Betapa agungnya hakmu terhadapku. Andai ada manusia yang boleh
kubersujud kepadanya, engkaulah yang tertuju, sebuah pengandaian yang
kuketahui dari Rasulku. Namun aduhai diri ini, alangkah sesalku… betapa
kurangnya memenuhi hakmu. Hanyalah pengampunan Rabbku, kemudian
pemaafanmu atas segala celaku…
Sebuah pernyataan yang memang semestinya terucap dari lisan seorang
istri yang tahu ‘kadar’ seorang suami berikut haknya. Bagaimana tidak,
sementara Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمُرُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةََ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا وَلاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهَا كُلَّهُ حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا عَلَيْهَا كُلَّهَا حَتَّى لَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَىظَهْرِ قَتَبٍ لَأَعْطَتْهُ إِيَّاهُ
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang
lain[1] niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada
suaminya[2]. Dan tidaklah seorang istri dapat menunaikan seluruh hak
Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadapnya hingga ia menunaikan seluruh hak
suaminya. Sampai-sampai jika suaminya meminta dirinya (mengajaknya
jima’) sementara ia sedang berada di atas pelana (yang dipasang di atas
unta) maka ia harus memberikannya (tidak boleh menolak).”[3] (HR. Ahmad
4/381. Dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu
dalam Irwa` Al-Ghalil no. 1998 dan Ash-Shahihah no. 3366)
Al-Hushain bin Mihshan rahimahullahu menceritakan bahwa bibinya
pernah datang ke tempat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena satu
keperluan. Seselesainya dari keperluan tersebut, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya:
أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab: “Sudah.”
“Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?” tanya Rasulullah lagi. Ia
menjawab: “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang
aku tidak mampu.” Rasulullah bersabda: “Lihatlah di mana keberadaanmu
dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan
nerakamu.” (HR. Ahmad 4/341 dan selainnya, lihat Ash-Shahihah no. 2612)
Di antara sekian banyak hak suami, beberapa di antaranya dapat kita rinci berikut ini:
Pertama: Ditaati dalam selain perkara maksiat.
Suami memiliki hak terhadap istrinya untuk ditaati dalam seluruh perkara asalkan bukan perkara maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Suami memiliki hak terhadap istrinya untuk ditaati dalam seluruh perkara asalkan bukan perkara maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ
“Hanyalah ketaatan itu dalam perkara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari no. 7145 dan Muslim no. 4742)
Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memperingatkan:
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Ahmad 1/131, dishahihkan sanadnya oleh
Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu dalam syarah dan catatan kakinya
terhadap Musnad Al-Imam Ahmad dan dishahihkan pula dalam Ash-Shahihah
no. 181)
Sehingga bila suami memerintahkan istrinya untuk berbuat maksiat
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti disuruh keluar rumah dengan
tabarruj, wajib bagi si istri untuk menolaknya. Bila ia menaati suaminya
berarti ia berbuat dosa sebagaimana suaminya berdosa karena telah
memerintahkannya bermaksiat.
Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya istri menaati suaminya
adalah adanya perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala agar suami
memberikan ‘pengajaran’ kepada istrinya bila ia enggan untuk taat, dan
sebaliknya Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang seorang suami untuk
menyakiti istrinya bila si istri taat kepadanya. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
وَاللاَّتِي تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً
“Dan para istri yang kalian khawatirkan (kalian ketahui dan yakini)
nusyuz[4]nya maka hendaklah kalian menasihati mereka, meninggalkan
mereka di tempat tidur, dan memukul mereka. Kemudian jika mereka menaati
kalian maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan
mereka.” (An-Nisa`: 34)
Ayat di atas menunjukkan, ‘pengajaran’[5] diberikan kepada istri dikarenakan ia tidak taat kepada suaminya, yang berarti taat kepada suami itu wajib.
Termasuk taat yang wajib ditunaikan kepada suami adalah memenuhi
panggilan suami ke tempat tidur serta tidak boleh menolak “hasrat”-nya.
Istri yang menolak “ajakan” suaminya diancam oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabda beliau:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتََهُ إِلَى فِِِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri
menolak untuk datang maka para malaikat akan melaknatnya sampai pagi.”
(HR. Al-Bukhari no. 5194 dan Muslim no. 3524)
Dalam riwayat Muslim (no. 3525) disebutkan dengan lafadz:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami
memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak ajakan
suaminya melainkan yang di langit (penduduk langit) murka pada istri
tersebut sampai suaminya ridha kepadanya.”
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Hadits ini merupakan dalil
haramnya seorang istri menolak mendatangi tempat tidur suaminya tanpa
ada udzur syar’i. Dan haid bukanlah udzur untuk menolak panggilan suami
karena suami punya hak untuk istimta’ (bermesraan/bernikmat-nikmat)
dengan si istri pada bagian atas izarnya[6]. Makna hadits di atas adalah
laknat terus menerus diterima si istri hingga hilang maksiatnya dengan
terbitnya fajar sehingga suami tidak membutuhkannya lagi, atau dengan
taubatnya si istri dan kembalinya dia ke tempat tidur.” (Al-Minhaj,
9/249)
Dalam hadits ini pun ada bimbingan kepada istri untuk membantu
memenuhi kebutuhan suaminya dan mencari keridhaannya. (Fathul Bari,
9/366)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menyatakan, wajib bagi istri untuk
taat kepada suaminya sebatas kemampuannya dalam perkara yang
diperintahkan suami, karena hal ini termasuk keutamaan yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada kaum lelaki. Sebagaimana dalam ayat:
الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلىَ النِّسَاءِ
“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (An-Nisa`: 34)
Dan ayat:
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
“Dan kaum lelaki memiliki kedudukan satu derajat di atas kaum wanita.”
Hadits-hadits shahih yang ada memperkuat makna ini dan menjelaskan
dengan terang apa yang akan diperoleh wanita dari kebaikan ataupun
kejelekan, bila ia menaati suaminya atau mendurhakainya. (Adabuz Zifaf,
hal. 175-176)
Kedua: Istri tidak boleh keluar rumah kecuali dengan izin suami.
Seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin
suaminya. Baik si istri keluar untuk mengunjungi kedua orangtuanya
ataupun untuk kebutuhan yang lain, sampaipun untuk keperluan shalat di
masjid.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu mengatakan, “Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya.” Beliau juga berkata, “Bila si istri keluar rumah suami tanpa izinnya berarti ia telah berbuat nusyuz, bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, serta pantas mendapatkan hukuman.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32/281)
Ketiga: Istri tidak boleh puasa sunnah kecuali dengan izin suaminya.
Bila seorang istri hendak mengerjakan puasa Ramadhan, ia tidak perlu meminta izin kepada suaminya karena puasa Ramadhan hukumnya wajib, haram ditinggalkan tanpa udzur syar’i. Bila sampai suaminya melarang, ia tidak boleh menaatinya. Karena tidak boleh menaati makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq.
Bila seorang istri hendak mengerjakan puasa Ramadhan, ia tidak perlu meminta izin kepada suaminya karena puasa Ramadhan hukumnya wajib, haram ditinggalkan tanpa udzur syar’i. Bila sampai suaminya melarang, ia tidak boleh menaatinya. Karena tidak boleh menaati makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq.
Namun bila si istri hendak puasa sunnah/tathawwu’, ia harus meminta izin kepada suaminya. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang istri puasa (sunnah) sementara suaminya ada di
tempat kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan
Muslim no. 1026)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Larangan ini menunjukkan
keharaman. Demikian yang diterangkan dengan jelas oleh kalangan ulama
dari madzhab kami.” (Al-Minhaj, 7/116)
Hal ini merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana disebutkan dalam Fathul Bari (9/367).
Adapun sebab/alasan pelarangan tersebut, wallahu a’lam, karena suami
memiliki hak untuk istimta’ dengan si istri sepanjang hari. Haknya ini
wajib untuk segera ditunaikan dan tidak boleh luput penunaiannya karena
si istri sedang melakukan ibadah sunnah ataupun ibadah yang wajib namun
dapat ditunda. (Al-Minhaj, 7/116)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu mengatakan: “Hadits
ini menunjukkan lebih ditekankan kepada istri untuk memenuhi hak suami
daripada mengerjakan kebajikan yang hukumnya sunnah. Karena hak suami
itu wajib, sementara menunaikan kewajiban lebih didahulukan daripada
menunaikan perkara yang sunnah.” (Fathul Bari, 9/357)
Keempat: Istri tidak boleh mengizinkan seseorang masuk ke rumah suami kecuali dengan izinnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang hal ini dalam sabdanya:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang hal ini dalam sabdanya:
وَلاَ تَأْذَنْ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang istri mengizinkan seseorang masuk ke rumah suaminya
terkecuali dengan izin suaminya.” (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim
no. 2367)
‘Amr ibnul Ahwash radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sabda beliau:
أَلاَ إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائكُِمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ، أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ فيِ كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ
“Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka
pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah
mereka tidak boleh membiarkan seorang yang tidak kalian sukai untuk
menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang
kalian benci untuk memasuki rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap
kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan
makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851,
dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi
dan Shahih Ibni Majah)
Kelima: Mendapatkan pelayanan (khidmat) dari istrinya.
Semestinya seorang istri membantu suaminya dalam kehidupannya. Hal ini telah dicontohkan oleh istri-istri shalihah dari kalangan shahabiyah seperti yang dilakukan Asma` bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma yang berkhidmat kepada suaminya, Az-Zubair ibnul ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu. Ia mengurusi hewan tunggangan suaminya, memberi makan dan minum kudanya, menjahit dan menambal embernya, serta mengadon tepung untuk membuat kue. Ia yang memikul biji-bijian dari tanah milik suaminya sementara jarak tempat tinggalnya dengan tanah tersebut sekitar 2/3 farsakh[7].” (HR. Al-Bukhari no. 5224 dan Muslim no. 2182)
Semestinya seorang istri membantu suaminya dalam kehidupannya. Hal ini telah dicontohkan oleh istri-istri shalihah dari kalangan shahabiyah seperti yang dilakukan Asma` bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma yang berkhidmat kepada suaminya, Az-Zubair ibnul ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu. Ia mengurusi hewan tunggangan suaminya, memberi makan dan minum kudanya, menjahit dan menambal embernya, serta mengadon tepung untuk membuat kue. Ia yang memikul biji-bijian dari tanah milik suaminya sementara jarak tempat tinggalnya dengan tanah tersebut sekitar 2/3 farsakh[7].” (HR. Al-Bukhari no. 5224 dan Muslim no. 2182)
Demikian pula khidmat Fathimah bintu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam di rumah suaminya, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
Sampai-sampai kedua tangannya lecet karena menggiling gandum. (HR.
Al-Bukhari no. 6318 dan Muslim no. 2727)
Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jabir bin Abdillah
radhiyallahu ‘anhu, menikahi seorang janda agar bisa berkhidmat padanya
dengan mengurusi 7 atau 9 saudara perempuannya yang masih belia. Kata
Jabir kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ayahku,
Abdullah, telah wafat dan ia meninggalkan banyak anak perempuan. Aku
tidak suka mendatangkan di tengah-tengah mereka wanita yang sama dengan
mereka. Maka aku pun menikahi seorang wanita yang bisa mengurusi dan
merawat mereka.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan
Jabir:
فَباَرَكَ اللهُ لَكَ – أَوْ: خَيْرًا -
“Semoga Allah memberkahimu.” Atau beliau berkata, “Semoga kebaikan untukmu.” (HR. Al-Bukhari no. 5367 dan Muslim no. 3623)
Keenam: Disyukuri kebaikan yang diberikannya.
Seorang istri harus pandai-pandai berterima kasih kepada suaminya atas semua yang telah diberikan suaminya kepadanya. Bila tidak, si istri akan berhadapan dengan ancaman neraka Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Seorang istri harus pandai-pandai berterima kasih kepada suaminya atas semua yang telah diberikan suaminya kepadanya. Bila tidak, si istri akan berhadapan dengan ancaman neraka Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Seselesainya dari Shalat Kusuf (Shalat Gerhana), Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda menceritakan surga dan neraka yang
diperlihatkan kepada beliau ketika shalat:
وَرَأَيْتُ النَّارَ فَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ مَنْظَرًا قَطُّ وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ. قَالُوا: لِمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: بِكُفْرِهِنَّ. قِيْلَ: يَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ اْلإِحْسَانَ، لَوْ أَََحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
“Dan aku melihat neraka. Aku belum pernah sama sekali melihat
pemandangan seperti hari ini. Dan aku lihat ternyata mayoritas
penghuninya adalah para wanita.” Mereka bertanya, “Kenapa para wanita
menjadi mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab,
“Disebabkan kekufuran mereka[8].” Ada yang bertanya kepada beliau:
“Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?” Beliau menjawab: “(Tidak,
melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami).
Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka pada
suatu masa, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang
tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata: ‘Aku sama sekali
belum pernah melihat kebaikan darimu’.” (HR. Al-Bukhari no. 5197 dan
Muslim no. 2106)
Al-Qadhi Ibnul ‘Arabi rahimahullahu berkata: “Dalam hadits ini
disebutkan secara khusus dosa kufur/ingkar terhadap suami di antara
sekian dosa lainnya. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menyatakan: ‘Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud
kepada orang lain (sesama makluk) niscaya aku perintahkan seorang istri
untuk sujud kepada suaminya.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengandaikan hak suami terhadap istri dengan hak Allah Subhanahu wa
Ta’ala9, maka bila seorang istri mengkufuri/mengingkari hak suaminya,
sementara hak suami terhadapnya telah mencapai puncak yang sedemikian
besar, hal itu sebagai bukti istri tersebut meremehkan hak Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Karena itulah diberikan istilah kufur atas
perbuatannya. Akan tetapi kufurnya tidak sampai mengeluarkan dari
agama.” (Fathul Bari, 1/106)
Dalam kitab Ash-Shahihain disebutkan bahwa pada hari Idul Adha atau
Idul Fithri, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju
lapangan untuk melaksanakan shalat. Setelahnya beliau berkhutbah dan
ketika melewati para wanita beliau bersabda: “Wahai sekalian wanita,
bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar (meminta ampun) karena
sungguh diperlihatkan kepadaku mayoritas kalian adalah penghuni neraka.”
Salah seorang wanita yang hadir di tempat tersebut bertanya: “Apa
sebabnya kami menjadi mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah?” Beliau
menjawab: “Kalian banyak melaknat dan mengkufuri kebaikan suami. Aku
belum pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya namun dapat
menundukkan lelaki yang memiliki akal yang sempurna daripada kalian.”
Demikianlah, wahai para istri yang shalihah, beberapa hak suami yang dapat kami sebutkan. Tunaikanlah dengan sebaik-baiknya. Dan mohonlah pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menunaikannya.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Catatan kaki:
[1] Sujud kepada sesama makhluk.
[2] Namun tidak dibolehkan bersujud kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
[3] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian berkaitan dengan penuturan Abdullah ibnu Abi Aufa berikut ini: “Ketika Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu datang ke negeri Yaman atau Syam, ia melihat orang-orang Nasrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja mereka. Maka ia memandang dan memastikan dalam hatinya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu. Sekembalinya ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata: ‘Ya Rasulullah, aku melihat orang-orang Nasrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja mereka. Maka aku memandang dan memastikan dalam hatiku bahwa engkaulah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu’.”
[4] Nusyuz ini bisa berupa ucapan atau perbuatan, ataupun kedua-duanya. Ibnu Taimiyyah rahimahullahu mengatakan: “Nusyuz istri adalah ia tidak menaati suaminya apabila suaminya mengajaknya ke tempat tidur, atau keluar rumah tanpa minta izin kepada suami, dan perkara semisalnya yang seharusnya ia tunaikan sebagai wujud ketaatan kepada suaminya.” (Majmu’ Fatawa, 32/277)
Termasuk nusyuz istri adalah enggan berhias sementara suaminya menginginkannya. Juga meninggalkan kewajiban-kewajiban agama seperti meninggalkan shalat, puasa, haji, dan sebagainya. (An-Nusyuz, Asy-Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlan)
[5] Dalam wujud diboikot di tempat tidur atau dipukul (yang tidak meninggalkan cacat).
[6] Izar bisa kita maknakan dengan kain yang menutupi bagian kemaluan si istri karena hanya bagian ini saja yang diharamkan ketika si istri sedang haid. Dalilnya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para suami:
اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ
“Berbuatlah segala sesuatu (dengan istri kalian) kecuali nikah (maksudkan jangan melakukan jima`).” (HR. Abu Dawud no. 2165, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
[7] 1 farsakh kurang lebih 8 km atau 3,5 mil.
[8] Yang dimaksud dengan kufur di sini adalah kufur ashghar (kufur kecil) yaitu kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari keimanan. Pelakunya tetap seorang muslim. Namun karena dosa yang diperbuat, pantas mendapatkan siksa di dalam neraka walaupun tidak kekal di dalamnya sebagaimana pelaku kufur akbar (kufur besar). Kufur ini yang diistilahkan kufrun duna kufrin.
[1] Sujud kepada sesama makhluk.
[2] Namun tidak dibolehkan bersujud kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
[3] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian berkaitan dengan penuturan Abdullah ibnu Abi Aufa berikut ini: “Ketika Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu datang ke negeri Yaman atau Syam, ia melihat orang-orang Nasrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja mereka. Maka ia memandang dan memastikan dalam hatinya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu. Sekembalinya ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata: ‘Ya Rasulullah, aku melihat orang-orang Nasrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja mereka. Maka aku memandang dan memastikan dalam hatiku bahwa engkaulah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu’.”
[4] Nusyuz ini bisa berupa ucapan atau perbuatan, ataupun kedua-duanya. Ibnu Taimiyyah rahimahullahu mengatakan: “Nusyuz istri adalah ia tidak menaati suaminya apabila suaminya mengajaknya ke tempat tidur, atau keluar rumah tanpa minta izin kepada suami, dan perkara semisalnya yang seharusnya ia tunaikan sebagai wujud ketaatan kepada suaminya.” (Majmu’ Fatawa, 32/277)
Termasuk nusyuz istri adalah enggan berhias sementara suaminya menginginkannya. Juga meninggalkan kewajiban-kewajiban agama seperti meninggalkan shalat, puasa, haji, dan sebagainya. (An-Nusyuz, Asy-Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlan)
[5] Dalam wujud diboikot di tempat tidur atau dipukul (yang tidak meninggalkan cacat).
[6] Izar bisa kita maknakan dengan kain yang menutupi bagian kemaluan si istri karena hanya bagian ini saja yang diharamkan ketika si istri sedang haid. Dalilnya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para suami:
اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ
“Berbuatlah segala sesuatu (dengan istri kalian) kecuali nikah (maksudkan jangan melakukan jima`).” (HR. Abu Dawud no. 2165, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
[7] 1 farsakh kurang lebih 8 km atau 3,5 mil.
[8] Yang dimaksud dengan kufur di sini adalah kufur ashghar (kufur kecil) yaitu kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari keimanan. Pelakunya tetap seorang muslim. Namun karena dosa yang diperbuat, pantas mendapatkan siksa di dalam neraka walaupun tidak kekal di dalamnya sebagaimana pelaku kufur akbar (kufur besar). Kufur ini yang diistilahkan kufrun duna kufrin.
Al-Qadhi Abu Bakr ibnul ‘Arabi rahimahullahu berkata dalam syarahnya
sebagaimana dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu:
“Maksud penulis (Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu) membawakan hadits
ini (seperti dalam kitab Al-Iman bab Kufranil ‘Asyir wa Kufrin duna
Kufrin) adalah untuk menerangkan bahwa sebagaimana ketaatan diistilahkan
dengan iman, maka demikian pula perbuatan maksiat diistilahkan dengan
kufur. Akan tetapi kufur yang disebutkan dalam hadits ini bukan kufur
yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.” (Fathul Bari, 1/106)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan bolehnya memberikan
istilah kufur kepada orang yang mengkufuri/mengingkari hak-hak orang
lain terhadapnya sebagai satu celaan bagi si pelaku, walaupun ia tidak
kafir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Syarh Shahih Muslim, 6/213)
[9] Maksudnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengandaikan bila boleh bersujud kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala niscaya istri akan diperintah sujud kepada suaminya. Namun mendapatkan sujud dari para hamba hanyalah merupakan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada satu pun makhluk-Nya yang berserikat dengan-Nya dalam hak ini.
[9] Maksudnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengandaikan bila boleh bersujud kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala niscaya istri akan diperintah sujud kepada suaminya. Namun mendapatkan sujud dari para hamba hanyalah merupakan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada satu pun makhluk-Nya yang berserikat dengan-Nya dalam hak ini.
0 komentar:
Posting Komentar