Apakah Definisi Bid'ah Dalam Islam Itu
Apa Itu Pengertian Bid’ah
Termasuk beberapa pencegah di terimanya amal ibadah kita adalah amalan yang di campuri dengan bid’ah,
walaupun dia ahli sholat, ahli shodaqoh, ahli haji, semuanya tidak akan
di terima oleh allah baik itu ibadah sunah maupun ibadah wajibnya.
Seringkali kita mendengar kata bid’ah, baik dalam ceramah maupun dalam
untaian hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. kita akan baca
materi tentang bid’ah yang besumber dari muslim.or.id
AGAMA ISLAM TELAH SEMPURNA
Saudaraku, perlu kita ketahui bersama bahwa berdasarkan kesepakatan
kaum muslimin, agama Islam ini telah sempurna sehingga tidak perlu
adanya penambahan atau pengurangan dari ajaran Islam yang telah ada.
Marilah kita renungkan hal ini pada firman Allah Ta’ala,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu.” (QS. Al Ma’idah [5] : 3)
Seorang ahli tafsir terkemuka –Ibnu Katsir rahimahullah- berkata
tentang ayat ini, “Inilah nikmat Allah ‘azza wa jalla yang tebesar bagi
umat ini di mana Allah telah menyempurnakan agama mereka, sehingga
mereka pun tidak lagi membutuhkan agama lain selain agama ini, juga
tidak membutuhkan nabi lain selain nabi mereka Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah menjadikan Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi, dan mengutusnya
kepada kalangan jin dan manusia. Maka perkara yang halal adalah yang
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam halalkan dan perkara yang haram
adalah yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam haramkan.” (Tafsir Al
Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Ma’idah ayat 3)
SYARAT DITERIMANYA AMAL
Saudaraku –yang semoga dirahmati Allah-, seseorang yang hendak
beramal hendaklah mengetahui bahwa amalannya bisa diterima oleh Allah
jika memenuhi dua syarat diterimanya amal. Kedua syarat ini telah
disebutkan sekaligus dalam sebuah ayat,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan Rabbnya
dengan sesuatu pun.” (QS. Al Kahfi [18] : 110)
Ibnu Katsir mengatakan mengenai ayat ini, “Inilah dua rukun
diterimanya amal yaitu [1] ikhlas kepada Allah dan [2] mencocoki ajaran
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang
tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20
dan Muslim no. 1718)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hadits ini adalah hadits yang
sangat agung mengenai pokok Islam. Hadits ini merupakan timbangan amalan
zhohir (lahir). Sebagaimana hadits innamal a’malu bin niyat
[sesungguhnya amal tergantung dari niatnya] merupakan timbangan amalan
batin. Apabila suatu amalan diniatkan bukan untuk mengharap wajah Allah,
pelakunya tidak akan mendapatkan ganjaran. Begitu pula setiap amalan
yang bukan ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak.
Segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada izin dari
Allah dan Rasul-Nya, maka perkara tersebut bukanlah agama sama sekali.”
(Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 77, Darul Hadits Al Qohiroh)
Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Secara tekstual (mantuq),
hadits ini menunjukkan bahwa setiap amal yang tidak ada tuntunan dari
syari’at maka amalan tersebut tertolak. Secara inplisit (mafhum), hadits
ini menunjukkan bahwa setiap amal yang ada tuntunan dari syari’at maka
amalan tersebut tidak tertolak. …Jika suatu amalan keluar dari koriodor
syari’at, maka amalan tersebut tertolak.
Dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘yang bukan ajaran
kami’ mengisyaratkan bahwa setiap amal yang dilakukan hendaknya berada
dalam koridor syari’at. Oleh karena itu, syari’atlah yang nantinya
menjadi hakim bagi setiap amalan apakah amalan tersebut diperintahkan
atau dilarang. Jadi, apabila seseorang melakukan suatu amalan yang masih
berada dalam koridor syari’at dan mencocokinya, amalan tersebutlah yang
diterima. Sebaliknya, apabila seseorang melakukan suatu amalan keluar
dari ketentuan syari’at, maka amalan tersebut tertolak. (Jami’ul Ulum
wal Hikam, hal. 77-78)
Jadi, ingatlah wahai saudaraku. Sebuah amalan dapat diterima jika
memenuhi dua syarat ini yaitu harus ikhlas dan sesuai dengan tuntunan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika salah satu dari dua
syarat ini tidak ada, maka amalan tersebut tertolak.
PENGERTIAN BID’AH
Bid’ah secara bahasa berarti
membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. (Lihat Al Mu’jam Al Wasith,
1/91, Majma’ Al Lugoh Al ‘Arobiyah-Asy Syamilah)
Hal ini sebagaimana dapat dilihat dalam firman Allah Ta’ala,
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah Pencipta langit dan bumi.” (QS. Al Baqarah [2] : 117, Al An’am
[6] : 101), maksudnya adalah mencipta (membuat) tanpa ada contoh
sebelumnya.
Juga firman-Nya,
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ
“Katakanlah: ‘Aku bukanlah yang membuat bid’ah di antara
rasul-rasul’.” (QS. Al Ahqaf [46] : 9) , maksudnya aku bukanlah Rasul
pertama yang diutus ke dunia ini. (Lihat Lisanul ‘Arob, 8/6, Barnamej Al
Muhadits Al Majaniy-Asy Syamilah)
[Definisi Secara Istilah]
Definisi bid’ah secara istilah yang paling bagus adalah definisi yang
dikemukakan oleh Al Imam Asy Syatibi dalam Al I’tishom. Beliau
mengatakan bahwa bid’ah adalah:
عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي
الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي
التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ
Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa
ada dalil, pen) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang
dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam
beribadah kepada Allah Ta’ala.
Definisi di atas adalah untuk definisi bid’ah yang khusus ibadah dan tidak termasuk di dalamnya adat (tradisi).
Adapun yang memasukkan adat (tradisi) dalam makna bid’ah, mereka mendefinisikan bahwa bid’ah adalah
طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ
يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا مَا يُقْصَدُ بِالطَّرِيْقَةِ
الشَّرْعِيَّةِ
Suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) dan
menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika melakukan
(adat tersebut) adalah sebagaimana niat ketika menjalani syari’at (yaitu
untuk mendekatkan diri pada Allah). (Al I’tishom, 1/26, Asy Syamilah)
Definisi Bid’ah Dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Definisi bid’ah yang tidak kalah bagusnya adalah dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan,
وَالْبِدْعَةُ : مَا خَالَفَتْ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ أَوْ إجْمَاعَ سَلَفِ الْأُمَّةِ مِنْ الِاعْتِقَادَاتِ وَالْعِبَادَاتِ
“Bid’ah adalah i’tiqod (keyakinan) dan ibadah yang menyelishi Al
Kitab dan As Sunnah atau ijma’ (kesepakatan) salaf.” (Majmu’ Al Fatawa,
18/346, Asy Syamilah)
Ringkasnya pengertian bid’ah secara istilah adalah suatu hal yang
baru dalam masalah agama setelah agama tersebut sempurna. (Hal ini
sebagaimana dikatakan oleh Al Fairuz Abadiy dalam Basho’iru Dzawit
Tamyiz, 2/231, yang dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 26, Dar Ar
Royah)
Sebenarnya terjadi perselisihan dalam definisi bid’ah secara istilah.
Ada yang memakai definisi bid’ah sebagai lawan dari sunnah (ajaran Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam), sebagaimana yang dipilih oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, Asy Syatibi, Ibnu Hajar Al Atsqolani, Ibnu Hajar Al
Haitami, Ibnu Rojab Al Hambali dan Az Zarkasi. Sedangkan pendapat kedua
mendefinisikan bid’ah secara umum, mencakup segala sesuatu yang
diada-adakan setelah masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik
yang terpuji dan tercela. Pendapat kedua ini dipilih oleh Imam Asy
Syafi’i, Al ‘Izz bin Abdus Salam, Al Ghozali, Al Qorofi dan Ibnul Atsir.
Pendapat yang lebih kuat dari dua kubu ini adalah pendapat pertama
karena itulah yang mendekati kebenaran berdasarkan keumuman dalil yang
melarang bid’ah. Dan penjelasan ini akan lebih diperjelas dalam
penjelasan selanjutnya. (Lihat argumen masing-masing pihak dalam Al
Bida’ Al Hawliyah, Abdullah At Tuwaijiri.
0 komentar:
Posting Komentar