Bagaimanakah Cara Mengobati Penyakit Hati?
Mendiagnosa penyakit
Yang
pertama harus dilakukan adalah mendiagnosa penyakit, karena tidak semua
obat cocok dengan penyakit yang di derita. Diagnosa yang benar akan
menghasilkan obat yang benar pula dan hal itu juga akan mempercepat
kesembuhan.
Penyakit harus diobati dengan kebalikannya
Suatu
penyakit yang membuat badan kesakitan, harus diobati dengan
kebalikannya. Jika badan terasa panas, maka harus diobati dengan yang
dingin. Jika badan kedinginan harus diobati dengan yang panas. Begitu
akhlak-akhlak yang hina, yang termasuk penyakit hati, harus diobati
dengan kebalikannya. Penyakit kebodohan harus diobati dengan ilmu,
penyakit kikir harus diobati dengan kedermawanan, penyakit takabur harus
diobati dengan tawadhu’, penyakit rakus harus diobati dengan
menghentikan hal-hal yang menggugah nafsunya. (Ibnu Qudamah, Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 192 Penerbit Pustaka Al-Kautsar (1997))
Kekuatan hasrat
Yang
sangat diperlukan orang yang melatih jiwanya sendiri adalah kekuatan
hasrat. Selagi dia maju mundur, tentu tidak akan berhasil. Selagi merasa
hasratnya melemah, maka dia harus bersabar. Jika hasratnya semakin
merosot, maka dia harus menghukumnyaagar tidak terulang, seperti kata
seseorang kepada dirinya sendiri, “Mangapa engkau mengatakan sesuatu yang tidak perlu? Akan kuhukum jiwamu dengan puasa.” (ibid, hlm. 192)
Zuhud dan pendek angan-angan
Menurut
Imam Al Ghazali, sebab-sebab manusia panjang angan-angan dan lalai dari
mengenal Allah disebabkan oleh cinta dunia dan kebodohan. Ada seorang
wanita yang menghadap Aisyah ra menanyakan obat bagi orang yang sedang
mengalami kegelisahan. Maka Aisyah menjawab “Ingatlah mati”. Obat itu
sungguh mujarab dan beberapa waktu kemudian wanita itu kembali datang
menghadap Aisyah dengan wajah berseri-seri bahagia. (Al Ghazali, Metode Menjemput Maut, hlm. 29, penerbit Mizan cet. IX (2001))
Apa
yang disinyalir oleh Al Ghazali juga dibenarkan oleh Imam Ibnul Qayyim.
Beliau berkata, “Menyia-nyakan hati disebabkan dari sikap yang lebih
memprioritaskan kehidupan dunia daripada akhirat, dan membiarkan waktu
terbuang dengan anggapan esok masih ada (thulul amal).
Yang dimaksud dengan kerusakan secara menyeluruh adalah kerusakan yang
disebabkan memperturutkan hawa nafsu dan menganggap usianya masih
panjang. Sedangkan seluruh nilai kebaikan dan kesalehan disebabkan
senantiasa mengikuti petunjuk Allah dan bersiap diri untuk masa
pertemuan dengan-Nya di akhirat.” (Ibnul Qayyim al-Jauziah, al-Fawaid, hlm. 112)
Hidup bersama orang-orang yang taat
Agar hati ini mau lurus, maka jalan pemaksaan yang lembut adalah hidup bersama orang-orang yang taat. Imam Syafi’i berkata, “Setiap
orang pasti mempunyai orang yang ia cintai dan yang ia benci. Jika itu
benar, maka seharusnya seseorang selalu bersama orang-orang yang taat
kepada Allah Swt.” (Imam Nawawi, Bustanul Arifiin, hlm. 42)
Sebab
tabiat itu bisa diibaratkan pencuri, yang bisa mencuri kebaikan dan
keburukan. Hal ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah Saw., “Seseorang
itu berada pada agama teman karibnya. Maka hendaklah salah seorang di
antara kalian melihat siapa yang menjadi temannya.” (HR. Abu Daud,
Tirmidzi dan Ahmad)
Apabila kita berbaur dengan orang-orang yang tidak sehat hatinya (qolbun maridh wa qolbun mayyit)
penyakit menyebar kemana-mana dan ilmu pun hilang, obat hati dan
penyakit hati sama-sama dibiarkan, manusia hanya sekedar melakukan
ibadah-ibadah zhahir, sedangkan di dalam batinnya hanya sekedar tradisi.
Inilah yang disebut tanda sumber penyakit. (Ibnu Qudamah, Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 193, Penerbit Pustaka Al Kautsar (1997))
Tiga tempat menghidupkan hati
Ibnu
Mas’ud berkata kepada orang yang sedang gelisah hatinya, “Carilah
hatimu di tiga tempat (kesempatan): Saat mendengar ayat-ayat al-Quran
dikumandangkan, di majelis-majelis tempat orang berdzikir dan di saat
engkau berada sendirian di tempat sunyi. Jika tidak kamu dapatkan hatimu
di tempat-tempat ini, maka bermohonlah kepada Allah agar memberikan
karunia hati, sebab pada dasarnya engkau tidak mempunyai hati.” (Ibnul
Qayyim al-Jauziah, al-Fawaid, hlm. 148)
Dzikrullah
Sahl
bin Abdullah berkata, “Saat itu aku masih berumur tiga tahun. Suatu
malam aku bangun dari tidur dan menunggui shalat pamanku, Muhammad bin
Siwar. Suatu hari paman berkata kepadaku, “Tidakkah engkau mengingat
Allah yang telah menciptakan dirimu?”
“Bagaimana aku mengingat-Nya?” Aku balik bertanya.
Katakan di dalam hatimu tiga kali tanpa menggerakkan lidah, ‘Allah besertaku. Allah melihatku. Allah menyaksikanku.’”
Jika
malam hari aku mengucapkan di dalam hati yang seperti itu, hingga dapat
mengenal-Nya. Lalu paman berkata lagi kepadaku, “Ucapkan yang seperti
itu setiap malam sebelas kali!”
Maka
kulakukan sarannya, sehingga di dalam hati ada sesuatu yang terasa
nikmat. Setahun kemudian paman berkata kepadaku, “Jaga apa yang sudah
kuajarkan kepadamu dan terus laksanakan hingga engkau masuk ke liang
kuburmu.”
Maka
sarannya itu terus kulaksanakan hingga aku benar-benar merasakan
kenikmatan di dalam batinku. Kemudian paman berkata kepadaku, “Wahai
Sahl, siapa yang Allah besertanya, melihat dan menyaksikan dirinya, maka
mana mungkin dia akan mendurhakainya? Jauhilah kedurhakaan.” Setelah
itu aku melanjutkan perjalanan ke sekolah untuk menghafalkan Al-Quran,
yang saat itu umurku baru enam atau tujuh tahun. Setelah itu aku banyak
berpuasa, makan hanya dengan roti dan setiap malam mendirikan shalat.
(Ibnu Qudamah, Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 200-201)
Puncak kesembuhan
Puncak dari kesembuhan hati ialah “merasakan di dalam hatinya bahwa Allah senantiasa besertanya.” (Ibid, hlm. 201)
Perisai
Kesembuhan
itu memang diperlukan, namun ingatlah wahai sahabat, sesungguhnya setan
itu tidak jemu-jemunya menggoda manusia. Lindungilah hatimu itu dengan
perisai yang dapat melindunginya dari godaan-godaan setan, yaitu dengan
“hidup menyendiri, melakukan amal-amal yang bisa digunakan untuk melawan
hawa nafsu, banyak berdzikir dan membaca wirid.” (Ibid, hlm. 201)
0 komentar:
Posting Komentar