Musibah Menurut Islam
Sesuatu yang kita rasakan tidka enak pada diri kita itu termasuk musibah, termasuk lampu mati, sandal kita putus adalah musibah,
nabi sendiri ketika mengalami hal tersebut mengucapkan istirja’ , apa
manfaat kita mendapatkan musibah atau cobaan dari Allah SWT, berikut
beberapa fadhilah dari musibah :
1- Musibah yang berat (dari segi kualitas dan kuantitas) akan mendapat balasan pahala yang besar.
2- Tanda Allah cinta, Allah akan menguji hamba-Nya. Dan Allah yang
lebih mengetahui keadaan hamba-Nya. Kata Lukman -seorang sholih- pada
anaknya,
يا بني الذهب والفضة يختبران بالنار والمؤمن يختبر بالبلاء
“Wahai anakku, ketahuilah bahwa emas dan perak diuji keampuhannya
dengan api sedangkan seorang mukmin diuji dengan ditimpakan musibah.”
3- Siapa yang ridho dengan ketetapan Allah, ia akan meraih ridho Allah dengan mendapat pahala yang besar.
4- Siapa yang tidak suka dengan ketetapan Allah, ia akan mendapat siksa yang pedih.
5- Cobaan dan musibah dinilai sebagai ujian bagi wali Allah yang beriman.
6- Jika Allah menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan
hukumannya di dunia dengan diberikan musibah yang ia tidak suka sehingga
ia keluar dari dunia dalam keadaan bersih dari dosa.
7- Jika Allah menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan
balasan atas dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari
kiamat kelak. Ath Thibiy berkata, “Hamba yang tidak dikehendaki baik,
maka kelak dosanya akan dibalas hingga ia datang di akhirat penuh dosa
sehingga ia pun akan disiksa karenanya.” (Lihat Faidhul Qodir, 2: 583,
Mirqotul Mafatih, 5: 287, Tuhfatul Ahwadzi, 7: 65)
8- Dalam Tuhfatul Ahwadzi disebutkan, “Hadits di atas adalah dorongan
untuk bersikap sabar dalam menghadapi musibah setelah terjadi dan bukan
maksudnya untuk meminta musibah datang karena ada larangan meminta
semacam ini.”
Jika telah mengetahui faedah-faedah di atas, maka mengapa mesti bersedih? Sabar dan terus bersabar, itu solusinya.
Mensyukuri Cobaan Dan Musibah
Tentu saja cobaan dan musibah itu bukan lah yang indah untuk
dijalani. Namun jika kita mau melihat dari sudut pandang yang lain,
ketika kita berada didasar putaran roda, hanya ada 1 arah berikutnya :
berputar naik keatas. Sesuatu yang perlu kita syukuri. Justru
orang-orang yang diataslah yang perlu ketakutan. Karena dipuncak roda,
hanya ada 1 arah : berputar turun kebawah.
Saya pernah bercerita tentang romantisme masa kecil yang tidak begitu
indah. Namun hal itu saat ini saya syukuri. Karena hal itu yang membuat
saya (meski belum jadi apa-apa) menjadi lebih kuat. Dulu, ketika
peristiwa itu terjadi, yang ada cuma rasa iri, dendam, caci maki atas
ketidakadilan Tuhan. Namun sekarang saya hanya bisa bicara, Maha Adil
wahai Engkau Pemilik Semesta.
Cobaan, musibah dengan kebahagiaan dan kesenangan ibarat sebuah koin
mata uang. Mereka adalah kekasih sejati. Mereka bukan ibarat panah yang
menjutu ke atas dan kebawah. Bahkan seorang Gibran pernah berkata :
Kesenangan adalah kesedihan yang terbuka bekasnya
Tawa dan airmata datang dari sumber yang sama
Semakin dalam kesedihan menggoreskan luka ke dalam jiwa
Semakin mampu sang jiwa menampung kebahagiaan
Tawa dan airmata datang dari sumber yang sama
Semakin dalam kesedihan menggoreskan luka ke dalam jiwa
Semakin mampu sang jiwa menampung kebahagiaan
So, sebesar apa harapan kita atas sebuah kebahagiaan dan kesenangan,
artinya kita juga harus siap untuk menerima besarnya cobaan dan
kesedihan
Musibah dalam Prespektif Teologi Islam
Ketika beberapa musibah menimpa
kita akhir-akhir ini, banyak kolomnis dan penceramah yang menukil-nukil
surat As-Syu’araa ayat 30 tanpa penjelasan yang memadai. Realitas ini
sangat berbahaya karena dapat menimbulkan mis-understanding seperti yang
selama ini terjadi dalam pemahaman teologi Islam, khususnya yang
berkenaan dengan Sifat Iraadah. Bagaimana pun, yang utama untuk diyakini
oleh umat adalah bahwa Allah Swt tidak akan pernah berkehendak buruk
kepada hamba-hamba-Nya. Ada banyak hal yang perlu kita resapi ketika
menghadapi kenyataan yang, dalam pandangan kita nan pendek, pahit.
Pertama, tidak semua kejadian tersebut “pahit” dalam arti yang sesuai
dengan pemahaman kita. Seluruh manusia adalah milik Allah Swt, maka Dia
berhak mengambilnya sewaktu-waktu, dengan berbagai jalan, baik itu
bencana alam, tertabrak mobil, atau kejatuhan bom seperti yang sedang
melanda masyarakat Irak. Semua itu adalah bentuk “pemanggilan” Allah Swt
terhadap kita. Bentuk pemanggilan yang bermacam-macam itu sudah tidak
penting bagi kita, atau bagi-Nya. Bentuk-bentuk itu hanyalah hal
“profan” yang, sudah barang tentu, rasional. Karena rumusannya adalah
rasionalitas, maka segala macam manusia akan tunduk dalam hukum ini,
yakni hukum alam.
Walaupun segala bencana adalah rasional, namun Islam mensyariatkan
kepada umatnya untuk ber-istirjaa’, yaitu ketika mendapatkan musibah
segera mengucapkan Innaa Lillaahi wa Innaa Ilayhi Raaji’uun, yang
berarti “Sesungguhnya kami adalah milik Allah Swt, dan hanya
kepada-Nya-lah kami kembali”. Ucapan ini memang terlihat sederhana,
namun ia memiliki makna teologis yang sangat mendalam, yakni
mengingatkan kita untuk senantiasa ber-Tauhid, ber-Qadhaa dan ber-Qadar.
Yang kedua, mengenai hukum alam. Hukum alam adalah hukum yang
ditetapkan (Qadhaa) oleh Allah Swt yang berkenaan dengan rumusan-rumusan
dan teori-teori tentang alam. Hukum ini akan berlaku bagi siapa saja
yang melanggarnya, baik itu kaum theis maupun atheis, orang saleh maupun
durhaka, dan sebagainya.
Dari hukum inilah seluruh aktifitas alam semesta berlangsung, dari
yang terkecil-seperti adanya hukum bahwa air akan mendidih pada suhu 100
derajat celcius, siapapun yang memasaknya, baik atheis maupun
theis-atau bahkan yang lebih kecil dari kasus itu, hingga yang
peristiwa-peristiwa terbesar yang ada di jagad dunia. Itu semua
merupakan Qadhaa-secara etimologis berarti hukum atau ketetapan. Dan
ketika manusia telah melewati proses Qadhaa itu maka dia akan mengalami
apa yang sering disebut sebagai Qadar atau Takdir. Dengan demikian,
Takdir adalah suatu hasil proses dari hukum dan ketetapan Allah Swt-yang
berupa hukum alam-dengan realitas kehidupan yang dijalani manusia.
Hukum alam yang diberlakukan oleh Allah Swt tersebut berbeda dengan
hukum Aqidah atau Syariat yang diturunkan oleh-Nya. Hukum alam yang
sedang kita hadapi sekarang adalah hukum yang hanya berlaku di dunia
fana. Sedangkan hukum Aqidah & Syariat berlaku di dunia dan (untuk
kepentingan) akhirat sekaligus. Dengan demikian, dalam hal tertentu,
hukum alam tersebut sama sekali tak memiliki kaitan “erat” dengan hukum
Aqidah & Syariat. Artinya, hukum alam akan menerkam siapa saja yang
melanggarnya, baik itu manusia-saleh, fasik & ateis-hewan dan
lainnya. Namun demikian, perlu diperhatikan, bahwasanya korban keganasan
hukum alam tak selamanya adalah pelaku dari pelanggaran atas hukum alam
tersebut. Bahkan juga bisa dikatakan bahwa proses yang terjadi dalam
hukum tak mesti melibatkan manusia. Sebagai contoh adalah
peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar angkasa. Demikian pula
sebalikya, hukum Aqidah & Syariat tak berkaitan langsung dengan
kedatangan hukuman alam.
0 komentar:
Posting Komentar