Syarat Seorang Anak Wajib Menafkahi Orang Tuanya
Al-Hamdulillah, kita senantiasa
memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya. Shalawat dan
salam teruntuk hamba dan utusan-Nya, Nabi Muhammad –Shallallahu 'Alaihi
Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Birrul walidain dan berbuat baik ke
kedua orang tua adalah amal kebaikan yang sangat mulia di dalam Islam.
Kedudukannya disandingkan dengan perintah tauhid (ibadah kepada Allah
dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun juga) dalam beberapa ayat
Al-Qur'an. Ini menjadi bukti kuat keagungan amal ini. Ditambah
keterangan, bahwa bakti ini sebagai bentuk syukur atas jasa-jasa
keduanya sejak dikandungan, bayi sehingga menjadi besar dan dewasa.
Allah Ta'ala berfirman,
وَوَصَّيْنَا
الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ
وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ
الْمَصِيرُ
"Dan Kami perintahkan kepada manusia
(berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya
dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu
bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu." (QS. Luqman: 14)
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik
pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya." (QS. Al-Isra': 23)
Dan di antara bentuk ihsan kepada
keduanya adalah dengan memberikan nafkah atau menanggung nafkah keduanya
saat mereka sangat-sagat membutuhkan orang yang menafkahi mereka.
Khususnya, anak-anak mereka yang mampu dan berkelapangan. Sebabnya, anak
adalah orang yang paling dekat kepada orang tuanya. Jika seorang anak
yang berkecukupan menanggung nafkah kedua orang tuanya yang miskin, maka
itu merupakan kewajiban yang sangat penting dan memiliki pahala yang
besar.
Para ulama juga telah bersepakat akan
kewajiban ini. Ibnul Mundzir berkata: "Para ulama sepakat, menafkahi
kedua orang tua yang miskin yang tidak punya pekerjaan dan tidak punya
harta merupakan kewajiban yang ada dalam harta anak, baik kedua orang
tua itu muslim atau kafir, baik anak itu laki-laki atau perempuan."
Beliau mendasarkannya kepada firman Allah Ta'ala,
وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
"Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik." (QS. Luqman: 15) di antaranya melalui nafkah dan pemberian yang membuat mereka senang.
. . . di antara bentuk ihsan kepada keduanya adalah dengan memberikan nafkah atau menanggung nafkah keduanya saat mereka sangat-sagat membutuhkan orang yang menafkahi mereka . . .
Dan disyaratkan kewajiban menafkahi ini adalah kelapangan rizki si munfik (anak) dan kesulitan yang dialami orang tua dan butuhnya ia kepada nafkah tersebut. (Lihat: Al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah: 39/22)
Jika kondisi anak miskin maka ia tidak berkewajiban memberikan nafkah kepada orang tuanya atau orang terdekatnya.
Ibnu Qudamah di dalam Al-Mughni (9/258) menjelaskan tentang adanya tiga syarat dalam kewajiban nafkah ini:
Pertama,
orang yang dinafkahi (orang tua) adalah orang miskin yang tidak
memiliki harta dan pekerjaan yang mencukupkannya dari mengharapkan
nafkah orang lain. Sebaliknya, jika orang tua punya banyak harta atau
pekerjaan yang mencukupinya maka ia tidak wajib diberi nafkah. Karena
nafkah ini sebagai bentuk bantuan, sedangkan orang yang banyak harta
tidak butuh kepada bantuan.
Kedua, orang
yang wajib menafkahi telah berkecukupan untuk menafkahi dirinya sendiri;
baik dari hartanya atau pekerjaannya. Sedangkan orang yang tidak
memiliki harta yang lebih maka ia tak berkewajiban sama sekali. Hal ini
berdasarkan hadits shahih riwayat Jabir, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
إِذَا
كَانَ أَحَدُكُمْ فَقِيرًا فَلْيَبْدَأْ بِنَفْسِهِ فَإِنْ كَانَ فِيهَا
فَضْلٌ فَعَلَى عِيَالِهِ فَإِنْ كَانَ فِيهَا فَضْلٌ فَعَلَى ذِى
قَرَابَتِهِ
"Apabila salah seorang kalian miskin
maka hendaklah ia mulai dari disrinya sendiri. Jika telah lebih maka
atas keluarganya. Jika masih ada lebihnya maka kepada kerabat dekatnya." (HR. Abu Dawud)
Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu meriwayatkan, ada seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
dan berkata: Ya Rasulullah, aku punya beberapa dinar. Beliau bersabda:
sedekahkanlah untuk dirimu. Ia berkata lagi; aku masih punya lagi.
Beliau bersabda; sedekahkanlah untuk anakmu. Ia berkata: aku masih
punya lagi. Beliau bersabda: sedekahkanlah untuk istrimu. Ia berkata:
aku masih punya lagi. Beliau bersabda: sedekahkanlah untuk pembantumu.
Ia berkata: aku masih punya lagi. beliau bersabda: engkau lebih tau
itu." (HR. Abu Dawud dan dihassankan oleh Al-Albani) sesungguhnya
memberi nafkah ini adalah muwasah maka tidak wajib atas orang yang
membutuhkan (miskin) sebagaimana zakat.
Ketiga, orang
yang menafkahi adalah warisnya. Karena antara yang diwarisi dan mewarisi
ada hubungan kekerabatan maka keberadaan waris lebih berhak terhadap
harta orang yang diwarisi dari sekalian manusia maka selayaknya ia
berkekhususan untuk menafkahinya daripada selainnya. Hal ini didasarkan
kepada firman Allah Ta'ala,
وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ
"Dan waris pun berkewajiban demikian." (QS. Al-Baqarah: 233)
Di sini perlu dicatat, bahwa jika
misalnya orang tua mampu sehingga ia tidak diwajibkannya memberi nafkah
untuk orang tua yang berkecukupan bukan berarti si anak tidak dianjurkan
untuk memberikan sesuatu dari hartanya kepada orang tuanya. Ia tetap
dianjurkan untuk memberi hadiah, oleh-oleh, atau jatah bulanan sebagai
kesempurnaan ihsan (berbuat baik) kepada keduanya walau kedua tidak
betul-betul membutuhkannya. Kecuali orang tuanya yang menolak karena
kasihan kepada anaknya atau supaya disalurkan kepada yang lebih
membutuhkan. Wallahu Ta'ala A'lam. [PurWD/voa-islam.com]
Oleh: Badrul Tamam
0 komentar:
Posting Komentar