Serakah Menjadi Musibah
Untuk memenuhi keserakahan mereka, tidak sedikit orang
harus menempuh jalur ‘kiri’, dalam arti, yang penting tujuan tercapai,
tak peduli dengan cara apapun jua, haram-halal dilabrak. Tidak bisa
dengan cara damai, jalur paksa pun ditempuh. Buntu dengan negosiasi,
cara tak manusiawi, pun terkadang dilakukan.
Tidak hanya itu saja efek negatif yang
bisa ditimbulkan oleh orang yang memiliki sifat serakah. Yang paling
berbahaya, dia pun akan menantang/durhaka terhadap Allah SWT. Sebagai
‘cermin’, kita bisa beraca pada keserakahan yang dimiliki Fir’aun
terhadap kekuasaan, kedudukan, dan kemegahan, yang telah menyebabkannya
buta hati, sehingga tega mengdzolimi masyarakat jelata. Dan yang paling
fenomenal, dia menetapkan satu keputusan yang sangat sepihak demi
mempertahankan kedudukannya yang nyaman, yaitu; dengan membunuh setiap
anak-anak laki-laki dari Bani Isroil, karena khawatir kalau di kemudian
hari, mereka akan merebut kekuasaan yang berada di kendalinya.
Allah berfirman: “Dan (ingatlah) ketika
kami menyelamatkan kamu dari Fir’aun dan pengikut-pengikutnya. Mereka
menimpakan siksaan yang sangat berat kepadamu. Mereka menyembelih
anak-anak laki-lakimu dan membiarkan hidup anak-anak perempuanmu. Dan
pada yang demikian itu merupakan cobaan besar dari Tuhanmu”. (Q:S.
2:49).
Serakah yang berkah
Ketika sifat serakah benar-benar dimiliki
oleh para penuntut ilmu, maka dia akan ‘gila-gilaan’ dalam ‘melahap’
seluruh sajian ilmu yang dihadapkan padanya. Dia tidak akan pernah puas.
Ketika telah menguasai satu bidang ilmu, maka dia akan berusaha untuk
mempelajari satu bidang yang lain, dan begitu seterusnya. Bagi mereka
ilmu adalah segala-galanya. Motto, “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga
liang lahat”, benar-benar terpatri dalam lubuk hati mereka yang paling
dalam, sehingga tidak mudah terkecoh dengan godaan-godaan di sekitarnya,
efeknya, tidak ada waktu terbuang, kecuali digunakan untuk belajar,
belajar, dan belajar.
Buah dari itu semua, orang tersebut akan
menjadi orang yang ‘alim lagi faqih dalam segala hal, terutama masalah
ilmu agama. Dengan demikian, dia akan berhati-hati dalam bertindak,
sebab setiap langkah yang dia lakukan selalu berbarometerkan ilmu.
Ingat, salah satu sifat ilmu adalah menjaga si-empunya (dari
keburukkan), sebagaimana yang diutarakan oleh Syaidina ‘Ali Karamullahu
Wajhah, bahwa salah satu di antara yang membedakan ilmu dengan harta
adalah jika ilmu itu menjaga pemiliknya, sedangkan harta itu harus
dijaga .
Ketika ilmu itu menjelaskan sesuatu yang
haram misalnya, maka ia akan menjauhi perkara tersebut, sekalipun
sangat menggiurkan hasratnya. Begitu pun sebaliknya, ketika ilmu
mengatakan bahwal hal tersebut halal, dia pun akan mengikuti titahnya,
sekalipun kebanyakan orang mencemoohnya.
Pada tahap serakah dalam ilmu akan
berbuah keberkahan. Karena itu, mari kita memposisikan serakah pada
posisi yang mampu mengundang keberkahan bagi diri kita masing-masing,
bukan sebaliknya, justru mendatangkan malapetaka kehancuran hidup, di
dunia dan di akhirat. Berkah (barakah) sendiri –menurut pendapat para
ulama- adalah ‘ziadatul khoir’ (tambahnya kebaikkan). Semoga kita
termasuk di dalamnya.
Serakah Salah Satu Sifat Manusia Sifat Serakah manusia tercatat dalam uraian hdist di bawah ini :
Pertama: Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ
وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ ، إِنْ أُعْطِىَ رَضِىَ ،
وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ »
Artinya : Celakalah hamba dinar, hamba
dirham, hamba pakaian dan hamba mode. Jika diberi, ia ridho. Namun jika
tidak diberi, ia pun tidak ridho. (HR. Bukhari no. 6435)
Kedua: Dari Ibnu ‘Abbas, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ كَانَ لاِبْنِ آدَمَ
وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لاَبْتَغَى ثَالِثًا ، وَلاَ يَمْلأُ جَوْفَ ابْنِ
آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ
Artinya : Seandainya manusia diberi dua
lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan lembah yang ketiga.
Yang bisa memenuhi dalam perut manusia hanyalah tanah. Allah tentu akan
menerima taubat bagi siapa saja yang ingin bertaubat. (HR. Bukhari no.
6436)
Ketiga: Dari Ibnu ‘Abbas, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ أَنَّ لاِبْنِ آدَمَ مِثْلَ
وَادٍ مَالاً لأَحَبَّ أَنَّ لَهُ إِلَيْهِ مِثْلَهُ ، وَلاَ يَمْلأُ
عَيْنَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ
تَابَ
Artinya : Seandainya manusia memiliki
lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan harta yang banyak
semisal itu pula. Mata manusia barulah penuh jika diisi dengan tanah.
Allah tentu akan menerima taubat bagi siapa saja yang ingin bertaubat.
(HR. Bukhari no. 6437)
Keempat: Ibnu Az Zubair pernah berkhutbah di Makkah, lalu ia mengatakan,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ
النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَقُولُ « لَوْ أَنَّ ابْنَ آدَمَ
أُعْطِىَ وَادِيًا مَلأً مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَانِيًا ، وَلَوْ
أُعْطِىَ ثَانِيًا أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَالِثًا ، وَلاَ يَسُدُّ جَوْفَ ابْنِ
آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ »
Artinya : Wahai sekalian manusia,
sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya
manusia diberi lembah penuh dengan emas, maka ia masih menginginkan
lembah yang kedua semisal itu. Jika diberi lembah kedua, ia pun masih
menginginkan lembah ketiga. Perut manusia tidaklah akan penuh melainkan
dengan tanah. Allah tentu menerima taubat bagi siapa saja yang
bertaubat. (HR. Bukhari no. 6438)
Dari Anas, dari Ubay, beliau mengatakan,
“Kami kira perkataan di atas adalah bagian dari Al Qur’an, hingga Allah
pun menurunkan ayat,
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ
Artinya : Bermegah-megahan dengan harta telah mencelakakan kalian.” (QS. At Takatsur: 1). (HR. Bukhari no. 6440)
Bukhari membawakan hadits di atas dalam Bab “Menjaga diri dari fitnah (cobaan) harta.”
Beberapa faedah dari hadits-hadits di atas:
Pertama: Manusia begitu tamak dalam memperbanyak harta. Manusia tidak pernah merasa puas dan merasa cukup dengan apa yang ada.
Kedua: Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Perut manusia tidaklah akan penuh melainkan dengan tanah”,
maksudnya: Tatkala manusia mati, perutnya ketika dalam kubur akan
dipenuhi dengan tanah. Perutnya akan merasa cukup dengan tanah tersebut
hingga ia pun kelak akan menjadi serbuk. (Syarh Ibnu Batthol)
Ketiga: Hadits ini adalah celaan bagi
orang yang terlalu tamak dengan dunia dan tujuannya hanya ingin
memperbanyak harta. Oleh karenanya, para ulama begitu qona’ah dan selalu
merasa cukup dengan harta yang mereka peroleh. (Syarh Ibnu Batthol)
Keempat: Hadits ini adalah anjuran untuk
zuhud pada dunia. Yang namanya zuhud pada dunia adalah meninggalkan
segala sesuatu yang melalaikan dari Allah. (Keterangan Ibnu Rajab dalam
Jaami’ul Ulum wal Hikam)
Kelima: Manusia akan diberi cobaan melalui harta. Ada yang bersyukur dengan yang diberi. Ada pula yang tidak pernah merasa puas.
Raihlah Kekayaan Hakiki
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
Artinya : Kekayaan (yang hakiki) bukanlah
dengan banyaknya harta. Namun kekayaan (yang hakiki) adalah hati yang
selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051).
Bukhari membawakan hadits ini dalam Bab “Kekayaan (yang hakiki) adalah
kekayaan hati (hati yang selalu merasa cukup).”
Orang Serakah Tak Pernah Puas
“Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang
kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): “Kamu telah
menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan
kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi
dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di
muka bumi tanpa haq dan kamu telah fasik.” (QS Al-Ahqaaf [46] : 20)
Sebuah realita keserakahan
yang memprihatinkan, kebanyakan kita telah menjadi hamba perut yang
hidupnya seakan hanya untuk makan dan mencari kesenangan dengan
mengabaikan tuntutan Ilahi. Ketahuilah, perut adalah sumber penyakit dan
malapetaka, sumber keinginan dan syahwat yang kemudian diikuti oleh
syahwat seksual. Syahwat perut dan kemaluan adalah penyebab timbulnya
cinta akan kedudukan dan harta. Bahkan syahwat perut menjadi sebab
dikeluarkannya Nabi Adam dan Hawa dari kampung yang kekal (surga) ke
kampung yang fana (dunia).
Orang yang cenderung menjadi hamba
perutnya identik dengan kekikiran (bakhil). Hartanya tidak boleh susut
sedikitpun, serba menghitung dan menjumlah miliknya. Setiap saat ia
memeluk hartanya melebihi pelukannya terhadap istrinya. Kalau ia
berpergian, hartanya berada di dalam kepalanya. Kalau ia tidur, hartanya
ibarat bantal gulingnya. Apabila orang bertamu ke rumahnya, keningnya
berkerut khawatir kalau yang datang meminta shadaqah kepadanya. Ia lebih
suka berdiam diri di rumah dan jarang bergaul dengan masyarakatnya.
Karena takut kebersamaannya akan mengeluarkan hartanya untuk macam-macam
keperluan masyarakat. Ia suka kepada kemewahan dan suka juga pada
kebakhilan. Itulah manusia yang menjadi hamba perutnya.
Islam menentang hidup yang berlebihan
sampai melampaui batas. Sebab malapetaka yang timbul akibat keserakahan,
keangkaramurkaan dan rayuan harta yang melemahkan tidak saja menimpa
dunia, tetapi juga di akhirat akan tetap mengancam. Bukalah lembaran
Al-Qur’an yang mulia, di dalamnya ada sekelumit kisah suatu umat yang
pernah tenggelam dalam keserakahan, kesenangan dan kekafiran. Oleh
Allah, kaum seperti ini kemudian dihinakan dengan azab yang sangat
pedih.
0 komentar:
Posting Komentar