Tahlilan Dalam Pandangan Wali Songo, Ulama Salaf Dan Imam 4 Mazhab
Penjelasan Dari Nahdalatul Ulama (NU), Para Ulama Salafus salih, WaliSongo, 4 Mahzab Tentang Bid’ahnya Tahlilan
Segala puji bagi Allah, sholawat serta salam kita haturkan kepada
Nabi Muhammad beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya. Do’a dan shodaqoh
untuk sesama muslim yang telah meninggal menjadi ladang amal bagi kita
yang masih di dunia ini sekaligus tambahan amal bagi yang telah berada
di alam sana.
Sebagai agama yang mencerahkan dan
mencerdaskan, Islam membimbing kita menyikapi sebuah kematian sesuai
dengan hakekatnya yaitu amal shalih, tidak dengan hal-hal duniawi yang
tidak berhubungan sama sekali dengan alam sana seperti kuburan yang
megah, bekal kubur yang berharga, tangisan yang membahana, maupun pesta
besar-besaran. Bila diantara saudara kita menghadapi musibah kematian,
hendaklah sanak saudara menjadi penghibur dan penguat kesabaran,
sebagaimana Rasulullah memerintahkan membuatkan makanan bagi keluarga
yang sedang terkena musibah tersebut, dalam hadits:
“Kirimkanlah makanan oleh kalian kepada keluarga Ja’far, karena
mereka sedang tertimpa masalah yang menyesakkan”.(HR Abu Dawud (Sunan
Aby Dawud, 3/195), al-Baihaqy (Sunan al-Kubra, 4/61), al-Daruquthny
(Sunan al-Daruquthny, 2/78), al-Tirmidzi (Sunan al-Tirmidzi, 3/323), al-
Hakim (al-Mustadrak, 1/527), dan Ibn Majah (Sunan Ibn Majah, 1/514)
Namun ironisnya kini, justru uang jutaan rupiah dihabiskan tiap malam
untuk sebuah selamatan kematian yang harus ditanggung keluarga yang
terkena musibah. Padahal ketika Rasulullah ditanya shodaqoh terbaik yang
akan dikirimkan kepada sang ibu yang telah meninggal, Beliau menjawab
‘air’. Bayangkan betapa banyak orang yang mengambil manfaat dari sumur
yang dibuat itu (menyediakan air bagi masyarakat indonesia yang melimpah
air saja sangat berharga, apalagi di Arab yang beriklim gurun), awet
dan menjadi amal jariyah yang terus mengalir.
Rasulullah telah mengisyaratkan amal jariyah kita sebisa mungkin
diprioritaskan untuk hal-hal yang produktif, bukan konsumtif; memberi
kail, bukan memberi ikan; seandainya seorang pengemis diberi uang atau
makanan, besok dia akan mengemis lagi; namun jika diberi kampak untuk
mencari kayu, besok dia sudah bisa mandiri. Juga amal jariyah yang
manfaatnya awet seperti menulis mushaf, membangun masjid, menanam pohon
yang berbuah (reboisasi; reklamasi lahan kritis), membuat
sumur/mengalirkan air (fasilitas umum, irigasi), mengajarkan ilmu, yang
memang benar-benar sedang dibutuhkan masyarakat. Bilamana tidak mampu
secara pribadi, toh bisa dilakukan secara patungan. Seandainya dana umat
Islam yang demikian besar untuk selamatan berupa makanan (bahkan banyak
makanan yang akhirnya dibuang sia-sia; dimakan ayam; lainnya menjadi
isyrof) dialihkan untuk memberi beasiswa kepada anak yatim atau kurang
mampu agar bisa sekolah, membenahi madrasah/sekolah islam agar
kualitasnya sebaik sekolah faforit (yang umumnya milik umat lain),atau
menciptakan lapangan kerja dan memberi bekal ketrampilan bagi
pengangguran, niscaya akan lebih bermanfaat. Namun shodaqoh tersebut
bukan suatu keharusan, apalagi bila memang tidak mampu. Melakukannya
menjadi keutamaan, bila tidak mau pun tidak boleh ada celaan.
Sebagian ulama menyatakan mengirimkan pahala tidak selamanya harus
dalam bentuk materi, Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah berpendapat bacaan al-
Qur’an dapat sampai sebagaimana puasa, nadzar, haji, dll; sedang Imam
Syafi’i dan Imam Nawawi menyatakan bacaan al-Qur’an untuk si mayit tidak
sampai karena tidak ada dalil yang memerintahkan hal tersebut, tidak
dicontohkan Rasulullah dan para shahabat. Berbeda dengan ibadah yang
wajib atau sunnah mu’akad seperti shalat, zakat, qurban, sholat jamaah,
i’tikaf 10 akhir ramadhan, yang mana ada celaan bagi mereka yang
meninggalkannya dalam keadaan mampu. Akan tetapi di masyarakat kita
selamatan kematian/tahlilan telah dianggap melebihi kewajiban- kewajiban
agama. Orang yang meninggalkannya dianggap lebih tercela daripada orang
yang meninggalkan sholat, zakat, atau kewajiban agama yang lain.
Sehingga banyak yang akhirnya memaksakan diri karena takut akan sanksi
sosial tersebut. Mulai dari berhutang, menjual tanah, ternak atau barang
berharga yang dimiliki, meskipun di antara keluarga terdapat anak yatim
atau orang lemah. Padahal di dalam al-Qur’an telah jelas terdapat
arahan untuk memberikan perlindungan harta anak yatim; tidak memakan
harta anak yatim secara dzalim, tetapi menjaga sampai ia dewasa (QS
an-Nisa’: 2, 5, 10, QS al- An’am: 152, QS al-Isra’: 34) serta tidak
membelanjakannya secara boros (QS an- Nisa’: 6)
Dibalik selamatan kematian tersebut sesungguhnya juga terkandung
tipuan yang memperdayakan. Seorang yang tidak beribadah/menunaikan
kewajiban agama selama hidupnya, dengan besarnya prosesi selamatan
setelah kematiannya akan menganggap sudah cukup amalnya, bahkan untuk
menebus kesalahan-kesalahannya. Juga seorang anak yang tidak taat
beribadahpun akan menganggap dengan menyelenggarakan selamatan, telah
menunaikan kewajibannya berbakti/mendoakan orang tuanya.
Imam Syafi’i rahimahullah dalam kitab al-Umm berkata:
“…dan aku membenci al-ma’tam, yaitu proses berkumpul (di
tempat keluarga mayat) walaupun tanpa tangisan, karena hal tersebut
hanya akan menimbulkan bertambahnya kesedihan dan membutuhkan biaya,
padahal beban kesedihan masih melekat.” (al-Umm (Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1393) juz I, hal 279)
Namun ketika Islam datang ke tanah Jawa ini, menghadapi kuatnya adat
istiadat yang telah mengakar. Masuk Islam tapi kehilangan
selamatan-selamatan, beratnya seperti masyarakat Romawi disuruh masuk
Nasrani tapi kehilangan perayaan kelahiran anak Dewa Matahari 25
Desember.
Dalam buku yang ditulis H Machrus Ali, mengutip naskah kuno tentang
jawa yang tersimpan di musium Leiden, Sunan Ampel memperingatkan Sunan
Kalijogo yang masih melestarikan selamatan tersebut:“Jangan ditiru
perbuatan semacam itu karena termasuk bid’ah”. Sunan Kalijogo menjawab:
“Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati
masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu”.
Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali Songo yang ditulis H. Lawrens
Rasyidi dan diterbitkan Penerbit Terbit Terang Surabaya juga mengupas
panjang lebar mengenai masalah ini. Dimana Sunan Kalijaga, Sunan Bonang,
Sunan Kudus, Sunan Gunungjati dan Sunan Muria (kaum abangan) berbeda
pandangan mengenai adat istiadat dengan Sunan Ampel, Sunan Giri dan
Sunan Drajat (kaum putihan). Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat
istiadat lama seperti selamatan, bersaji, wayang dan gamelan dimasuki
rasa keislaman.
Sunan Ampel berpandangan lain: “Apakah tidak mengkhawatirkannya di
kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap
sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan
nantinya akan menjadi bid’ah?” Sunan kudus menjawabnya bahwa ia
mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada yang
menyempurnakannya. (hal 41, 64)
Dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, para Wali dibagi menjadi tiga wilayah garapan
Pembagian wilayah tersebut berdasarkan obyek dakwah yang dipengaruhi
oleh agama yang masyarakat anut pada saat itu, yaitu Hindu dan Budha.
Pertama: Wilayah Timur. Di wilayah bagian timur ini ditempati oleh
lima orang wali, karena pengaruh hindu sangat dominan. Disamping itu
pusat kekuasaan Hindu berada di wilayah Jawa bagian timur ini (Jawa
Timur sekarang) Wilayah ini ditempati oleh lima wali, yaitu Syaikh
Maulana Ibrahim (Sunan Demak), Raden Rahmat (Sunan Ampel), Raden Paku
(Sunan Giri), Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Kasim (Sunan
Drajat)
Kedua : Wilayah Tengah. Di wilayah Tengah ditempati oleh tiga orang
Wali. Pengaruh Hindu tidak begitu dominan. Namun budaya Hindu sudah
kuat. Wali yang ditugaskan di sini adalah : Raden Syahid (Sunan Kali
Jaga), Raden Prawoto (Sunan Muria), Ja’far Shadiq (Sunan Kudus)
Ketiga : Wilayah Barat. Di wilayah ini meliputi Jawa bagian barat,
ditempati oleh seorang wali, yaitu Sunan Gunung Jati alias Syarief
Hidayatullah. Di wilayah barat pengaruh Hindu-Budha tidak dominan,
karena di wilayah Tatar Sunda (Pasundan) penduduknya telah menjadi
penganut agama asli sunda, antara lain kepercayaan “Sunda Wiwitan”
Dua Pendekatan dakwah para wali.
1. Pendekatan Sosial Budaya
2. Pendekatan aqidah Salaf
Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati dan
terutama Sunan Giri berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan ajaran
Islam secara murni, baik tentang aqidah maupun ibadah. Dan mereka
menghindarkan diri dari bentuk singkretisme ajaran Hindu dan Budha.
Tetapi sebaliknya Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Kalijaga mencoba
menerima sisa-sisa ajaran Hindu dan Budha di dalam menyampaikan ajaran
Islam. Sampai saat ini budaya itu masih ada di masyarakat kita, seperti
sekatenan, ruwatan, shalawatan, tahlilan, upacara tujuh bulanan dll.
Pendekatan Sosial budaya dipelopori oleh Sunan Kalijaga, putra
Tumenggung Wilwatika, Adipati Majapahit Tuban. Pendekatan sosial budaya
yang dilakukan oleh aliran Tuban memang cukup efektif, misalnya Sunan
Kalijaga menggunakan wayang kulit untuk menarik masyarakat jawa yang
waktu itu sangat menyenangi wayang kulit. Sebagai contoh dakwah Sunan
kalijaga kepada Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit terakhir yang masih
beragama Hindu, dapat dilihat di serat Darmogandul, yang antara lain
bunyinya; Punika sadar sarengat, tegese sarengat niki, yen sare wadine
njegat; tarekat taren kang osteri; hakikat unggil kapti, kedah rujuk
estri kakung, makripat ngentos wikan, sarak sarat laki rabi, ngaben aku
kaidenna yayan rina” (itulah yang namanya sahadat syariat, artinya
syariat ini, bila tidur kemaluannya tegak; sedangkan tarekat artinya
meminta kepada istrinya; hakikat artinya menyatu padu , semua itu harus
mendapat persetujuan suami istri; makrifat artinya mengenal ; jadilah
sekarang hukum itu merupakan syarat bagi mereka yang ingin berumah
tangga, sehingga bersenggama itu dapat dilaksanakan kapanpun juga).
Dengan cara dan sikap Sunan Kalijaga seperti tergambar di muka, maka
ia satu-satunya Wali dari Sembilan Wali di Jawa yang dianggap
benar-benar wali oleh golongan kejawen (Islam Kejawen/abangan), karena
Sunan Kalijaga adalah satu-satunya wali yang berasal dari penduduk asli
Jawa (pribumi). [Sumber : Abdul Qadir Jailani , Peran Ulama dan Santri
Dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia, hal. 22-23, Penerbit PT.
Bina Ilmu dan Muhammad Umar Jiau al Haq, M.Ag, Syahadatain Syarat Utama
Tegaknya Syariat Islam, hal. 51-54, Kata Pengantar Muhammad Arifin Ilham
(Pimpinan Majlis Adz Zikra), Penerbit Bina Biladi Press.]
Muktamar NU ke-1 di Surabaya tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H/21
Oktober 1926 mencantumkan pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dan menyatakan
bahwa selamatan kematian adalah bid’ah yang hina namun tidak sampai
diharamkan dan merujuk juga kepada Kitab Ianatut Thalibin. Namun
Nahdliyin generasi berikutnya menganggap pentingnya tahlilan tersebut
sejajar (bahkan melebihi) rukun Islam/Ahli Sunnah wal Jama’ah. Sekalipun
seseorang telah melakukan kewajiban-kewajiban agama, namun tidak
melakukan tahlilan, akan dianggap tercela sekali, bukan termasuk
golongan Ahli Sunnah wal Jama’ah.
Di zaman akhir yang ini dimana keadaan pengikut sunnah seperti orang
‘aneh’ asing di negeri sendiri, begitu banyaknya orang Islam yang
meninggalkan kewajiban agama tanpa rasa malu, seperti meninggalkan
Sholat Jum’at, puasa Romadhon,dll. Sebaliknya masyarakat begitu antusias
melaksanakan tahlilan ini, hanya segelintir orang yang berani
meninggalkannya. Bahkan non-muslim pun akan merasa kikuk bila tak
melaksanakannya. Padahal para ulama terdahulu senantiasa mengingat
dalil-dalil yang menganggap buruk walimah (selamatan) dalam suasana
musibah tersebut. Dari sahabat Jarir bin Abdullah al-Bajali: “Kami (para
sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta
penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah (meratapi
mayit)”. (Musnad Ahmad bin Hambal (Beirut: Dar al-Fikr, 1994) juz II,
hal 204 & Sunan Ibnu Majah (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 514)
Dari Thalhah: “Sahabat Jarir mendatangi sahabat Umar, Umar berkata:
Apakah kamu sekalian suka meratapi mayat? Jarir menjawab: Tidak, Umar
berkata: Apakah di antara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di
rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya? Jarir menjawab: Ya, Umar
berkata: Hal itu sama dengan meratap”. (al-Mashnaf ibn Aby Syaibah
(Riyad: Maktabah al-Rasyad, 1409), juz II hal 487) dari Sa’ied bin Jabir
dan dari Khaban al-Bukhtary, kemudian dikeluarkan pula oleh Abd
al-Razaq: “Merupakan perbuatan orang-orang jahiliyyah niyahah , hidangan
dari keluarga mayit, dan menginapnya para wanita di rumah keluarga
mayit”. (al-Mashnaf Abd al-Razaq al-Shan’any (Beirut: al-Maktab al-
Islamy, 1403) juz III, hal 550. dikeluarkan pula oleh Ibn Abi Syaibah
dengan lafazh berbeda melalui sanad Fudhalah bin Hashien, Abd al-Kariem,
Sa’ied bin Jabbier) Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy: “Telah berbicara
kepadaku Yan’aqid bin Isa dari Tsabit dari Qais, beliau berkata: saya
melihat Umar bin Abdul Aziz melarang keluarga mayit mengadakan
perkumpulan, kemudian berkata: kalian akan mendapat bencana dan akan
merugi”.
Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy: “Telah berbicara kepada kami, Waki’ bin
Jarrah dari Sufyan dari Hilal bin Khabab al Bukhtary, beliau berkata:
Makanan yang dihidangkan keluarga mayat adalah merupakan bagian dari
perbuatan Jahiliyah dan meratap merupakan bagian dari perbuatan
jahiliyah”.
Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Arsyad al-Banjary dan Syekh Nuruddin
ar- Raniry yang merupakan peletak dasar-dasar pesantren di Indonesia pun
masih berpegang kuat dalam menganggap buruknya selamatan kematian itu.
“Shadaqah untuk mayit, apabila sesuai dengan tuntunan syara’ adalah
dianjurkan, namun tidak boleh dikaitkan dengan hari ke tujuh atau hari-
hari lainnya, sementara menurut Syaikh Yusuf, telah berjalan kebiasaan
di antara orang-orang yang melakukan shadaqah untuk mayit dengan
dikaitkan terhadap hari ketiga dari kematiannya, atau hari ke tujuh,
atau keduapuluh, atau keempatpuluh, atau keseratus dan sesudahnya hingga
dibiasakan tiap tahun dari kematiannya, padahal hal tersebut hukumnya
makruh. Demikian pula makruh hukumnya menghidangkan makanan yang
ditujukan bagi orang-orang yang berkumpul pada malam penguburan mayit
(biasa disebut al-wahsyah), bahkan haram hukumhukumnya biayanya berasal
dari harta anak yatim”. (an-Nawawy al-Bantani, Nihayah al-Zein fi Irsyad
al-Mubtadi’ien (Beirut: Dar al-Fikr) hal 281).
Pernyataan senada juga diungkapkan Muhammad Arsyad al-Banjary dalam
Sabiel al-Muhtadien (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 87, serta Nurudin
al-Raniry dalam Shirath al-Mustaqim (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal
50) Dari majalah al-Mawa’idz yang diterbitkan oleh NU pada tahun 30-an,
menyitir pernyataan Imam al-Khara’ithy yang dilansir oleh kitab
al-Aqrimany disebutkan: “al-Khara’ithy mendapat keterangan dari Hilal
bin Hibban r.a, beliau berkata: ‘Penghidangan makanan oleh keluarga
mayit merupakan bagian dari perbuatan orang-orang jahiliyah’. kebiasaan
tersebut oleh masyarakat sekarang sudah dianggap sunnah, dan
meninggalkannya berarti bid’ah, maka telah terbalik suatu urusan dan
telah berubah suatu kebiasaan’. (al-Aqrimany dalam al-Mawa’idz;
Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286).
Dan para ulama berkata: “Tidak pantas orang Islam mengikuti kebiasaan
orang Kafir, oleh karena itu setiap orang seharusnya melarang
keluarganya dari menghadiri acara semacam itu”. (al-Aqrimany hal 315
dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel Oelama Tasikmalaya, Th. 1933,
No. 18, hal.285) Al-Sayyid
al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati dalam kitabnya I’anah at- Thalibien
menghukumi makruh berkumpul bersama di tempat keluarga mayat, walaupun
hanya sebatas untuk berbelasungkawa, tanpa dilanjutkan dengan proses
perjamuan tahlilan. Beliau justru menganjurkan untuk segera meninggalkan
keluarga tersebut, setelah selesai menyampaikan ta’ziyah. (al-Sayyid
al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I’anah at- Thalibien (Beirut: Dar al-Fikr,
1414) juz II, hal 146)
Ibn Taimiyah ketika menjawab pertanyaan tentang hukum dari al-Ma’tam:
“Tidak diterima keterangan mengenai perbuatan tersebut apakah itu
hadits shahih dari Nabi, tidak pula dari sahabat-sahabatnya, dan tidak
ada seorangpun dari imam-imam muslimin serta dari imam madzhab yang
empat (Imam Hanafy, Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Ahmad) juga dari
imam-imam yang lainnya, demikian pula tidak terdapat keterangan dari
ahli kitab yang dapat dipakai pegangan, tidak pula dari Nabi, sahabat,
tabi’ien, baik shahih maupun dlaif, serta tidak terdapat baik dalam
kitab-kitab shahih, sunan-sunan ataupun musnad-musnad, serta tidak
diketahui pula satupun dalam hadits-hadits dari zaman nabi dan sahabat.
” Menurut pendapat Mufty Makkah al-Musyarafah, Ahmad bin Zainy Dahlan
yang dilansir dalam kitab I’anah at-Thalibien: “Tidak diragukan lagi
bahwa mencegah masyarakat dari perbuatan bid’ah munkarah tersebut adalah
mengandung arti menghidupkan sunnah dan mematikan bid’ah, sekaligus
berarti menbuka banyak pintu kebaikan dan menutup banyak pintu
keburukan”. (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I’anah at-Thalibien
juz II, hal 166) Memang seolah-olah terdapat banyak unsur kebaikan
dalam tahlilan itu, namun bila dikembalikan ke dalam hukum agama dimana
Hadits ke-5 Arba’in an- Nawawiyah disebutkan: “Dari Ummul mukminin, Ummu
‘Abdillah, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah
bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama
kami ini yang bukan dari kami, maka dia tertolak”. (Bukhari no. 2697,
Muslim no. 1718)
Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah instrumen untuk menjaga kemurnian
Islam ini meskipun sampai akhir zaman Allah tidak mengutus Rasul lagi.
Dibalik larangan bid’ah terkandung hikmah yang sangat besar, membentengi
perubahan- perubahan dalam agama akibat arus pemikiran dan adat
istiadat dari luar Islam. Bila pada umat-umat terdahulu telah
menyeleweng agamanya, Allah mengutus Rasul baru, maka pada umat Muhammad
ini Allah tidak akan mengutus Rasul lagi sampai kiamat, namun
membangkitkan orang yang memperbarui agamanya seiring penyelewengan yang
terjadi. Ibadah yang disunnahkan dibandingkan dengan yang diada-adakan
hakikatnya sangat berbeda, bagaikan uang/ijazah asli dengan uang/ijazah
palsu, meskipun keduanya tampak sejenis. Yang membedakan 72 golongan
ahli neraka dengan 1 golongan ahli surga adalah sunnah dan bid’ah. Umat
ini tidak berpecahbelah sehebat perpecahan yang diakibatkan oleh bid’ah.
Perpecahan umat akibat perjudian, pencurian, pornografi, dan
kemaksiatan lain akan menjadi jelas siapa yang berada di pihak Islam dan
sebaliknya. Sedang perpecahan akibat bid’ah senantiasa lebih rumit,
kedua belah pihak yang bertikai kelihatannya sama-sama alim. Ibn Abbas
r.a berkata: “Tidak akan datang suatu zaman kepada manusia, kecuali pada
zaman itu semua orang mematikan sunnah dan menghidupkan bid’ah, hingga
matilah sunnah dan hiduplah bid’ah. tidak akan ada orang yang berusaha
mengamalkan sunnah dan mengingkari bid’ah, kecuali orang tersebut diberi
kemudahan oleh Allah di dalam menghadapi segala kecaman manusia yang
diakibatkan karena perbuatannya yang tidak sesuai dengan keinginan
mereka serta karena ia berusaha melarang mereka melakukan apa yang sudah
dibiasakan oleh mereka, dan barangsiapa yang melakukan hal tersebut,
maka Allah akan membalasnya dengan berlipat kebaikan di alam
Akhirat”.(al- Aqriman y hal 315 dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong
Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286)
Sehingga disimpulkan oleh Majalah al-Mawa’idz bahwa mengadakan
perjamuan di rumah keluarga mayit berarti telah melanggar tiga hal:
1. Membebani keluarga mayit, walaupun tidak meminta untuk menyuguhkan
makanan, namun apabila sudah menjadi kebiasaan, maka keluarga mayit
akan menjadi malu apabila tidak menyuguhkan makanan.
2. Merepotkan keluarga mayit, sudah kehilangan anggota keluarga yang dicintai, ditambah pula bebannya.
3. Bertolak belakang dengan hadits. Menurut hadits, justeru kita
(tetangga) yang harus mengirimkan makanan kepada keluarga mayit yang
sedang berduka cita, bukan sebaliknya. (al-Mawa’idz; Pangrodjong
Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, hal 200)
Kemudian, berdasarkan keterangan Sayid Bakr di dalam kitab ‘Ianah,
ternyata para ulama dari empat madzhab telah menyepakati bahwa kebiasaan
keluarga mayit mengadakan perjamuan yang biasa disebut dengan istilah
nyusur tanah, tiluna, tujuhna, dst merupakan perbuatan bid’ah yang tidak
disukai agama (hal 285). Melalui kutipan-kutipan tersebut, diketahuilah
bahwa sebenarnya yang menghukumi bid’ah munkarah itu ternyata
ulama-ulama Ahl as-Sunnah wa al- Jamaah, bukan hanya (majalah) Attobib,
al-moemin, al-Mawa’idz. tidak tau siapa yang menghukumi sunat, apakah
Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah atau bukan (hal 286).
Dan dapat dipahami dari dalil-dalil terdahulu, bahwa hukum dari
menghidangkan makanan oleh keluarga mayit adalah bid’ah yang dimakruhkan
dengan makruh tahrim (makruh yang identik dengan haram). demikian
dikarenakan hukum dari niyahah adalah haram, dan apa yang dihubungkan
dengan haram, maka hukumnya adalah haram”. (al-Aqrimany hal 315 dalam
al- Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No.
18, hal.286) Kita tidaklah akan
lepas dari kesalahan, termasuk kesalahan akibat ketidaktahuan,
ketidaksengajaan, maupun ketidakmampuan. Namun jangan sampai kesalahan
yang kita lakukan menjadi sebuah kebanggaan. Baik yang menghukumi haram
maupun makruh, sebagaimana halnya rokok, tahlilan, dll selayaknya
diusahakan untuk ditinggalkan, bukan dibela-bela dan dilestarikan.
BERIKUT INI ADALAH FATWA-FATWA DARI ULAMA 4 MADZHAB MENGENAI SELAMATAN KEMATIAN
I. MADZHAB HANAFI
HASYIYAH IBN ABIDIEN
Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah, hukumnya buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dengan sanad yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah, beliau berkata: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. Dan dalam kitab al-Bazaziyah dinyatakan bahwa makanan yang dihidangkan pada hari pertama, ketiga, serta seminggu setelah kematian makruh hukumnya. (Muhammad Amin, Hasyiyah Radd al- Muhtar ‘ala al-Dar al-Muhtar (Beirut: Dar al-Fikr, 1386) juz II, hal 240)
Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah, hukumnya buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan hadits dengan sanad yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah, beliau berkata: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. Dan dalam kitab al-Bazaziyah dinyatakan bahwa makanan yang dihidangkan pada hari pertama, ketiga, serta seminggu setelah kematian makruh hukumnya. (Muhammad Amin, Hasyiyah Radd al- Muhtar ‘ala al-Dar al-Muhtar (Beirut: Dar al-Fikr, 1386) juz II, hal 240)
AL-THAHTHAWY
Hidangan dari keluarga mayit hukumnya makruh, dikatakan dalam kitab al- Bazaziyah bahwa hidangan makanan yang disajikan PADA HARI PERTAMA, KETIGA, SERTA SEMINGGU SETELAH KEMATIAN MAKRUH HUKUMNYa. (Ahmad bin Ismain al-Thahthawy, Hasyiyah ‘ala Muraqy al-Falah (Mesir: Maktabah al-Baby al-Halaby, 1318), juz I hal 409).
Hidangan dari keluarga mayit hukumnya makruh, dikatakan dalam kitab al- Bazaziyah bahwa hidangan makanan yang disajikan PADA HARI PERTAMA, KETIGA, SERTA SEMINGGU SETELAH KEMATIAN MAKRUH HUKUMNYa. (Ahmad bin Ismain al-Thahthawy, Hasyiyah ‘ala Muraqy al-Falah (Mesir: Maktabah al-Baby al-Halaby, 1318), juz I hal 409).
IBN ABDUL WAHID SIEWASY
Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah. hukumnya bid’ah yang buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah, beliau berkata: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. (Ibn Abdul Wahid Siewasy, Syarh Fath al-Qadir (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 142)
Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen musibah. hukumnya bid’ah yang buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah, beliau berkata: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. (Ibn Abdul Wahid Siewasy, Syarh Fath al-Qadir (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 142)
II.MADZHAB MALIKI
AL-DASUQY
Adapun berkumpul di dalam rumah keluarga mayit yang menghidangkan makanan hukumnya bid’ah yang dimakruhkan. (Muhammad al-Dasuqy, Hasyiyah al- Dasuqy ‘ala al-Syarh al-Kabir (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 419)
Adapun berkumpul di dalam rumah keluarga mayit yang menghidangkan makanan hukumnya bid’ah yang dimakruhkan. (Muhammad al-Dasuqy, Hasyiyah al- Dasuqy ‘ala al-Syarh al-Kabir (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 419)
ABU ABDULLAH AL-MAGHRABY
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut dimakruhkan oleh mayoritas ulama, bahkan mereka menganggap perbuatan tersebut sebagai bagian dari bid’ah, karena tidak didapatkannya keterangan naqly mengenai perbuatan tersebut, dan momen tersebut tidak pantas untuk dijadikan walimah (pesta)… adapun apabila keluarga mayit menyembelih binatang di rumahnya kemudian dibagikan kepada orang- orang fakir sebagai shadaqah untuk mayit diperbolehkan selama hal tersebut tidak menjadikannya riya, ingin terkenal, bangga, serta dengan syarat tidak boleh mengumpulkan masyarakat. (Abu Abdullah al-Maghraby, Mawahib al-Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil (Beirut: Dar al-Fikr, 1398) juz II, hal 228)
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut dimakruhkan oleh mayoritas ulama, bahkan mereka menganggap perbuatan tersebut sebagai bagian dari bid’ah, karena tidak didapatkannya keterangan naqly mengenai perbuatan tersebut, dan momen tersebut tidak pantas untuk dijadikan walimah (pesta)… adapun apabila keluarga mayit menyembelih binatang di rumahnya kemudian dibagikan kepada orang- orang fakir sebagai shadaqah untuk mayit diperbolehkan selama hal tersebut tidak menjadikannya riya, ingin terkenal, bangga, serta dengan syarat tidak boleh mengumpulkan masyarakat. (Abu Abdullah al-Maghraby, Mawahib al-Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil (Beirut: Dar al-Fikr, 1398) juz II, hal 228)
III.MADZHAB SYAFI’I
AL-SYARBINY
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al-Syarbiny, Mughny al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 386) Adapun kebiasaan keluarga mayit menghidangkan makanan dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al-Syarbiny, al-Iqna’ li al-Syarbiny (Beirut: Dar al-Fikr, 1415) juz I, hal 210)
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al-Syarbiny, Mughny al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 386) Adapun kebiasaan keluarga mayit menghidangkan makanan dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al-Syarbiny, al-Iqna’ li al-Syarbiny (Beirut: Dar al-Fikr, 1415) juz I, hal 210)
AL-QALYUBY
Guru kita al-Ramly telah berkata: sesuai dengan apa yang dinyatakan di dalam kitab al-Raudl (an-Nawawy), sesuatu yang merupakan bagian dari perbuatan bid’ah munkarah yang tidak disukai mengerjakannya adalah yang biasa dilakukan oleh masyarakat berupa menghidangkan makanan untuk mengumpulkan tetangga, baik sebelum maupun sesudah hari kematian.(a l- Qalyuby, Hasyiyah al-Qalyuby (Indonesia: Maktabah Dar Ihya;’) juz I, hal 353)
Guru kita al-Ramly telah berkata: sesuai dengan apa yang dinyatakan di dalam kitab al-Raudl (an-Nawawy), sesuatu yang merupakan bagian dari perbuatan bid’ah munkarah yang tidak disukai mengerjakannya adalah yang biasa dilakukan oleh masyarakat berupa menghidangkan makanan untuk mengumpulkan tetangga, baik sebelum maupun sesudah hari kematian.(a l- Qalyuby, Hasyiyah al-Qalyuby (Indonesia: Maktabah Dar Ihya;’) juz I, hal 353)
AN-NAWAWY
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disunnahkan. (an-Nawawy, al-Majmu’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1417) juz V, hal 186) IBN HAJAR AL-HAETAMY Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah munkarah yang dimakruhkan, berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah. (Ibn Hajar al-Haetamy, Tuhfah al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 577)
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disunnahkan. (an-Nawawy, al-Majmu’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1417) juz V, hal 186) IBN HAJAR AL-HAETAMY Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah munkarah yang dimakruhkan, berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah. (Ibn Hajar al-Haetamy, Tuhfah al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 577)
AL-SAYYID AL-BAKRY ABU BAKR AL-DIMYATI
Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah yang dimakruhkan, seperti hukum mendatangi undangan tersebut, berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah. (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I’anah at-Thalibien (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 146)
Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah yang dimakruhkan, seperti hukum mendatangi undangan tersebut, berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah. (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I’anah at-Thalibien (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 146)
AL-AQRIMANY
Adapun makanan yang dihidangkan oleh keluarga mayit pada hari ketiga, keempat, dan sebagainya, berikut berkumpulnya masyarakat dengan tujuan sebagai pendekatan diri serta persembahan kasih sayang kepada mayit, hukumnya bid’ah yang buruk dan merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah yang tidak pernah muncul pada abad pertama Islam, serta bukan merupakan bagian dari pekerjaan yang mendapat pujian oleh para ulama. justeru para ulama berkata: tidak pantas bagi orang muslim mengikuti perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang kafir. seharusnya setiap orang melarang keluarganya menghadiri acara-acara tersebut. ((al-Aqrimany hal 314 dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.285)
Adapun makanan yang dihidangkan oleh keluarga mayit pada hari ketiga, keempat, dan sebagainya, berikut berkumpulnya masyarakat dengan tujuan sebagai pendekatan diri serta persembahan kasih sayang kepada mayit, hukumnya bid’ah yang buruk dan merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah yang tidak pernah muncul pada abad pertama Islam, serta bukan merupakan bagian dari pekerjaan yang mendapat pujian oleh para ulama. justeru para ulama berkata: tidak pantas bagi orang muslim mengikuti perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang kafir. seharusnya setiap orang melarang keluarganya menghadiri acara-acara tersebut. ((al-Aqrimany hal 314 dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.285)
RAUDLAH AL-THALIBIEN
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan pengumpulan masyarakat terhadap acara tersebut, tidak ada dalil naqlinya, bahkan perbuatan tersebut hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Raudlah al-Thalibien (Beirut: al- Maktab al-Islamy, 1405) juz II, hal 145)
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan pengumpulan masyarakat terhadap acara tersebut, tidak ada dalil naqlinya, bahkan perbuatan tersebut hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Raudlah al-Thalibien (Beirut: al- Maktab al-Islamy, 1405) juz II, hal 145)
IV. MADZHAB HAMBALI
IBN QUDAMAH AL-MUQADDASY
Adapun penghidangan makanan untuk orang-orang yang dilakukan oleh keluarga mayit, hukumnya makruh. karena dengan demikian berarti telah menambahkan musibah kepada keluarga mayit, serta menambah beban, sekaligus berarti telah menyerupai apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. dan diriwayatkan bahwa Jarir mengunjungi Umar, kemudian Umar berkata: “Apakah kalian suka berkumpul bersama keluarga mayat yang kemudian menghidangkan makanan?” Jawab Jarir: “Ya”. Berkata Umar: “Hal tersebut termasuk meratapi mayat”. Namun apabila hal tersebut dibutuhkan, maka diperbolehkan, seperti karena diantara pelayat terdapat orang-orang yang jauh tempatnya kemudian ikut menginap, sementara tidak memungkinkan mendapat makanan kecuali dari hidangan yang diberikan dari keluarga mayit. (Ibn Qudamah al-Muqaddasy, al-Mughny (Beirut: Dar al-Fikr, 1405) juz II, hal 214)
Adapun penghidangan makanan untuk orang-orang yang dilakukan oleh keluarga mayit, hukumnya makruh. karena dengan demikian berarti telah menambahkan musibah kepada keluarga mayit, serta menambah beban, sekaligus berarti telah menyerupai apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. dan diriwayatkan bahwa Jarir mengunjungi Umar, kemudian Umar berkata: “Apakah kalian suka berkumpul bersama keluarga mayat yang kemudian menghidangkan makanan?” Jawab Jarir: “Ya”. Berkata Umar: “Hal tersebut termasuk meratapi mayat”. Namun apabila hal tersebut dibutuhkan, maka diperbolehkan, seperti karena diantara pelayat terdapat orang-orang yang jauh tempatnya kemudian ikut menginap, sementara tidak memungkinkan mendapat makanan kecuali dari hidangan yang diberikan dari keluarga mayit. (Ibn Qudamah al-Muqaddasy, al-Mughny (Beirut: Dar al-Fikr, 1405) juz II, hal 214)
ABU ABDULLAH IBN MUFLAH AL-MUQADDASY
Sesungguhnya disunahkan mengirimkan makanan apabila tujuannya untuk (menyantuni) keluarga mayit, tetapi apabila makanan tersebut ditujukan bagi orang-orang yang sedang berkumpul di sana, maka hukumnya makruh, karena berarti telah membantu terhadap perbuatan makruh; demikian pula makruh hukumnya apabila makanan tersebut dihidangkan oleh keluarga mayit) kecuali apabila ada hajat, tambah sang guru [Ibn Qudamah] dan ulama lainnya).(A bu Abdullah ibn Muflah al-Muqaddasy, al-Furu’ wa Tashhih al-Furu’ (Beirut: Dar al-Kutab, 1418) juz II, hal 230-231)
Sesungguhnya disunahkan mengirimkan makanan apabila tujuannya untuk (menyantuni) keluarga mayit, tetapi apabila makanan tersebut ditujukan bagi orang-orang yang sedang berkumpul di sana, maka hukumnya makruh, karena berarti telah membantu terhadap perbuatan makruh; demikian pula makruh hukumnya apabila makanan tersebut dihidangkan oleh keluarga mayit) kecuali apabila ada hajat, tambah sang guru [Ibn Qudamah] dan ulama lainnya).(A bu Abdullah ibn Muflah al-Muqaddasy, al-Furu’ wa Tashhih al-Furu’ (Beirut: Dar al-Kutab, 1418) juz II, hal 230-231)
ABU ISHAQ BIN MAFLAH AL-HANBALY
Menghidangkan makanan setelah proses penguburan merupakan bagian dari niyahah, menurut sebagian pendapat haram, kecuali apabila ada hajat, (tambahan dari al-Mughny). Sanad hadits tentang masalah tersebut tsiqat (terpercaya). (Abu Ishaq bin Maflah al-Hanbaly, al-Mabda’ fi Syarh al-Miqna’ (Beirut: al-Maktab al-Islamy, 1400) juz II, hal 283)
Menghidangkan makanan setelah proses penguburan merupakan bagian dari niyahah, menurut sebagian pendapat haram, kecuali apabila ada hajat, (tambahan dari al-Mughny). Sanad hadits tentang masalah tersebut tsiqat (terpercaya). (Abu Ishaq bin Maflah al-Hanbaly, al-Mabda’ fi Syarh al-Miqna’ (Beirut: al-Maktab al-Islamy, 1400) juz II, hal 283)
MANSHUR BIN IDRIS AL-BAHUTY
Dan dimakruhkan bagi keluarga mayit untuk menghidangkan makanan kepada para tamu, berdasarkan keterangan riwayat Imam Ahmad dari Shahabat Jarir. (Manshur bin Idris al-Bahuty, al-Raudl al-Marbi’ (Riyadl: Maktabah al-Riyadl al-Hadietsah, 1390) juz I, hal 355)
Dan dimakruhkan bagi keluarga mayit untuk menghidangkan makanan kepada para tamu, berdasarkan keterangan riwayat Imam Ahmad dari Shahabat Jarir. (Manshur bin Idris al-Bahuty, al-Raudl al-Marbi’ (Riyadl: Maktabah al-Riyadl al-Hadietsah, 1390) juz I, hal 355)
KASYF AL-QANA’
Menurut pendapat Imam Ahmad yang disitir oleh al-Marwadzi, perbuatan keluarga mayit yang menghidangkan makanan merupakan kebiasaan orang jahiliyah, dan beliau sangat mengingkarinya…dan dimakruhkan keluarga mayit menghidangkan makanan (bagi orang-orang yang sedang berkumpul di rumahnya kecuali apabila ada hajat, seperti karena di antara para tamu tersebut terdapat orang-orang yang tempat tinggalnya jauh, mereka menginap di tempat keluarga mayit, serta secara adat tidak memungkinkan kecuali orang tersebut diberi makan), demikian pula dimakruhkan mencicipi makanan tersebut. Apabila biaya hidangan makanan tersebut berasal dari peninggalan mayit, sedang di antara ahli warisnya terdapat orang (lemah) yang berada di bawah pengampuan, atau terdapat ahli waris yang tidak memberi izin, maka haram hukumnya melakukan penghidangan tersebut. (Kasyf al-Qina’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1402) juz II, hal 149)
Menurut pendapat Imam Ahmad yang disitir oleh al-Marwadzi, perbuatan keluarga mayit yang menghidangkan makanan merupakan kebiasaan orang jahiliyah, dan beliau sangat mengingkarinya…dan dimakruhkan keluarga mayit menghidangkan makanan (bagi orang-orang yang sedang berkumpul di rumahnya kecuali apabila ada hajat, seperti karena di antara para tamu tersebut terdapat orang-orang yang tempat tinggalnya jauh, mereka menginap di tempat keluarga mayit, serta secara adat tidak memungkinkan kecuali orang tersebut diberi makan), demikian pula dimakruhkan mencicipi makanan tersebut. Apabila biaya hidangan makanan tersebut berasal dari peninggalan mayit, sedang di antara ahli warisnya terdapat orang (lemah) yang berada di bawah pengampuan, atau terdapat ahli waris yang tidak memberi izin, maka haram hukumnya melakukan penghidangan tersebut. (Kasyf al-Qina’ (Beirut: Dar al-Fikr, 1402) juz II, hal 149)
IBNU TAIMIYAH
Adapun penghidangan makanan yang dilakukan keluarga mayit (dengan tujuan) mengundang manusia ke acara tersebut, maka sesungguhnya perbuatan tersebut bid’ah, berdasarkan perkataan Jarir bin Abdillah: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. (Ibn Taimiyah, Kutub wa Rasail wa Fatawa Ibn Taimiyah fi al-Fiqh (Maktabah Ibn Taimiyah) juz 24, hal 316)
Adapun penghidangan makanan yang dilakukan keluarga mayit (dengan tujuan) mengundang manusia ke acara tersebut, maka sesungguhnya perbuatan tersebut bid’ah, berdasarkan perkataan Jarir bin Abdillah: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. (Ibn Taimiyah, Kutub wa Rasail wa Fatawa Ibn Taimiyah fi al-Fiqh (Maktabah Ibn Taimiyah) juz 24, hal 316)
sumber: http://www.abuayaz.co.cc
0 komentar:
Posting Komentar