Tidak Amanah dalam Melunasi Hutang
Sebagian pengusaha punya prinsip untuk banyak-banyak menumpuk hutang.
Di antara alasannya demi mengembangkan usaha atau mencari modal usaha.
Masalahnya bukan karena meminjam uang. Yang menjadi problem karena
seringkali kurang amanat dalam mengembalikan hutang. Sebenarnya mereka
mampu mengembalikan hutang tepat waktu sesuai time limit yang
diberikan oleh pemberi hutang. Namun selalu seribu alasan yang diberi
ketika si pemberi hutang datang menagih. Katanya besok lah, bulan depan
lah, dst.
Padahal ia mampu mengembalikan hutang tersebut sesuai tempo yang diberikan. Namun ia mesti memutar hutang tadi untuk modal usaha lainnya. Itulah jadinya hutang tersebut belum kunjung kembali ke tangan kreditur. Bahkan yang memiliki sifat tidak amanat seperti ini adalah orang yang sudah kenal sunnah (artinya lebih mendalami Islam). Amat disayangkan, mungkin status si kreditur sebagai pengusaha muslim selalu dijadikan alasan bahwa ia pasti berbaik hati. “Kan pengusaha muslim, tentu mau saja memberi tenggang waktu untuk pengembalian hutang”.
Padahal ia mampu mengembalikan hutang tersebut sesuai tempo yang diberikan. Namun ia mesti memutar hutang tadi untuk modal usaha lainnya. Itulah jadinya hutang tersebut belum kunjung kembali ke tangan kreditur. Bahkan yang memiliki sifat tidak amanat seperti ini adalah orang yang sudah kenal sunnah (artinya lebih mendalami Islam). Amat disayangkan, mungkin status si kreditur sebagai pengusaha muslim selalu dijadikan alasan bahwa ia pasti berbaik hati. “Kan pengusaha muslim, tentu mau saja memberi tenggang waktu untuk pengembalian hutang”.
Ingat Bahaya Berhutang
Untuk setiap orang yang berhutang seharusnya mengingat bahaya banyak berhutang berikut ini.
1. Akan menyusahkan dirinya di akhirat kelak. Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu
dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan
kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada
lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah no. 2414. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
2. Jiwanya masih menggantung hingga hutangnya lunas. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
“Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan hutangnya hingga dia melunasinya.” (HR.
Tirmidzi no. 1078 dan Ibnu Majah no. 2413. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Al ‘Iroqiy mengatakan, “Urusannya masih menggantung, artinya tidak bisa
kita katakan ia selamat ataukah sengsara sampai dilihat uhtangnya
tersebut lunas ataukah tidak.” (Tuhfatul Ahwadzi, 3/142). Asy Syaukani
berkata, “Hadits ini adalah dorongan agar ahli waris segera melunasi
hutang si mayit. Hadits ini sebagai berita bagi mereka bahwa status
orang yang berhutang masih menggantung disebabkan oleh hutangnya sampai
hutang tersebut lunas. Ancaman dalam hadits ini ditujukan bagi orang
yang memiliki harta untuk melunasi hutangnya lantas ia tidak lunasi.
Sedangkan orang yang tidak memiliki harta dan sudah bertekad ingin
melunasi hutangnya, maka ia akan mendapat pertolongan Allah untuk
memutihkan hutangnya tadi sebagaimana hal ini diterangkan dalam beberapa
hadits.” (Nailul Author, 6/114). Penjelasan Asy Syaukani menunjukkan
ancaman bagi orang yang mampu melunasi hutang lantas ia tidak amanat. Ia
mampu melunasinya tepat waktu, namun tidak juga dilunasi. Bahkan
seringkali menyusahkan si pemberi hutang. Padahal si kreditur sudah
berbaik hati meminjamkan uang tanpa adanya bunga dan mungkin saja si
kreditur butuh jika hutang tersebut lunas.
3. Diberi status sebagai pencuri jika berniat tidak ingin mengembalikan hutang. Dari Shuhaib Al Khoir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا رَجُلٍ يَدَيَّنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِىَ اللَّهَ سَارِقًا
“Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya,
maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai
pencuri.” (HR. Ibnu Majah no. 2410. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
Al Munawi mengatakan, “Orang seperti ini akan dikumpulkan bersama
golongan pencuri dan akan diberi balasan sebagaimana mereka.” (Faidul
Qodir, 3/181)
4. Berhutang sering mengantarkan pada banyak dusta. Dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ يَدْعُو
فِى الصَّلاَةِ وَيَقُولُ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ
الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ » . فَقَالَ لَهُ قَائِلٌ مَا أَكْثَرَ مَا
تَسْتَعِيذُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مِنَ الْمَغْرَمِ قَالَ « إِنَّ الرَّجُلَ
إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ .
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdo’a di dalam
shalat: Allahumma inni a’udzu bika minal ma’tsami wal maghrom (Ya Allah,
aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan banyak hutang).” Lalu ada yang berkata kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kenapa engkau sering meminta perlindungan dari hutang?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Jika orang yang berhutang berkata, dia akan sering berdusta. Jika dia berjanji, dia akan mengingkari.”
(HR. Bukhari no. 2397 dan Muslim no. 589). Al Muhallab mengatakan,
“Dalam hadits ini terdapat dalil tentang wajibnya memotong segala
perantara yang menuju pada kemungkaran. Yang menunjukkan hal ini adalah
do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berlindung dari
hutang dan hutang sendiri dapat mengantarkan pada dusta.” (Syarh Al
Bukhari, Ibnu Baththol, 12/37). Realita yang ada itulah sebagai bukti.
Orang yang berutang seringkali berdusta ketika pihak kreditur datang
menagih, “Kapan akan kembalikan utang?” “Besok, bulan depan”, sebagai
jawaban. Padahal itu hanyalah dusta dan ia sendiri enggan melunasinya.
Jika Mampu Mengembalikan Hutang, Segeralah Tunaikan
Jika sudah mengetahui bahaya di atas, maka tentu saja kita harus
bersikap amanat. Jika mampu lunasi hutang, segeralah lunasi. Kita tidak
tahu kapan nafas kita berakhir. Barangkali ketika kita mati, malah
hutang-hutang kita yang sekian banyak belum juga terlunasi. Sungguh
nantinya keadaan seperti ini akan menyusahkan diri kita sendiri.
Ingatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
“Sesungguhnya yang paling di antara kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutang.” (HR. Bukhari no. 2393)
Sudah berniat melunasi hutang dan sekeras tenaga berusaha untuk
melunasinya, itu pun sudah termasuk sikap yang baik. Allah akan menolong
orang semacam ini dalam urusannya.
Dulu Maimunah ingin berhutang. Lalu di antara kerabatnya ada yang
mengatakan, “Jangan kamu lakukan itu!” Sebagian kerabatnya ini
mengingkari perbuatan Maimunah tersebut. Lalu Maimunah mengatakan, “Iya.
Sesungguhnya aku mendengar Nabi dan kholil-ku (kekasihku) shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ
مُسْلِمٍ يَدَّانُ دَيْنًا يَعْلَمُ اللَّهُ مِنْهُ أَنَّهُ يُرِيدُ
أَدَاءَهُ إِلاَّ أَدَّاهُ اللَّهُ عَنْهُ فِى الدُّنْيَا
“Jika seorang muslim memiliki hutang dan Allah mengetahui bahwa
dia berniat ingin melunasi hutang tersebut, maka Allah akan
memudahkannya untuk melunasi hutang tersebut di dunia”. (HR. Ibnu Majah no. 2399 dan An Nasai no. 4686. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih kecuali lafazh “fid dunya” -di dunia-)
Juga terdapat hadits dari ‘Abdullah bin Ja’far, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الدَّائِنِ حَتَّى يَقْضِىَ دَيْنَهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيمَا يَكْرَهُ اللَّهُ
“Allah akan bersama (memberi pertolongan pada) orang yang
berhutang (yang ingin melunasi hutangnya) sampai dia melunasi hutang
tersebut selama hutang tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang oleh
Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 2400. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Moga pertolongan Allah segera datang jika kita benar-benar dan berusaha keras melunasi hutang-hutang kita.
Salah Memposisikan Dalil
Sikap orang yang berhutang seharusnya segera melunasi hutangnya.
Jangan malah memiliki sikap sebaliknya, yaitu beranggapan bahwa pemberi
utang yang baik pasti akan memberi tenggang waktu. Barangkali ini dalil
yang sering digunakan,
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka
berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian
atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
(QS. Al Baqarah: 280). Dalilnya memang benar, namun salah meletakkan.
Dalil ini ditujukan bagi pihak pemberi hutang agar memiliki sikap yang
baik dengan memberi tenggang waktu jika orang yang berutang berada dalam
kesulitan atau bahkan lebih baik memutihkan utang tersebut. Sehingga
dalil di atas bukanlah untuknya. Seharusnya yang jadi dalil baginya
adalah dalil-dalil yang menyebutkan bahaya berhutang sebagaimana
disebutkan di atas. Jadi, janganlah salah memposisikan dalil.
Pikir Matang-Matang Sebelum Berhutang
Jika kita mengingat kembali bahaya berhutang di awal bahasan, maka
sudah seharusnya setiap muslim memikirkan matang-matang sebelum
berhutang. Usaha bisa maju tidak selamanya dengan modal uang. Sudah
seringkali di Majalah Pengusaha Muslim dijelaskan mengenai berbagai
usaha dengan modal minimalis atau bahkan ada yang tanpa modal sama
sekali. Ini tentu bisa sebagai pilihan alternatif. Jadikanlah prinsip,
berutang di saat butuh dan merasa mampu mengembalikan. Sehingga dengan
prinsip seperti ini tidak membuat kita sulit di dunia dan di akhirat
kelak.
Ingatlah bahwa Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri selalu meminta pada Allah perlindungan dari banyak utang dengan doanya: Allahumma inni a’udzu bika minal ma’tsami wal maghrom (Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan banyak utang) (HR. Bukhari no. 2397 dan Muslim no. 589). Ibnul Qoyyim berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
meminta perlindungan kepada Allah dari berbuat dosa dan banyak hutang
karena banyak dosa akan mendatangkan kerugian di akhirat, sedangkan
banyak utang akan mendatangkan kerugian di dunia.” (Al Fawaid, 57)
Wallahu waliyyut taufiq.
Referensi:
Al Fawa’id, Ibnul Qayyim, terbitan Darul ‘Aqidah.
Faidul Qodiir, Al Munawi, Mawqi’ Ya’sub [sesuai cetakan].
Nailul Author, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, Mawqi’ Al Islam [tidak sesuai cetakan].
Syarh Shahih Bukhari, Ibnu Baththol, Asy Syamilah.
Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jaami’ At Tirmidzi, Muhammad bin
‘Abdirrahman bin ‘Abdirrahim Al Mubarakfuri, terbitan Darul Kutub Al
‘Ilmiyyah, Beirut.
Dan sumber lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar