Ujian adalah suatu yang pasti menimpa orang Mukmin.
Ujian bisa berbentuk perkara yang menyenangkan atau bisa juga berwujud
sesuatu yang menyusahkan.
Allâh Ta'âla berfirman :
"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.
Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya).
Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan."
(QS. al-Anbiyâ’/21: 35)
Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan."
(QS. al-Anbiyâ’/21: 35)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullâh
berkata, “(Kematian) ini akan menimpa semua jiwa makhluk. Sesungguhnya
kematian ini merupakan minuman yang yang harus diminum (dirasakan),
walaupun seorang manusia itu sudah hidup lama dan diberi umur (panjang)
bertahun-tahun (pasti akan merasakan kematian -pen). Tetapi Allâh Ta'âla
menciptakan para hamba-Nya di dunia, memberikan kepada mereka perintah
dan larangan, menguji mereka dengan kebaikan dan keburukan, dengan
kekayaan dan kemiskinan, kemuliaan dan kehinaan, kehidupan dan kematian,
sebagai cobaan dari Allâh Ta'âla untuk menguji mereka, siapa di antara
mereka yang paling baik perbuataannya. Siapa yang akan tersesat atau
selamat di tempat-tempat ujian.” (Taisîr Karîmir Rahmân, surat
al-Anbiya’ ayat ke-35)
KEMATIAN ORANG TERSAYANG
Di antara bentuk ujian yang Allâh Ta'âla berikan
kepada para hamba-Nya adalah dengan mewafatkan orang tersayang, baik itu
orang tua, suami, istri, anak, saudara, atau lainnya.
Allâh Ta'âla berfirman :
"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.
Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan,
'Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji'ûn'.
Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka
dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk."
(QS. al-Baqarah/2:155-157)
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.
Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan,
'Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji'ûn'.
Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka
dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk."
(QS. al-Baqarah/2:155-157)
Semua itu harus dihadapi dengan kesabaran. Hati
menerima, lisan mengucapkan "Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji'ûn
(Sesungguhnya kita ini milik Allâh Ta'âla dan sesungguhnya hanya
kepada-Nya kita semua akan kembali menghadap pengadilan-Nya), dan
anggota badan pun tidak melakukan perbuatan yang dilarang agama, seperti
menjerit, menampar pipi, merobek baju dan semacamnya.
DUA PERKARA YANG DIBENCI MANUSIA
Manusia memiliki ilmu yang sangat terbatas, sehingga
seringkali penilaiannya terhadap sesuatu itu itu tidak sesuai dengan
kenyaatan. Manusia terkadang menyukai suatu perkara, padahal perkara itu
akan berpotensi untuk mencelakakannya. Demikian juga terkadang membenci
suatu perkara, padahal sesuatu yang dibencinya itu baik dan bermanfaat
baginya.
Allâh Ta'âla berfirman :
"Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci.
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu,
dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu;
Allâh mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."
(QS. al-Baqarah/2: 216)
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu,
dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu;
Allâh mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."
(QS. al-Baqarah/2: 216)
Oleh karena itu, ketika seseorang ditimpa ujian
kematian orang yang dicintai, dia harus husnuzhan (berprasangka baik)
kepada Allâh Ta'âla dan berusaha menghadapi musibah ini dengan penuh
kesabaran. Diantara cara meraih kesabaran ketika ditinggal mati oleh
orang yang dicintai, dan orang yang mati tersebut insya Allâh adalah
seorang Mukmin, adalah dengan meyakini bahwa kematiannya adalah
merupakan kebaikan bagi dia sebagai seorang Mukmin.
Sesungguhnya ada dua perkara yang dibenci oleh manusia, padahal dua perkara tersebut baik bagi seorang Mukmin.
عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّم قَالَ:
اثْنَتَانِ يَكْرَهُهُمَا ابْنُ آدَمَ الْمَوْتُ وَالْمَوْتُ خَيْرٌ لِلْمُؤْمِنِ مِنَ الْفِتْنَةِ
وَيَكْرَهُ قِلَّةَ الْمَالِ وَقِلَّةُ الْمَالِ أَقُلُّ لِلْحِسَابِ
اثْنَتَانِ يَكْرَهُهُمَا ابْنُ آدَمَ الْمَوْتُ وَالْمَوْتُ خَيْرٌ لِلْمُؤْمِنِ مِنَ الْفِتْنَةِ
وَيَكْرَهُ قِلَّةَ الْمَالِ وَقِلَّةُ الْمَالِ أَقُلُّ لِلْحِسَابِ
Dari Mahmud bin Labid bahwa Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Dua perkara yang dibenci anak Adam, (pertama) kematian,
padahal kematian itu lebih baik bagi seorang Mukmin daripada fitnah (kesesatan di dalam agama).
(Kedua) dia membenci sedikit harta, padahal sedikit harta itu
lebih menyedikitkan hisab (perhitungan amal).
“Dua perkara yang dibenci anak Adam, (pertama) kematian,
padahal kematian itu lebih baik bagi seorang Mukmin daripada fitnah (kesesatan di dalam agama).
(Kedua) dia membenci sedikit harta, padahal sedikit harta itu
lebih menyedikitkan hisab (perhitungan amal).
(HR. Ahmad, dan lain-lain, dishahihkan oleh al-Albâni di dalam ash-Shahîhah, no. 813)
Hal ini juga sangat difahami oleh sebagian sahabat, oleh karena itu Abdullah bin Mas’ud radhiyallâhu 'anhu berkata:
،يَا حَبَّذَا الْمَكْرُوهَانِ: الْمَوْتُ وَالْفَقْرُ
،وَأَيْمُ اللَّهِ أَلا إِنَّ الْغِنَى وَالْفَقْرَ وَمَا أُبَالِي بِأَيِّهِمَا ابْتُلِيتُ
إِنْ كَانَ الْغِنَى إِنَّ فِيهِ لَلْعَطْفِ، وَإِنْ كَانَ الْفَقْرُ إِنَّ فِيهِ لِلصَّبْرِ
،وَأَيْمُ اللَّهِ أَلا إِنَّ الْغِنَى وَالْفَقْرَ وَمَا أُبَالِي بِأَيِّهِمَا ابْتُلِيتُ
إِنْ كَانَ الْغِنَى إِنَّ فِيهِ لَلْعَطْفِ، وَإِنْ كَانَ الْفَقْرُ إِنَّ فِيهِ لِلصَّبْرِ
"Alangkah bagusnya dua perkara yang dibenci (yaitu) kematian dan kefakiran.
Demi Allâh, ketahuilah sesungguhnya kekayaan atau kemiskinan,
aku tidak peduli dengan yang mana dari keduanya aku diuji.
Jika aku diuji dengan kekayaan, maka sesungguhnya di dalam kekayaan itu untuk menolong.
Jika aku diuji dengan kefakiran, maka sesungguhnya di dalam kefakiran itu untuk kesabaran."
(HR. Thabarani; Ahmad di dalam Az-Zuhd; dll)
Demi Allâh, ketahuilah sesungguhnya kekayaan atau kemiskinan,
aku tidak peduli dengan yang mana dari keduanya aku diuji.
Jika aku diuji dengan kekayaan, maka sesungguhnya di dalam kekayaan itu untuk menolong.
Jika aku diuji dengan kefakiran, maka sesungguhnya di dalam kefakiran itu untuk kesabaran."
(HR. Thabarani; Ahmad di dalam Az-Zuhd; dll)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallâhu 'anhu juga berkata :
"Demi Allâh Ta'âla
Yang tidak ada ilah yang haq kecuali Dia. Tidak ada satu jiwapun yang
mati kecuali kematian lebih baik darinya. Jika dia seorang yang
berbakti, maka sesungguhnya Allâh Ta'âla berfirman, (yang artinya) 'Dan
apa yang di sisi Allâh adalah lebih baik bagi orang-orang yang
berbakti.' (QS. Ali ‘Imran/198). Jika dia seorang yang fajir (jahat),
maka sesungguhnya Allâh Ta'âla berfirman (yang artinya), 'Janganlah
sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa pemberian tangguh Kami
kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi
tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka' (QS.
Ali ‘Imran/178)" (Riwayat Thabaroni, dll)
Ayat yang mulia ini (QS. Ali ‘Imran/178) menunjukkan
adanya problem dan syubhat yang merasuki sebagian hati manusia, yaitu
musuh-musuh kebenaran tidak mendapatkan siksa di dunia, diberi
kesenangan secara lahiriyah dengan kekuatan, kekuasaan, harta benda, dan
kedudukan! Yang hal ini menimbulkan kesesatan di hati mereka dan
orang-orang yang berada di sekitar mereka. Ini juga membuat orang-orang
yang imannya lemah berburuk sangka kepada Allâh Ta'âla, prasangka yang
tidak benar, prasangka jahiliyah, yaitu menyangka Allâh Ta'âla meridhai
kebatilan dan keburukan. Mereka mengatakan bahwa jika Allâh Ta'âla tidak
meridhainya, tentu Allâh Ta'âla tidak akan membiarkannya membesar dan
berkuasa.
Ketahuilah wahai saudara-saudaraku, sesungguhnya
ketika Allâh Ta'âla tidak segera menyiksa mereka, ketika Allâh
memberikan berbagai kesenangan di dunia, itu semua hanyalah tipu daya
terhadap mereka, karena Allâh tidak menghendaki kebaikan bagi mereka.
KEMATIAN, ISTIRAHAT BAGI SEORANG MUKMIN
Dunia adalah ibarat penjara bagi seorang Mukmin. Ini
artinya, jika seorang Mukmin meninggal dunia berarti dia terbebas dari
penjara tersebut.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ
وَجَنَّةُ الْكَافِرِ
Dari Abu Hurairah radhiyallâhu 'anhu, dia berkata:
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Dunia itu penjara seorang mukmin dan sorga orang kafir”.
(HR. Muslim, no. 2956)
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Dunia itu penjara seorang mukmin dan sorga orang kafir”.
(HR. Muslim, no. 2956)
Imam Nawawi rahimahullâh menjelaskan hadits ini
dengan perkataan, “Maknanya bahwa semua orang Mukmin di dunia ini
dipenjara atau dilarang dari syahwat-syahwat (perkara-perkara yang
disukai) yang diharamkan dan dimakruhkan, dibebani dengan melaksanakan
ketaatan-ketaatan yang berat. Maka jika dia telah meninggal dunia, dia
istirahat dari ini, dan dia kembali menuju perkara yang telah dijanjikan
oleh Allâh Ta'âla untuknya, berupa kenikmatan abadi dan istirahat yang
bebas dari kekurangan. Sedangkan orang kafir, maka dia mendapatkan
kenikmatan di dunia, dengan sedikitnya kenikmatan itu dan disusahkan
dengan perkara-perkara yang menyusahkan. Jika dia mati, dia menuju
siksaan abadi dan kecelakaan yang kekal”. (Syarh Nawawi pada Shahih
Muslim, no. 2956)
Kematian seorang Mumin merupakan istirahat baginya,
sebagaimana dinyatakan oleh imam Nawawi rahimahullâh di atas, dijelaskan
oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam di dalam haditsnya
sebagai berikut :
وعَنِ أَبِى قَتَادَةَ بْنِ رِبْعِىٍّ الأَنْصَارِىِّ
أَنَّهُ كَانَ يُحَدِّثُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ
سَلَّم مُرَّ عَلَيْهِ بِجِنَازَةٍ فَقَالَ : مُسْتَرِيحٌ ، وَمُسْتَرَاحٌ
مِنْهُ . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْمُسْتَرِيحُ وَالْمُسْتَرَاحُ
مِنْهُ قَالَ: الْعَبْدُ الْمُؤْمِنُ يَسْتَرِيحُ مِنْ نَصَبِ الدُّنْيَا
وَأَذَاهَا إِلَى رَحْمَةِ اللَّهِ ، وَالْعَبْدُ الْفَاجِرُ يَسْتَرِيحُ
مِنْهُ الْعِبَادُ وَالْبِلاَدُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ
Dari Abu Qatadah bin Rib’i al-Anshâri, dia menceritakan bahwa
ada jenazah yang (dipikul) melewati Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam,
maka beliau bersabda,
“Orang yang beristirahat, dan orang yang diistirahatkan darinya”.
Mereka (para sahabat) bertanya,
“Wahai Rasûlullâh, apakah (maksud) orang yang beristirahat, dan orang yang diistirahatkan darinya?”
Beliau menjawab,
“Seorang hamba yang Mukmin beristirahat dari kepayahan dan gangguan dunia menuju rahmat Allâh.
Sedangkan hamba yang fajir (jahat),
maka banyak manusia, bumi, pepohonan, dan binatang, beristirahat darinya”.
(HR. al-Bukhâri, no. 6512 dan Muslim, no. 950)
ada jenazah yang (dipikul) melewati Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam,
maka beliau bersabda,
“Orang yang beristirahat, dan orang yang diistirahatkan darinya”.
Mereka (para sahabat) bertanya,
“Wahai Rasûlullâh, apakah (maksud) orang yang beristirahat, dan orang yang diistirahatkan darinya?”
Beliau menjawab,
“Seorang hamba yang Mukmin beristirahat dari kepayahan dan gangguan dunia menuju rahmat Allâh.
Sedangkan hamba yang fajir (jahat),
maka banyak manusia, bumi, pepohonan, dan binatang, beristirahat darinya”.
(HR. al-Bukhâri, no. 6512 dan Muslim, no. 950)
Ibnut Tien rahimahullâh berkata, “(Yang
dimaksudkan seorang Mukmin dalam hadits di atas) kemungkinan adalah
khusus orang yang bertakwa, atau semua orang Mukmin. Adapun yang
dimaksudkan seorang fajir (jahat) di dalam hadits di atas kemungkinan
adalah orang yang kafir, atau termasuk orang yang bermaksiat.”
Ad-Dawudi rahimahullâh berkata, “Adapun
istirahatnya manusia adalah karena kemungkaran yang dilakukan oleh orang
fajir itu, jika manusia mengingkarinya, dia mengganggu mereka; namun
jika mereka membiarkannya, maka mereka berdosa. Adapun istirahatnya kota
(bilad) karena kemaksiatan-kemaksiatan yang dilakukan oleh orang fajir
itu (telah sirna -red). Karena hal itu menyebabkan tidak turun hujan,
yang berakibat kebinasaan pertanian dan peternakan”.
Tetapi al-Baji rahimahullâh mengkritik
bagian awal dari perkataan ad-Dawudi, yaitu bahwa orang yang mendapatkan
gangguannya, maka dia tidak berdosa dengan tidak mengingkarinya, jika
dia telah mengingkari dengan hatinya. Atau dia mengingkari
kemungkarannya dengan cara yang bisa menghindarkan dirinya dari gangguan
si pelaku kejahatan. Dan kemungkinan yang dimaksudkan dengan
"istirahatnya manusia darinya" adalah karena kezhalimannya yang menimpa
manusia (telah terhenti). Sedangkan "istirahatnya bumi darinya" karena
perbuatannya yang merampas bumi, menghalanginya dari hak bumi, dan dia
mempergunakan bumi untuk perkara yang tidak selayaknya. Sedangkan
"istirahatnya binatang" karena perkara yang seharusnya tidak boleh
dilakukan, yaitu (seperti) melelahkannya. Wallahu a’lam.” (Fathul Bari,
no, hadits 6512).
Sedikit penjelasan ini semoga bisa menghibur orang yang tertimpa musibah kehilangan orang yang dicintainya.
Wallâhul Musta’an.
(Majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVI)
0 komentar:
Posting Komentar