Sejarah Lahirnya Tahlilan Dalam Upacara Kematian
Perintis, pelopor dan pembuka pertama penyiaran serta pengembangan
Islam di Pulau Jawa adalah para ulama/mubaligh yang berjumlah sembilan,
yang populer dengan sebuatan Wali Songo. Atas Izin Alloh perjuangan
mereka berhasil mendirikan sebuah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa
yang berpusat di Demak, Jawa Tengah.
Para ulama yang sembilan dalam menyiarkan
dan mengembangkan Islam di tanah Jawa yang mayoritas penduduknya
beragama Hindu dan Budha mendapat kesulitan dalam membuang adat
istiadat upacara keagamaan lama bagi mereka yang telah masuk Islam.
Para ulama yang sembilan (Wali Songo) dalam menangguangi masalah
adat istiadat lama bagi mereka yang telah masuk Islam terbagi menjadi
dua aliran yaitu ALIRAN GIRI dan ALIRAN TUBAN.
ALIRAN GIRI adalah suatu aliran yang dipimpin oleh Raden Paku (Sunan
Giri) dengan para pendukung Raden Rahmat (Sunan Ampel), Syarifuddin
(Sunan Drajat) dan lain-lain.
Aliran ini dalam masalah ibadah sama sekali tidak mengenal kompromi
dengan ajaran Budha, Hindu, keyakinan animisme dan dinamisme. Orang
yang dengan suka rela masuk Islam lewat aliran ini, harus mau membuang
jauh-jauh segala adat istiadat lama yang bertentangan dengan syari’at
Islam tanpa reserve. Karena murninya aliran dalam menyiarkan dan
mengembangkan Islam, maka aliran ini disebut ISLAM PUTIH.
Adapun ALIRAN TUBAN adalah suatu aliran yang dipimpin oleh R.M.
Syahid (Sunan Kalijaga) yang didukung oleh Sunan Bonang, Sunan Muria,
Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Djati.
Aliran ini sangat moderat, mereka membiarkan dahulu terhadap
pengikutnya yang mengerjakan adat istiadat upacara keagamaan lama yang
sudah mendarah daging sulit dibuang, yang penting mereka mau memeluk
Islam. Agar mereka jangan terlalu jauh menyimpang dari syari’at Islam.
Maka para wali aliran Tuban berusaha agar adat istiadat Budha, Hindu,
animisme dan dinamisme diwarnai keislaman. Karena moderatnya aliran ini
maka pengikutnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan pengikut aliran
Giri yang “radikal”. aliran ini sangat disorot oleh aliran Giri karena
dituduh mencampur adukan syari’at Islam dengan agama lain. Maka aliran
ini dicap sebagai aliran Islam abangan.
Dengan ajarah agama Hindu yang terdapat dalam Kitab Brahmana. Sebuah
kitab yang isinya mengatur tata cara pelaksanaan kurban, sajian-sajian
untuk menyembah dewa-dewa dan upacara menghormati roh-roh untuk
menghormati orang yang telah mati (nenek moyang) ada aturan yang
disebut Yajna Besar dan Yajna Kecil.
Yajna Besar dibagi menjadi dua bagian yaitu Hafiryayajna dan
Somayjna. Somayjna adalah upacara khusus untuk orang-orang tertentu.
Adapun Hafiryayajna untuk semua orang.
Somayajna adalah upacara khusus untuk orang-orang tertentu. Adapun Hafiryayajna untuk semua orang.
Somayajna adalah upacara khusus untuk orang-orang tertentu. Adapun Hafiryayajna untuk semua orang.
Hafiryayajna terbagi menjadi empat bagian yaitu : Aghnidheya, Pinda
Pitre Yajna, Catur masya, dan Aghrain. Dari empat macam tersebut ada
satu yang sangat berat dibuang sampai sekarang bagi orang yang sudah
masuk Islam adalah upacara Pinda Pitre Yajna yaitu suatu upacara
menghormati roh-roh orang yang sudah mati.
Dalam upacara Pinda Pitre Yajna, ada suatu keyakinan bahwa manusia
setelah mati, sebelum memasuki karman, yakni menjelma lahir kembali
kedunia ada yang menjadi dewa, manusia, binatang dan bahkan menjelma
menjadi batu, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain sesuai dengan amal
perbuatannya selama hidup, dari 1-7 hari roh tersebut masih berada
dilingkungan rumah keluarganya. Pada hari ke 40, 100, 1000 dari
kematiannya, roh tersebut datang lagi ke rumah keluarganya. Maka dari
itu, pada hari-hari tersebut harus diadakan upacara saji-sajian dan
bacaan mantera-mantera serta nyanyian suci untuk memohon kepada
dewa-dewa agar rohnya si fulan menjalani karma menjadi manusia yang
baik, jangan menjadi yang lainnya.
Pelaksanaan upacara tersebut diawali dengan aghnideya, yaitu
menyalakan api suci (membakar kemenyan) untuk kontak dengan para dewa
dan roh si fulan yang dituju. Selanjutnya diteruskan dengan
menghidangkan saji-sajian berupa makanan, minuman dan lain-lain untuk
dipersembahkan ke para dewa, kemudian dilanjutkan dengan bacaan
mantra-mantra dan nyanyian-nyanyian suci oleh para pendeta agar
permohonannya dikabulkan.*1
Musyawarah Para Wali*2
Pada masa para wali dibawah pimpinan Sunan Ampel, pernah diadakan
musyawarah antara para wali untuk memecahkan adat istiadat lama bagi
orang yang telah masuk Islam. Dalam musyawarah tersebut Sunan Kali Jaga
selaku Ketua aliran Tuban mengusulkan kepada majlis musyawarah agar
adat istiadat lama yang sulit dibuang, termasuk didalamnya upacara
Pinda Pitre Yajna dimasuki unsur keislaman.
Usulan tersebut menjadi masalah yang serius pada waktu itu sebab
para ulama (wali) tahu benar bahwa upacara kematian adat lama dan
lain-lainnya sangat menyimpang dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Mendengar usulan Sunan Kali Jaga yang penuh diplomatis itu, Sunan
Ampel selaku penghulu para wali pada waktu itu dan sekaligus menjadi
ketua sidang/musyawarah mengajukan pertanyaan sebagai berikut :
“Apakah tidak dikhawatirkan dikemudian hari?, bahwa adat istiadat
lama itu nanti akan dianggap sebagai ajaran Islam, sehingga kalau
demikian nanti apakah hal ini tidak akan menjadikan bid’ah”?.
Pertanyaan Sunan Ampel tersebut kemudian dijawab oleh Sunan Kudus sebagai berikut :
“Saya sangat setuju dengan pendapat Sunan Kali Jaga”
Sekalipun Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Drajat sangat tidak
menyetujui, akan tetapi mayoritas anggota musyawarah menyetujui usulan
Sunan Kali Jaga, maka hal tersebut berjalan sesuai dengan keinginannya.
Mulai saat itulah secara resmi berdasarkan hasil musyawarah, upacara
dalam agama Hindu yang bernama Pinda Pitre Yajna dilestarikan oleh
orang-orang Islam aliran Tuban yang kemudian dikenal dengan nama nelung
dino, mitung dina, matang puluh, nyatus, dan nyewu.
Dari akibat lunaknya aliran Tuban, maka bukan saja upacara seperti
itu yang berkembang subur, akan tetapi keyakinan animisme dan dinamisme
serta upacara-upacara adat lain ikut berkembang subur. Maka dari itu
tidaklah heran muridnya Sunan Kali Jaga sendiri yang bernama Syekh Siti
Jenar merasa mendapat peluang yang sangat leluasa untuk
mensinkritismekan ajaran Hindu dalam Islam. Dari hasil olahannya, maka
lahir suatu ajaran klenik/aliran kepercayaan yang berbau Islam. Dan
tumbuhlah apa yang disebut “Manunggaling Kaula Gusti” yang artinya
Tuhan menyatu dengan tubuhku. Maka tatacara untuk mendekatkan diri
kepada Allah lewat shalat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya tidak
usah dilakukan.
Sekalipun Syekh Siti Jenar berhasil dibunuh, akan tetapi
murid-muridnya yang cukup banyak sudah menyebar dimana-mana. Dari itu
maka kepercayaan seperti itu hidup subur sampai sekarang.
Keadaan umat Islam setelah para wali meninggal dunia semakin jauh
dari ajaran Islam yang sebenarnya. para Ulama aliran Giri yang terus
mempengaruhi para raja Islam pada khususnya dan masyarakat pada umumnya
untuk menegakkan syari’at Islam yang murni mendapat kecaman dan
ancaman dari para raja Islam pada waktu itu, karena raja-raja Islam
mayoritas menganut aliran Tuban. Sehingga pusat pemerintahan kerajaan
di Demak berusaha dipindahkan ke Pajang agar terlepas dari pengaruh
para ulama aliran Giri.
Pada masa kerajaan Islam di Jawa, dibawah pimpinan raja Amangkurat
I, para ulama yang berusaha mempengaruhi keraton dan masyarakat, mereka
ditangkapi dan dibunuh/dibrondong di lapangan Surakarta sebanyak 7.000
orang ulama. Melihat tindakan yang sewenang-wenang terhadap ulama
aliran Giri itu, maka Trunojoyo, Santri Giri berusaha menyusun kekuatan
untuk menyerang Amangkurat I yang keparat itu.
Pada masa kerajaan dipegang oleh Amangkurat II sebagai pengganti
ayahnya, ia membela, dendam terhadap Truno Joyo yang menyerang
pemerintahan ayahnya. Ia bekerja sama dengan VOC menyerang Giri Kedaton
dan semua upala serta santri aliran Giri dibunuh habis-habisan, bahkan
semua keturunan Sunan Giri dihabisi pula. Dengan demikian lenyaplah
sudah ulama-ulama penegak Islam yang konsekwen. Ulama-ulama yang boleh
hidup dimasa itu adalah ulama-ulama yang lunak (moderat) yang mau
menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat yang ada. maka bertambah
suburlah adat-istiadat lama yang melekat pada orang-orang Islam,
terutama upacara adat Pinde Pitre Yajna dalam upacara kematian.
Keadaan yang demikian terus berjalan berabad-abad tanpa ada seorang
ulamapun yang muncul untuk mengikis habis adat-istiadat lama yang
melekat pada Islam terutama Pinda Pitre Yajna. Baru pada tahun 1912 M,
muncul seorang ulama di Yogyakarta bernama K.H. Ahmad Dahlan yang
berusaha sekuat kemampuannya untuk mengembalikan Islam dari sumbernya
yaitu Al Qur’an dan As Sunnah, karena beliau telah memandang bahwa
Islam dalam masyrakat Indonesia telah banyak dicampuri berbagai ajaran
yang tidak berasal dari Al Qur’an dan Al Hadits, dimana-mana merajalela
perbuatan khurafat dan bid’ah sehingga umat Islam hidup dalam keadaan
konservatif dan tradisional.
Munculnya K.H. Ahmad Dahlan bukan saja berusaha mengikis habis
segala adat istiadat Budha, Hindu, animisme, dinamisme yang melekat
pada Islam, akan tetapi juga menyebarkan fikiran-fikiran pembaharuan
dalam Islam, agar umat Islam menjadi umat yang maju seperti umat-umat
lain. Akan tetapi aneh bin ajaib, kemunculan beliau tersebut disambut
negatif oleh sebagian ulama itu sendiri, yang ternyata ulama-ulama
tersebut adalah ulama-ulama yang tidak setuju untuk membuang beberapa
adat istiadat Budha dan Hindu yang telah diwarnai keislaman yang telah
dilestarikan oleh ulama-ulama aliran Tuban dahulu, yang antara lain
upacara Pinda Pitre Yajna yang diisi nafas Islam, yang terkenal dengan
nama upacara nelung dina, mitung dina, matang dina, nyatus, dan nyewu.
Pada tahun 1926 para ulama Indonesia bangkit dengan didirikannya
organisasi yang diberi nama “Nahdhatul Ulama” yang disingkat NU. Pada
muktamarnya di Makasar NU mengeluarkan suatu keputusan yang antara lain
:
“Setiap acara yang bersifat keagamaan harus diawali dengan bacaan
tahlil yang sistimatikanya seperti yang kita kenal sekarang di
masyarakat”.
Keputusan ini nampaknya benar-benar dilaksanakan oleh orang NU.
Sehingga semua acara yang bersifat keagamaan diawali dengan bacaan
tahlil, termasuk acara kematian. Mulai saat itulah secara lambat laun
upacara Pinda Pitre Yajna yang diwarnai keislaman berubah nama menjadi
tahlilan sampai sekarang.
Sesuai dengan sejarah lahirnya tahlilan dalam upacara kematian, maka
istilah tahlilan dalam upacara kematian hanya dikenal di Jawa saja. Di
pulau-pulau lain seluruh Indonesia tidak ada acara ini. Seandainya ada
pun hanya sebagai rembesan dari pulau Jawa saja. Apalagi di
negara-negara lain seperti Arab, Mesir, dan negara-negara lainnnya
diseluruh dunia sama sekali tidak mengenal upacara tahlilan dalam
kematian ini.
Dengan sudah mengetahui sejarah lahirnya tahlilan dalam
upacara kematian yang terurai diatas, maka kita tidak akan lagi
mengatakan bahwa upacara kematian adalah ajaran Islam, bahkan kita akan
bisa mengatakan bahwa orang yang tidak mau membuang upacara tersebut
berarti melestarikan salah satu ajaran agama Hindu. Orang-orang Hindu
sama sekali tidak mau melestarikan ajaran Islam, bahkan tidak mau
kepercikan ajaran Islam sedikitpun. Tetapi kenapa kita orang Islam
justru melestarikan keyakinan dan ajaran mereka.
Tak cukupkah bagi kita Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam yg sudah jelas terang benderang saja yang kita kerjakan. Kenapa
harus ditambah-tambahin/mengada-ada. Mereka beranggapan ajaran
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masih kurang sempurna.
Mudah-mudahan setelah kita tahu sejarah lahirnya tahlilan dalam
upacara kematian, kita mau membuka hati untuk menerima kebenaran yang
hakiki dan kita mudah-mudahan akan menjadi orang Islam yang konsekwen
terhadap ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Ada satu hal yang perlu kita jaga baik-baik, jangan sekali-kali kita
berani mengatakan bahwa orang yang matinya tidak ditahlil adalah
kerbau. Menurut penulis, perkataan seperti ini termasuk dosa besar,
karena berarti Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para
sahabatnya serta kaum muslimin seluruh dunia selain orang pulau Jawa
yang matinya tidak ditahlili adalah kerbau semua.
Na’udzu billahi mindzalik
Sumber: Suhadi
-----------------------------------------
Daftar Literatur
1. K.H. Saifuddin Zuhn, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, Al Ma’arif Bandung 1979
2. Umar Hasyim, Sunan Giri, Menara Kudus 1979
3. Solihin Salam, Sekitar Wali Sanga, Menara Kudus 1974
4. Drs. Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, Ab.Siti Syamsiyah Solo 1977
5. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Tri Karya, Jakarta 1961
6. Hasil wawancara dengan tokoh Agama Hindu.
7. A. Hasan, Soal Jawab, Diponegoro Bandung 1975
2. Umar Hasyim, Sunan Giri, Menara Kudus 1979
3. Solihin Salam, Sekitar Wali Sanga, Menara Kudus 1974
4. Drs. Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, Ab.Siti Syamsiyah Solo 1977
5. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Tri Karya, Jakarta 1961
6. Hasil wawancara dengan tokoh Agama Hindu.
7. A. Hasan, Soal Jawab, Diponegoro Bandung 1975
------------------------------------------------------
MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU)
KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI
1345 H/21 OKTOBER 1926
TENTANG
KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA
PENTAKZIAH
KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI
1345 H/21 OKTOBER 1926
TENTANG
KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA
PENTAKZIAH
TANYA :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?
JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu.
KETERANGAN :
Dalam kitab I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz:
“MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata: “kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN (YANG DILARANG).”
Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan :
“Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita.
Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan TENTANG YANG DILAKUKAN PADA HARI KETIGA KEMATIAN DALAM BENTUK PENYEDIAAN MAKANAN UNTUK PARA FAKIR DAN YANG LAIN, DAN DEMIKIAN HALNYA YANG DILAKUKAN PADA HARI KETUJUH, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah jenazah.
Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuaan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak?
Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”, bagaimana hukumnya.”
Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA tetapi tidak sampai haram (alias makruh), kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (rastsa’).
Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal “OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH (yaitu orang-orang yang punya adat kebiasaan menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh, dst-penj.), agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap seseorang yang batal (karena hadast) shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah)
Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat. Tirkah tidak boleh diambil/dikurangi seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang belum dibagikan mutlak harus disterilkan jika terdapat ahli waris yang majrur ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris).
SELESAI, KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926
REFERENSI
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?
JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu.
KETERANGAN :
Dalam kitab I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz:
“MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata: “kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN (YANG DILARANG).”
Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan :
“Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita.
Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan TENTANG YANG DILAKUKAN PADA HARI KETIGA KEMATIAN DALAM BENTUK PENYEDIAAN MAKANAN UNTUK PARA FAKIR DAN YANG LAIN, DAN DEMIKIAN HALNYA YANG DILAKUKAN PADA HARI KETUJUH, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah jenazah.
Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuaan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak?
Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”, bagaimana hukumnya.”
Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA tetapi tidak sampai haram (alias makruh), kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (rastsa’).
Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal “OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH (yaitu orang-orang yang punya adat kebiasaan menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh, dst-penj.), agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap seseorang yang batal (karena hadast) shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah)
Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat. Tirkah tidak boleh diambil/dikurangi seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang belum dibagikan mutlak harus disterilkan jika terdapat ahli waris yang majrur ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris).
SELESAI, KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926
REFERENSI
- Lihat : Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan
Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), halaman
15-17), Pengantar: Rais ‘Am PBNU, DR.KH.MA Sahal Mahfudh, Penerbit Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur dan Khalista, cet.III, Pebruari 2007.
- Masalah Keagamaan Jilid 1 – Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama Kesatu/1926 s/d/ Ketigapuluh/2000, KH. A.Aziz Masyhuri, Penerbit PPRMI dan Qultum Media
0 komentar:
Posting Komentar