Rabu, 15 April 2015

Apakah yang Dimaksud Sogok-Menyogok

Ihwal Sogok-Menyogok






Sogok-menyogok, tampaknya adalah munkar yang telah dianggap ma’ruf. Kalau demikian ini, yang salah adalah kita juga, sehingga secara bersama kita harus memperbaikinya, dan tak perlu menunggu yang lain untuk memulai.

Agama melarang sogok-menyogok, bahkan mengutuk bukan saja pelaku yang menerima, tetapi juga pemberi dan perantaranya. Banyak sekali teks keagamaan yang menjelaskan tentang masalah ini. Namun apakah yang dimaksud dengan sogok?
 

Kalau Anda mendefinisikannya sebagai “pemberian atau penerimaan guna memperoleh atau memberi sesuatu yang tidak sah”, apakah memberi guna memperoleh hak yang sah tidak dinamai sogok, dan dengan demikian dapat dibenarkan?

 

Ambillah contoh sederhana. Anda membutuhkan dan berhak pula memiliki surat keterangan pengenal diri, kenaikan pangkat dalam jenjang kepegawaian atau apa saja yang menjadi hak Anda. Tetapi, petugas yang menanganinya bersikap sedemikian rupa dengan menunda-nundanya sehingga urusan menjadi tersendat-sendat. Ketika itu Anda merasa perlu sesuatu yang melicinkan. Nah, apakah ini dibenarkan?

 

Sebelum merujuk pandangan para pakar, terlebih dahulu perlu digarisbawahi bahwa dalam contoh yang dikemukakan di atas, si petugas dinilai oleh agama telah melakukan sesuatu yang haram, terlarang, dan terkutuk. Ia dinilai melakukan penganiayaan, walaupun tidak menerima sesuatu. Lebih-lebih jika menerima penundaan pembayaran utang, bagi yang mampu, adalah penganiayaan. 

Karena Nabi saw. Bersabda, bahwa keadilan adalah memberi hak melalui prosedur yang mudah lagi cepat. “Permudahlah jangan dipersulit,” pesan Nabi. Tetapi tidak jarang ada yang menyatakan dalam sikapnya: “Mengapa harus mempermudah jika ada jalan mempersulit?”
 

Dalam kitab Subul Al-Salam karya Muhammad bin Isma’il Al-Kahlani (1059-1182 H), demikian pula dalam Nail Al-Authar karya Al-Imam Al-Syaukani (1172-1250 H), di bawah sub judul rasywah (sogok), kedua pengarang tersebut mengemukakan pendapat yang membolehkan pemberian dalam rangka memperoleh hak yang sah. Tidak jelas argumentasi mereka, tetapi rupanya keadaan ketika itu mirip dengan keadaan yang kita alami sekarang ini. Tampaknya, ketika itu telah menjamur pula budaya sogok-menyogok, sehingga menyulitkan penuntut hak untuk memperoleh haknya, maka lahirlah pendapat yang membolehkan tadi.

 

Tetapi, Al-Syaukani setelah mengemukakan pendapat di atas, mengingatkan bahwa pada dasarnya agama tidak membenarkan pemberian dan penerimaan sesuatu dari seseorang kecuali dengan hati yang tulus. Nah, tuluskah hati yang memberi pelicin tiu? Di samping itu, bukankah sifat ini menumbuhsuburkan praktik suap-menyuap dalam masyarakat? Bukankah dengan memberi walau dengan dalih meraih hak yang sah seseorang telah membantu si penerima melakukan sesuatu yang haram dan terkutuk dan dengan demikian ia memperoleh pula sedikit atau banyak-–sanksi keharaman dan kutukan itu?

 

Bahkan, hadiah kepada seorang yang berwenang kecil ataupun besar wewenangnya apabila sebelumnya ia tidak biasa menerimanya dinilai sebagai sogokan terselubung. Dalam hal ini Nabi saw bersabda: “Tidakkah sebaiknya ia duduk saja di rumah ibunya, untuk dilihat apakah ada yang memberinya hadiah atau tidak?”


Masyarakat melahirkan suatu budaya yang tadinya munkar (tidak dibenarkan) dapat menjadi ma’ruf (dikenal dan dinilai baik) apabila dilakukan berulang-ulang banyak orang. Yang ma’ruf pun dapat menjadi munkar bila tidak lagi dilakukan orang.


http://buku-lentera-hati.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Press Release Distribution