Menikah Adalah Dakwah
Ini hanya berdasarkan cerita banyak
orang tua yang saya jumpai. Menurut mereka, orang dulu tidak membutuhkan
perkenalan yang intens sebelum memutuskan untuk menikah. Bahkan, dalam
banyak kasus, antara mempelai laki-laki dan perempuan baru bertemu
sesaat sebelum akad. Pertanyaannya; mengapa mereka yang pernikahannya
tanpa proses “pacaran” itu justru bisa langgeng, harmonis, beranak-pinak, dan tetap setia plus romantis sampai kakek-nenek? Jawaban yang saya peroleh; ternyata manusia adalah makhluk yang paling mudah untuk beradaptasi.
Manusia tanpa perkenalan
sekalipun sebenarnya mampu untuk menjalin ikatan suci bernama
pernikahan. Justru ketika kondisi tersebut berangkat dari niatan yang
murni, menjadikan rumah tangga benar-benar manis dan romantis. Pasalnya,
di awal pernikahan pasti ada kecanggungan-kecanggungan. Kecanggungan
itu tentu saja tidak berjalan dalam waktu yang lama. Seminggu dan
seterusnya menjadi biasa dan akhirnya begitu akrab dan intim. Kisah awal
pernikahan itu yang kemudian menjadi berkesan dan sangat indah untuk
diceritakan kemudian.
Lain dulu lain sekarang.
Kebiasaan lama yang sebenarnya baik dan ideal menjadi lain ceritanya
untuk konteks saat ini. Sekadar berkaca saja, saat ini banyak orang tua
yang membolehkan anaknya untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis.
Sayangnya, tidak banyak orang tua yang mendukung anaknya untuk menikah
dibanding hanya sekadar pacaran dan model hubungan lainnya. Padahal
tidak ada jaminan semakin lama berhubungan (pra pernikahan) semakin lama
pula durasi pernikahan. Kita saksikan secara mudah, mereka yang
berpacaran 5-10 tahun, ternyata usia pernikahannya hanya 5-10 bulan
saja. Na’ūdzubilLāh…
Selain itu, logika yang
digunakan juga tidak tepat. Banyak orang yang ketika sebelum menikah
begitu mesra dengan pasangannya. Padahal hal itu sama sekali tidak ideal
bahkan dilarang. Selanjutnya, ketika mereka sampai pada pernikahan,
kemesraannya justru luntur dan menghilang. Menggandeng isteri terasa
canggung. Mengecup kening isteri sebelum berangkat kerja terasa aneh.
Sementara yang demikian itu bagi orang menikah tiada lain adalah pahala
dan kebaikan. Sebab pernikahan adalah media yang mengonversi banyak hal
yang awalnya berimplikasi dosa menjadi berpahala.
Dari situlah, saya menaruh
rasa hormat yang setinggi-tingginya kepada mereka berhasil menikah tanpa
“pacaran” terlebih dahulu. Mereka yang ketika suka dengan seorang
perempuan, dengan percaya diri dan yakin mendatangi walinya. Mereka
menyatakan diri siap untuk menikahi perempuan tersebut dengan segenap
konsekuensinya. Mereka begitu yakin dengan Indahnya Pacaran setelah Pernikahan
seperti judul buku Salim A. Fillah itu. Hal itu tentu bukanlah pilihan
yang mudah. Tetapi bagi saya pribadi justru itulah yang lebih baik dan
ideal untuk lebih menjaga diri dan melatih kedewasaan.
Menikah adalah Pilihan
Menikah
memang bukanlah perkara yang sederhana. Begitu banyak “masalah” yang
harus dituntaskan oleh seorang yang akan menikah. Pasalnya, pernikahan
bukan sekadar urusan mempelai laki-laki dan mempelai perempuan.
Pernikahan adalah pertemuan dua rombongan akbar, keluarga besar
laki-laki dan perempuan. Dalam konteks itulah, kalau tidak disiasati dan
dihikmati, pernikahan menjadi sangat kompleks. Selain hal tersebut,
karena pernikahan adalah ikatan suci yang hanya diharapkan sekali saja
terjadi dalam hidup ini. Karena itulah, menikah memang tidak semudah
yang dibayangkan.
Ada buku yang sangat menarik berjudul Udah Putusin Aja! Awalnya saya bertanya-tanya; mengapa tidak Udah Nikahin Aja! saja
judulnya? Saya baru menemukan jawabannya setelah membaca secara tuntas
buku tersebut. Penulis buku tersebut memaparkan bahwa untuk sampai pada
pintu pernikahan tidaklah simpel. Ada yang sudah siap tapi belum juga
mendapat restu dari orang tua. Ada lagi yang sudah ngebet tapi tak juga memperoleh izin dari calon mertua. Lainnya, sudah siap lahir-batin, sudah dapat restu dan ridha dari orang tua, eh belum punya calon isterinya. Inikah yang dinamakan musibah?
Melihat betapa tidak sederhananya seorang yang sudah berpacaran untuk menikah maka penulis buku tersebut menganjurkan untuk: Udah Putusin Aja! Dengan
begitu justru lebih aman dan menyelamatkan. Sebab, pacaran
itu—menurutnya—tidak menjadikan kita dewasa tetapi hanya menjadikan kita
beradegan dewasa. Di titik itulah, dia menyarankan untuk menyudahi
pacaran kalau memang belum siap untuk menikah. Karena pernikahan yang
baik tidak harus dengan pacaran dahulu. Bagi yang terlanjur punya
hubungan khusus, dan tidak mau “putusan”, pilihannya hanya satu yaitu
menikah!
Memang, kalau berbicara
tentang pernikahan senantiasa menarik dan unik. Tetapi pada akhirnya
menikah adalah sebuah pilihan. Semuanya tergantung apa yang menjadi
niatan kita dalam menikah tersebut. Kalau tekadnya sudah bulat, niatnya
sudah tulus, Allah-lah yang akan membukakan jalannya. Bagi yang sudah
benar-benar berkeinginan untuk menikah disarankan untuk membayangkan
betapa indahnya pernikahan. Pernikahan menghantarkan kepada keridhaan
Allah dan menghindarkan diri dari kemaksiatan. Dengan begitu, bayangan
konsekuensi menikah yang memang tidak mudah itu menjadi tertutupi.
Menancapkan mindset yang
tepat sangatlah penting. Katakanlah seorang sudah mendekati pintu
pernikahan. Tetapi yang dia bayangkan adalah banyak hal negatif tentang
pernikahan. Tentu saja pernikahan justru menjadi bumerang baginya. “Bagaimana nanti kalau banyak yang tidak suka dengan pernikahan saya?” bisiknya dalam hati. “Bagaimana kalau nanti punya anak, gimana ngurusnya?” bisiknya lagi. “Kalau orang tua tidak lagi memberikan kiriman rutin, terus gimana?”
pungkasnya, menakuti dirinya sendiri. Pelbagai teror yang
dimunculkannya sendiri itu pasti akan mengubur dalam-dalam keinginan
mulianya untuk menikah.
Perlu ditegaskan kembali
bahwa ketika memang ingin menikah maka sebaiknya membuang jauh-jauh
pikiran negatif. Justru yang perlu dibayangkan adalah keindahan,
keromantisan, kehangatan, kebaikan, kebahagiaan, ketenangan, dan kasih
sayang yang lahir dari pernikahan tersebut. Tentu semuanya tidak hanya
terhenti dalam bayangan hampa. Hal itu kemudian diikuti dengan langkah
cerdas untuk lebih memantapkan diri. Kemantapan diri tentu meliputi
kesiapan lahir dan batin. Kalau pijakan awalnya lurus maka langkah
selanjutnya akan dimudahkan oleh Allah. Itu adalah janji-Nya dan Allah
tidak pernah mengingkari janji-Nya.
Sebagaimana dikatakan
sebelumnya bahwa pernikahan adalah sebuah pilihan. Pilihan tidak sekadar
pilihan karena di balik itu ada tanggung jawab dan konsekuensi. Siap
menikah berarti siap untuk melangkah bersama dengan pasangan hidup,
susah-senang bersama, pahit-manis dijalani berdua. Semuanya akan terasa
indah kalau apapun itu dikembalikan kepada niatan awal pernikahan.
Semuanya memang karena Allah. Awalnya kita bukan siapa-siapa lalu
diberikan amanah oleh Allah untuk membina rumah tangga. Itu artinya
Allah percaya kepada kita. Jika kita lurus dan mantap maka Allah yang
akan menggenapinya. In syā Allah
Seorang dosen yang sangat
perhatian dengan mahasiswanya memberikan nasihat kepada saya. Menikah
itu, ujarnya, hanya butuh 3S (bukan S3). S yang pertama; Siap menjadi
orang tua. Sebab cepat atau lambat, pernikahan akan menghasilkan anak
keturunan. Mereka yang menikah harus siap untuk menjadi orang tua bagi
anak-anaknya. S yang kedua; Siap mengalami perubahan, dari awalnya
sendiri menjadi berdua. Bangun dari tidur suasananya sudah lain. Awalnya
hanya ditemani bantal-guling, sekarang bersama isteri tercinta. S yang
terakhir; Siap menerima pasangan hidup apa apanya. Itu juga tidak mudah.
3S tersebut sebenarnya
sangat ideal untuk menjadi bekal mereka yang memilih jalan dakwah dengan
menikah. Rumah tangganya menjadikan dia lebih kuat dalam menjalani
huru-hara kehidupan. Pasangan hidupnya menjadi teman setia untuk
bersama-sama meraih keridhaan Allah. Kerikil yang menghalang itu biasa
karena hidup tidak pernah lepas dari cobaan. Justru karena berdua itulah
menjadi lebih waspada dan teliti. Salah satunya dihadapkan dengan
masalah, lainnya memotivasi dan membatu menyelesaikan. Ringkasnya, jika
demikian konsepnya maka pilihan menikah menjadi sangat indah dan berkah.
Saling Menggenapi
Ketika kabar tentang hari dan tanggal pernikahan saya tersiar, berdatanganlah apresiasi dan komentar. Diantaranya, misalnya, “Enak nih kalau nanti sudah nikah. Ada yang masakin, ada yang nyuciin, ada yang nyetrikain…”
Dari situ saya berpikir dalam-dalam. Benarkah isteri itu tidak lebih
laksana “pelayan”; juru masak, tukang cuci, dan tukang setrika? Mungkin
ada benarnya, karena ketika seorang isteri melakukannya dengan tulus
bernilai kebaikan baginya. Tetapi bukanlah lebih indah dan juga
memuliakan perempuan ketika suami juga membantu meringankan kewajiban
isteri? Semua memang pilihan.
Hidup bersama berarti juga
siap untuk bersama-sama melakukan banyak hal yang berharga. Kebersamaan
itu bukan untuk mencari siapa yang lebih berarti tetapi untuk saling
melengkapi dan menggenapi. Sudah maklum bahwa pernikahan adalah
kombinasi dua insan yang berbeda, dengan karakter dan kepribadian yang
berbeda pula. Dengan begitu, dibutuhkan keterbukaan sikap untuk saling
menerima dan memaklumi kemudian duduk bersama untuk berbagi dan saling
memberi masukan. Itulah hakikat dari kebersamaan. Bersama untuk saling
mengedepankan sisi baik dan bersama-sama pula menutupi celah dan aib.
Biduk rumah tangga dibangun untuk membentuk rumah bahagia di dunia. Itulah mengapa dahulu Rasulullah bersabda: “Baitiy jannatiy
(rumahku adalah surgaku).” Suasana surga itu akan tercipta tatkala
suami isteri bisa melangkah seiring-sejalan. Kesuksesan suami adalah
juga kesuksesan isteri, begitupun sebaliknya. “Di balik lelaki yang sukses ada wanita yang mendampinginnya dan dia adalah isterinya,”
begitu nasihat orang bijak. Konsep saling menggenapi itu berarti
memaksimalkan potensi masing-masing untuk kemudian bersatu menuntaskan
misi yang sudah dirancang.
Berjuang Dalam Dakwah
Saya sangat senang dengan sebuah nasihat yang bunyinya berikut ini. “Pernikahan hendaknya tidak hanya dilakukan untuk menaati syariat Islam tetapi lebih dari itu untuk mendakwahkan Islam.”
Inilah yang sebenarnya menjadi PR bersama, tegasnya PR rumah tangga
saya. Pernikahan memang harus diproyeksikan kepada sesuatu yang lebih
bermakna, lebih berharga, lebih bermartabat, dan nilai gunanya lebih
luas dan lama. Menikah hanya untuk kepentingan pribadi memang tidak
salah tetapi sangat minim sekali faidahnya. Pernikahan yang dilakukan
untuk mendakwahkan Islam itulah yang kemudian sangat luar biasa.
Dalam rangka memulainya
diawali dengan komitmen bersama bahwa dengan menikah berarti melanjutkan
dahwah dalam formasi yang lebih ideal. Pernikahan harus diupayakan
sedemikian rupa untuk dapat menjadi inspirasi dan teladan bagi yang
lain. Itulah hakikat dakwah. Tidak harus dengan kata-kata tetapi cukup
dengan perwujudan kata tetapi sangat dahsyat pengaruhnya. Selain itu,
dengan menikah kita juga menyadari bahwa pasangan hidup bukan semata
milik kita. Tetapi boleh jadi pasangan hidup kita adalah milik umat yang
sewaktu-waktu kita harus rela melepasnya mengabdi untuk kemaslahatan
umat.
Banyak yang kemudian berkomentar miring. “Nikah muda nanti malah putus studinya. Apa-apa menjadi terbatasi…”
Komentar tersebut boleh jadi benar karena pasti banyak fakta yang
memang demikian. Tetapi kalau hal itu yang banyak digaungkan maka akan
memupuskan keinginan mulia mereka yang akan menikah. Pada purnanya,
pernikahan bukanlah penghambat untuk terus maju dan berkembang.
Pernikahan tidak kemudian membatasi aktivitas dahwah, berjuang
mensyiarkan panji-panji Islam. Dengan menikah, batin menjadi lebih
terarah, sehingga karenanya bisa lebih mantap dan fokus dalam dakwah.
Kehidupan ini secara
universal sebenarnya wahana bagi setiap insan untuk terus berjuang di
jalan Allah. Saya katakan bahwa dakwah sangatlah penting. Banyak yang
kemudian bertanya: apakah semua orang harus menjadi penceramah? Tentu
saja tidak, karena dakwah itu makna dan penjabarannya sangat luas.
Penceramah yang menyampaikan tausyiahnya di atas mimbar hanyalah
sebagian dari dakwah itu sendiri. Dan menjadi penceramah juga termasuk
pilihan bagi seorang yang ingin berdakwah. Oleh karena itu, sebenarnya
kalau direnungi bersama dakwah adalah bagian integral dari universalitas
kehidupan kita.
Pernikahan dalam konteks itulah sebenarnya benar-benar menjadi perantara untuk mengepakkan sayap dakwah. Sebagai contoh, mereka yang awalnya sendiri mungkin masih sering lirik kanan-kiri. Ketika berdakwah, bertemu dengan wanita yang berparas cantik mungkin sudah lain ceritanya. Tetapi ketika sudah menikah in sya Allah akan lebih murni dan lurus tujuannya. Sebab, isteri di rumah bagaimanapun tetaplah yang paling cantik. Itu artinya tidak perlu lagi lihat yang lain. Dengan begitu dakwah tentu saja menjadi lebih mantap. Pernikahan memang bukan jaminan tetapi Islam memang mengajarkan demikian untuk menjaga pandangan.
Pernikahan dalam konteks itulah sebenarnya benar-benar menjadi perantara untuk mengepakkan sayap dakwah. Sebagai contoh, mereka yang awalnya sendiri mungkin masih sering lirik kanan-kiri. Ketika berdakwah, bertemu dengan wanita yang berparas cantik mungkin sudah lain ceritanya. Tetapi ketika sudah menikah in sya Allah akan lebih murni dan lurus tujuannya. Sebab, isteri di rumah bagaimanapun tetaplah yang paling cantik. Itu artinya tidak perlu lagi lihat yang lain. Dengan begitu dakwah tentu saja menjadi lebih mantap. Pernikahan memang bukan jaminan tetapi Islam memang mengajarkan demikian untuk menjaga pandangan.
Selanjutnya, kembali kepada
masing-masing yang menjalani. Akan dibawa kemana mahligai rumah tangga
yang sudah terjalin. Pilihan untuk terus dan tetap berjuang dalam dakwah
di tengah tanggung jawab yang bertambah barangkali adalah satu hal yang
tidak mudah. Tetapi jatuh-bangunnya hamba dalam dakwah sebenarnya
adalah anugerah yang terindah. Ketika kehidupan berlalu lancar tanpa
harus diperjuangkan, dimana letak keindahannya? Keindahan hidup karena
kita harus berpeluh keringat, berjuang berdarah-darah, mengusahakan yang
terbaik sebagai wujud kecintaan kita kepada Allah.
Salah satu tujuan berumah
tangga adalah untuk mendapatkan keturunan yang sah. Artinya, cepat atau
telat mereka yang berumah tangga akan dikaruniani buah hati. Buah hati
atau anak tiada lain adalah kepanjangan tangan orang tua. Mereka pula
yang nantinya akan melanjutkan tugas dan amanah kedua orangnya. Bagi
orang tua, mendidik anak sebaik mungkin, mencurahkan kasih sayang yang
tulus, hinggga buah hati menjadi anak yang shalih dan shalihah adalah
bagian dari dakwah. Mereka yang kemudian dengan ikhlas mendoakan yang
terbaik untuk orang tuanya, dan itulah buah dari didikan orang tua.
Perjuangan dakwah melalui
jalur pernikahan memang luar biasa. Di situlah kita lebih dilatih untuk
belajar meletakkan kepentingan pribadi lalu bangkit memikirkan kebaikan
dan kemaslahatan banyak pihak. Nasihat yang sering diperdengarkan: “Ketika
kita memikirkan kesejahteraan orang lain maka Tuhan yang akan
memikirkan kesejahteraan kita. Sebaliknya, tatkala kita memikirkan
kesejahteraan diri kita pribadi maka Tuhan akan memikirkan kesejahteraan
orang lain.” Semakin besar kita berkorban dalam dakwah dan kebaikan maka kita akan semakin dijamin oleh Allah Yang Maha Segalanya. InnalLāha ma’ana…
Terakhir, saya hanya ingin
memberikan nasihat bagi mereka yang saat ini sedang bimbang. Kalau
memang yakin masih kuat dengan kesendirian, masih butuh banyak
persiapan, maka tidak menikah cepat adalah pilihan bijak. Andai sudah
mendapatkan gadis pujaan, segara siapkan diri, mantapkan mental untuk
melamar, dan jangan mengulur-ulur tanggal pernikahan. Bagi yang sudah
menjalin hubungan tetapi ternyata karena satu dan lain hal belum siap
menikah hendaknya merenungkan ulang paparan sebelumnya. Pastinya,
perjuangan dakwah itu akan semakin indah bila sesuai dengan jalan Allah,
Pemberi Rahmah.
Perlu juga diingat bahwa
menikah juga tidak boleh asal-asalan. Jangan sampai pernikahan baru
berumur jagung tetapi harus dibawa ke Pengadilan Agama. Kita memiliki
hak untuk memilih siapa yang akan menjadi pendamping hidup. Saran
Rasulullah, utamakan agama (akhlak, perilaku, perangai) yang menjadi
patokannya. Kalau sudah mantap langsung diteruskan kepada pintu
kemuliaan bernama pernikahan. Menunda berarti memberikan kesempatan diri
untuk menjadi ragu; jangan-jangan dia bukan yang terbaik. Semakin banyak memilih seringkali membuat bimbang. Wa akhīran, mantapkan dan terus lanjutkan perjuangan dakwah kita.
Muhasabah
(Penulis adalah alumnus Program Studi Hukum Islam (PSHI) Fakultas Ilmu
Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Dia
juga merupakan alumnus Pondok Pesantren UII. Saat ini bertugas sebagai
Staf PSHI. Selain aktif menulis, pelaku nikah muda ini rutin
menyampaikan tausyiahnya dalam program siaran Agama Kita Cahaya Hati (Mata Hati) di Radio Q 88.3 FM, Yogyakarta.)
0 komentar:
Posting Komentar