Curhat Cina-Muslim-Indonesia: Tentang Ashabiyah dan Mental Terjajah Muslim Indonesia
Nama saya Felix Y. Siauw, kelahiran
Palembang 26 tahun yang lalu, dan setidaknya dalam jangka waktu yang
lebih dari ¼ abad itu saya sudah merasakan banyak sekali kesulitan dan
kebahagiaan hidup. Setidaknya ada 4 momen paling bahagia bagi saya,
yaitu tahun 2002 ketika saya memutuskan untuk mengganti keyakinan dengan
mengakui Allah swt. sebagai satu-satunya Tuhan dan sesembahan.
Tahun
2006 ketika saya menikahi seorang muslimah yang kelak memberikan saya 2
momen bahagia lagi; kelahiran Alila Shaffiya asy-Syarifah pada tahun
2008 dan Shifr Muhammad al-Fatih 1453 pada tahun 2010.
Dari nama yang saya publish, sebagian
besar pasti memahami bahwasanya saya tergolong etnis Cina. Dan inilah
salahsatu sebab kenapa saya menulis tulisan ini, disamping alasan
utamanya adalah karena kewajiban mendakwahkan Islam dan
pemikiran-pemikirannya ke seluruh dunia. Ini adalah sebuah curahan hati
dan aduan serta penjelasan dari seorang Ayah, Muslim-“Cina”. Walaupun
banyak kasus lain yang saya alami berkaitan dengan ide bid’ah
nasionalisme yang diwariskan Belanda dan Barat, saya akan sedikit
memfokuskan pada satu kisah yang baru saja saya alami.
Berawal ketika Istri saya yang
melahirkan anak keduanya di RS. Budi Kemuliaan Jakarta Pusat, setelah
itu seperti biasa, atas nama pribadi ada beberapa karyawan yang
menawarkan jasa pembuatan akte kelahiran putra saya. Dan kami pun
menyambut baik tawaran yang dibandrol dengan harga Rp. 100.000. Tak
berapa lama, setelah karyawan tadi melihat fisik saya, lalu dia bertanya
pada istri:
“Bu, bapaknya muslim bukan? keturunan ya?”
“Muslim kok, emang kenapa mbak?” Jawab istri saya santai,
“Nikahnya pake cara Islam kan?, karena kalo nikahnya beda agama susah ngurusnya bu, dan beda juga biayanya..”
“Ya Islam lah, bedanya apa mbak”, sedikit terintimidasi, Istri saya tetap berusaha santai
“Kalo pribumi 100.000 kalo keturunan 250.000”
“Muslim kok, emang kenapa mbak?” Jawab istri saya santai,
“Nikahnya pake cara Islam kan?, karena kalo nikahnya beda agama susah ngurusnya bu, dan beda juga biayanya..”
“Ya Islam lah, bedanya apa mbak”, sedikit terintimidasi, Istri saya tetap berusaha santai
“Kalo pribumi 100.000 kalo keturunan 250.000”
Setelah memberitahu saya perihal
percakapan ini, dengan agak kesal saya pun mencoba membuktikan perkataan
istri saya tadi. Ternyata benar, ada diskriminasi kepengurusan akte
kelahiran, dan dokumen yang diperlukan pun lebih daripada yang biasanya.
Walau saya desak dengan berbagai dalil, termasuk dengan dalil bahwa
penghapusan istilah WNI Keturunan sudah dilakukan, tetap saja tidak ada
penjelasan yang memadai kepada saya. Bertambah kekesalan saya, maka saya
memutuskan untuk mengurus sendiri akte kelahiran anak kedua saya. Bukan
masalah uang, ini masalah ide kufur yang tidak perlu diberikan ruang
toleransi.
Langkah pertama adalah melakukan browsing ke Internet ke alamat Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil ;
dan disitu saya mendapatkan informasi
bahwa pembuatan akte kelahiran biayanya gratis s/d Rp. 5000. Dan
syaratnya: Surat Keterangan Lahir, KK, KTP Orangtua, dan Surat Pengantar
RT/RW yang dilegalkan Kelurahan. Ternyata setelah saya datang pada hari
Rabu, 07 Juli 2010, petugas malah meminta akte kelahiran untuk
dikonfirmasi apakah saya warga keturunan atau bukan. Dan sekali lagi
saya katakan bahwa urusan keturunan sudah tidak ada, semua yang
dilahirkan di tanah Indonesia adalah WNI. Dan setelah itu akhirnya saya
tetap diminta membayar Rp. 70.000, sebelum membayar saya menanyakan
bukti pembayarannya, sedikit gagap petugas menyatakan bahwa lembar bukti
penyerahan dokumen sudah dianggap menjadi bukti pembayaran (nanti coba
kita liat ya). Dan yang paling menyakitkan, ditulis lagi dalam
keterangan permintaan akte kelahiran bahwa anak saya termasuk Stbld.
1917.
Lalu dengan serius saya tanyakan: “Masih berlaku tuh stbld?”
“Oh masih pak, semuanya harus ditulis begitu”
“Oh gitu, kirain jaman belanda aja pake stbld!” sindiran dari saya yang tampaknya tidak dipahami petugas bersangkutan.
“Oh gitu, kirain jaman belanda aja pake stbld!” sindiran dari saya yang tampaknya tidak dipahami petugas bersangkutan.
Ok, cukup cerita pendahuluan saya, sekarang kita masuk ke pokok pembahasan.
1. Inilah budaya pegawai negeri
Indonesia yang jauh dari kesan profesional dan korup, birokrasi yang
terbiasa tidak jujur dan selalu mencari kesempatan atas minimnya data
yang mereka beri kepada masyarakat yang membutuhkan pelayanan. Sehingga
seolah-olah masyarakat yang harus membayar mereka karena pelayanan itu,
padahal pelayanan mereka sudah dibayar oleh negara. Sampai setelah saya
membayar Rp. 70.000 itu, saya tidak mengetahui kemana uang ini
dialokasikan, dan parahnya yang menerima uang ini adalah muslim. Saya
terima kalau yang melakukan korupsi ini bila bukan muslim, tapi
pelakunya sekali lagi adalah muslim, yang seharusnya menjadi pekerja
yang paling jujur karena aqidahnya memerintahkan begitu
2. Budaya rasialis dan nasionalisme
kampungan rupanya masih menjadi mental ummat Islam saat ini. Mereka
membedakan antara pribumi dan keturunan. Tanpa mereka ketahui bahwa cara
ini adalah strategi utama belanda dalam melakukan politik divide et
impera dan menghancurkan sendi ekonomi dan masyarakat.
Politik rasialis ini dimulai ketika VOC
dan Pemerintah Belanda membagi kelompok masyarakat menjadi Inlander
(pribumi) dan Vreemde Oosterlinge (Orang Timur Asing, termasuk Cina,
Arab dan India)
lalu memberikan akses ekonomi kepada
Vreemde Oosterlinge terutama orang Cina sehingga pecahlah permusuhan dan
kebencian antara Inlander dan Vreemde Oosterlinge (lihat Buku Api
Sejarah, Ahmad Mansur Suryanegara).
Politik rasialis ini bahkan dimulai
semenjak awal pencatatan akta kelahiran dengan membedakan antara
Inlander dan Vreemde Oosterlinge, antara agama penjajah Belanda Kristen
dan Katolik serta Islam. Lihat saja akte kelahiran Anda yang muslim
pribumi akan mendapatkan kode Stbld. 1920, sedangakan yang nasrani
pribumi mendapatkan kode Stbld. 1933, warga keturunan dari timur (Cina,
Arab, India, dan lainnya) dengan Stbld. 1917
Akta kelahiran inilah yang menjadi
dasar dalam perbedaan perilaku penjajah Belanda dalam masalah
pendidikan, pekerjaan dan status sosial.
Sayangnya (baca: bodohnya), pemerintah
Indonesia justru mengadopsi Stbld. (Staatsblad, artinya Peraturan
Pemerintah Belanda) menjadi aturan dalam pencatatan kelahiran yang
otomatis dari awal sudah membedakan membuat rasial penduduknya
berdasarkan cara penjajah Belanda membedakannya. Jadi ketahuan sekali
bahwa negara kita secara hukum dan ekonomi masih terjajah dan samasekali
belum merdeka. Nah, wajar kan kalau kita liat konflik horizontal maupun
vertikal atas nama etnis masih terjadi di negeri ini? karena memang
dari awal pemerintah Indonesia sudah meniatkannya. Membebek penjajah
Belanda. Dan hampir sebagian besar hukum kita adalah adopsi Belanda.
Belum puas rupanya dijajah 350 tahun?!
Inilah ikatan-ikatan yang merusak dan
terbukti menimbulkan perpecahan dan konflik yang tak berkesudahan.
Ikatan yang muncul dari pemikiran yang dangkal dan sempit. Ikatan
etnisitas, kekauman dan juga termasuk ikatan nasionalisme kampungan.
Ikatan inilah yang menyebabkan muslim Indonesia tidak memperdulikan
muslim Palestina hanya karena dibatasi oleh garis-garis khayal batas
negara. Ikatan ini juga yang memenangkan penjajah Belanda ketika
membelah ummat Islam Indonesia atas nama etnis. Dan ikatan ini pula yang
menyebabkan Arab Saudi, Yordan, Turki, Mesir, Irak, Iran dan semua
negara muslim saat ini terpecah belah padahal dahulunya mereka adalah
satu kekuatan. Inilah sebuah ikatan palsu yang harus dimusnahkan:
fanatisme golongan, bangsa dan semacamnya yang kita kenal dengan kata
ashabiyah.
Padahal Rasulullah dengan sangat jelas
telah mewanti-wanti agar kita jangan membedakan diri berdasarkan sesuatu
yang tidak pernah dipilih manusia atau bagian dari qadar Allah.
إن الله لا ينظر إلى صوركم ولا إلى أجسامكم ولكن ينظر إلى قلوبكم وإلى أعمالكم
Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada wajah kalian dan tidak pula kepada bentuk tubuh kalian, akan tetapi Allah melihat qalbu (akal dan hati) kalian dan perbuatan kalian (HR Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Hurrairah)
Maka benarlah dalam aturan
kewarganegaraan Daulah Madinah ketika Rasulullah saw. menjadi kepala
negara, beliau saw. hanya membedakan 2 jenis penduduk; muslim dan kafir.
Begitu pula yang dilaksanakan Khulafaur Rasyidin setelah beliau dan
Khalifah-khalifah setelah mereka sampai runtuhnya Daulah Khilafah Islam
Utsmaniyah tahun 1924. Artinya pembedaan kewarganegraan adalah
berdasarkan pengakuannya atas Islam, bukan yang lain seperti fanatisme
golongan atau bangsa.
Juga larangan sempurna dari Rasulullah
atas sikap fanatisme golongan, bangsa dan semacamnya yang dirangkum
dalam larangan ashabiyah
ومن قاتل تحت راية عمّيّة يغضب لعصبة، أو يدعو إلى عصبة، أو ينصر عصبة، فقتل، فقتلة جاهليّة
Siapa saja yang berperang di bawah panji kebodohan marah kerena suku, atau menyeru kepada suku atau membela suku lalu terbunuh maka ia terbunuh secara jahiliyah (HR Muslim)
ليس منا من دعا إلى عصبية، وليس منا من قاتل على عصبية، وليس منا من مات على عصبية
Bukan dari golongan kami siapa saja yang mengajak kepada ashabiyah, bukan pula dari golongan kami orang yang berperang karena ashabiyah, dan tidak juga termasuk golongan kami orang yang mati karena ashabiyah (HR Abu Dawud)
Tidak ada keistimewaan khusus karena
warna kulit, karena jenis dan karena tanah air. Dan tidak halal seorang
muslim merasa fanatik (ta’ashub) karena warna kulitnya melebihi kulit
orang lain, karena golongannya melebihi golongan lain dan karena
daerahnya melebihi daerah orang lain. Pribumi ataupun keturunan. Bahkan
Islam menaruh ikatan semacam ini dalam posisi yang paling rendah karena
pemikiran semacam ini adalah batil.
Tapi inilah kondisi masyarakat dan
ummat, mereka mempunyai cap tertentu bagi etnis tertentu, dan akhirnya
bukan melihat karena ketakwaannya tetapi karena bentuk wajahnya. Hanya
karena seseorang berwajah Arab lantas setiap bertemu tangannya dicium,
karena persangkaan bahwa arab identik dengan Islam (ironis). Hanya
karena seseorang berwajah Cina lantas diidentikkan dengan kafir? (lebih
ironis), lebih aneh lagi kalau ketemu bule semuanya serba senang,
sumringah dan berjalan menunduk (kacau).
Inilah mental-mental terjajah, mental
yang sangat ridha dan bangga kepada negara yang menjajahnya tapi lupa
sama sekali dengan Tuhan yang menciptakan dirinya dan memberinya
kenikmatan. Padahal kita semua sebagai muslim tidak diseru kecuali
berpegang pada aqidah yang satu, ikatan yang satu, perintah yang satu
dan kepemimpinan yang satu. Tauhid dalam segala bidang.
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai (QS ali Imraan [3]: 103)
Seandainya saja Rasulullah masih ada,
maka tentu dia akan menghapuskan segala macam diskriminasi dan
rasialisme yang diwariskan dunia Barat kepada kaum muslim. Seandainya
saja Umar bin Khattab masih ada, maka pastilah beliau sendiri yang akan
menghunus pedangnya untuk memenggal penyeru ashabiyah. Tapi mereka telah
tiada, namun bukan tanpa warisan.
Rasulullah menyiapkan sebuah sistem
buat ummatnya agar ummatnya dapat bersatu padu dan kuat dalam satu
kepemimpinan di seluruh dunia. Insya Allah saat Khilafah Islam tegak
satu saat nanti, Khalifah lah yang akan mengomando kaum muslim membunuh
ashabiyah.
0 komentar:
Posting Komentar