Blusukan Umar Bin Khattab
Suatu masa tanah Arab pernah mengalami paceklik yang amat
memprihatinkan. Hujan lama tak turun. Lahan menjadi tandus. Tanaman
warga tak bisa dipanen karena kering kerontang. Jumlah hewan ternak yang
mati juga sudah tak dapat dihitung. Keputusasaan mendera hampir di
seluruh masyarakat. Khalifah Umar Bin Khattab mengeluarkan kebijakan
agar setiap hari dilakukan pemotongan unta agar dagingnya bisa dinikmati
oleh warga. Sedangkan ia memilih untuk berpuasa dari makanan enak.
Untuk mengetahui masalah yang dihadapi oleh masyarakatnya, Umar
melakukan blusukan tak segan masuk keluar kampung. Pada suatu malam
Umar yang ditemani Aslam mengunjungi sebuah perkampungan terpencil yang
terletak di tengah gurun sepi. Saat memasuki daerah tersebut mereka
terkejut saat mendengar isak tangis dari sebuah gubuk tua. Mereka pun
bergegas mendekati gubuk tersebut untuk memastikan suara apakah itu.
Setelah mendekat, Khalifah melihat seorang perempuan tua sedang
memasak. Asap mengepul dari panci yang ia aduk. Sementara di sampingnya
tampak seorang anak perempuan yang masih saja menangis. Karena penasaran
Umar pun meminta izin untuk masuk.
“Assalamu’alaikum,” Umar memberi salam.
Mendengar salam tersebut, si Ibu hanya sekedar menoleh dan kembali melanjutkan aktifitasnya.
“Siapa yang tengah menangis, apakah dia sakit?” tanya Umar.
“Anakku. Dia tidak sedang sakit. Ia hanya sedang kelaparan” jawab perempuan tanpa menoleh ke arah Umar.
Khalifah Umar dan Aslam terperanjat. Mereka terdiam. Hingga akhirnya
keduanya memilih untuk tetap berada di rumah tersebut. Umar dan Aslam
duduk hingga satu jam lamanya. Sepanjang itu pula si perempuan tua masih
saja mengaduk panci dengan sendok panjangnya. Dan sepanjang itu pula si
anak perempuan terus menangis.
“Apa yang sedang engkau masak, wahai Ibu? Kenapa masakanmu tidak kunjung matang?” tanya Khalifah Umar penasaran.
“Ayo kemari, coba engkau lihat sendiri” Kata perempuan tua tersebut sambil menoleh ke arah Umar dan Aslam.
Umar dan Aslam segera mendekat ke arah panci dan melihat ke dalamnya.
Namun alangkah terkejutnya Umar saat melihat isi panci tersebut.
“Engkau merebus batu?” tanya Umar tidak percaya.
Perempuan itu hanya menganggukkan kepala.
“Aku melakukan ini agar anak-anakku terhibur. Agar mereka mengira aku
sedang memasak. Sebagai seorang janda miskin apa yang bisa aku lakukan.
Meminta anak-anakku berpuasa dan berharap seseorang mengantarkan
makanan untuk berbuka. Tapi hingga magrib tiba tak seorang pun yang
datang. Anakku tertidur karena mereka kelelahan setelah seharian
menangis”
Umar tertegun. Tak ada kalimat yang bisa diucapkan. Umar merasa
bersalah karena masih ada rakyatnya yang menangis karena kelaparan.
“Seperti inilah yang telah dilakukan Khalifah Umar kepadaku. Dia
membiarkan kami kelaparan. Ia tidak mau melihat ke bawah, memastikan
kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi atau belum”
Ibu itu diam sejenak. “Umar bin Khattab bukanlah pemimpin yang baik. Ia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya.”
Mendengar penuturan si Ibu, Aslam ingin menegur namun dihalangi oleh
Umar. Khalifah segera bangkit dan meminta izin kepada si Ibu. Dengan air
mata berlinang ia mengajak Aslam untuk segera kembali ke Madinah. Tanpa
beristirahat, Umar segera mengambil gandum lalu memilkulnya sendiri.
“Wahai Amirul Mukminin, biarlah saya saja yang memikul karung
tersebut” pinta Aslam yang tak tega melihat Amirul Mukminin yang tampak
kelelahan.
Mendengar permintaan tersebut Umar bukannya senang melainkan marah.
Mukanya merah padam. Umar menjawab, “Wahai Aslam, apakah engkau mau
menjerumuskan aku ke dalam api neraka. Apakah engkau kira setelah
menggantikan aku memikul karung ini maka engkau akan memikul beban ku
nanti di akhirat kelak? “
Aslam tertunduk. Ia hanya bisa berdiri mematung ketika melihat
Khalifah Umar bin Khattab berjuang keras memikul karung gandum tersebut
untuk diserahkan langsung kepada perempuan itu.
Itulah salah satu kisah masyur yang memperlihatkan bagaimana Umar
begitu bertanggung jawab menjadi seorang pemimpin. Ia bahkan menangis
ketika melihat rakyatnya kelaparan. Apa yang dilakukan Umar sepatutnya
menjadi teladan bagi siapa saja yang diamanahi tampuk kepemimpinan.
Lewat kisah di atas Umar juga secara tak langsung juga mengajarkan
bagaimana cara melakukan blusukan yang benar.
Blusukan Umar Sunyi Senyap
Jika merujuk dari cerita di atas maka jelaslah jika Khalifah Umar memilih malam hari sebagai waktu untuk blusukan. Bukan
pada siang hari saat mentari terang menderang. Bahkan sejarah juga
mencatat jika Khalifah Umar hampir setiap malam melakukan blusukan.
Kenapa pola seperti ini yang dilakukan oleh Umar? Alasannya sederhana saja. Khalifah Umar tau jika blusukan itu
memiliki misi mulia. Sehingga untuk melakukannya harus dikerjakan
secara sembunyi sembunyi, bukan terbuka. Khalifah Umar menerobos
gelapnya malam untuk menyibak fakta yang mungkin masih tersembunyi.
Memastikan apakah pejabat di dalam pemerintahannya sudah bekerja dengan
baik. Beliau ingin blusukan dilakukan tanpa rekayasa.
Blusukan yang dilakukan Khalifah Umar jelas bukan untuk
mendapatkan lambaian tangan rakyat, ataupun pelukan dan hura-hura. Sebab
yang dibutuhkan Khalifah Umar hanyalah informasi tentang masalah yang
masih belum dapat diselesaikan selama kepemimpinannya. Sebab ia tau,
amanah ini akan dipertanggungjawabkan di depan Mahkamah Tuhan.
Cara blusukan dalam sunyi senyap sebenarnya juga bisa
dilakukan oleh siapapun di level apapun. Tidak harus Presiden, Menteri,
Gubernur atau Bupati Walikota. Camat dan Lurah/ Keuchikpun sebenarnya
bisa meniru pola seperti ini. Menemukan masalah dan segera
menyelesaikannya. Blusukan pada malam hari yang dilakukan Umar Bin
Khattab mengisyaratkan jika blusukan tidak selamanya membutuhkan sorotan
kamera apalagi set lighting yang menyilaukan mata.
Langsung Kerja Tak Perlu Banyak Gaya
Saat menemukan fakta yang mengejutkan Umar segera kembali ke Madinah.
Ini adalah bukti jika Umar tak banyak gaya dan rethorika. Yang
dilakukan Umar adalah kerja, kerja, kerja. Memanggul gandum adalah
bentuk dari rasa tanggung jawab. Sebagai pemimpin tak perlu sungkan
untuk melakukan suatu kebaikan dengan tangannya sendiri. Tak perlu
ajudan, tak perlu pengawal kalau hanya sekedar ingin melakukan kebaikan.
Lakukan sebuah pekerjaan dengan tangan sendiri. Mungkin itu pula yang
ingin Umar Bin Khattab sampaikan kepada pemimpin setelahnya.
Lalu jika ada seorag menteri blusukan hingga harus memanjat pagar,
apakah itu salah? Tentu saja tidak justru itulah tugas dia. Akan menjadi
salah jika semua hanya sebatas gaya, apalagi dilakukan di depan massa
dengan membawa bantuan kamera.
Tetapi jika setelah investigasi tersebut lalu pak menteri
mengeluarkan kebijakan yang berkualitas, panjat pagar tersebut bukanlah
bagian dari pencitraan. Sebaliknya jika usai investigasi lalu tidak ada
yang berubah maka pak menteri hanya sedang bersandiwara.
Kehidupan Pemimpin Harus Lebih “Susah” Dari Rakyatnya
Dalam sejarah, Umar Bin Khattab adalah pemimpin yang hidupnya
sederhana. Amat sederhana malah untuk seorang Khalifah. Saat tanah Arab
menghadapi masa paceklik, Umar pernah memantangkan dirinya untuk makan
daging, minyak samin, dan susu. Sebab ia khawatir jika makanan yang ia
makan hanya akan mengurangi jatah makanan rakyatnya.
Solusinya ia hanya
menyantap roti dengan celupan minyak zaitun hingga membuat perutnya
panas. Makanan yang ia makan bukannya membuat perut Khalifah menjadi
kenyang melainkan sebaliknya.
“Berkeronconglah sesukamu, dan kau akan tetap menjumpai minyak,
sampai rakyatku bisa kenyang dan hidup dengan wajar.” Ungkap Umar saat
perutnya kosong.
Blusukan sejatinya harus diiringi dengan kesederhanaan
pemimpinnya. Jika pemimpin masih bisa merasakan kenikmatan di tengah
sulitnya kehidupan masyarakat maka blusukan menjadi tidak
bermakna. Seorang pemimpin yang baik pasti tau jika rakyatnya sedang
senang atau melarat. Demikian cara Umar dalam mendidik para pemimpin
setelahnya. Hidup sederhana dan peduli dengan rakyat yang dipimpinnya.
Blusukan sebenarnya cara baik jika dilakukan dari niat yang baik. Lantas bagaimana cara membedakan antara blusukan dengan
pencitraan? Ya sederhananya dapat ditemukan dari cara yang dilakukan.
Jika hanya melulu berorientasi pada “drama” lalu tak jelas hasil dari blusukan tersebut maka dipastikan itu semua hanya sebuah pencitraan. Tetapi jika blusukan dibarengi dengan solusi kongkrit maka itu adalah sebuah kerja.
0 komentar:
Posting Komentar