempuh jalur ‘kiri’, dalam arti, yang penting tujuan tercapai, tak peduli dengan cara apapun jua, haram-halal dilabrak. Tidak bisa dengan cara damai, jalur paksa pun ditempuh. Buntu dengan negosiasi, cara tak manusiawi, pun terkadang dilakukan.


Tidak hanya itu saja efek negatif yang bisa ditimbulkan oleh orang yang memiliki sifat serakah. Yang paling berbahaya, dia pun akan menantang/durhaka terhadap Allah SWT. Sebagai ‘cermin’, kita bisa beraca pada keserakahan yang dimiliki Fir’aun terhadap kekuasaan, kedudukan, dan kemegahan, yang telah menyebabkannya buta hati, sehingga tega mengdzolimi masyarakat jelata. Dan yang paling fenomenal, dia menetapkan satu keputusan yang sangat sepihak demi mempertahankan kedudukannya yang nyaman, yaitu; dengan membunuh setiap anak-anak laki-laki dari Bani Isroil, karena khawatir kalau di kemudian hari, mereka akan merebut kekuasaan yang berada di kendalinya.

Allah berfirman: “Dan (ingatlah) ketika kami menyelamatkan kamu dari Fir’aun dan pengikut-pengikutnya. Mereka menimpakan siksaan yang sangat berat kepadamu. Mereka menyembelih anak-anak laki-lakimu dan membiarkan hidup anak-anak perempuanmu. Dan pada yang demikian itu merupakan cobaan besar dari Tuhanmu”. (Q:S. 2:49).

Serakah yang berkah

Ketika sifat serakah benar-benar dimiliki oleh para penuntut ilmu, maka dia akan ‘gila-gilaan’ dalam ‘melahap’ seluruh sajian ilmu yang dihadapkan padanya. Dia tidak akan pernah puas. Ketika telah menguasai satu bidang ilmu, maka dia akan berusaha untuk mempelajari satu bidang yang lain, dan begitu seterusnya. Bagi mereka ilmu adalah segala-galanya. Motto, “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat”, benar-benar terpatri dalam lubuk hati mereka yang paling dalam, sehingga tidak mudah terkecoh dengan godaan-godaan di sekitarnya, efeknya, tidak ada waktu terbuang, kecuali digunakan untuk belajar, belajar, dan belajar.

Buah dari itu semua, orang tersebut akan menjadi orang yang ‘alim lagi faqih dalam segala hal, terutama masalah ilmu agama. Dengan demikian, dia akan berhati-hati dalam bertindak, sebab setiap langkah yang dia lakukan selalu berbarometerkan ilmu. Ingat, salah satu sifat ilmu adalah menjaga si-empunya (dari keburukkan), sebagaimana yang diutarakan oleh Syaidina ‘Ali Karamullahu Wajhah, bahwa salah satu di antara yang membedakan ilmu dengan harta adalah jika ilmu itu menjaga pemiliknya, sedangkan harta itu harus dijaga .

Ketika ilmu itu menjelaskan sesuatu yang haram misalnya, maka ia akan menjauhi perkara tersebut, sekalipun sangat menggiurkan hasratnya. Begitu pun sebaliknya, ketika ilmu mengatakan bahwal hal tersebut halal, dia pun akan mengikuti titahnya, sekalipun kebanyakan orang mencemoohnya.

Pada tahap serakah dalam ilmu akan berbuah keberkahan. Karena itu, mari kita memposisikan serakah pada posisi yang mampu mengundang keberkahan bagi diri kita masing-masing, bukan sebaliknya, justru mendatangkan malapetaka kehancuran hidup, di dunia dan di akhirat. Berkah (barakah) sendiri –menurut pendapat para ulama- adalah ‘ziadatul khoir’ (tambahnya kebaikkan). Semoga kita termasuk di dalamnya.

Serakah Salah Satu Sifat Manusia Sifat Serakah manusia tercatat dalam uraian hdist di bawah ini :

Pertama: Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ ، إِنْ أُعْطِىَ رَضِىَ ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ »

Artinya : Celakalah hamba dinar, hamba dirham, hamba pakaian dan hamba mode. Jika diberi, ia ridho. Namun jika tidak diberi, ia pun tidak ridho. (HR. Bukhari no. 6435)

Kedua: Dari Ibnu ‘Abbas, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ كَانَ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لاَبْتَغَى ثَالِثًا ، وَلاَ يَمْلأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ

Artinya : Seandainya manusia diberi dua lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan lembah yang ketiga. Yang bisa memenuhi dalam perut manusia hanyalah tanah. Allah tentu akan menerima taubat bagi siapa saja yang ingin bertaubat. (HR. Bukhari no. 6436)

Ketiga: Dari Ibnu ‘Abbas, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ أَنَّ لاِبْنِ آدَمَ مِثْلَ وَادٍ مَالاً لأَحَبَّ أَنَّ لَهُ إِلَيْهِ مِثْلَهُ ، وَلاَ يَمْلأُ عَيْنَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ

Artinya : Seandainya manusia memiliki lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan harta yang banyak semisal itu pula. Mata manusia barulah penuh jika diisi dengan tanah. Allah tentu akan menerima taubat bagi siapa saja yang ingin bertaubat. (HR. Bukhari no. 6437)

Keempat: Ibnu Az Zubair pernah berkhutbah di Makkah, lalu ia mengatakan,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَقُولُ « لَوْ أَنَّ ابْنَ آدَمَ أُعْطِىَ وَادِيًا مَلأً مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَانِيًا ، وَلَوْ أُعْطِىَ ثَانِيًا أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَالِثًا ، وَلاَ يَسُدُّ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ »

Artinya : Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya manusia diberi lembah penuh dengan emas, maka ia masih menginginkan lembah yang kedua semisal itu. Jika diberi lembah kedua, ia pun masih menginginkan lembah ketiga. Perut manusia tidaklah akan penuh melainkan dengan tanah. Allah tentu menerima taubat bagi siapa saja yang bertaubat. (HR. Bukhari no. 6438)

Dari Anas, dari Ubay, beliau mengatakan, “Kami kira perkataan di atas adalah bagian dari Al Qur’an, hingga Allah pun menurunkan ayat,

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ

Artinya : Bermegah-megahan dengan harta telah mencelakakan kalian.” (QS. At Takatsur: 1). (HR. Bukhari no. 6440)

Bukhari membawakan hadits di atas dalam Bab “Menjaga diri dari fitnah (cobaan) harta.”

Beberapa faedah dari hadits-hadits di atas:

Pertama: Manusia begitu tamak dalam memperbanyak harta. Manusia tidak pernah merasa puas dan merasa cukup dengan apa yang ada.

Kedua: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Perut manusia tidaklah akan penuh melainkan dengan tanah”, maksudnya: Tatkala manusia mati, perutnya ketika dalam kubur akan dipenuhi dengan tanah. Perutnya akan merasa cukup dengan tanah tersebut hingga ia pun kelak akan menjadi serbuk. (Syarh Ibnu Batthol)

Ketiga: Hadits ini adalah celaan bagi orang yang terlalu tamak dengan dunia dan tujuannya hanya ingin memperbanyak harta. Oleh karenanya, para ulama begitu qona’ah dan selalu merasa cukup dengan harta yang mereka peroleh. (Syarh Ibnu Batthol)

Keempat: Hadits ini adalah anjuran untuk zuhud pada dunia. Yang namanya zuhud pada dunia adalah meninggalkan segala sesuatu yang melalaikan dari Allah. (Keterangan Ibnu Rajab dalam Jaami’ul Ulum wal Hikam)

Kelima: Manusia akan diberi cobaan melalui harta. Ada yang bersyukur dengan yang diberi. Ada pula yang tidak pernah merasa puas.

Raihlah Kekayaan Hakiki

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

Artinya : Kekayaan (yang hakiki) bukanlah dengan banyaknya harta. Namun kekayaan (yang hakiki) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051). Bukhari membawakan hadits ini dalam Bab “Kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan hati (hati yang selalu merasa cukup).”

Orang Serakah Tak Pernah Puas

“Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): “Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa haq dan kamu telah fasik.” (QS Al-Ahqaaf [46] : 20)

Sebuah realita keserakahan yang memprihatinkan, kebanyakan kita telah menjadi hamba perut yang hidupnya seakan hanya untuk makan dan mencari kesenangan dengan mengabaikan tuntutan Ilahi. Ketahuilah, perut adalah sumber penyakit dan malapetaka, sumber keinginan dan syahwat yang kemudian diikuti oleh syahwat seksual. Syahwat perut dan kemaluan adalah penyebab timbulnya cinta akan kedudukan dan harta. Bahkan syahwat perut menjadi sebab dikeluarkannya Nabi Adam dan Hawa dari kampung yang kekal (surga) ke kampung yang fana (dunia).

Orang yang cenderung menjadi hamba perutnya identik dengan kekikiran (bakhil). Hartanya tidak boleh susut sedikitpun, serba menghitung dan menjumlah miliknya. Setiap saat ia memeluk hartanya melebihi pelukannya terhadap istrinya. Kalau ia berpergian, hartanya berada di dalam kepalanya. Kalau ia tidur, hartanya ibarat bantal gulingnya. Apabila orang bertamu ke rumahnya, keningnya berkerut khawatir kalau yang datang meminta shadaqah kepadanya. Ia lebih suka berdiam diri di rumah dan jarang bergaul dengan masyarakatnya. Karena takut kebersamaannya akan mengeluarkan hartanya untuk macam-macam keperluan masyarakat. Ia suka kepada kemewahan dan suka juga pada kebakhilan. Itulah manusia yang menjadi hamba perutnya.

Islam menentang hidup yang berlebihan sampai melampaui batas. Sebab malapetaka yang timbul akibat keserakahan, keangkaramurkaan dan rayuan harta yang melemahkan tidak saja menimpa dunia, tetapi juga di akhirat akan tetap mengancam. Bukalah lembaran Al-Qur’an yang mulia, di dalamnya ada sekelumit kisah suatu umat yang pernah tenggelam dalam keserakahan, kesenangan dan kekafiran. Oleh Allah, kaum seperti ini kemudian dihinakan dengan azab yang sangat pedih.



0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution