Jika Esok Tak Pernah Datang
Setiap bangun tidur dan membuka mata, yang terucap adalah kalimat
syukur bahwa Allah masih mengizinkan diri ini kembali melihat fajar.
Merasai hembusan angin pagi yang menerobos celah jendela, dan menjumpai
semua yang semalam terlihat sebelum mata terpejam masih seperti sedia
kala, tidak ada yang berubah.
Kemudian melangkahlah dengan iringan doa di gerbang mungil menuju
arena perjuangan kehidupan. Dengan tuntunan-Nya lah diri ini tak
melangkah ke jalan yang salah, tak menjamah yang bukan hak, tak melihat
yang dilarang, tak memamah yang tak halal, tak mendengar yang batil, dan
tak banyak melakukan yang sia-sia. Karena setiap waktu yang terlewati
pasti akan ditagih tanggungjawabnya. Lantaran semua jalan yang dilalui
akan dimintai kesaksiannya atas diri ini. Dan sebab seluruh indera ini
akan diminta bicara tentang apa-apa yang pernah tercipta.
Hari ini, masih ada lalai terbuat. Masih juga lengah sehingga khilaf
tercipta. Meski segunung tausyiah pernah didengar, mulut ini masih
terselip berucap dusta, saringan telinga ini tetap tak mampu membendung
suara-suara melenakan, dan masih saja ada perbuatan yang salah, walau
itu dalam bingkai alpa. Padahal, di setiap terminal ruhiyah, sedikitnya
lima kali sehari lidah ini berucap, tangan ini tertengadah, dan mata
menitikkan butir bening, seraya memohon perlindungan dari Allah
dijauhkan dari salah dan dosa. Tetapi, masih juga langkah ini menuju
arah yang sesat.
Setiap hari menangis, setiap hari meminta ampunan, setiap hari
berbuat salah. Hari ini mencipta dosa, esok sibuk bersujud, meluluhkan
air mata, menyusun kalimat doa, menganyam pinta semoga Allah
menghapusnya dalam sekejap. Detik ini berbuat salah, terlalu lama
menghapusnya, bahkan kadang lupa. Padahal, bisa saja sedetik kemudian
diri ini tak lagi sempat memohon ampunan. Lupakah bahwa waktu sangat
cepat berlalu. Lupakah pula bahwa menyesal di akhirat hanyalah kesiaan
yang nyata? Bagaimana jika hari esok tak pernah datang, padahal baru saja
seharian ini berenang di lautan dosa. Padahal belum sempat menghapus
noda hari ini, kemarin, sepekan yang lalu, setahun lalu, dan
bertahun-tahun yang lalu. Bagaimana jika Allah tak berkenan membukakan
mata kita setelah sepanjang malam terlelap? bagaimana jika perjumpaan
dan canda riang bersama keluarga semalam adalah yang terakhir kalinya.
Ketika esok harinya ruh ini melihat seluruh keluarga menangisi jasad
diri yang terbujur kaku berkafan putih.
Bagaimana jika matahari esok terbit dari barat, tak seperti biasanya
dari timur? Padahal hari ini lupa menyebut nama-Nya. Padahal di hari
ini, belum sempat mengunjungi satu persatu keluarga, kerabat, sahabat,
tetangga, dan orang-orang yang pernah tersakiti oleh lidah dan tindakan
kita. Sudah terlalu lama tak mencium kaki orang tua mencari
keridhaannya, walau tak terhitung salah diri. Belum lagi sempat
berderma, setelah derma kecil beberapa tahun lalu yang sering kita
banggakan.
Dan jika memang esok tak pernah datang. Sungguh celakalah diri ini.
Benar-benar celaka, bila belum sempat mencuci dosa sepanjang hidup. Bila
belum mendengar ungkapan maaf dari orang-orang yang pernah terzalimi,
bila belum menyisihkan harta yang menjadi hak orang lain, bila belum
sempat meminta ampun atas segala salah dan khilaf yang tercipta.
Maka, saat pagi ini Allah masih memperkenankan diri menikmati fajar, mulaikan hari dengan kalimat, “terima kasih, Allah”
0 komentar:
Posting Komentar